Sekitar tahun 1980-an ketika tren “globalisasi” dimulai, konsensus umum di kalangan pemikir dan politisi menyatakan bahwa penyebaran sistem ekonomi Kapitalisme di luar belahan bumi barat akan memperbaiki nasib negara-negara berkembang dan yang terbelakang sehingga menyelaraskan standar hidup warganya dengan orang-orang di belahan bumi barat.
Dua puluh tahun kemudian kita memang harus mengakui bahwa globalisasi membawa penduduk dunia menjadi lebih dekat satu sama lain meski tidak membawa ke arah harapan semula dari para pemikir dan politisi tersebut.
Krisis keuangan global yang sebelumnya dianggap sebagai ciri khas negeri terbelakang, kini berpindah ke belahan bumi barat, dan justru bukan sebaliknya. Kelaparan anak, misalnya, telah menjadi sangat umum lagi di seluruh Eropa. Banyak koran di Eropa kini mengabarkan keluhan sekolah dan guru tentang murid yang tidak bisa berkonsentrasi karena lapar.1 Pembagian makanan kepada orang miskin, untuk mencegah mereka mati kelaparan, juga menjadi contoh lain. Yayasan seperti Donatur Makanan (FoodBanks) menjadi organisasi amal yang mendistribusikan makanan di antara orang-orang yang tidak mampu membeli makanan yang mereka butuhkan, telah menjadi pemandangan umum di kota-kota Eropa. Di Inggris sendiri jumlah warga yang membutuhkan bertambah dengan rata-rata dua orang perminggu.2 Mungkin contoh yang paling getir dari realitas baru kesulitan ekonomi di Eropa adalah praktik pembuangan anak karena takut miskin. Hal ini dilaporkan di Yunani, salah satu negara Eropa yang paling terpukul oleh krisis kredit.
Dengan kata lain, perjuangan untuk sekadar bisa bertahan hidup sudah mengglobal, bahkan di Eropa.
Itu sebabnya, banyak pertanyaan muncul tentang “masa depan Kapitalisme”.3 Ini disebabkan oleh arah perdebatan yang sekadar menelaah untuk memilih berbagai model Kapitalisme yang sedang atau telah dilaksanakan di seluruh dunia. Model Kapitalisme Amerika/Anglo-Saxon, Euro/model Jerman, model Jepang dan Singapura/model Cina adalah yang paling menonjol.
Dalam masa pra-Pencerahan Eropa, pada Abad Pertengahan atau dikenal dengan Zaman Kegelapan, tatanan sosial-politik yang dominan saat itu menyatakan bahwa di balik alam semesta ada Pencipta, Tuhan; bahwa melalui dogma Kristen Tuhan telah memberitahu manusia tentang bagaimana dia seharusnya hidup agar harmoni dengan tatanan alam ini, dan manusia memiliki kebebasan untuk memilih apakah akan hidup sesuai atau berlawanan dengan tatanan alam yang Tuhan ciptakan. Semua ini dijelaskan secara rinci dalam tulisan-tulisan Thomas Aquinas (1225 – 1274 M). Namun, tokoh filsafat Grotius (1583 – 1645 M) meletakkan dasar bagi suatu filsafat baru, yaitu Pencerahan, yang melahirkan ordo sosio-politik Kapitalisme ketika ia berpendapat bahwa tatanan alam memang ada, namun pikiran manusia memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi itu. Dengan kata lain, manusia tidak bergantung pada agama untuk tahu cara yang benar bagaimana ia bisa hidup dan cukup menggunakan akalnya sendiri saja. Bapak ekonomi kapitalis Adam Smith (1723 – 1790 M) mengambil ide revolusioner Grotius dan memikirkan untuk mencari jalan hidup yang terbaik. Menurut Smith, cara yang terbaik untuk hidup ini adalah mengejar kepentingan pribadi secara rasional.4
Smith mengamati bahwa wajar dan alami bagi manusia untuk mengejar kepentingan pribadinya secara rasional. Ia menjelaskan dalam bukunya yang terkenal, Wealth of Nations, “Bukanlah karena kebaikan hati dari tukang daging, pembuat bir, atau tukang roti yang telah menyediakan makan malam kita, tetapi para tukang daging, pembuat bir, dan tukang roti tersebut memiliki kepentingan pribadi untuk mendapatkan keuntungan.”
Smith juga mengamati bahwa tidak hanya tukang daging, pembuat bir, atau tukang roti yang diuntungkan dari penyediaan makan malam, tetapi masyarakat yang lebih luas, “Dengan mengejar kepentingan pribadi masing-masing, masyarakat akan hidup lebih efektif dengan sendirinya tanpa harus mempromosikannya.”
Dari sini ia menyimpulkan bahwa organisasi yang benar dari kehidupan ekonomi manusia adalah pasar bebas, saat setiap orang dapat mengembangkan kegiatan yang ia percayai adalah kepentingannya yang terbaik untuk menetapkan kepemilikan atas apa pun yang ia ingin kehendaki, dan untuk membuang apa pun yang ia tidak inginkan dan dengan cara apapun yang ia inginkan. Karena itu, menurut Smith, sebuah “tangan tak terlihat” akan datang menjadi ada dan memastikan hasil terbaik bagi masyarakat.5
Berbagai model Kapitalisme yang sedang berjalan saat ini atau telah dilaksanakan di seluruh dunia didasarkan pada filosofi ini, tanpa kecuali.
Inggris adalah bangsa pertama yang mengembangkan sistem ekonominya berdasarkan pada filosofi ini. Namun, dari perspektif sosial kemasyarakatan, upaya bangsa ini tidak bisa disebut sukses. Didorong oleh gagasan ekonomi baru dari Smith, pengkotakkan lahan umum menjadi tanah milik pribadi terjadi secara pesat. Padahal jutaan warga Inggris saat itu bergantung pada lahan-lahan umum untuk kelangsungan hidup mereka, sehingga privatisasi lahan ini menjerumuskan mereka dalam kemiskinan yang dalam dan mengerikan.6
Satu-satunya pilihan yang tersisa bagi rakyat pedesaan saat itu adalah mencari pekerjaan sebagai buruh industri di kota. Melonjaknya perpindahan para petani ke kota, dan didorong oleh ide bahwa pengejaran kepentingan diri sendiri pada akhirnya akan menguntungkan semua, para industrialis Inggris melihat kesempatan emas karena mereka bisa mempekerjakan buruh dengan upah rendah, memanfaatkan perempuan dan anak sebagai buruh, dan menempatkan mereka untuk bekerja dalam lingkungan yang paling tidak sehat dan berbahaya.
Dengan bergeraknya waktu, berkembangnya ideologi komunis memaksa perubahan dalam situasi ini. Untuk melindungi inti dari sistem kapitalis, Inggris harus memperbaiki tingkat kesejahteraan warganya supaya mereka kebal terhadap pesan Komunisme. Itu sebabnya, pemerintah Inggris memaksa untuk ikut mencampuri pasar bebas secara terbatas, misalnya dengan menetapkan upah buruh minimum, melarang pekerja anak, memberikan layanan sosial, dan sebagainya.
Setelah Perang Dunia Kedua konflik ideologis antara Kapitalisme dan Komunisme memuncak, terutama di benua Eropa. Akibatnya, benua Eropa menyadari pentingnya untuk bisa lebih baik daripada Inggris dalam meningkatkan standar kehidupan masyarakat, yang berujung pada pengembangan sistem “demokrasi sosial”. Pemerintah negara-negara Eropa seperti Jerman Barat dan Prancis mulai secara aktif mengelola pasar bebas mereka untuk mendistribusikan kekayaan. Pengelolaan pajak secara progresif pun mulai dikenalkan saat semakin tinggi penghasilan penduduk semakin tinggi pajaknya. Pasar untuk berbagai barang dan jasa dikendalikan oleh pemerintah. Penerapan aturan dan undang-undang pemerintahnya pun memiliki implikasi luas ke pasar lain di luar benua Eropa.
Setelah Komunisme menemukan rumah ideologisnya di Rusia, benua Eropa kapitalis menemukan dirinya bertetangga dengan musuh ideologis dan dengan demikian langsung terkena “ancaman komunis”. Di lain pihak, ancaman komunis tidak mencapai pantai Amerika atau Inggris karena adanya penghalang alami: laut.
Setelah berjatuhannya sistem negara imperial seusai Perang Dunia II,
Amerika membangun kembali Jepang atas dasar prinsip-prinsip kapitalis.
Berbeda dengan Eropa dan Amerika, saat Kapitalisme dikembangkan sebagai
bagian dari proses panjang dan alami yang melibatkan perubahan keadaan
dan berpikir, Jepang secara efektif dipaksa untuk mengadopsi
Kapitalisme. Hal ini menyebabkan lahirnya Kapitalisme model Jepang yang
unik dan berbeda dari kedua model Eropa dan model Amerika. Sebagian ini
disebabkan oleh Amerika tidak hanya menempatkan hukum dan peraturan
Kapitalisme di Jepang, tetapi Amerika juga aktif mengelola rincian
perekonomian Jepang. Contoh, Amerika turut menentukan partai politik apa
saja yang boleh ada, siapa yang akan memimpin partai-partai politik
ini, perusahaan mana saja yang akan memimpin ekonomi Jepang dan siapa
yang akan memimpin perusahaan tersebut.7 Jadi ketika Eropa dan Amerika
menganggap penting peran pemerintah untuk turut mencampuri pasar, di
Jepang Kapitalisme dan pemerintahannya merupakan saudara kembar dari ibu
yang sama. Hal ini menyebabkan adanya perbedaan tentang bagaimana
pemerintah menyikapi pasar di Jepang dan di Amerika atau benua Eropa. Di
Eropa dan Amerika pemerintah dan para kapitalis duduk bersama untuk
bekerja sama karena menghadapi ancaman maraknya komunis. Di Jepang
pemerintah dan kapitalis bekerjasama lebih secara sukarela, karena
mereka melihat ini sebagai hal yang paling alami untuk keduanya.
Selain itu, Kapitalisme di Jepang dipengaruhi oleh tradisi Jepang,
sedangkan di Eropa dan Amerika Kapitalisme justru mempengaruhi bahkan
mengendalikan tradisi. Sebagaimana tercantum sebelumnya, Kapitalisme
awalnya berkembang di Eropa sebagai respon terhadap tatanan
sosial-politik Kristen. Kapitalisme di Jepang tidak memiliki pengalaman
ini. Akibatnya, penerapan Kapitalisme di Jepang tidak disertai penolakan
terhadap tradisi. Tradisi Jepang seperti komunalisme, bahkan mampu
mempengaruhi model dan aplikasi Kapitalisme di Jepang.Model Kapitalisme Cina adalah hal lain lagi, karena terkait dengan keadaan yang unik yang mendorong Cina untuk turut mengadopsi Kapitalisme. Pertama: mengapa Cina mengadopsi Kapitalisme adalah karena proses transisi ke Kapitalisme dimotori oleh pemerintahan Cina, dan bukan akibat hasil pertimbangan filosofis seperti di Eropa dan Amerika, maupun akibat dari penjajahan Jepang. Cina memutuskan untuk mengadopsi sistem ekonomi Kapitalisme sekitar 30 tahun lalu karena mereka percaya bahwa sistem Kapitalisme ini akan mendukung program pemerintahnya.8 Kedua: Cina juga tidak memiliki latar belakang pengalaman pertentangan kepentingan gereja di Eropa seperti perlawanan terhadap dogma gereja. Hal ini memungkinkan Cina untuk mempengaruhi model Kapitalisme mereka dengan tradisi mereka sendiri. Ketiga: ekonomi kapitalis Cina masih dalam proses sedang dibangun sejak tahun 1979, dan masih tidak lengkap. Hal ini berkaitan dengan tradisi kehati-hatian di kalangan Cina. Itu sebabnya Pemerintah Cina lebih memilih untuk mengambil langkah demi langkah dalam hal pelaksanaan Kapitalisme. Lebih jauh lagi, pemerintah Cina mencoba untuk belajar dari dan tidak mengulangi pengalaman buruk dari negara-negara kapitalis lain.
Yang pasti semua model Kapitalisme yang ada saat ini maupun pada masa lalu sangat jelas memiliki fondasi yang sama. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa ada kemungkinan teoretis bahwa masalah ekonomi dunia saat ini disebabkan oleh fondasi Kapitalisme tersebut.
Dulu model Kapitalisme Eropa mampu menarik masyarakat keluar dari kemiskinan antara tahun 1960-an dan 1980-an. Prestasi ini menakjubkan. Namun, model Kapitalisme Eropa atau “demokrasi sosial” Eropa tidak akan bertahan. Sistem kesejahteraan yang menjadi kunci dalam menghapuskan kemiskinan ternyata menuntut sumberdaya lebih besar dari apa yang negara mampu kumpulkan melalui pajak. Kekakuan dalam perekonomian karena tingginya tingkat campur tangan pemerintah yang sangat tinggi dalam pasar bebas merupakan faktor penyebab. Ini terlihat dari terhambatnya pertumbuhan ekonomi dan berkonsekuensi timbulnya pengangguran.
Setelah menjadi jelas bahwa model komunis pun mengalami nasib dan menghadapi masalah yang sama, atau lebih tepatnya lebih besar, Eropa kini mulai bergerak dan berpikir untuk menjauh dari model Kapitalismenya. Benua Eropa mulai menyebut model baru “Jalan Ketiga”, yang dicetuskan politisi seperti Tony Blair di Inggris, Gerhard Schroeder di Jerman dan Wim Kok di Belanda. Pada praktiknya, model baru ini berarti menghilangkan campur tangan pemerintah dalam pasar bebas yang selama ini didefinisikan demokrasi sosial. Ini memiliki dua konsekuensi yang terkait.
Model Jepang juga mampu untuk menarik dasarnya setiap orang dalam masyarakat keluar dari kemiskinan. Hal ini disebabkan adanya kerjasama dan koordinasi antara pemerintah dan bisnis, dan kuatnya tradisi loyalitas pemodal dan pekerja. Namun, bahkan lebih buruk dari Eropa, model Kapitalisme Jepang seperti ini membutuhkan dan dibangun dengan utang yang sangat besar untuk melakukan ini. Saat ini utang negara Jepang berada pada sekitar 228% dari GDP: yang tertinggi di dunia! (Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Debt-to-GDP_ratio)
Masalah Eropa saat ini adalah tingginya hutang pemerintah yang terus meningkat. Krisis ekonomi sejak tahun 2007 telah banyak membuat dunia keuangan khawatir apakah negara-negara Eropa akan dapat mengendalikan hutangnya pada masa depan. Kekhawatiran ini memicu naiknya tingkat suku bunga di negara-negara Eropa untuk meredam persepsi risiko yang tinggi. Upaya pembayaran bunga yang tinggi tersebut benar-benar menguras begitu banyak sumberdaya dari negara-negara ini sehingga memaksa mereka untuk mengurangi biaya-biaya lain, alias penghematan. Hal ini menyebabkan pengurangan konsumsi secara keseluruhan, dan semakin menahan aktivitas ekonomi lebih lanjut di negara tersebut. Lebih parahnya lagi, laju ekonomi yang rendah berarti berkurangnya pemasukan pajak yang bisa diambil oleh pemerintah, sehingga memutar lingkaran setan sekali lagi.
Jadi jelas, tingginya rasio hutang terhadap GDP (penghasilan domestik bruto) seperti di Jepang tidak akan dapat dilanjutkan selamanya. Pada satu titik tertentu, investor akan menolak untuk meningkatkan pinjaman mereka ke Jepang, kecuali termotivasi untuk melakukannya dengan suku bunga yang jauh lebih tinggi lagi. Jepang kemudian harus menghemat biaya dengan sangat cepat yang akan menyebabkan kejatuhan ekonomi. Inilah jalan yang akan Jepang tuju. Di lain sisi yang tidak kalah getirnya, Jepang bisa saja berupaya untuk menghentikan hutangnya hari ini untuk mencegah jatuh ke dalam perangkap kematian. Namun, kemiskinan akan kembali terlihat di Jepang keesokan harinya karena pemerintahnya harus memotong biaya pengeluarannya.
Dalam lingkungan “pasar bebas kapitalis terbebas” seperti model Amerika dan Inggris, ketimpangan pendapatan dan kemiskinan merupakan keharusan dari model Kapitalisme ini. Sebagai contoh, sejak 1959 rata-rata 14% warga Amerika telah hidup di bawah garis kemiskinan.9 Amerika dan Inggris juga telah melihat meningkatnya hutang secara terus-menerus. Perekonomian Amerika saat ini bernilai sekitar 15 triliun dolar. Namun, total hutang dalam perekonomiannya berada pada sekitar 279% dari jumlah itu, sekitar $ 42 trilliun dolar!10 Dengan kata lain, model Kapitalisme Amerika/Inggris tidak akan mampu menjadi solusi bagi sebagian besar masyarakat luas dan tidak lebih stabil daripada model Eropa atau Jepang (Sumber: www.gfmag.com/tools/global-database/economic-data/11855-total-debt-to-gdp.html# axzz20hoAOeX3)
Selama pelaksanaan Kapitalisme, Cina belum berupaya untuk mencegah naiknya konsentrasi kekayaan. Cina bahkan kini terus bergerak ke arah ekonomi kapitalis murni, dengan ketimpangan kekayaan di sana lebih tinggi ketimbang Amerika. Saat ini kesenjangan kekayaan Cina peringkat di antara yang tertinggi di dunia, jauh melebihi yang dari Amerika.11
Maka terlihatlah, bahwa masalah ekonomi yang terlihat sekarang adalah ciri khas Kapitalisme. Di antaranya adalah utang meningkat, konsentrasi kekayaan dan timbulnya kemiskinan.
Walhasil, Kapitalisme memiliki masalah sistemik dengan kemiskinan. Kapitalisme, diutak-atik bagaimanapun, tidak akan dapat memecahkan masalah sistemiknya.
Untuk menghentikan tren meluasnya kemiskinan rakyat Eropa dan dunia umumnya, kita membutuhkan sistem baru, yang merupakan alternatif dari Kapitalisme, yaitu sistem yang dibangun di atas fondasi yang berbeda dari Kapitalisme.
Catatan kaki:
1 www.guardian.co.uk/society/blog/2012/jun/20/breadline-britain-day-three-austerity-hungry-kids-mental-health
2 www.guardian.co.uk/society/2012/apr/26/food-bank-double-families-breadline
3 The Financial Times memiliki bagian khusus di situsnya yang didedikasikan untuk topik: www.ft.com/mendalam/Kapitalisme-masa depan
4 “Sebuah kritik dari teori hukum alam”, www.newcivilisation.com/home/ ide-filsafat / a-kritik-of-alam-hukum teori
5 Lihat, misalnya, “Para filsuf duniawi: Kehidupan, waktu dan ide-ide dari para pemikir ekonomi yang besar” oleh Robert L. Heilbroner.
6 Ibidem catatan kaki 6.
7 Lihat, misalnya, “Sebuah Pekerjaan Tanpa Pasukan: Setengah Abad Dominasi Wall Street Politik Jepang” oleh Glenn Davis dan John G. Roberts.
8 “Menghindari BABI dan Bergabung dengan BRICs: Pelajaran untuk Fast-Growing
9 www.census.gov / hhes / www / kemiskinan / data / sejarah / people.html
10 “Total hutang di beberapa negara di seluruh dunia”, Global Finance.
11 “Mempersempit kesenjangan kekayaan”, China Daily, www.chinadaily.com.cn/thinktank/2011-03/07/content_12125760.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar