[49] Kebijakan Khilafah Di Bidang Energi |
Tuesday, 01 March 2011 16:52 |
Oleh: Hafidz Abdurrahman, Lajnah Tsaqafiyah DPP HTI Negeri kaum Muslim telah menjadi ajang pertarungan kolonial selama lebih dari satu abad. Itu tak lain, karena dunia Islam tidak pernah kekurangan sumberdaya energi yang sangat dibutuhkan bagi industrialisasi. Sayangnya, negeri-negeri Muslim itu memperlihatkan potret yang penuh paradoks, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Indonesia. Negeri yang kaya akan energi ini, ternyata tidak bisa menjamin kelangsungan kebu-tuhannya akan energi. Pabrik pupuk di Aceh terpaksa gulung tikar karena kekurangan pasokan gas. Listrik byar pet karena PLN tidak mampu memenuhi kebu-tuhan energi untuk pembangkitnya. Kalau kebijakan terbaru berlaku, rakyat harus membayar mahal BBM, yaitu Rp 6.500 per liter. Kondisi ini tentu tidak hanya berdampak pada pemilik kendaraan tetapi juga kepada rakyat jelata. Ongkos-ongkos akan naik karena kenaikan komponen biaya transportasi. Padahal, energi ini adalah milik mereka, tetapi ironisnya mereka tidak bisa menikmatinya. De-ngan alasan pencabutan subsidi BBM, rakyat sebagai pemilik sah, dipaksa memberikan hak miliknya, sementara untuk itu, mereka tidak mendapatkan kompensasi apapun. Tragisnya lagi, mereka masih harus membayar pajak untuk membiayai apa yang disebut sebagai pembangunan, yang ti-dak pernah mereka rasakan. Inilah potret yang penuh paradoks. Potret ini sesungguhnya terjadi karena kebijakan yang dipilih terkait dengan pe-ngelolaan energi itu salah. Kesa-lahan ini terjadi karena penguasa kaum Muslim tidak pernah me-mikirkan rakyat, kecuali diri, kroni, partai dan kekuasaan me-reka sendiri. Mari kita buktikan, negeri-negeri kaum Muslim mempunyai kekuatan energi yang luar biasa: 1. Sebanyak 74 persen ca-dangan minyak dunia, yakni le-bih dari setengah cadangan seluruh dunia, jika dikombinasi-kan, berada dalam tanah kaum Muslim. Dunia Muslim memom-pa 42 persen dari kebutuhan harian minyak dunia. 2. Sebanyak 54 persen dari cadangan gas dunia ada di negeri Muslim, dan memompa 30 persen kebutuhan harian gas dunia. 3. Arab Saudi memiliki la-dang minyak Ghawar, yang me-rupakan ladang minyak terbesar di dunia. 4. Iran dan Qatar memiliki ladang South Pars North Dome. Yang terletak di Teluk Persia adalah ladang gas terbesar di dunia. 5. Iran juga memiliki ca-dangan gas alam terbesar di dunia setelah Rusia. 6. Kuwait, negara-kota yang kecil, memiliki 10 persen cadangan minyak dunia. 7. Pembangkit Shoaiba dan tempat desalinasi adalah kompleks pembangkit Combine Cycle Gas Turbine (CCGT), Desa-linasi di Arab Saudi, pembangkit listrik terbesar di dunia berbahan bakar fosil, serta pembangkit air dan listrik terintegrasi ketiga ter-besar di dunia. 8. Kazakhstan adalah pro-dusen uranium terbesar di dunia setelah Australia. Kazakhstan sa-ja memiliki 20 persen uranium dunia. 9. Pakistan memiliki ca-dangan batubara terbesar sete-lah Amerika Serikat. Ladang batubara Thar di Sindh adalah ladang batubara terbesar di dunia. 10. Pembangkit Brunei Li-quefied Natural Gas (BLNG), diba-ngun pada tahun 1972, adalah ladang gas alam cair terbesar di dunia. 11. Qatar, Indonesia dan Malaysia adalah negara eksportir gas alam cair (LNG) terbesar dunia. Ironisnya, walaupun memi-liki banyak kelebihan seperti itu, negeri-negeri kaum Muslim memiliki infrastruktur energi yang buruk, di mana banyak rakyatnya hidup tanpa listrik, seperti di pulau-pulau di luar Jawa. Di Arab Saudi dan negara-negara Teluk, dengan infrastruktur energi yang telah maju saja, banyak dari pen-duduknya yang hidup dalam kemiskinan. Bahkan, di Saudi 50 persen rakyatnya tidak mempu-nyai rumah. Di Indonesia, lebih dari 30 juta penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan. Meskipun produksi minyak dan konsumsinya akan terus me-ningkat, selama 30 tahun ter-akhir, sangat sedikit kilang yang dibangun di seluruh dunia. Wila-yah yang memiliki cadangan minyak terbesar (61 persen) dan memompa 31 persen minyak dunia, yakni Timur Tengah, hanya bisa menyuling 8 persen dari jumlah itu; 76 persen minyak dunia disuling di daerah dengan sedikit sumber minyak, tetapi dengan permintaan minyak yang meningkat. Amerika menyuling 20 persen minyak dunia, semen-tara Eropa menyuling 22 persen minyak dunia dan Timur Jauh 27 persen dari minyak dunia. Karena itu, meski dunia Is-lam mempunyai cadangan mi-nyak yang besar, pada dasarnya hal itu tidak ada gunanya karena tidak mampu memproduksi dan menjadikannya sebagai sumber kekuatan. Karena alasan ini seba-gian besar minyak disalurkan untuk Timur Jauh dan Eropa un-tuk bisa disuling, lalu produknya dijual kembali ke negeri-negeri Muslim. Kondisi ini terjadi karena tidak adanya political will dari para penguasannya untuk me-ngurusi urusan rakyatnya, serta intervensi asing dalam kebijakan pengelolaan energi. Negara Khilafah Minyak dan gas adalah dua komoditas yang paling penting di dunia. Laju industrialisasi ber-gantung pada tingkat keterse-diaan energi. Bahkan pertanian modern bergantung pada gas alam sebagai bahan baku pem-buat pupuk. Sumber-sumber itu sangat penting untuk kehidupan masyarakat, yang berarti bahwa keuntungannya harus dinikmati bersama oleh masyarakat dan tidak dapat diprivatisasi. Kebijakan energi Negara Khilafah harus diadopsi dengan memperhatikan realitas sebagai berikut:
Selain itu, hal yang paling mendasar adalah bahwa energi ini merupakan hak umum (public ownership), sehingga tidak boleh diprivatisasi. Sebaliknya, Negara Khilafah harus bisa menjamin kebutuhan rakyat akan energi ini dan menjadikannya sebagai sumber kekuatan negara. Karena itu, pengelolaan energi harus diintegrasikan dengan kebijakan negara di bidang industri dan bahan baku sehingga masing-masing tidak berjalan sendiri-sendiri. Untuk memenuhi konsum-si kebutuhan domestik rakyat-nya, Negara Khilafah bisa me-nempuh dua kebijakan: Pertama, mendistribusikan minyak, gas dan energi lainnya kepada rakyat dengan harga murah. Kedua, mengambil keuntungan dari pe-ngelolaan energi untuk menja-min kebutuhan rakyat yang lain-nya, seperti pendidikan, kesehat-an, keamanan termasuk terpenu-hinya sandang, papan dan pa-ngan. Dengan begitu, Negara Khi-lafah benar-benar akan bisa mengelola energinya secara mandiri dan tidak diintervensi oleh negara manapun. Jika itu terjadi, maka hasil dari penge-lolaan energi itu bukan hanya akan membawa kemakmuran bagi rakyatnya tetapi juga men-jadi kekuatan bagi negara. Nega-ra bukan saja mengalami swa-sembada energi tetapi juga bisa menjadikan energinya sebagai kekuatan diplomasi, sebagai-mana yang dilakukan oleh Rusia terhadap Uni Eropa dan AS. Untuk itu, Negara Khilafah sejak pertama kali berdiri segera melakukan pengembangan in-frastruktur energi yang diperlu-kan untuk menjamin kebutuhan-nya dan memastikan agar energi tersebut tidak keluar dari negara dan jatuh ke tangan negara-negara penjajah. Selain itu, pengembangan infrastruktur ini kenyataannya akan menciptakan berjuta-juta lapangan pekerjaan yang akan mengangkat berjuta-juta orang keluar dari kemiskinan di dunia Muslim. Pada gilirannya pe-ngembangan energi akan mem-berikan efek luar biasa dengan merangsang ekonomi yang lebih luas melalui pengembangan industri berat, kompleks-kom-pleks manufaktur, industri-indus-tri militer, industri-industri pe-nyulingan dan pabrik-pabrik.[] |