KENISCAYAAN BENTURAN PERADABAN
HIZBUT TAHRIR
SHAFAR 1423 H – MEI 2002 M
----------------------------------------------------------------------------------
Judul Asli : Hatmiyyah Shira’ Al Hadharat
Dikeluarkan oleh : Hizbut Tahrir, Shafar 1423 H – Mei 2002
Penerjemah : Abu Faiz
Penyunting : Muhammad Shiddiq Al-Jawi
----------------------------------------------------------------------------------
Daftar Isi
Definisi Peradaban……………………………………………………………
Definisi Dialog Antar Peradaban……………………………………………
Konsep Persamaan Antar Peradaban………………………………………
Konsep Menerima Pendapat Lain……………………………………………
Konsep Peradaban Alternatif…………………………………………………
Benturan Peradaban :
Sejarah Benturan Peradaban Islam dengan Peradaban Lain…………
Bentuk-Bentuk Benturan Peradaban :
1. Pertarungan Pemikiran……………………………………………………..
2. Pertarungan Ekonomi……………………………………………………….
3. Pertarungan Politik………………………………………………………….
4. Konflik Militer…………………………………………………………………
Kerancuan Paham Orang-Orang yang Menyangkal Keniscayaan Benturan Peradaban………………………………………..………………….
Bantahan Atas Kerancuan Para Penyangkal
Kewajiban Jihad Ofensif (Jihad Ath Thalab)………………………………
Kesimpulan……………………………………………………..………………
Definisi Peradaban (Hadlarah)
Peradaban (hadlarah) adalah sekumpulan konsep (mafahim) tentang kehidupan. Peradaban bisa berupa peradaban spiritual ilahiyah (diiniyyah ilahiyyah) atau peradaban buatan manusia (wadl’iyyah basyariyyah). Peradaban spiritual ilahiyah lahir dari sebuah ideologi (‘aqidah), sebagaimana peradaban Islam yang lahir dari aqidah Islamiyah. Sedangkan peradaban buatan manusia muncul dari sebuah ideologi, seperti misalnya peradaban kapitalis Barat, yang merupakan sekumpulan konsep tentang kehidupan yang muncul dari ideologi sekularisme. Peradaban semacam ini bisa pula tidak berasal dari sebuah ideologi, semisal peradaban Shinto, Yunani, Babilonia, dan Mesir Kuno. Peradaban-peradaban tersebut sekedar merupakan sekumpulan konsep yang disepakati sekelompok manusia, sehingga menjadi sebuah peradaban yang bersifat kebangsaan.
Selain itu, seseorang atau sekelompok manusia bisa jadi memeluk suatu agama sekaligus mengikuti ideologi tertentu, karena agama tersebut tidak memiliki konsep yang menyeluruh tentang kehidupan, seperti agama Nasrani atau Budha. Orang-orang tersebut menganut konsep-konsep kehidupan yang membentuk peradaban mereka, sekalipun konsep-konsep tersebut tidak berhubungan dengan agama mereka. Dengan demikian, peradaban mereka bukan merupakan peradaban ilahiyah, sekalipun pada faktanya mereka memeluk suatu agama. Oleh karena itu, berbagai kelompok manusia dari berbagai agama dan bangsa – seperti orang Jepang, Hindu, Sikh, dan Prancis – bisa jadi mempunyai satu peradaban. Bangsa dan agama mereka berbeda, tetapi peradaban mereka hanya satu, yaitu kapitalisme.
Sedangkan benda-benda yang digunakan dalam urusan kehidupan bukan merupakan peradaban, sekalipun tak jarang benda-benda tersebut berasal dari peradaban tertentu. Untuk membedakannya dengan sekumpulan konsep kehidupan (hadlarah atau peradaban), benda-benda inderawi tersebut bisa disebut dengan istilah madaniyyah. Bila benda-benda tersebut dihasilkan dari peradaban tertentu, patung misalnya, maka mereka merupakan bagian dari madaniyyah khusus. Sementara benda-benda yang dihasilkan dari ilmu pengetahuan dan industri merupakan bagian dari madaniyyah umum, seperti televisi, roket, pesawat terbang, penisilin, dan sebagainya. Jadi, madaniyyah bisa bersifat khusus maupun umum. Berbeda dengan peradaban yang – tidak bisa tidak – mesti bersifat khusus. Makna pengkhususan (khususiyyat) itu berkaitan dengan boleh tidaknya kaum Muslimin mengambil atau mengikutinya. Kaum Muslimin tidak diperbolehkan mengambil madaniyyah yang bersifat khusus, sedangkan yang bersifat umum boleh diambil atau diikuti.
Perbedaan antara peradaban dan madaniyyah harus senantiasa diperhatikan. Begitu pula, perbedaan antara bentuk-bentuk madaniyyah yang dipengaruhi oleh suatu peradaban dengan bentuk-bentuk madaniyyah yang berasal dari perkembangan ilmu pengetahuan dan industri harus selalu diperhatikan. Hal ini dimaksudkan agar pada saat akan mengambil suatu madaniyyah, kita dapat membedakan bentuk-bentuknya serta dapat membedakannya dengan peradaban. Tidak ada larangan bagi kaum Muslimin untuk mengambil berbagai bentuk madaniyyah Barat yang dihasilkan dari ilmu pengetahuan dan industri. Akan tetapi, madaniyyah Barat yang dipengaruhi oleh peradaban Barat bagaimanapun juga tidak boleh diambil, karena jelas-jelas bertentangan dengan peradaban Islam yang berlandaskan aqidah Islamiyah. Aqidah Islam sama sekali berbeda dengan ideologi Barat yang berlandaskan asas kompromi dan pemisahan agama dari kehidupan. Peradaban Islam menjadikan halal dan haram sebagai ukuran, sedangkan peradaban Barat menjadikan manfaat sebagai timbangan setiap perbuatan. Demikian pula, makna kebahagiaan dalam peradaban Islam adalah mencari keridlaan Allah, sementara kebahagiaan dalam perspektif Barat adalah kenikmatan duniawi.
Agar kaum Muslimin sadar sepenuhnya mengenai hal-hal yang boleh diambil dan tidak boleh diambil, maka perlu dilakukan pemisahan antara peradaban dengan madaniyyah, serta pembedaan antara madaniyyah yang dihasilkan konsep-konsep kehidupan tertentu dengan madaniyyah yang murni berasal dari ilmu pengetahuan dan teknologi.
Mungkin ada yang bertanya, mengapa digunakan istilah hadlarah untuk menyebut sekumpulan konsep kehidupan dan istilah madaniyyah untuk bentuk-bentuk fisik, dan mengapa bukan sebaliknya? Secara lughawi, hadlarah adalah tempat tinggal di suatu wilayah yang beradab (seperti kota), sedangkan al-hadhir adalah orang-orang yang tinggal di kota-kota dan desa-desa. Al Qatami pernah berkata, “Siapa pun senang tinggal di kota. Kaum Badui mana yang akan berkunjung kepada kami?”
Sedangkan madana di suatu tempat berarti disanalah ia tinggal, dan madina berarti tiba di kota (madinah). Dengan demikian kedua kata tersebut mempunyai makna yang hampir sama. Untuk menjawab pertanyaan di atas, maka dapat dijelaskan bahwa kata hadlarah seringkali digunakan untuk menyebut hal-hal yang berkaitan dengan pemikiran, sehingga lebih sesuai untuk memaknai sekumpulan konsep tentang kehidupan. Disebutkan dalam ‘Al-Qamus’ bahwa hadlurah mirip dengan nadusa, yaitu orang yang fasih berbicara (bayan) dan berpengetahuan (fiqh). Sedangkan dalam kitab ‘Al-Lisan’ dikatakan, ‘seorang yang hadlr bermakna fasih berbicara, dan seorang disebut hadlir bila ia membawa sesuatu yang baik. Disebutkan pula dalam Al-Lisan, bahwa di dalam hadits dikatakan, ‘Katakan yang yadlurukum, yaitu yang ada pada dirimu dan jangan menyusahkan dirimu dengan yang lain.’ Dengan demikian, kata hadlarah lebih dekat, lebih konsisten, dan lebih tepat digunakan untuk menyebut sekumpulan konsep kehidupan daripada kata madaniyyah, dan istilah madaniyyah lebih tepat digunakan untuk menyebut bentuk-bentuk fisik. Selain itu, tidak perlu ada pertentangan yang lebih jauh mengenai penggunaan kedua istilah tersebut. Yang lebih penting adalah pemisahan antara sekumpulan konsep dengan benda-benda fisik yang dihasilkannya, serta pemisahan antara benda-benda fisik yang lahir dari konsep-konsep tersebut dengan benda-benda fisik yang murni berasal dari penemuan ilmiah, ilmu pengetahuan, dan industri. Benda-benda yang disebutkan pertama kali tidak boleh diambil, sedangkan benda-benda yang disebutkan kemudian boleh diambil oleh kaum Muslimin.
Telah dikatakan bahwa peradaban adalah sekumpulan konsep tentang kehidupan; bisa berupa peradaban spiritual ilahiyah (diiniyyah) dan bisa pula berupa peradaban buatan manusia. Contoh peradaban diiniyyah adalah peradaban Islam, sedangkan contoh peradaban buatan manusia adalah peradaban India atau peradaban Barat. Keberadaan peradaban-peradaban tersebut merupakan suatu hal yang pasti dan menjadi fakta yang terbantahkan. Demikian pula, perbedaan di antara peradaban-peradaban itu merupakan suatu fakta yang tidak bisa diingkari, kecuali oleh para pendusta. Sumber peradaban diiniyyah – menurut para penganutnya – adalah wahyu, sedangkan sumber peradaban buatan manusia adalah orang-orang yang sepakat dengan konsep-konsepnya. Hal ini saja cukup untuk memisahkan dan membedakan kedua macam peradaban ini. Bahkan sekalipun kemudian nampak berbagai bentuk kesamaan konsep, yang terjadi bukan karena adanya suatu kesepakatan atau kesamaan pemikiran. Ini disebabkan karena peradaban – ketika diambil atau diikuti – harus diambil sekaligus dengan landasan darimana ia berasal atau landasan tempat ia dibangun. Jadi bila landasan kedua peradaban berbeda, maka adanya kesamaan sejumlah konsep atau kemiripan beberapa konsep tentang kehidupan, menjadi perkara yang tidak perlu diperhatikan. Hal ini disebabkan karena konsep hanya merupakan cabang dari landasannya (ashl), dan ia tidak dapat diambil kecuali dengan landasannya. Baik peradaban Islam maupun peradaban Barat membolehkan orang memakan ikan, mengenakan pakaian dari bahan wol, memiliki harta pribadi, menjadikan wanita sebagai wakil ummat, mengoreksi penguasa, dan meminum obat. Namun demikian, hal-hal tersebut serta segala sesuatu yang mirip dengannya tidak dianggap sebagai bagian dari peradaban Islam, kecuali hal-hal tersebut berasal dari wahyu Allah SWT kepada Rasulullah Muhammad SAW, atau dengan kata lain berasal dari syariat. Sementara hal-hal yang sama diambil oleh peradaban Barat semata-mata karena adanya kepentingan (maslahat) atau karena disukai oleh pikiran para penganutnya. Bila seorang muslim mengambil hal-hal tersebut semata-mata karena adanya kepentingan atau karena pertimbangan rasionalnya, maka ia tidak dianggap menganut peradaban Islam.
Perbedaan antara berbagai peradaban merupakan fakta yang tidak mungkin dibantah. Yang perlu kita bahas adalah perbedaan antara peradaban Islam dengan peradaban lainnya, khususnya peradaban Barat, serta hal-hal yang muncul akibat perbedaan tersebut, seperti masalah-masalah dialog antar peradaban (al-hiwar), benturan/perang (ash-shira’), kemungkinan adanya satu peradaban universal, bentuk dan tipe benturan yang terjadi, dan akankah benturan itu berakhir, atau tersembunyi, atau akankah ada yang menjadi pemenang dalam benturan peradaban itu? Apa yang dimaksud dengan dialog antar agama dalam pandangan orang-orang yang menyerukannya, dan bagaimana pendapat yang benar mengenai hal itu? Apa perbedaan antara agama dan peradaban? Dan sebagainya.
Ada dua macam agama di dunia, yaitu agama (ad-diin) yang darinya lahir suatu peradaban – karena memiliki konsep yang menyeluruh tentang kehidupan – seperti diinul Islam; dan agama yang tidak melahirkan suatu peradaban – karena tidak memiliki konsep yang menyeluruh tentang kehidupan – seperti agama Nasrani. Sekalipun agama tersebut memiliki aturan-aturan semisal ‘Jangan mencuri dan jangan melakukan zina’, namun ia tidak memiliki konsep yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Dengan demikian, agama Nasrani merupakan suatu contoh agama yang tidak melahirkan peradaban.
Peradaban kapitalis tidak berasal dari agama Nasrani, sekalipun peradaban itu muncul dari negeri-negeri yang mayoritas dihuni oleh orang-orang yang beragama Nasrani. Jadi, dialog atau benturan atau kemitraan antara Islam dan Nasrani berbeda dengan dialog atau benturan antara peradaban Islam dan kapitalis.
Definisi Dialog (al-Hiwar) antar Peradaban
Manakala kita menyebutkan istilah dialog atau benturan, maka maksudnya adalah, bahwa kaum Muslimin, diin mereka, serta peradaban mereka di satu sisi; sedangkan kaum Nasrani dan agama mereka, serta kaum kapitalis dan peradaban mereka ada pada sisi yang lain.
Adalah para pemimpin dan pemikir kapitalis yang acapkali berusaha memisahkan Islam dari para pemeluknya, atau antara Islam dengan kaum Muslimin. Mereka sering mengatakan bahwa Islam adalah agama yang besar, tetapi kaum Muslimin adalah kaum yang terbelakang, bahkan beberapa diantaranya merupakan teroris yang kejam. Sesungguhnya mereka adalah para pendusta. Mereka menyatakan Islam sebagai agama yang besar sehingga layak untuk mereka anut. Namun di lain pihak mereka berupaya menipu sebagian kaum Muslimin serta berusaha meredam kebencian kaum Muslimin, pada saat mereka menghujat segolongan Muslim yang taat, atau ketika mereka berusaha menyebarluaskan konsep-konsep peradaban kufur mereka kepada kaum Muslimin. Mereka sadar sepenuhnya bahwa aqidah Islam tetap terpatri dalam jiwa kaum Muslimin, bahkan mayoritas diantaranya masih memegang kuat aqidah Islamiyah. Jadi, bila mereka menyatakan kedengkiannya terhadap Islam secara terbuka, sama artinya mereka menghasut dan memprovokasi bangkitnya kaum Muslimin. Oleh karena itu mereka menggunaan kata-kata yang lunak sebagai senjata untuk membius kaum Muslimin dan memperdayakannya. Sebagian kaum Muslimin menyantap umpan ini dan bersedia berdialog dengan kaum Nasrani dan para kapitalis, yang didukung oleh para intelektual yang menjadi agen-agen mereka. Mereka mengkonsentrasikan dialog ini pada tiga hal utama. Pertama, persamaan antar agama dan peradaban dalam dialog, tanpa adanya agama atau peradaban yang lebih unggul dan lebih baik daripada yang lain. Kedua, bahwa dialog tersebut dibatasi hanya sebagai ajang untuk mengetahui pendapat pihak lain, bukan dimaksudkan untuk menyanggah atau membuktikan kesalahannya. Ketiga, dialog itu bertujuan menciptakan suatu peradaban alternatif dengan cara mencari titik temu dan persamaan antara kedua agama dan kedua peradaban.
Inilah makna dialog dalam pandangan mereka. Sedangkan tujuannya – menurut mereka – adalah agar terjadi “interaksi yang produktif antar budaya yang khas, untuk membentuk suatu peradaban alternatif yang unggul, yang membuat suatu pihak dapat menerima pihak yang lain atas dasar landasan yang sama.” (Dr. Milad Hana dalam suatu debat kultural yang diadakan di Kairo pada hari Senin, 2/4/2001). Demikian juga, “Setiap peradaban harus selalu berusaha mencari titik temu dan persamaan di antara mereka, dan segala sesuatu yang bersifat manusiawi harus dikembangkan dan ditumbuh-suburkan, sehingga perdamaian akan tersebar luas.” (Dr. Ja’far Abdussalam, Sekretaris Jenderal Konferensi Universitas Islam). Bahkan di antara mereka ada yang sampai menyatakan, “Islam adalah agama interaksi dan agama kemajuan, dan bukan seperti kata mereka bahwa Islam adalah agama masa lalu dan agama isolasi. Sebaliknya, masa keemasan Islam dan kaum Muslimin terjadi ketika peradaban Islam berinteraksi dengan peradaban lain di dunia; dan ketika Islam tersebar luas ke seluruh dunia, Islam mengambil dan mempunyai ruang bagi seluruh warisan peradaban dunia dan berbagai peradaban manusia lainnya, serta memberikan warisan dan peradabannya. Inilah masa keemasan Negara Islam.” (pidato Dr. Qasim Jafar, pada suatu lingkar studi tentang ‘Perang Pertama di Abad Ini’ pada stasiun TV Al-Jazeera, dengan tajuk ‘Ledakan di Amerika: Menjadi Pendorong bagi Dialog atau Perang Peradaban?’ tanggal 29/9/2001). Lebih lanjut ia mengatakan, “Adalah tugas kita sebagai bangsa Arab dan kaum Muslimin untuk menjauhkan diri dari masalah ini . . . menjadi tugas kita untuk memiliki kepercayaan pada diri kita, pada peradaban kita, dan pada sejarah dan peninggalan kita, sehingga dapat tampil ke dunia pada posisi yang sama, bukan pada posisi sebagai pengekor ...” Ada pula yang berkata, “Peradaban Islam dibangun atas dasar landasan yang sama dengan peradaban-peradaban dunia lainnya, sehingga Islam dapat menerima keberadaan peradaban lain, dan berinteraksi dengan jalan saling memberi dan menerima.” (Amru Abdulkarim, seorang pengamat politik, dalam situs IslamOnline.net). Ada pula yang berusaha menggunakan ayat-ayat Kitab Suci Al Qur’an sebagai dalil untuk dialog antar peradaban. Ia berkata, “Dan kitab suci kita, Al Qur’an, menekankan perlunya dialog dengan pihak lain, yakni dialog dengan kaum musyrikin,
“Dan jika seorang di antara kaum musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah.” (QS At-Taubah: 6),
atau dialog dengan kaum kafir,
“Katakanlah, hai orang-orang kafir” (QS Al Kafirun: 1),
atau dialog dengan agama-agama yang ada dan diakui di dunia,
“Katakanlah, ‘Hai ahli kitab, marilah menuju suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak ada yang kita sembah kecuali Allah, dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun, dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan.” (QS Ali Imran: 64).
Dialog dalam posisi yang sama . . . Saya memandang bahwa tidak mungkin ada peperangan yang abadi, karena kita adalah kaum Muslimin. Saya menukil sebuah ayat Al Qur’an,
“Marilah menuju suatu kalimat yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu.” (QS Ali Imran: 64).
Ayat ini bermakna bahwa tidak mustahil kita berdialog dengan kaum Nasrani, kita berdialog dengan kaum Yahudi, dan kita berdialog dengan yang lain. Mengapa? Karena ada kalimat yang sama di antara kita; kita tidak berdialog untuk mencari kebenaran yang sepihak.” (Ata-Allah Muhajirani, Ketua Penasihat Dialog Antar Peradaban dalam lingkar studi yang sama di stasiun TV Al-Jazeera).
Ada pula orang-orang yang menyerukan dialog antar agama untuk mencari titik temu antara mereka, dan membiarkan perbedaan-perbedaan di antara mereka. Tujuannya hanya sekedar untuk membius kaum Muslimin dari kenyataan adanya benturan. Mereka selalu menyeru kepada kaum Muslimin untuk menyebut diri sebagai “anak-anak Ibrahim” dengan maksud untuk memperkuat keinginan melakukan dialog antara tiga agama semata-mata atas dasar bahwa mereka sama-sama berasal dari keturunan Nabi Ibrahim AS. Ada pula segolongan muslim yang selalu menjadikan ayat Qur’an sebagai dalil bahwa semua Nabi beragama Islam, sebagaimana firman-Nya melalui lisan Nabi Nuh,
“Dan aku diperintahkan supaya menjadi yang pertama-tama Muslim.” (QS Az-Zumar: 12),
atau melalui lisan Nabi Ibrahim dan Ismail,
“Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang Muslim (yang tunduk dan patuh) kepada-Mu.” (QS Al Baqarah: 128),
atau tentang kisah kaum Nabi Luth,
“Dan kami tidak mendapati di negeri itu, kecuali sebuah rumah dari orang-orang Muslim.” (QS Adz-Dzariyaat: 36),
dan melalui lisan kaum hawariyyin (murid-murid Nabi Isa),
“Dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang Muslim.” (QS Ali Imran: 52)
Barangkali ada juga orang-orang yang mengatakan bahwa kaum Nasrani dan kaum Yahudi adalah orang-orang Muslim, dan ada juga yang mengatakan bahwa penganut ketiga agama itu adalah ummat yang beriman (mukmin) sekalipun dengan jelas ayat-ayat Al Qur’an menyatakan dengan gamblang bahwa kaum Yahudi dan kaum Nasrani merupakan kaum kafir, seperti firman-Nya,
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasulNya, dan bermaksud membedakan antara Allah dan rasul-rasulNya dengan mengatakan bahwa ‘Kami beriman kepada yang sebagian (dari rasul-rasul itu) dan kami ingkar terhadap sebagian yang lain’ serta bermaksud mengambil jalan lain di antara yang demikian. Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan bagi orang-orang kafir tersebut siksaan yang menghinakan.” (QS An Nisa’: 150-151)
Dan juga firman-Nya,
“Orang-orang kafir dari golongan ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata, (yaitu) seorang rasul dari Allah yang membacakan lembaran-lembaran yang disucikan (Al Qur’an).” (QS Al Bayyinah: 1-2),
Demikian juga,
“Katakanlah, ‘Hai ahli kitab, mengapa kamu ingkari ayat-ayat Allah, padahal Allah Maha Menyaksikan apa yang kamu kerjakan.” (QS Ali Imran: 98)
“Orang-orang kafir dari ahli kitab dan orang-orang musyrik tidak menginginkan diturunkannya suatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu. Dan Allah menentukan siapa yang dikehendakinya (untuk diberi) rahmat-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS Al Baqarah: 105)
Atau,
“Hai ahli kitab, mengapa kamu mengingkari ayat-ayat Allah, padahal kamu mengetahui (kebenarannya)?” (QS Ali Imran: 70)
Demikian pula,
“Dan karena kekafiran mereka dan tuduhan mereka terhadap Maryam dengan kedustaan yang besar.” (QS An Nisa’: 156)
Demikian juga firman Allah SWT dalam Al Qur’an,
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang mengatakan bahwasannya Allah salah satu dari yang tiga.” (QS Al Ma’idah: 73)
Dan,
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya, dan tidak beragama dengan agama yang benar. (Yaitu orang-orang) yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh, sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (QS At Taubah: 29)
Begitu juga ayat Al Qur’an,
“Dialah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab dari rumah-rumah mereka pada saat pengusiran yang pertama.” (QS Al Hasyr: 2)
Dengan demikian, maka sesungguhnya mereka tergolong orang-orang yang kafir dan bukan termasuk orang-orang Muslim. Tidak diperbolehkan menyebut mereka sebagai muslim. Secara lughawi, Islam bermakna penyerahan diri (inqiyad), sedangkan menurut terminologi syariah, Islam bermakna diin yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW. Kita diperbolehkan menyebut Islam dalam makna lughawi kepada nabi-nabi terdahulu beserta orang-orang yang mengimani dan mengikutinya, sebelum kedatangan Nabi Muhammad SAW serta sebelum mereka menyimpangkan kitab-kitabnya. Namun kita tidak diperbolehkan menyebut mereka dengan sebutan itu setelah misi Rasulullah Muhammad SAW. Jadi siapa pun yang tidak beriman kepada Rasulullah SAW dan risalahnya adalah kafir, dan tidak diperbolehkan menyebut mereka sebagai muslim atau mukmin. Allah SWT berfirman,
“Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al Kitab dan orang-orang ummi, ‘Apakah kamu mau masuk Islam?’ Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan. Dan Allah Maha Melihat atas hamba-hambanya.” (QS Ali Imran: 20).
Sedangan Rasulullah SAW bersabda,
“Demi dzat yang jiwa Muhammad ada di tangannya, tidak seorang pun yang mendengar tentang aku dari kalangan ummat ini, Yahudi, dan Nasrani, kemudian mati tanpa mengimani segala sesuatu yang aku sampaikan, kecuali termasuk golongan penghuni neraka.”
Sedangkan Ibnu Hibban meriwayatkan sebuah hadits dari Anas tentang Caesar dari Romawi yang menulis surat kepada Rasulullah SAW dan menyatakan, “Saya adalah seorang Muslim”. Maka setelah membaca surat itu, Rasulullah berkata,
“Musuh Allah telah berdusta. Tidaklah ia menjadi seorang muslim sementara ia tetap dalam kenasraniannya.”
Amir Mousa, Sekretaris Jenderal Liga Arab, menyatakan secara gamblang bahwa ia tidak percaya bahwa ada peradaban yang lebih baik dari peradaban lainnya. Dari pernyataan itu dapat ditarik pengertian bahwa peradaban Islam tidak lebih baik dari peradaban kapitalis, Hindu, atau Yahudi. Ia mengatakan, “Kami tidak percaya adanya peradaban yang lebih baik”, pada saat ia menyanggah pernyataan Perdana Menteri Italia, Silvio Berlusconi.
Ada pula di antara mereka yang menggunakan dalil-dalil untuk menerima pandangan pihak lain tanpa batasan dan syarat tertentu, serta tanpa niatan untuk menyalahkannya. Dengan berlindung di balik ayat-ayat Qur’an dalam surat Al Kahfi, mereka mengatakan, “Dialog antar agama merupakan suatu sarana dimana seseorang yang menganut nilai-nilai, aturan-aturan, dan keyakinan-keyakinan lama akan mengetahui nilai dan keyakinan agama yang berbeda, sehingga ia mampu memahami dan memperoleh suatu pandangan filosofis yang formal, tanpa bermaksud menghakimi pihak lain . . . para pendukung dialog antar agama selalu mengagungkan motto ‘niat yang tulus’. Dengan begitu, ia membebaskan diri dari berbagai syarat dan tujuan, selain keinginan untuk memahami agama lain dan memandangnya secara ilmiah . . . Materi dialog pada prinsipnya tidak berbeda dengan riwayat yang diceritakan dalam Kitab Suci Al Qur’an pada surat Al Kahfi ayat 32 – 42 tentang dialog antara dua laki-laki. Allah mengaruniakan kepada salah seorang di antara mereka – yang kafir – dua kebun anggur yang dikelilingi oleh pohon-pohon kurma, serta mengalir di dalamnya sebuah sungai. Kedua kebun itu menghasilkan buah yang melimpah. Demikianlah, Allah melebihkan harta dan keturunan salah seorang di antara mereka. Riwayat tersebut mengungkapkan bahwa telah terjadi dialog antara dua orang – seorang mukmin dan yang lain kafir – yang berlangsung tanpa batasan atau syarat tertentu. Dengan riwayat tersebut, Al Qur’an menggambarkan secara detil bagaimana yang mukmin tidak memutus dialog hanya karena lawan bicaranya adalah orang kafir. Demikian pula Al Qur’an tidak berusaha menghindari penyebutan istilah ‘kufur’, karena secara keseluruhan mereka berdua mampu membangun dan merumuskan kaidah ilmiah tentang pribadi yang kafir kepada Allah ‘azza wa jalla . . . Dialog antar agama berbeda dengan perbandingan agama atau kompetisi agama, sekalipun konsep-konsep tersebut saling tumpang tindih dalam literatur. Perbandingan agama merupakan ilmu pengetahuan dimana suatu agama dibandingkan dengan agama lain dalam hal keimanan (aqidah), pengambilan hukum dan ibadah ritual, pandangannya tentang manusia, alam semesta, serta kehidupan, dan sebagainya, berdasarkan objektivitas dan menghindarkan berbagai prasangka. Sementara itu, kompetisi agama adalah suatu proses yang bertujuan untuk membuktikan keunggulan suatu agama dan memisahkan suatu agama dari agama lain; suatu hal yang tentu saja tidak dikehendaki oleh dialog antar agama yang merupakan proses untuk saling memahami.” (Husam Tammam, peneliti dan jurnalis dari Mesir, dalam IslamOnline.net, dengan judul ‘Dialog Antar Agama: Suatu Kebutuhan atau Konspirasi Internasional’).
Kutipan-kutipan di atas perlu diketahui untuk memahami lebih jauh maksud dan alasan di balik gagasan penyelenggaraan dialog antar agama, serta pengertian istilah tersebut. Cara terbaik untuk memahami pengertian dialog antar agama adalah dengan mengikuti pernyataan atau tulisan para penganjurnya, karena makna lughawi istilah tersebut tidak berarti apa-apa. Dari seluruh kutipan pernyataan di atas, kita dapat merumuskan makna atau pengertian istilah dialog antar agama sebagai berikut.
Pertama, kesamaan dan persamaan antar agama dan peradaban, serta tidak ada agama atau peradaban yang lebih baik dibandingkan agama atau peradaban lainnya.
Kedua, menerima keberadaan agama atau peradaban lain sebagaimana adanya, serta mengungkap konsep agama dan peradaban lain tanpa mengarahkan berbagai prasangka dan tuduhan, namun dengan tujuan agar saling memahami dan mengakui pandangan pihak lain tanpa batasan atau syarat tertentu.
Ketiga, tujuan dialog antar agama dan peradaban adalah interaksi untuk menciptakan suatu peradaban alternatif yang unggul dengan cara mencari titik temu dan nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung dalam tiap agama atau peradaban. Hal ini akan menciptakan kemajuan dan perkembangan peradaban, serta menyebarluaskan perdamaian. Dengan kata lain, tujuan dialog antar agama adalah untuk mencegah masuknya Islam dalam arena kompetisi antar peradaban.
Seluruh konsep di atas sangat bertentangan dengan Islam. Tak satu pun di antara ketiga konsep itu yang mempunyai dalil atau syubhat dalil. Seluruh konsep itu bukan berasal dari aqidah Islam, namun merupakan penyimpangan (tamwih) dan penyesatan yang jelas-jelas membahayakan Islam.
Konsep Persamaan antar Peradaban
Persamaan antar agama dan antar peradaban adalah konsep yang kufur, karena hal ini merupakan seruan untuk menyamakan yang benar (haqq) dengan yang salah (bathil), antara diin yang haqq dengan agama yang menyimpang, antara keimanan dengan kekufuran, antara petunjuk (hidayah) dengan kesesatan (dlalalah), antara yang menghapuskan (nasikh) dengan yang dihapuskan (mansukh), antara konsep peradaban yang berlandaskan wahyu Allah dengan konsep buatan manusia; yaitu antara konsep yang bersandar pada nash-nash syara’ dengan konsep hasil rekayasa akal manusia yang terbatas, antara berhukum sesuai Al Qur’an dan As-Sunnah dengan berhukum kepada thaghut, antara yang kokoh (tsabit) dan bermanfaat bagi ummat manusia dengan buih yang segera lenyap diterbangkan angin. Dalil-dalil yang mendukung pernyataan ini sangat melimpah. Allah SWT berfirman,
“Sebenarnya Kami hendak melontarkan yang hak kepada yang bathil, lalu yang hak itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang bathil itu lenyap.” (QS Al Anbiya: 18)
Dan Allah juga berfirman,
“Maka tidak ada sesudah kebenaran itu melainkan kesesatan.” (QS Yunus: 32)
“Mereka hendak berhukum kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka dengan kesesatan yang sejauh-jauhnya.” (QS An Nisa’: 60)
Demikian juga firman-Nya,
“Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk yang benar dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.” (QS At Taubah: 33)
“Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidak akan diterima agama itu daripadanya, dan di akhirat ia termasuk orang-orang yang merugi.” (QS Ali Imran: 85)
Allah SWT juga berfirman,
“Dan telah Kami turunkan kepadamu Al Qur’an dengan membawa kebenaran, untuk membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya, dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu.” (QS Al Maaidah: 48)
“Demikianlah Allah membuat perumpamaan bagi yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu akan hilang sebagai sesuatu yang tidak ada harganya. Adapun yang memberi manfaat bagi manusia, maka ia akan tetap ada di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan.” (QS Ar Ra’d: 17)
Demikian pula firman-Nya,
“Maka apakah orang yang beriman seperti orang yang fasik? Mereka tidaklah sama.” (QS As Sajdah: 18)
“Katakanlah, ‘Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu. Maka bertakwalah kepada Allah, wahai orang-orang yang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS Al Maaidah: 100)
Dan juga,
“Perbandingan kedua golongan itu (orang kafir dan orang mukmin) seperti orang buta dan tuli dengan orang yang dapat melihat dan dapat mendengar. Apakah kedua golongan itu sama keadaan dan sifatnya? Maka tidakkah kamu mengambil pelajaran dari perbandingan itu.” (QS Huud: 24)
“Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama dengan mereka.” (QS An Nisa’: 89)
Maka sungguh aneh bila ada orang yang mengaku beragama Islam, namun kemudian menganggap sama antara Islam dengan kafir, antara tauhid dengan atheisme (ilhad) dan trinitas, antara keimanan kepada Muhammad SAW dengan pengingkaran kepadanya, antara yang melarang riba dengan kaum yang menghalalkannya, antara penyembahan kepada Allah SWT dengan penyembahan kepada makhluk-Nya, antara pernikahan dengan perzinahan, antara yang mengharamkan homoseksualitas dan lesbianisme dengan yang membolehkannya, atau antara kurma dengan daging babi.
Dan lebih aneh lagi bila ada orang-orang yang tetap diam seribu bahasa dan tidak menentukan sikap terhadap kebaikan. Mereka tidak memilih tauhid daripada kemusyrikan, tidak memilih yang halal daripada yang haram, tidak memilih syariat daripada hukum thaghut, tidak memilih menjadi mukmin daripada menjadi kafir, tidak memilih aturan berdasarkan wahyu daripada hukum buatan manusia, tidak memilih Islam daripada agama-agama yang lain, tidak memilih Al Qur’an daripada kitab-kitab yang menyimpang, tidak memilih penyembahan kepada Al Khaliq daripada penyembahan kepada matahari, sapi, atau bintang-bintang. Semoga Allah menyelamatkan kita dari fitnah ini. Hidup di bawah hegemoni kafir (tab’iyyah) adalah suatu hal tidak dapat diterima, konsep persamaan juga tidak bisa diterima, sedangkan tidak memilih Islam dan peradabannya di atas agama dan peradaban lain juga merupakan perkara yang tertolak.
Konsep Menerima Pendapat Lain
Menerima agama dan peradaban lain, dengan tujuan sekedar untuk mengetahui pendapat mereka – tanpa usaha menghakimi mereka, serta tanpa sanggahan dan penolakan atas pendapatnya – jelas bukan merupakan metode yang Islami. Sebaliknya, Al Qur’an sepenuhnya menentang cara-cara seperti itu. Bila Al Qur’an menjelaskan pemikiran dan pernyataan yang kufur, ia selalu melanjutkannya dengan pemikiran dan pernyataan yang benar sekaligus membantah kekufuran tersebut. Ayat-ayat berikut ini adalah sejumlah contohnya.
“Dan mereka berkata, ‘Tuhan Yang Maha Pemurah mempunyai anak.’ Sesungguhnya kamu telah mendatangkan suatu perkara yang sangat munkar; hampir-hampir langit pecah karena ucapan tersebut, dan bumi terbelah, dan gunung-gunung runtuh. Karena mereka mendakwakan Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. Dan tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mempunyai anak.” (QS Maryam: 88-92)
Demikian juga,
“Mereka berkata, ‘Kapankah janji itu akan datang, jika kamu sekalian adalah orang-orang yang benar?’ Andaikata orang-orang kafir itu mengetahui, waktu mereka itu tidak mampu mengelakkan api neraka dari wajah mereka dan dari punggung mereka, sedang mereka tidak mendapat pertolongan. Sebenarnya azab itu akan datang kepada mereka dengan sekonyong-konyong, lalu membuat mereka panik, maka mereka tidak sanggup menolaknya dan tidak pula mereka diberi tangguh.” (QS Al Anbiya: 38-40)
Atau firman Allah SWT,
“Dan ketika kamu berkata, ‘Wahai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang.’ Karena itu kamu disambar halilintar, sedang kamu menyaksikannya.” (QS Al Baqarah: 55)
Allah juga berfirman,
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Berimanlah kepada Al Qur’an yang diturunkan Allah.’ Mereka berkata, ‘Kami hanya beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami.’ Dan mereka kafir kepada Al Qur’an yang diturunkan sesudahnya, sedang Al Qur’an itu adalah kitab yang hak, yang membenarkan apa yang ada pada mereka. Katakanlah, ‘Mengapa kamu dahulu membunuh nabi-nabi Allah jika kamu benar orang-orang yang beriman.” (QS Al Baqarah: 91)
Demikian pula ayat Qur’an,
“Dan mereka berkata, ‘Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang Yahudi dan Nasrani.’ Yang demikian itu hanya angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah, ‘Tunjukkan bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang-orang yang benar.’ Namun barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala dari sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.” (QS Al Baqarah: 111-112)
“Mereka (orang kafir) berkata, ‘Allah mempunyai anak.’ Maha Suci Allah, bahkan apa yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah. Semua tunduk kepada-Nya.” (QS Al Baqarah: 116)
Demikian pula firman Allah,
“Dan mereka berkata, ‘Hendaklah kamu menjadi penganut agama Yahudi atau Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk.’ Maka katakanlah, ‘Tidak, namun kami mengikuti agama Ibrahim yang lurus. Dan bukanlah dia (Ibrahim) dari golongan orang yang musyrik.” (QS Al Baqarah: 135)
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya, karena Allah telah memberikan kepada orang itu kekuasaan. Ketika Ibrahim mengatakan, ‘Tuhanku adalah Yang menghidupkan dan mematikan’ maka orang itu berkata, ‘Aku dapat menghidupkan dan mematikan.’ Ibrahim berkata, ‘Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah ia dari barat.’ Lalu terdiamlah orang kafir itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang yang zhalim.” (QS Al Baqarah: 259)
Sekalipun ayat-ayat di atas berkisah tentang syariat kaum-kaum terdahulu, tetapi tidak lepas dari ayat-ayat berikut ini,
“Orang-orang yang mengatakan tentang saudara-saudaranya, sedangkan mereka tidak ikut berperang, ‘Sekiranya mereka mengikuti kita, tentulah mereka tidak terbunuh.’ Maka katakanlah, ‘Tolaklah kematian itu dari dirimu, jika kamu orang-orang yang benar.” (QS Ali Imran: 168)
Demikian pula,
“Yaitu orang-orang yang mengatakan, ‘Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada kami supaya kami jangan beriman kepada seorang rasul sebelum dia mendatangkan kepada kami korban yang dimakan api.’ Katakanlah, ‘Sesungguhnya telah datang kepada kamu beberapa orang rasul sebelum aku (Muhammad) membawa keterangan-keterangan yang nyata dan membawa apa yang kamu sebutkan, maka mengapa kamu membunuh mereka jika kami memang orang-orang yang benar.” (QS Ali Imran: 183)
Dan Allah berfirman,
“Orang-orang Yahudi berkata, ‘Tangan Allah terbelenggu.’ Sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan. Tidak demikian, tetapi kedua tangan Allah terbuka. Dia menafkahkan sebagaimana yang dia kehendaki.” (QS Al Maaidah: 64)
Atau firman-Nya,
“Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan akan mengatakan, ‘Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak pula kami mengharamkan barang sesuatupun.’ Demikian pula orang-orang sebelum mereka telah mendustakan para rasul sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah, ‘Adakah kamu mengetahui sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu kemukakan kepada kami?’ Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanya berdusta.” (QS Al An’aam: 148)
Dan juga,
“Orang-orang Yahudi berkata, ‘Uzair itu anak Allah’ dan orang Nasrani berkata, ‘Al Masih itu anak Allah.’ Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka. Mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Allah melaknat mereka, bagaimana mereka sampai berpaling? Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah. Dan juga mereka mempertuhankan Al Masih putera Maryam. Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada tuhan selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS At Taubah: 30-31)
“Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan kami berkata, ‘Datangkanlah Al Qur’an yang lain dari ini atau gantilah ia.’ Maka katakanlah, ‘Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar (kiamat).’ Katakanlah, ‘Jikalau Allah menghendaki, niscaya aku tidak akan membacakannya kepadamu, dan Allah tidak pula memberitahukannya kepadamu. Sesungguhnya aku telah tinggal bersamamu beberapa lama sebelumnya. Maka tidakkah kamu memikirkannya?’ (QS Yunus: 15-16)
Allah juga berfirman,
“Dan mereka berkata, ‘Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja. Kita mati dan kita hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa.’ Dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja. Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang jelas, tidak ada bantahan mereka selain dari mengatakan, ‘Datangkanlah nenek moyang kami jika kamu adalah orang-orang yang benar.’ Katakanlah, ‘Allah-lah yang menghidupkan kamu kemudian mematikan kamu, setelah itu mengumpulkan kamu pada hari kiamat yang tidak ada keraguan padanya.’ Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS Al Jatsiyah: 24-26)
Bahkan ayat-ayat dalam Surat Al Kahfi, yang mereka gunakan sebagai dalil pembenar dialog antar agama, juga tidak beranjak dari gaya penuturan yang menyanggah konsep-konsep kufur. Demikian pula, dialog yang terjadi – yang menurut pendapat mereka hanya sekedar dialog intelektual – sesungguhnya merupakan dialog yang diarahkan untuk memberi pemahaman dan penolakan terhadap pemikiran yang kufur. Hal ini dengan jelas dapat dilihat dari sanggahan salah seorang dari keduanya – yang mukmin – yang menolak pendapat kufur kawannya. Selengkapnya ayat tersebut adalah,
“Kawannya (yang mukmin) berkata, ‘Apakah kamu kafir kepada Tuhan yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna?’ Tetapi aku percaya bahwa Dia-lah Allah, Tuhanku, dan aku tidak mempersekutukan sesuatupun dengan Tuhanku. Dan mengapa kamu tatkala memasuki kebunmu tidak mengucapkan, ‘Maasya Allah, laa quwwata illa billah’ sekiranya kamu anggap aku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan. Maka mudah-mudahan Tuhanku akan memberikan kepadaku kebun yang lebih baik daripada kebunmu; dan mudah-mudahan Dia mengirimkan ketentuan dari langit kepada kebunmu, sehingga kebun itu menjadi tanah yang licin. Atau airnya menjadi surut ke dalam tanah, maka sekali-kali kamu tidak akan dapat menemukannya lagi.” (QS Al Kahfi: 37-41)
Jadi, bagaimana mungkin dapat dikatakan bahwa kawan dialognya tidak menghakiminya manakala ia berkata, “Apakah kamu kafir kepada Tuhan yang menciptakan kamu”. Kemudian kawannya itu mengarahkannya untuk melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan, yaitu mengucapkan, “Maasya Allah, laa quwwata illa billah” (Sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tidak ada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah). Kemudian kawannya menjelaskan tentang kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa (Al Qadir), Sang Pencipta yang mampu mengirimkan petir dan badai dari langit dan mengeringkan mata airnya. Jadi, bagaimana mungkin dialog seperti itu dapat dikatakan sebagai dialog antar agama yang tanpa batasan atau syarat-syarat tertentu, atau dialog tanpa upaya penghakiman dan menerima pendapat kufur sebagaimana adanya???
Sedangkan terhadap penggunaan ayat-ayat lainnya sebagai dalil bagi dialog antar agama, seperti firman Allah,
“Katakanlah, ‘Hai orang-orang kafir! Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.” (QS Al Kafirun: 1-3)
Maka hal ini merupakan kesimpulan yang keliru dan keluar dari konteks sebenarnya. Surat Al Kafirun jelas merupakan pernyataan penghakiman kepada mereka, yaitu bahwa mereka adalah kaum kafir dan akan tetap dalam kekafirannya. Allah SWT mengetahui bahwa mereka tidak akan pernah beriman, dan kemudian Allah menyampaikan kepada Rasulullan SAW tentang hal ini. Selanjutnya, Allah memerintahkan Rasulullah SAW untuk menyampaikan hal ini kepada mereka dan menolak tawaran untuk saling bergantian beribadah dengan cara mereka. Dengan demikian, sebenarnya sama sekali tidak ada lagi ruang bagi dialog ketika Allah SWT telah menyatakan bahwa mereka tidak akan pernah beranjak dari kekafirannya sampai ajal menjelang. Surat ini ditujukan kepada sekelompok orang tertentu. Maha Benar Allah dalam segala firman-Nya, karena ada beberapa orang di antara kelompok tersebut yang mati, ada pula yang tewas terbunuh, dan tak seorang pun di antara mereka yang beriman.
Sedangkan firman Allah,
“Dan jika seorang di antara kaum musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya.” (QS At-Taubah: 6)
Dari ayat ini, tidak ada dalil yang dapat digunakan untuk mendukung dialog antar agama yang dilakukan dalam suasana persamaan. Ayat ini justru memerintahkan kaum muslimin untuk mengusahakan agar kaum musyrik berkesempatan mendengarkan firman-firman Allah, sehingga mereka bisa beriman dan ditempatkan di tempat yang aman.
Jadi, ayat ini berbicara mengenai pemberian perlindungan bagi kaum musyrik yang ingin tahu tentang Islam. Kepada mereka Islam dijelaskan dengan cara tertentu, sehingga diharapkan mereka mau beriman. Tidak ada dalil dalam ayat tersebut bagi suatu dialog yang dilakukan untuk sekedar mengetahui pendapat mereka, serta mencari kesamaan dan persamaan di antara kedua agama tanpa upaya menghakimi mereka. Ayat itu dengan jelas diarahkan kepada kaum musyrik, sehingga secara eksplisit menghakimi mereka sebagai orang-orang musyrik. Bagi mereka tidak perlu ada dialog untuk mengetahui pendapat mereka. Yang perlu dilakukan adalah mengusahakan agar mereka mau mendengarkan ayat-ayat Al Qur’an. Dengan demikian, menjadikan ayat tersebut sebagai dalil bagi dialog antara agama merupakan sesuatu yang tidak masuk akal.
Konsep Peradaban Alternatif
Tujuan akhir dialog antar agama – menurut para penyerunya – adalah interaksi untuk menciptakan peradaban alternatif yang unggul dengan jalan menemukan titik temu dan kesamaan antar peradaban. Pada gilirannya, hal ini akan menyebabkan tercapainya kemajuan, perkembangan, dan perdamaian yang tersebar luas. Di antara para penyeru dialog antar agama dan peradaban bahkan ada yang menggunakan firman Allah sebagai dalil untuk mendukung tujuan ini, yaitu:
“Katakanlah, ‘Hai ahli kitab, marilah berpegang kepada suatu kalimat yang tidak ada perselisihan di antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak pula sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah.” (QS Ali Imran: 64)
Kemudian mereka berpendapat bahwa ayat di atas merupakan dalil bagi dialog dengan agama lain dalam kedudukan yang sama. Kemudian mereka menafsirkan bahwa penggalan ayat yang berbunyi ‘berpegang kepada suatu kalimat yang tidak ada perselisihan di antara kami dan kamu’ bermakna ‘kesepakatan bersama (musytarak) di antara kita dan mereka’ dan bahwa ‘dialog tidak dilakukan untuk mencari kebenaran sepihak.’ Penafsiran seperti ini sama artinya dengan melontarkan fitnah kepada Allah, karena yang dimaksud dengan ‘kalimat as-sawaa’ adalah kalimat yang adil, yang kemudian dijelaskan pada bagian ayat berikutnya (yaitu bahwa tidak kita sembah kecuali Allah …dst – pen.). Tidak ada dalam ayat tersebut, kalimat atau makna yang menunjukkan bahwa kita menyeru kepada mereka (kaum kafir) untuk mencari kesepakatan bersama. Sedangkan para penyeru dialog antar agama jelas tidak bermaksud menjadikan kalimat yang adil itu sebagai kesepakatan bersama, terbukti dari pernyataan mereka bahwa ‘dialog tidak dimaksudkan untuk mencari kebenaran sepihak.’ Dengan demikian, yang mereka kehendaki tidak lain adalah peradaban bersama. Seruan untuk mengadakan interaksi dan mencari kesepakatan bersama antar peradaban sama saja dengan mencampuradukkan yang hak dan yang bathil. Allah melarang ahli kitab dan kaum Muslimin dengan dalil yang sangat jelas. Allah berfirman,
“Wahai ahli kitab, mengapa kamu mencampuradukkan yang hak dengan yang bathil, dan menyembunyikan kebenaran padahal kamu mengetahuinya.” (QS Ali Imran: 71)
Setelah mengungkap secara gamblang maksud dan tujuan dialog antar agama dan dialog antar peradaban, kita sekarang melangkah ke dalam pembahasan berbagai bentuk benturan peradaban, baik dalam bidang ekonomi, pemikiran, militer, dan politik.
Benturan Peradaban: Sejarah Benturan Peradaban antara Islam dan Peradaban Lain
Benturan atau perang (shira’) antar agama dan peradaban telah terjadi sejak zaman dahulu, dan yang menjadi pembahasan kita adalah benturan antara Islam dengan agama dan peradaban lain. Sesungguhnya, Islam adalah diin (agama) perjuangan sejak saat Rasulullah Muhammad SAW diperintahkan untuk berdakwah secara terbuka hingga akhir zaman nanti. Ketika Rasulullah SAW diperintahkan untuk menyampaikan risalah yang dibawanya secara terbuka, mulailah terjadi pertarungan pemikiran antara konsep-konsep Islam dengan konsep-konsep kufur. Pertarungan pemikiran ini terus berlanjut hingga masa sekarang ini. Pertarungan pemikiran ini tidak akan pernah berhenti dan memang tidak boleh berhenti, sekalipun kemudian terjadi berbagai bentuk pertarungan lainnya. Pertarungan pemikiran dilakukan dengan jalan menentang pemikiran pemikiran-pemikiran kufur secara tajam, dengan segala daya upaya dan penuh ketegasan. Rasulullah SAW telah menunjukkan teladan dalam melaksanakan perintah Allah ini, sebagaimana digambarkan dalam Al Qur’an,
“Sesungguhnya kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah adalah umpan Jahannam, kamu pasti masuk ke dalamnya.” (QS Al Anbiya: 98)
Demikian pula,
“Yang banyak mencela, yang kian kemari menghambur fitnah, yang banyak menghalangi perbuatan baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa, yang kaku kasar, selain dari itu yang terkenal kejahatannya.” (QS Al Qalam: 11-13)
Atau firman Allah,
“Kemudian sesungguhnya kamu hai orang yang sesat lagi mendustakan, benar-benar akan memakan pohon Zaqqum, dan akan memenuhi perutmu dengannya. Sesudah itu kamu akan meminum air yang sangat panas. Maka kamu minum seperti unta yang sangat haus. Itulah hidangan untuk mereka pada hari Pembalasan. Kami telah menciptakan kamu, maka mengapa kamu tidak membenarkan hari berbangkit?” (QS Al Waqi’ah: 51-57)
“Sesungguhnya orang-orang yang berdosa berada dalam kesesatan (di dunia) dan di dalam neraka.” (QS Al Qamar: 47)
Begitu pula firman-Nya,
“Kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang berdusta.” (QS Ali Imran: 61)
“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa.” (QS Al Lahab: 1)
Atau firman-Nya yang lain,
“Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus (dari rahmat Allah).” (QS Al Kautsar: 3)
Pertarungan pemikiran ini sama sekali tidak bertentangan dengan firman Allah,
“Serulah mereka kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya, dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS An-Nahl: 125)
Karena, hikmah yang dimaksud dalam ayat ini adalah bukti rasional (burhan al-aqli) dan dalil yang tak terbantahkan (hujjat damigha). Sedangkan yang dimaksud dengan pelajaran yang baik adalah peringatan yang menarik. Peringatan itu disampaikan dengan jalan membuat kesan yang baik melalui pemikiran sekaligus menggugah perasaan, seperti ditunjukkan dalam firman Allah SWT,
“Sesungguhnya neraka Jahannam itu ada tempat pengintai, lagi menjadi tempat kembali bagi orang-orang yang melampaui batas. Mereka tinggal di dalamnya berabad-abad lamanya. Mereka tidak merasakan kesejukan di dalamnya dan tidak pula mendapat minuman, selain air yang mendidih dan nanah. Itulah pembalasan yang setimpal.” (QS An Naba’: 21-26)
Lebih baik lagi bila perdebatan dilakukan dengan hati-hati; dengan selalu berusaha menghindari bahaya yang bisa ditimbulkan oleh lawan debat, yaitu dengan berpaling dari cemoohan mereka. Atau dengan kata lain, tinggalkan lawan debat anda. Hal ini tidak bertentangan dengan firman Allah dalam Al Qur’an,
“Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zhalim di antara mereka.” (QS Al Ankabut: 46)
Adalah lebih baik untuk menghindar dari bahaya yang bisa mereka timbulkan akibat perdebatan dengannya. Terlebih lagi bila berhadapan dengan orang-orang yang melakukan kejahatan dengan kekerasan fisik, atau menolak penerapan hukum, atau menolak membayar jizyah; maka tidak ada jalan lain dalam menghadapi mereka selain dengan pedang (peperangan). Sebuah contoh pertarungan pemikiran ditunjukkan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah kejadian yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Shiba dan Abdurrazaq dalam Musnad-nya, maupun oleh para penulis sirah, dari Qatadah bahwa Rasulullah SAW berkata kepada seorang laki-laki,
“Masuklah Islam, wahai Abu Al-Harits. Lelaki Nasrani itu berkata, ‘Aku telah masuk Islam’. Lalu Rasulullah SAW berkata lagi, ‘Masuklah Islam, wahai Abu Al-Harits.’ Kembali lelaki Nasrani itu berkata, ‘Aku telah masuk Islam.’ Lalu Rasulullah SAW berkata untuk yang ketiga kalinya, ‘Masuklah Islam, wahai Abu Al-Harits.’ Lelaki Nasrani itu berkata, ‘Aku telah masuk Islam sebelum engkau.’ Maka Rasulullah SAW menjadi marah dan berkata, ‘Engkau berdusta. Ada tiga hal yang menjadi penghalang antara engkau dan Islam, yaitu engkau membeli khamr (beliau tidak berkata ‘meminum khamr’), engkau memakan daging babi, dan tuduhanmu bahwa Allah mempunyai anak.”
Sedangkan As San’ani meriwayatkan dalam Tafsir-nya dari Abdurrazaq dari Qatadah, bahwa Ubay bin Khalaf datang dengan membawa sepotong gigi unta yang telah membusuk, kemudian melemparkannya ke udara sambil berkata, ‘Apakah Allah akan menghidupkan gigi ini, wahai Muhammad?’ Maka Rasulullah SAW berkata,
“Benar. Allah akan menghidupkannya dan membinasakanmu serta memasukkanmu ke dalam neraka.”
Sementara itu, Al Hakim meriwayatkan dalam Al-Mustadrak, dan disahihkan dari Jabir bin Abdullah (ra), yang berkata,
“Suatu hari kaum musyrik Quraisy berkumpul, kemudian ‘Utbah bin Rabi’ah mendatangi Rasulullah SAW sambil berkata, ‘Wahai Muhammad, siapa yang lebih baik, engkau atau Abdullah? Rasulullah SAW diam. Kemudian Rasulullah SAW berkata, ‘Apakah engkau sudah selesai?’ ‘Utbah berkata, ‘Ya.’ Maka kemudian Rasulullah SAW membacakan ayat-ayat Qur’an, ‘Bismillahirrahmaanirrahiim. Haa Miim. Diturunkan dari Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang’ . . . dan seterusnya sampai ‘Jika mereka berpaling maka katakanlah, Aku telah memperingatkan kamu dengan petir, seperti petir yang menimpa kaum ‘Ad dan kaum Tsamud.’ (QS Fushshilat: 1-13). Maka ‘Utbah berkata, ‘Cukup, cukup! Apakah engkau mempunyai jawaban selain ini?’ Rasulullah menjawab, ‘Tidak.’ Maka kemudian ‘Utbah kembali kepada kaumnya. Kaum Quraisy kemudian bertanya, ‘Apa yang ada di belakangmu?’ Utbah menjawab, ‘Aku tidak meninggalkan apapun selain bahwa aku telah menanyakan hal yang ingin kalian tanyakan kepadanya.’ Mereka bertanya, ‘Apakah dia menjawabnya?’ ‘Utbah menjawab, ‘Ya. Demi dzat yang menegakkan, aku sama sekali tidak paham apa yang dia katakan, selain bahwa ia memperingatkan kalian tentang petir yang menimpa kaum ‘Ad dan kaum ‘Tsamud.’ Kaum Quraisy berkata, ‘Celakalah kamu, seseorang berkata kepadamu dalam bahasa Arab dan kamu tidak tahu apa yang dia katakan?’ Utbah berkata, ‘Tidak. Demi Allah, aku tidak paham kecuali ketika dia menjelaskan tentang badai dan petir.” Inilah sejumlah gambaran bentuk pergulatan pemikiran yang diriwayatkan dari Rasulullah Muhammad SAW.
Sejumlah sahabat juga melakukan hal semacam ini. Demikianlah yang diriwayatkan Ibnu Ishaq dengan sanad dari Az Zubair yang mengatakan, “Orang pertama yang membacakan Al Qur’an dengan keras di Makkah setelah Rasulullah SAW adalah Abdullah bin Mas’ud. Diriwayatkan bahwa pada suatu hari para sahabat Nabi berkumpul dan berkata, ‘Demi Allah, kaum musyrik Quraisy belum mendengar Al Qur’an dibacakan dengan keras. Lalu, siapakah yang membacakan bagi mereka?’ Lalu Abdullah bin Mas’ud berkata, ‘Aku.’ Mereka berkata, ‘Sebenarnya kami khawatir mereka menyerangmu. Kita berharap ada seseorang kerabat yang melindungimu bila mereka hendak membahayakanmu.’ Ibnu Mas’ud berkata, ‘Tinggalkan aku. Allah akan melindungiku.’ Kemudian diriwayatkan bahwa pada hari berikutnya, Ibnu Mas’ud mendatangi maqam Ibrahim di Ka’bah sebelum tengah hari dan membacakan ayat Qur’an,
“Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang telah mengajarkan Al Qur’an.” (QS Ar Rahman: 1-2)
Kemudian dia menghadap kepada mereka dan membacakan Al Qur’an. Diriwayatkan bahwa mereka merenungkan ayat tersebut, dan kemudian bertanya, ‘Apa yang Ibnu Umm Abdullah katakan?’ Mereka menjawab, ‘Dia membacakan ajaran Muhammad.’ Maka mereka berdiri dan kemudian memukul wajahnya, namun Ibnu Mas’ud terus membacakan sampai batas yang dikehendaki Allah. Kemudian dia menemui para sahabat dengan wajah yang penuh luka. Para sahabat berkata, ‘Inilah yang kami khawatirkan atas kamu.’ Ibnu Mas’ud berkata, ‘Para musuh Allah tidak akan lagi sekeji ini padaku, dan bila dikehendaki, aku akan melakukan lagi hal ini esok hari. Para sahabat berkata, ‘Tidak. Sudah cukup bagimu atas apa yang engkau sampaikan. Engkau telah membuat mereka mendengar apa yang mereka benci.’
Ibnu Katsir meriwayatkan dalam kitab ‘Jami’ al-Masaniid wa as-Sunan’ dari Hatib yang diutus Rasulullah SAW kepada Juraij bin Mina, yang pernah bertemu dengan Muqauqis dari Iskandariyah. Diriwayatkan bahwa Muqauqis pernah berkata kepadanya, “Mengapa Nabimu tidak memerangi orang-orang yang mengusirnya dari tanah kelahirannya?’ Maka Juraij menjawab, ‘Sama halnya seperti Nabimu, yang tidak memerangi orang-orang yang berniat membunuhnya sampai Allah mengangkatnya kepada-Nya.’ Maka kemudian Muqauqis berkata, ‘Engkau telah bertindak tepat. Engkau adalah orang bijak yang berasal dari orang yang bijak.’
Sementara itu, Al Hakim meriwayatkan dalam kitab Mustadrak, yang disahihkan oleh kedua imam (Bukhari dan Muslim), dari Abu Musa (ra) yang berkata, ‘Rasulullah SAW memerintahkan kami pergi ka negeri Raja Najasy. Hal ini terdengar oleh kaum Quraisy. Maka kemudian mereka mengirim Amr bin al-Ash dan ‘Amara bin al-Walid yang membawa sejumlah hadiah untuk Raja Najasy. Mereka datang kepada kami, kemudian menghadap Raja Najasy, menyerahkan hadiah kepadanya, mencium dan bersujud kepadanya. Kemudian Amr bin al-Ash berkata, “Sesungguhnya sekelompok orang tidak suka dengan agama kami dan mereka pergi ke wilayah anda. An Najasy berkata, “Di wilayahku?” Amr menjawab, “Ya.” Maka An Najasy berkata, “Hadapkan mereka kepadaku.” Maka Ja’far bin Abi Thalib berkata kepada kami, “Janganlah kalian berbicara. Aku menjadi juru bicara kalian hari ini.” Maka kemudian kami mendatangi An Najasy saat ia sedang duduk di tempat pertemuan. Amr berada di sebelah kanannya dan Amara di sebelah kirinya, sedangkan para pendeta dan rahib duduk di sebelah mereka. Amr dan Amara berkata kepada An Najasy, “Mereka tidak bersujud kepadamu.” Ketika kami sampai di hadapannya, para pendeta dan rahib yang bersama An Najasy menegur, “Bersujudlah kepada rajamu.” Ja’far menjawab, “Kami tidak bersujud kecuali kepada Allah.” An Najasy bertanya kepada Ja’far, “Dan siapa dia?” Ja’far menjawab, “Sesungguhnya Allah telah menurunkan kepada kami Rasul-Nya, dan dialah Rasul yang diramalkan kedatangannya oleh Isa dengan nama Ahmad. Ia memerintahkan kami menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, menegakkan shalat, membayar zakat, dan memerintahkan kami berbuat kebaikan dan melarang kami berbuat kemunkaran. An Najasy berkata, “Kata-katanya membuat orang terpesona.” Ketika Amr melihat hal ini, ia berkata kepada An Najasy, “Allah memulikan sang Raja. Mereka menentang pendapat anda tentang Isa bin Maryam.” Maka An Najasy bertanya kepada Ja’far, “Apa pendapat sahabatmu tentang putera Maryam?” Ja’far menjawab, “Ia berkata tentang Isa sesuai dengan firman Allah, ‘Ia adalah ruh dari Allah yang diciptakan dengan kalimat-Nya dan disampaikannya kepada perawan suci Maryam, yang tak seorang pun laki-laki mendatanginya.” Diriwayatkan kemudian bahwa An Najasy memungut sepotong ranting dari tanah, kemudian mengangkatnya ke atas sambil berkata, “Wahai para pendeta dan rahib-rahib, apa yang mereka katakan tentang Isa bin Maryam hanya berbeda tidak lebih dari sebesar ini. Selamat datang kepada kalian dan kepada Nabi kalian. Sungguh aku bersaksi bahwa ia adalah utusan Allah, dan dialah yang diramalkan kedatangannya oleh Isa bin Maryam. Bila aku tidak menjadi seorang raja, aku akan mengikutinya bahkan sampai membawakan alas kakinya. Tinggallah di negeriku selama kalian suka.” Ia memerintahkan memberi makanan dan pakaian kepada mereka. Dan kemudian An Najasy berkata, “Kembalikan hadiah ini kepada dua orang ini.”
Imam Ahmad meriwayatkan hadits ini dari Ummu Salamah dengan riwayat yang lebih panjang dan lebih detil daripada hadits Abu Musa (ra) ini. Al-Haitsami meriwayatkan hadits ini dalam kitab Al Majma’a dan menyatakan bahwa selain dari Ibnu Ishaq, para perawi hadits ini adalah perawi yang sahih, dan secara eksplisit ia menyatakan bahwa ia mendengar sendiri hadits tersebut.
Sepeninggal Rasulullas SAW, kaum Muslimin meneruskan perjuangan melawan agama dan peradaban kufur dalam bentuk pertarungan pemikiran maupun pertempuran fisik – yang akan terus berlanjut – hingga Islam tersebar luas melintas batas-batas negeri, bahkan benua, hingga hanya tersisa sedikit wilayah yang belum terjamah peradaban Islam. Ummat manusia berduyun-duyun masuk Islam serta menanggalkan agama dan peradaban mereka sebelumnya, kemudian menjelma menjadi satu kesatuan ummat dengan satu aqidah, satu pemikiran, satu pandangan hidup, satu sistem kehidupan, satu kepentingan, dan satu tujuan, yakni meninggikan kalimat Allah. Islam menguasai kedudukan sebagai negara utama di dunia, sedangkan kota-kotanya menjadi pusat pancaran cahaya pemikiran, aqidah tauhid, dan keadilan syariat. Kaum Muslimin mengemban risalah yang terkandung dalam Al Qur’an dan As Sunnah dan membawa bahasa Arab ke pentas dunia, sehingga Islam menjadi ideologi internasional dan minat kaum Muslimin terhadap bahasa Arab begitu besar. Sampai kemudian muncullah di antara mereka para mujtahid dan ahli bahasa, baik dari kalangan Arab maupun non-Arab; semuanya bersaudara semata-mata karena Allah SWT.
Namun kemudian kita menyaksikan suatu kampanye jahat untuk memisahkan bahasa Arab dari Islam dengan berbagai bentuk, antara lain penggunaan bahasa percakapan sehari-hari, penulisan dengan huruf Latin di beberapa wilayah non-Arab, dan menganggap bahasa tutur lokal sebagai bahasa Arab. Sudah diketahui dengan pasti, bahwa tidak mungkin seseorang mempelajari Islam tanpa memahami bahasa Arab, terlebih lagi bila ia ingin melakukan ijtihad. Oleh karena itu mereka berharap bahasa Arab menjadi seperti halnya bahasa Latin atau Syria, sehingga tidak seorang pun yang memahami Islam dengan baik, kecuali orang-orang yang ahli dalam bahasa ini. Realitasnya, mereka ingin bahasa Arab menjadi bahasa yang mati. Bagaimana mungkin orang yang tidak mengerti bahasa Arab mampu memahami bentuk-bentuk informasi (khabar), susunan (insya’a), perintah (amr), larangan (nahy), makna harfiah (haqiqah) dan makna kiasan (majazi), alasan (‘illat), sebab (sabab), syarat, pencegahan (ma’ani), umum (‘amm), khusus (khash), pasti (mutlaq), terbatas (muqayyad), makna eksplisit (mantuq), makna implisit (mafhum), dan keharusan (iltizam), makna-makna surat, kata hubung, tata bahasa, dan sebagainya. Semuanya ini penting untuk dapat memahami nash-nash syariat. Maka barangsiapa menyerukan pemisahan bahasa Arab dengan Islam, maka sesungguhnya ia adalah musuh Islam, dan siapa pun dari kalangan Muslim yang terjebak dengan kesesatan ini, maka ia tergolong orang-orang yang bodoh.
Namun demikian, kebanyakan pemeluk Islam tidak memahami Islam dengan sempurna, bahkan termasuk orang-orang Arab sendiri. Sejak awal, pemahaman mereka terhadap Islam memang sangat lemah disebabkan karena tiadanya lingkungan yang mendukung perkembangan mereka. Sekalipun gerakan-gerakan sempalan (kaum zindiq) telah digagalkan dan berhasil ditekan, namun kelemahan dalam bahasa Arab menjadikan tertutupnya pintu ijtihad dan meluasnya berbagai kebingungan dalam memahami hukum. Tak pelak hal ini membuat posisi negara menjadi lemah, hingga menjadi negara yang kurang diperhitungkan. Keadaan ini diperburuk dengan adanya penyusupan beberapa pemikiran yang berasal dari agama dan peradaban lain ke dalam tubuh kaum Muslimin: seperti ascestisme (bertapa) dan melukai badan sendiri dari filsafat Hindu, kesukuan, doktrin merahasiakan makna sesuatu (bathiniyyah), dan kecenderungan melepaskan diri dari pusat kekuasaan Khilafah, yang semakin memperlemah negara dan menghentikan penaklukan-penaklukan. Bahkan kemudian datang pasukan Salib dan Tartar yang menggerogoti kekuasaan kaum Muslimin.
Hingga kemudian Banu Utsmaniyyah tampil ke depan, dan mampu menyatukan kembali hampir semua wilayah kekuasaan Islam serta melanjutkan berbagai penaklukan. Akan tetapi, karakter militer yang mendominasi kekuasaan Banu Utsmaniyyah tidak didukung dengan penyampaian ideologi yang benar. Sehingga, orang-orang yang tinggal di wilayah-wilayah taklukan tidak sepenuhnya lebur ke dalam Islam sebagaimana yang terjadi pada masa-masa awal penaklukan. Oleh karena itu, dengan mudah kita bisa melihat perbedaan antara masyarakat Uzbek, Tajik, Pashtun, Berber, India, Ad-Dilam, Turkmen, dan Kurdi beserta seluruh kecintaan dan ketaatan mereka kepada Islam, dengan kaum yang ditaklukan Banu Utsmaniyyah seperti bangsa Serbia, Yunani, Hongaria, Kroasia, Rumania, dan sebagainya. Maka tidak mengherankan jika mereka segera berkonspirasi dengan bangsa kafir Barat melawan Islam dan Negara Islam, serta tidak pernah berhenti mencari peluang untuk membalas dendam. Kemudian mulailah terjadi invasi budaya dan misionaris ke dalam tubuh Negara Islam, hingga pada puncaknya peradaban Barat berhasil meruntuhkan Negara Islam, mengoyak negeri-negeri muslim, dan memecah belah kesatuan jamaah kaum Muslimin.
Namun serangan peradaban kapitalis Barat tidak berhenti sampai di sini. Mereka terus menerus menyebarluaskan konsep-konsepnya tentang nasionalisme, patriotisme, demokrasi, hak asasi manusia dan liberalisme, hukum buatan manusia, dan merekayasa batas-batas imajiner antar kaum Muslimin. Mereka juga mengangkat para penguasa korup di negara-negara lemah tersebut sebagai antek-antek mereka, untuk menyebarluaskan pengaruh dan ide-ide kufur mereka, melindungi kepentingan mereka, mempertahankan sekat-sekat buatan mereka, menyesatkan kaum Muslimin dari jalan Allah, serta menentang setiap orang yang tulus ikhlas berusaha membebaskan diri dari hegemoni mereka. Mereka juga dibantu oleh agen-agen yang terdiri dari para intelektual, yang senantiasa menyerukan pemikiran-pemikiran Barat dengan penuh gairah, mempertahankannya secara mati-matian, menentang setiap cuil konsep peradaban Islam, serta dengan membabi buta membela kepentingan musuh ummat. Para serdadu Salib dan agen-agen mereka di kalangan tokoh kaum Muslimin juga mengendalikan berbagai media massa dan sarana pendidikan, sehingga mereka layak disebut sebagai kelompok yang sesat dan menyesatkan.
Serangan pemikiran ini tidak akan pernah berhenti sebelum ide-ide kufur peradaban Barat seperti liberalisme, demokrasi, pluralisme, masyarakat madani (civil society), negara bangsa, hak asasi manusia, hak-hak perempuan, ikatan patriotisme, dialog antara agama, dan sebagainya, bisa berjalan dengan sempurna. Dengan demikian, sungguh hal ini merupakan suatu pertarungan pemikiran yang sangat keras antara dua peradaban: Islam dan kapitalisme. Benturan ini begitu jelas hingga tidak ada lagi bukti yang perlu diungkapkan, karena bisa kita rasakan dan saksikan dalam kehidupan sehari-hari, meskipun para intelektual dan tokoh-tokoh kapitalis selalu berusaha menyembunyikannya melalui berbagai distorsi dan penyesatan.
Sekedar mengutip beberapa contoh, mantan Presiden AS Nixon pernah menyatakan dalam buku “The Favorable Opportunity” bahwa, “Isolasi kita sesungguhnya bertentangan dengan nilai-nilai dan keyakinan agama kita, yang menyerukan penyebarluasan kebaikan ke seluruh pelosok bumi.” Ia juga menulis dalam bukunya “Victory without War”, “Revolusi ideologi Islam merupakan suatu reaksi melawan modernisasi. Komunisme berjanji memutar jarum jam sejarah ke depan, sedangkan fundamentalisme Islam ingin memutar ke belakang . . . Revolusi komunis dan Islam merupakan musuh ideologis yang mempunyai tujuan sama, yaitu ingin meraih kekuasaan dengan segala cara dengan maksud untuk menerapkan pemerintahan diktator berdasarkan konsep-konsep mereka yang tidak lagi dapat ditahan-tahan.”
Kita juga mendengar pernyataan Perdana Menteri Italia Silvio Berlusconi, “Kita harus menyadari keunggulan peradaban kita. Masyarakat Timur masih berorientasi pada peradaban Barat dan orientasi ini akan terus meningkat. Hal ini pernah terjadi pada masyarakat komunis, demikian pula sejumlah bagian dunia Islam.” Teri Larson, koordinator perjanjian damai Oslo, menyambut gembira kecenderungan kaum Muslimin Palestina untuk melakukan normalisasi dengan masyarakat Barat. Salah seorang anggota delegasi Yahudi dalam perjanjian Oslo dan Wye River, Ori Speer, menjelaskan dalam bukunya, “The Course (Al Masirah), “Kerudung di kepala para muslimah mulai menghilang dan gaun mereka pun semakin diperpendek; hal ini disambut gembira oleh Larson, yang menganggapnya sebagai pertanda keinginan kaum muslimin untuk melakukan normalisasi dengan Barat.” Padahal tidak ada wanita yang berani melakukan perbuatan tersebut pada masa-masa awal Intifada, sebelum berlangsungnya perjanjian Oslo. Kita juga mendengar pernyataan Phyllis Oakley, mantan Staf Menteri Luar Negeri AS, “Kami setuju dengan pendapat bahwa benturan peradaban adalah sesuatu yang tidak dapat dielakkan.” Sementara itu, mantan Menteri Luar Negeri AS Madeline Albright mengatakan, “Kami diserang disebabkan karena identitas kami. Kami menganut globalisasi dan mempertahankan demokrasi, liberalisme, dan masyarakat yang terbuka. Inilah nilai-nilai dasar Amerika yang tidak bisa ditawar lagi.” (Majalah Al Quds, yang mengutip kata-kata Nathan Charles-Washington). Paul Kennedy, seorang dosen sejarah Universitas Yale AS mengatakan, “Prediksi bahwa serangan para teroris tidak akan berhenti merupakan prediksi yang sulit dihindari. Kami belum pernah memperoleh kesuksesan besar dalam hal mengantisipasi serangan seperti ini. Jin ini telah keluar dari leher botol dengan membawa semangat balas dendam; dan bom mobil telah berganti menjadi bom pesawat terbang.” (Majalah Al Quds, 22/9/2001). Mantan Presiden Israel Hertzog, pernah berkata di depan parlemen Polandia pada tahun 1992, “Fundamentalisme Islam tersebar dengan cepat. Gejala ini tidak saja membahayakan kaum Yahudi, tetapi juga membahayakan seluruh ummat manusia.” (Majalah Al ‘Arabi nomor 514). Sedangkan Shimon Peres pernah berkata, “Fundamentalisme menjadi bahaya terbesar abad ini pasca keruntuhan komunisme.” (Majalah Al ‘Arabi nomor 514). Cyrus Vance, mantan Menteri Luar Negeri AS juga mengatakan, “Kita harus hati-hati dan tegas dalam menangani orang-orang fanatik ini, yang tindakannya sulit diprediksi.” (Majalah Al ‘Arabi nomor 514). Sementara itu, ensiklopedi budaya Prancis menggambarkan Muhammad SAW sebagai “Anti-Kristus, penculik para wanita, dan musuh terbesar bagi akal manusia.”
Pernyataan-pernyataan di atas – dan berbagai pernyataan lain yang serupa – secara eksplisit mengungkapkan kebencian mereka terhadap Islam. Pernyataan mereka juga menunjukkan bahwa mereka – bersama dengan peradaban kapitalismenya – telah menyerang peradaban Islam dengan sangat keras.
Namun begitu, masih ada kelompok lain yang berupaya menebar debu di depan mata kaum Muslimin dengan maksud untuk menyesatkan mereka, membuat mereka terus tertidur lelap, dan menghalangi upaya kaum Muslimin dalam membuat perubahan. Kelompok ini tidak kurang jahatnya terhadap Islam dan kaum Muslimin. Demikianlah kita pernah mendengar mantan Presiden AS Clinton berkata, “Musuh kami di Timur Tengah adalah ekstrimisme.” Clinton menolak ide benturan peradaban. Demikian pula ia menyatakan bahwa perang yang terjadi tidak terkait dengan Islam, akan tetapi merupakan perang melawan kekuatan ekstremis yang berlindung di balik selubung agama dan nasionalisme. Clinton bahkan menambahkan, bahwa ekstremisme bertentangan dengan ajaran Islam, dan menekankan bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan toleransi dan sikap moderat di dunia. (Majalah Al ‘Arabi nomor 514). Dalam mengomentari pernyataan Berlusconi di atas, Menteri Luar Negeri Belgia Louis Mitchell berkata, “Bila ada seorang perdana menteri dari suatu negara Uni Eropa berpendapat dengan jalan pikiran seperti ini, maka pendapat ini harus ditolak. Pandangan bahwa ada peradaban yang lebih baik atau lebih maju daripada peradaban lain merupakan pandangan yang bertentangan dengan nilai-nilai masyarakat Eropa yang kami yakini.” (Lingkar studi di stasiun TV Al Jazeera). Bahkan Bush Jr – yang menyatakan ‘Perang Salib’ secara terang-terangan – pun tetap mengunjungi Islamic Centre di Washington, dan melukiskan Islam sebagai agama perdamaian. Mitranya, Perdana Menteri Inggris Tony Blair, juga menggambarkan Islam sebagai agama perdamaian. Bahkan ia sempat membacakan ayat suci Al Qur’an,
“Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan ia membunuh manusia seluruhnya.” (QS Al Maaidah: 32)
Menghadapi ucapan-ucapan penyesatan seperti di atas, wajib bagi kaum muslimin untuk tidak terperdaya, karena tindakan mereka sama sekali bertolak belakang dengan ucapan-ucapannya. Tindakan mereka itulah yang sesungguhnya mencerminkan perasaan mereka yang paling dalam, yakni kebencian kepada Islam dan kaum Muslimin. Kata-kata mereka tidak akan mampu membodohi kaum Muslimin.
Orang-orang ini tahu persis realitas Islam, bahkan tidak jarang mereka lebih paham Islam daripada kaum Muslimin sendiri. Nixon pernah berkata, “Ide-ide mereka tidak boleh dibiarkan . . . Fundamentalisme akan membawa dunia kembali ke masa lalu . . . Penganut Islam adalah musuh ideologis.” Dalam bukunya ‘The Favorable Opportunity’ Nixon mengatakan bahwa Islam bukanlah sekedar suatu agama, tetapi juga menjadi landasan suatu peradaban besar. Dengan demikian, ia membedakan antara Islam dan Nasrani. Dalam bukunya ia membahas tentang kaum fundamentalis sebagai berikut: “Mereka memutuskan untuk kembali pada peradaban Islam masa lampau dengan jalan membangkitkan kembali sistem lama. Dan mereka bermaksud menerapkan syariat Islam dan menyatakan bahwa Islam adalah sebuah agama dan sekaligus negara.” Lebih lanjut ia mengatakan, “Tetapi peradaban kita tidak lebih maju dari peradaban mereka. Dunia Islam memerangi komunisme jauh lebih kuat dibandingkan upaya masyarakat Barat memerangi komunisme. Dan penolakan mereka terhadap materialisme dan kerusakan moral, sebagaimana yang melanda masyarakat Barat, merupakan kelebihan mereka, bukan kekurangan mereka.”
Sebagaimana anda lihat, ungkapan-ungkapannya nampak tulus; namun demikian, ungkapan-ungkapan itu tidak menghalangi mereka untuk menyebut kaum Muslimin sebagai musuh ideologis. Ungkapan-ungkapan itu juga tidak menghalangi mereka untuk berkonspirasi melawan kaum Muslimin, serta membantu kaum Yahudi melawan ummat Islam. Dalam bukunya itu, Nixon menyatakan bahwa komitmennya membantu negara Yahudi merupakan suatu komitmen yang sangat besar. “Kami bukanlah sekutu resmi Israel, namun yang menyatukan kami adalah sesuatu yang lebih besar dari sekedar tulisan di atas kertas, yaitu komitmen moral; komitmen yang sama sekali belum pernah diabaikan oleh presiden kami di masa lalu, dan akan selalu dipenuhi oleh presiden kami di masa mendatang dengan penuh ketulusan. Amerika tidak akan pernah membiarkan musuh-musuh Israel – yang bersumpah akan memberikan bencana yang memilukan kepada Israel – dapat merealisasikan tujuan mereka.” Dalam bukunya itu, ia juga mengatakan, “Dalam rangka melindungi pemerintahan demokratis, seperti Israel dan Korea Selatan, dari ancaman pihak lain, kami siap menggunakan kekuatan militer bilamana diperlukan.” Ia menambahkan, “Tidak ada satu pun Presiden AS maupun anggota Kongres yang dapat memberikan izin bagi penghancuran Israel.”
Demikianlah, orang-orang seperti Nixon ini paham betul dengan realitas Islam dan peradaban Islam. Namun mereka tetap bersikukuh dengan kekufuran mereka, dengan permusuhannya terhadap Islam, dan dengan makar-makarnya. Ini bukan merupakan hal yang aneh. Kaum Muslimin mungkin tahu persis bahwa peradaban Barat bisa diibaratkan seperti anak kandung peradaban Islam, sehingga ada sebagian kalangan Muslim yang tetap kokoh memegang diin dan peradaban Islam. Namun tidak tertutup kemungkinan kalau ada sebagian lain yang bersikap sebaliknya. Dengan demikian, kaum Muslimin tidak boleh terperdaya dengan kata-kata manis para musuh Islam.
Keberadaan Khilafah rasyidah minhajin nubuwwah merupakan landasan kekuatan Islam dalam benturan antara Islam dan kekufuran. Alangkah sangat naif dan piciknya bila kita hendak melawan berbagai serangan mereka hanya dengan dakwah lewat bermacam media, menulis buku, dan kontak-kontak pribadi semata. Sementara pada saat yang sama Islam belum diterapkan secara kaaffah, sedang kaum Muslimin masih berada dalam keadaan yang lemah, terhina, terbelakang, dan terpecah-belah. Dalam keadaan seperti itu, keberadaan Khilafah merupakan solusi satu-satunya. Dengan Daulah Khilafah Islamiyah, maka akan terwujud keadilan, kehormatan, kebahagiaan, nilai-nilai kemanusiaan, dan segala bentuk kebaikan lainnya; dan pada saatnya nanti, kaum Muslimin dan kaum kafir akan menyaksikan hal tersebut. Keberadaan Khilafah akan menggantikan fungsi jutaan buku dan kontak-kontak pribadi serta ribuan media dakwah. Terlebih lagi bila keberadaan Khilafah tersebut dilengkapi dengan semua yang disebutkan itu; maka anda akan segera melihat, betapa orang akan berduyun-duyun memeluk diin Allah ini.
Bentuk-bentuk Benturan Peradaban
1. Pertarungan Pemikiran (ash-shira’ ul-fikri)
Pertarungan pemikiran antara Islam dan peradaban-peradaban kufur adalah realitas faktual. Pertarungan ini menjadi kewajiban setiap Muslim, bahkan bila kaum kafir tidak lebih dulu menyerang kaum Muslimin. Rasulullan SAW memulai pertarungan pemikiran di Makkah, jauh sebelum Negara Islam ditegakkan dan setelah berakhirnya tahap dakwah secara rahasia (sirr). Keadaan ini terus berlanjut sampai saat ini, dan akan terus berlangsung selama Allah menghendaki. Pertarungan pemikiran merupakan hal yang sangat transparan, sekalipun bagi beberapa orang menjadi perkara yang sulit dipahami. Namun siapa saja yang mempelajari kitab Al Millal wa an-Nihal, akan mendapatkan informasi tentang pergulatan antar berbagai pemikiran yang dikenal kaum Muslimin.
Sedangkan pertarungan antara peradaban Barat dan Islam terwujud dalam berbagai bentuk, meliputi:
1. Dominasi terhadap berbagai sarana media massa yang diarahkan untuk kepentingan peradaban Barat.
2. Dominasi terhadap silabus dan kurikulum pendidikan di setiap tingkatan, yang dimaksudkan untuk menyebarluaskan konsep-konsep Barat, menyimpangkan dan menentang berbagai konsep peradaban Islam, serta memalsukan sejarah peradaban Islam.
3. Mendirikan sekolah-sekolah dan berbagai universitas dibawah kendali dan pengawasan langsung para pemuja peradaban Barat.
4. Mendirikan berbagai partai politik yang menganut dan menyerukan peradaban Barat, serta mendapat perlindungan negara-negara Barat dan antek-anteknya yang bersikap moderat.
5. Memberikan dukungan dan sponsor kepada orang-orang yang dianggap sebagai kalangan elit, terdidik, dan intelek, dengan tujuan untuk mempromosikan mereka menjadi tokoh-tokoh pemikir di negeri-negeri kaum Muslimin.
6. Memberikan dana beasiswa pendidikan dalam berbagai bentuk kepada orang-orang terpilih, yang dianggap cocok untuk menjadi intelektual, agen-agen politik, atau mata-mata.
7. Memberikan dana yang melimpah kepada berbagai lembaga, kelompok, dan organisasi yang didirikan untuk menyebarluaskan racun-racun pemikiran mereka.
8. Menolak penggunaan bahasa Arab dan membangkitkan bahasa-bahasa selain Arab, serta melontarkan agitasi-agitasi yang bersifat nasionalistik dan patriotik.
Bahkan apa yang disebut konflik kepentingan (shira’ ul-masalih) sejatinya berawal dari perbedaan pemikiran, yang kemudian diikuti dengan pertarungan pemikiran. Pertarungan demi berbagai kepentingan itu bisa mengakibatkan konflik militer. Sehingga, negara-negara yang lemah – yang tidak mampu menggalang kekuatan militer yang memadai – tidak akan berupaya memulai suatu konflik kepentingan, kecuali sekedar memunguti sisa-sisa pertarungan antar negara besar, seperti halnya hyena dan serigala yang hanya dapat mengais-ngais sisa makanan singa si raja hutan.
Konflik kepentingan dapat terjadi di antara dua peradaban, tetapi juga bisa terjadi antara dua negara atau dua bangsa yang berperadaban sama. Ketika AS menginvasi Kawasan Teluk, mendudukinya, dan memperluas pengaruhnya, hingga berhasil memperkokoh kedudukannya, maka tujuan utama sesungguhnya bukanlah membebaskan Kuwait. Yang terjadi sebenarnya adalah pertempuran demi memperebutkan ladang-ladang minyak serta menancapkan pengaruh dan kekuatan militernya di sana. Sebagaimana pernyataan salah satu pejabat AS, “Kami datang untuk memperbaiki kekeliruan Tuhan.” Yang dimaksud dengan “kekeliruan Tuhan” adalah keputusan-Nya menciptakan minyak bumi yang melimpah di kawasan Teluk, bukannya di negara-negara Barat. George Schultz dalam sebuah acara televisi pada tanggal 16/12/1990 mengatakan, “Militer Irak harus dihancurkan, sekalipun mereka mundur dari Kuwait.” Sedangkan Dick Cheney berpidato di depan Kongres pada tanggal 3/12/1990, “Kita harus bisa menjamin bahwa serangan seperti ini (invasi Irak) tidak kembali berulang, sekalipun Saddam menarik pasukannya dari Kuwait.”
Setiap orang tahu, bahwa Irak, Kuwait, dan Kawasan Teluk lainnya merupakan kawasan yang berada dalam pengaruh Inggris pada saat invasi itu terjadi. Jadi, sesungguhnya telah terjadi pertarungan politik dan ekonomi antara AS dan Inggris, meski kedua negara tersebut mempunyai peradaban yang sama, yaitu kapitalisme. Pada saat yang sama, terjadi pula pertarungan politik, ekonomi, dan militer antara AS dengan kaum Muslimin; antara AS yang menganut kapitalisme dengan kaum Muslimin yang meninggalkan peradabannya dan sebagian besar konsep-konsepnya. Pertarungan AS melawan kaum Muslimin selama ini dilakukan berdasarkan konsep peradaban mereka, yaitu menduduki negara yang lebih lemah dan mendominasi seluruh sumberdayanya. Konflik ini berulang kembali, pada saat AS menduduki Asia Tengah baru-baru ini. Sementara pertarungan AS dengan Inggris dilakukan berdasarkan konsep yang berbeda dengan konsep yang diberlakukan AS terhadap negara-negara Arab. Pertarungan dengan Inggris perlu dilakukan, karena – menurut konsepnya – mereka harus menjadi satu-satunya negara yang memimpin Tata Dunia Baru dan dalam mengeruk sumberdaya negara-negara lemah. AS, sebagaimana ucapan Bush, harus menjadi kekuatan terdepan agar tidak terjadi dua kutub kepemimpinan di dunia. Kepemimpinan dunia, dalam pikiran mereka, haruslah tunggal; dan pemimpin tunggal itu haruslah Amerika Serikat, sebagai pewaris kolonialisme masa lampau, tidak boleh ada penentang dan saingan.
Salah satu contoh pertarungan antara dua peradaban adalah pertarungan yang terjadi antara kapitalis Amerika dengan komunis Uni Soviet. Namun demikian, pertarungan itu tidak sampai pada konflik militer, tetapi hanya pertarungan politik, ekonomi, dan pemikiran, yang diakhiri dengan runtuhnya Uni Soviet. Sedangkan contoh lain pertarungan antara dua negara atau dua bangsa yang berasal dari peradaban yang sama adalah konflik antara kaum Nazi dengan para penganut kapitalisme lainnya; suatu pertarungan antara kelompok yang menganggap ras Jerman (Aria) sebagai ras yang paling unggul, dengan negara-negara lain yang menentang rasialisme di kalangan penganut kapitalisme di Eropa dan Amerika. Dengan begitu, maka pertarungan itu terjadi dalam wilayah satu peradaban. Pertarungan yang terjadi karena ada sebagian konsep kaum Nazi yang bertentangan dengan konsep negara-negara Sekutu.
Pertarungan pemikiran adalah landasan dan awal mula setiap pertarungan yang terjadi antara dua orang anak Adam di setiap penjuru permukaan bumi, hingga saat ini. Pertarungan yang akan terus berlanjut sampai Allah menghendaki yang lain. Inilah alasan mengapa kita mulai pembahasan ini dengan pertarungan pemikiran.
2. Pertarungan Ekonomi
Pertarungan demi kepentingan-kepentingan ekonomi ada sejak zaman dulu. Dan sekarang pertarungan itu semakin terorganisasi, komprehensif, destruktif, dan mengerikan, karena para penganut peradaban yang kuat mulai mengganyang hamba-hamba Allah dari kalangan peradaban lainnya, tanpa menyisakan sedikit pun rasa belas kasihan, simpati, atau rasa kemanusiaan. Dunia menjadi layaknya suatu rimba yang sangat luas, dimana yang kuat memangsa yang lemah. Dunia memang seperti desa yang kecil dalam kaitannya dengan perkembangan komunikasi dan transportasi, namun laksana hutan rimba yang luas dalam hal penindasan oleh yang kuat terhadap yang lemah. Hal ini ditunjukkan dengan berbagai bentuk praktik kapitalisme – terutama oleh gembongnya, Amerika Serikat – antara lain:
Pertama, penguasaan bahan-bahan mentah di mana pun dan kapan pun adanya.
Kedua, menggantikan emas dengan dollar sebagai mata uang dunia. Masyarakat Eropa berusaha melepaskan diri dari hegemoni AS dengan cara memakai mata uang bersama, yaitu Euro, sementara sejumlah negara juga sedang berusaha memperkenalkan kembali emas (dinar) dan perak (dirham) sebagai standar.
Ketiga, terus menjadikan negara-negara berkembang sekedar sebagai pasar konsumsi, dengan selalu mencegah mereka dari upaya mengembangkan industri berat dan bahkan, berbagai industri ringan.
Keempat, menenggelamkan berbagai negara berkembang dengan jerat hutang berbunga melalui IMF dan Bank Dunia. Bahaya jerat hutang ini sangat jelas kelihatan.
Kelima, menarik kalangan profesional dan intelektual yang tidak menemukan atau tidak puas dengan posisi mereka di negara asalnya, agar mereka beremigrasi ke negara-negara Barat.
Keenam, merumuskan berbagai kebijakan ekonomi dan pembangunan yang disetir oleh IMF, yang mengakibatkan lemahnya tingkat keamanan pangan berbagai negara berkembang, hingga mereka menggantungkan diri mereka dengan berbagai bantuan, grant, dan pinjaman dari Barat, meski sebelumnya mereka berhasil melakukan swasembada pangan.
Ketujuh, menciptakan perang-perang regional untuk memaksa sejumlah negara membeli senjata dan perlengkapan perang dari Barat yang akan menjadi alat-alat perang yang ketinggalan zaman atau bahkan tumpukan besi bekas, jika tidak segera digunakan pada perang-perang regional antar negara berkembang.
Kedelapan, berusaha menciptakan suasana tidak aman di berbagai negara, agar terjadi pelarian modal ke negara-negara Eropa dan Amerika yang aman, dengan maksud agar sewaktu-waktu bisa dibekukan bila diinginkan. Diperkirakan paling sedikit ada dana sebesar 800 miliar dollar milik negara-negara Arab saja yang disimpan berbagai negara Barat. Kita dapat membayangkan, betapa besar kekayaan yang mereka jarah dari negeri-negeri Islam, belum lagi yang berasal dari negara-negara berkembang lainnya.
Kesembilan, penguasaan berbagai kepentingan ekonomi di berbagai negara melalui apa yang mereka sebut globalisasi, privatisasi, dan investasi modal yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan kapitalis raksasa.
Kesepuluh, mengangkat penguasa-penguasa – yang merupakan agen-agen mereka – bersama dengan kekuatan militer dan intelejen untuk mempertahankan berbagai kepentingan mereka.
Kesebelas, mengirim dan menempatkan tentara di wilayah-wilayah konflik dengan tujuan untuk memperluas pengaruhnya, seperti yang dilakukan AS di kawasan Teluk, Sinai, Asia Tengah, Turki, dan berbagai tempat lainnya. Belum lagi ada armada-armada kapal induk yang mengarungi berbagai samudera untuk mengamankan operasi-operasi penjarahan yang mereka lakukan.
Keduabelas, berupaya memecah-belah dunia menjadi negara-negara kecil yang lemah dengan alasan kemerdekaan, agar mereka mudah dikuasai dan dikendalikan.
Ketigabelas, menyebarluaskan budaya dan konsep-konsep peradaban mereka, dengan tujuan untuk mempertahankan dominasinya atas negara yang lemah dan menjauhkan ummat yang tertindas dari pemikiran tentang perlunya perubahan dan pembebasan dari cengkeraman mereka.
Keempatbelas, menerapkan sanksi terhadap negara-negara tertentu, seperti halnya sanksi AS terhadap Irak. AS, melalui Dewan Keamanan PBB, telah mengeluarkan resolusi nomor 665 untuk menerapkan boikot atas Irak, dan memberikan wewenang kepada Angkatan Laut AS untuk menggunakan senjata dalam rangka mencegah setiap transaksi perdagangan dengan Irak. Balam bukunya, ‘Leaders’, Bob Woodward memberikan komentar tentang resolusi ini, “Inilah pertama kalinya dalam empat puluh lima tahun usianya, PBB memberikan hak untuk menerapkan sanksi ekonomi kepada negara-negara di luar lembaganya. Ini merupakan kemenangan diplomatik yang luar biasa bagi Pemerintah AS.”
Adanya pertarungan politik antara peradaban Barat dan kaum Muslimin dapat dibuktikan dengan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, konspirasi Barat dalam meruntuhkan Khilafah Islamiyah pada tahun 1924.
Kedua, konspirasi Barat dalam mendirikan Negara Yahudi Israel di tanah Palestina, serta upaya mereka mempertahankan dan memperkuat militernya.
Ketiga, memecah belah jamaah kaum Muslimin dan mendorong pemisahan diri berbagai negeri Islam dengan kedok kemerdekaan, hingga menjadi sekitar 60 negara kecil yang tidak berdaya di hadapan negara-negara Barat. Upaya ini masih terjadi hingga saat ini dan tidak akan berhenti. Bahaya yang mengancam di balik upaya pemecah-belahan ini sangatlah jelas. Namun, kaum Muslimin masih saja terpikat dengan ide kemerdekaan ini dan rela berperang demi tujuan ini, sekalipun ide ini sama sekali bertentangan dengan peradaban dan pemikiran Islam. Allah memerintahkan kaum Muslimin untuk menjadi satu tubuh (jami'an) dan tidak terpecah belah. Namun demikian mereka tetap bercerai berai dan terus berusaha memisahkan diri, meskipun siang malam mereka berulang-ulang membaca firman Allah SWT,
"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai berai." (QS Ali Imran: 103)
Jami'an (kamu semua) dalam ayat itu merupakan suatu keadaan orang-orang yang memegang erat agama Allah. Maknanya adalah keberadaan suatu jama'ah, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW,
"Siapa saja yang datang kepada kamu sekalian, sedangkan urusan kalian diatur oleh seseorang (Khalifah), kemudian dia hendak memecah belah kesatuan jama'ah kalian, maka perangilah dia." (HR Arfajah)
Dengan demikian, kamu semua (jami'an) dan kesatuan ummat (jama'ah) di bawah kepemimpinan satu orang memiliki makna yang sama.
Keempat, menerapkan sistem pemerintahan republik atau kerajaan secara resmi di negeri-negeri kaum Muslimin, sekaligus memisahkan kewenangan pemerintahan menjadi tiga bagian - eksekutif, legislatif, dan yudikatif - sebagaimana yang dianut negara-negara Barat.
Kelima, memerangi gerakan-gerakan Islam yang secara serius berjuang untuk membuat perubahan dengan menegakkan Negara Islam, yakni negara Khilafah Rasyidah. Mereka menyebut gerakan-gerakan Islam ini sebagai ekstremis atau fundamentalis. Kebanyakan perlawanan ini dilakukan melalui agen-agen mereka, dan jarang dilakukan secara langsung. Martin Indyck, pejabat Gedung Putih yang berwenang menangani urusan Timur Tengah mengatakan bahwa tantangan paling besar yang dihadapi AS di belahan dunia bagian timur adalah membantu negara-negara sahabat untuk menghalangi ekstrimisme (Majalah Al 'Arabi nomor 514). Bila tidak bisa menghalangi, mereka akan memberikan tekanan yang keras dan jahat lewat tangan-tangan agen-agen mereka dari kalangan "moderat progresif", sebagaimana dikatakan Nixon dalam bukunya "The Favorable Opportunity" sebagai berikut, "Keterkaitan para politisi di berbagai negara Muslim dengan Islam tidak lebih dari sekedar keterkaitan mereka dengan cita-cita, tradisi, dan norma Islam . . . Kalangan progresif adalah kelompok yang kegiatannya nyata . . . dan berusaha sekuat tenaga menghubungkan kaum Muslimin dengan dunia politik dan ekonomi yang beradab. Kelompok ini dicirikan dengan fleksibilitasnya, dan mereka tidak menganggap Barat sebagai kafir, tetapi mereka menyebutnya sebagai kaum ahli kitab. Beberapa negara dipimpin oleh kelompok progresif merupakan negara demokratis, seperti Turki dan Pakistan . . . Kita harus membantu kelompok progresif di dunia Islam . . . Kunci kebijakan Amerika digambarkan dalam kerjasama strategis hanya dengan kelompok progresif ini. Karena kita bekerjasama dengan kelompok progresif demi tujuan-tujuan kita, maka kerjasama tersebut harus meliputi seluruh bidang ekonomi dan keamanan . . . Hubungan antara Amerika dan negara sahabat tidak boleh sampai pada tingkat perwalian, dan kita tidak boleh memperlakukan para penguasa di negara-negara progresif itu sebagai makelar antara kita dengan rakyat mereka, namun kita harus memperlakukan mereka sebagai mitra yang sejajar, sebab cara yang paling cepat untuk mengubur mereka adalah dengan memperlakukan mereka sebagai corong propaganda Barat . . . Sesekali kita harus dapat menerima penolakan sahabat-sahabat kita di dunia Islam atas sejumlah kebijakan kita, yang membuat mereka mendapatkan kesulitan politik di negara mereka." Kini, ummat Islam tahu persis siapa kelompok "progresif moderat" ini. Dan tidak ada salahnya kita mengalamatkan tuduhan kepada AS, atas perlakuan sejumlah penguasa negeri-negeri Muslim - Irak, Mesir, Turki, Uzbekistan, Aljazair, Suriah, Libya, dan Tunisia - terhadap para putra-putri ummat yang secara ikhlas berjuang demi Islam.
Keenam, mendirikan PBB berikut Dewan Keamanan-nya untuk memberi legitimasi kepada Barat untuk melakukan intervensi dalam urusan negara-negara lemah, termasuk di antaranya negeri-negeri kaum Muslimin. Bila AS tidak bisa melakukan intervensi melalui Dewan Keamanan karena adanya penentangan dari negara kuat lainnya, mereka melangkahi otoritas Dewan Keamanan atau PBB, dan melakukan tindakan sepihak (unilateral), seperti yang terjadi saat ini dengan seruan "Perang Salib melawan Terorisme". Demikianlah, AS menduduki tempat-tempat yang dikehendaki dan menyerang siapa saja yang diinginkan. Nixon mengungkapkan secara eksplisit tentang kebijakan ini dalam "The Favorable Opportunity" sebagai berikut, "Andaikata kepentingan AS mendapat ancaman bahaya, maka akan dilakukan aksi dengan koordinasi PBB, bila memungkinkan. Namun bila hal ini tidak mungkin dilakukan, maka AS akan bertindak sendiri tanpa bantuan darinya (PBB)." Collard Power, dosen ilmu politik di Massachusetts University mengatakan dalam tulisannya, "Jelas bahwa hukum internasional tidak diterapkan bagi negara-negara di belahan bumi bagian barat . . . nampaknya pelanggaran hak asasi manusia bisa diterima sepanjang sesuai dengan kepentingan Amerika."
Ketujuh, memerintahkan kepada sejumlah tiran dan petualang politik untuk membentuk partai-partai, agar mereka bisa saling bergiliran memerintah dan bertindak sebagai oposisi. Hal ini dilakukan apabila mereka tidak ingin memaksakan sistem partai tunggal.
Demikianlah beberapa bentuk serangan politik yang dilakukan oleh para penganut kapitalisme terhadap kaum Muslimin dan kaum lemah lainnya. Mereka telah berhasil melakukan segala bentuk serangan ini, akibat tidak adanya institusi politik yang berfungsi sebagai pelindung dan sistem yang paling baik, yaitu Negara Khilafah.
4. Konflik Militer
Kini kita membahas bentuk terakhir dari pertarungan antar peradaban, yaitu konflik militer, yang disebut sebagian kalangan kaum Muslimin dengan istilah jihad. Ini merupakan materi bahasan yang sangat luas. Namun yang menjadi perhatian kita saat ini adalah membuktikan keniscayaan konflik militer, khususnya dalam peradaban Islam. Karena, ada sementara kalangan yang menyangkal adanya kewajiban perang ofensif (qital ath-thalab), kemudian ada pula yang membantah pendapat bahwa Islam adalah diin toleransi dan perdamaian. Lalu, apakah Islam adalah diin teror?
Kita mulai dengan aksi para penganut peradaban kafir terhadap kaum Muslimin, karena tindakan mereka lebih mudah dibaca daripada kata-katanya. Australia, yang belum pernah kita perangi, menduduki Timor Timur; China menduduki seluruh wilayah Asia Tengah bagian selatan; Rusia menduduki sejumlah wilayah Muslim, seperti Kaukasus, Krimea, Khazan, dan sebagainya; India menduduki Delhi, Kashmir, dan seluruh wilayah India Utara; Amerika menguasai seluruh kawasan Teluk dan memperluas pengaruh politik dan militernya sepanjang Asia Tengah, dari Uzbekistan hingga Teluk dan terus sampai ke Sinai. Selain itu mereka juga punya pangkalan militer yang besar di Incirlik Turki. Mereka juga berebut pengaruh dengan Prancis maupun Inggris di Afrika. Inggris masih mempunyai pengaruh di Asia dan Afrika, serta pangkalan militer di Teluk dan Gibraltar. Serbia, Kroasia, Yunani, Rumania, dan Bulgaria juga menguasai wilayah kaum Muslimin. Spanyol menguasai Andalusia, Sabta, dan Malila. Italia menduduki Sisilia, negeri Al Aghaliba. Pulau-pulau di Laut Tengah - yang seluruhnya adalah wilayah kaum Muslimin - juga dikuasai penjajah. Filipina juga menduduki tanah kaum Muslimin, demikian juga Burma. Israel menduduki tanah Palestina, yang merupakan bagian dari Bilad Asy-Syam. Sungguh benar sabda Rasulullah SAW,
"Dapat diperkirakan bahwa kamu akan diperebutkan oleh bangsa-bangsa lain sebagaimana orang-orang yang berebut melahap isi mangkok.' Para sahabat bertanya, 'Apakah saat itu jumlah kami sedikit, ya Rasulullah?' Rasulullah SAW menjawab, 'Tidak, bahkan saat itu jumlah kalian banyak sekali tetapi seperti buih pada air bah. Allah akan mengambil dari dada musuh-musuh kamu rasa takut kepadamu, dan Allah akan menimpakan penyakit al-wahn.' Mereka bertanya lagi, 'Apa itu penyakit al-wahn, ya Rasulullah?' Beliau menjawab, 'Kecintaan yang berlebih terhadap dunia dan takut mati."
Meski terdapat setumpuk fakta yang mengungkap penderitaan kaum Muslimin, sekaligus menjadi bukti terjadinya serangan fisik dari para penganut peradaban kufur, namun hal itu tidak menghalangi mereka - para politisi dan pemikir kufur - menjelaskan pentingnya memerangi peradaban Islam hingga sampai ke akar-akarnya.
Nixon mengatakan dalam bukunya "Victory without War", "Kejayaan yang sesungguhnya tidak diperoleh dengan menghindari konflik, tetapi dengan peperangan yang hebat demi prinsip, kepentingan, dan sahabat kita . . . Kita harus membuang angan-angan mengenai bagaimana seharusnya dunia ini berjalan. Bangsa Amerika cenderung mempunyai keyakinan bahwa konflik adalah sesuatu yang tidak wajar, demikian pula pandangan bangsa-bangsa yang lain; sedangkan perbedaan hanya disebabkan karena adanya kesalahpahaman. Mereka juga menganggap bahwa perdamaian yang abadi dan menyeluruh merupakan suatu tujuan yang bisa dicapai. Namun demikian, sejarah membuktikan bahwa pandangan itu keliru, karena masing-masing negara berbeda satu dengan yang lain dalam aspek-aspek yang fundamental, konvensi politik, pengalaman sejarah, dan motivasi ideologisnya; aspek-aspek yang biasa melahirkan konflik. Adanya kepentingan yang saling berbenturan dan fakta yang kita pahami bersama memicu perselisihan dan, pada akhirnya, peperangan . . .Perdamaian yang menyeluruh, yakni terciptanya dunia yang tanpa konflik hanya merupakan angan-angan. Perdamaian seperti ini tidak pernah dan tidak akan pernah tercipta."
Nixon juga mengatakan dalam "The Favorable Opportunity", "Kepentingan vital adalah kepentingan yang apabila hilang akan mengancam keamanan Amerika Serikat. Jadi, kemerdekaan negara-negara Eropa Barat, Jepang, Kanada, Meksiko, dan negara-negara Teluk merupakan masalah vital bagi keamanan negara kita. Demikian pula, kita mempunyai kepentingan vital untuk mencegah negara-negara berkembang mempunyai senjata nuklir. AS tidak punya pilihan lain kecuali menggunakan kekuatan bersenjata untuk mencegah setiap hal yang mengancam kepentingannya . . . Untuk melindungi pemerintahan demokratis yang terancam, seperti Israel dan Korea Selatan, kita siap untuk menggunakan kekuatan militer bila diperlukan."
Sementara itu, pada tanggal 23/1/1980, Jimmy Carter mengirimkan nota berjudul "State of the Union" kepada Kongres Amerika, dan di antara pernyatannya adalah, "Posisi kita sangat jelas. Setiap upaya dari kekuatan luar yang menguasai kawasan Teluk akan dianggap sebagai serangan terhadap kepentingan Amerika. Agresi seperti itu akan disingkirkan dengan segala cara, termasuk cara-cara militer."
Pada tanggal 2/11/1990, mantan Menlu AS Henry Kissinger menulis suatu artikel di koran Yediot Ahrunot dengan judul "Soon, America, You will Lose Deterrent Force" (Segera, Amerika, Engkau akan Kehilangan Kekuatan Penangkis), dimana dia menulis, "Cara-cara militer - tak diragukan lagi - merupakan pilihan yang sulit dan menyakitkan. Hal itu dapat memicu terjadinya demonstrasi di berbagai negara Muslim dan menyebabkan timbulnya gelombang baru terorisme. Namun demikian, kesulitan itu harus dibandingkan dengan bahaya yang timbul akibat konflik yang lebih sulit di masa yang akan datang, bila tanda-tanda kelemahan Amerika akan menyebabkan ambruknya pemerintahan moderat di kawasan itu, meningkatkan ketegangan politik, dan meruntuhkan segala sistem yang ada."
Sedangkan pada tanggal 18/9/2001, ada tulisan di sebuah harian Amerika tentang wawancara antara wartawan surat kabar Prancis Le Figaro dengan James Schlesinger - penasihat Nixon dan mantan Menteri Pertahanan AS yang sekarang bekerja pada Centre for Strategic and International Studies - yang mengatakan, "Untuk menumbangkan jaringan kegiatan ('terorisme') ini perlu waktu bertahun-tahun, karena mereka memiliki tekad yang sangat kuat, yang dihasilkan dari keyakinan yang kuat tentang posisi mereka."
Sementara itu, dalam acara "Perang Pertama di Abad ini" di stasiun TV Al Jazeera, presenter acara ini mengutip pernyataan Henry Kissinger di Washington Post yang berjudul "Revenge is not Sufficient Response" sebagai berikut, "Perlu kiranya untuk menghadapi segala sesuatu yang terjadi dengan sebuah serangan terhadap sistem yang menghasilkan ancaman ini."
Mantan Sekretaris Jenderal NATO, Claus, secara resmi menyatakan bahwa Sekutu telah memposisikan Islam di bekas tempat Uni Soviet, yakni sebagai sasaran permusuhan. BBCOnline.net mengutip pernyataan Presiden Bush pada tanggal 17/9/2001 sebagai berikut, "Perang Salib ini, yaitu perang melawan teror akan berlangsung dalam waktu yang lama."
Samuel Huntington menulis dalam artikelnya pada majalah Amerika "Foreign Affairs" sebagai berikut, "Kecil kemungkinannya konfrontasi militer antara Barat dan Islam, yang berlangsung sejak berabad-abad lalu, ini akan berkurang. Bahkan sebaliknya, mungkin sekali konflik ini akan semakin kejam dan keras . . ."
Sedangkan Shimon Peres menulis dalam bukunya, "The New Middle East", "Kita adalah orang-orang yang bertekad kuat, dan tidak ada satu pun kekuatan di muka bumi yang dapat memaksa kita untuk meninggalkan tanah ini, setelah lima puluh generasi kita hidup dalam diaspora . . . lima puluh generasi dalam penindasan, kesengsaraan, dan pembantaian. Kita tidak akan pernah menyingkir dari tempat satu-satunya ini, tempat dimana kita dapat memperbaharui kemerdekaan kita, menjamin keselamatan kita, dan hidup secara terhormat dan bermartabat. . ."
Steve Dunleavy menulis dalam jurnal New York Post pasca insiden Selasa 11 September, "Bunuh para bajingan itu. Latihlah para pembunuh, buatlah kontrak dengan para serdadu bayaran, dan berilah hadiah jutaan dollar untuk memburu kepala mereka. Bawalah mereka, hidup atau mati, tapi lebih baik dalam keadaan mati. Terhadap kota-kota yang menjadi tempat tinggal mereka, bomlah dengan bom-bom ke taman bermain mereka."
Dalil Samar (Syubhat Dalil) bagi Orang-Orang yang Menyangkal Keniscayaan Benturan Peradaban
Demikianlah tadi telah disampaikan pernyataan dan tindakan para penganut peradaban kufur, yang menunjukkan kesesuaian antara keduanya. Namun demikian, masih ada kaum Muslimin yang menipu dan ada pula yang bersikap naif, yang selalu memaksakan diri berdialog serta menyangkal adanya benturan dan pertarungan peradaban. Sebagian ummat tetap melakukan dialog antar agama - khususnya dengan kaum Nasrani - dengan tujuan untuk mencari titik temu antara Islam dan Nasrani - misalnya sikap menentang atheisme. Mereka lupa atau pura-pura lupa bahwa kufur adalah suatu aqidah lain, sebagaimana firman Allah,
"Bagimu agamamu dan bagiku agamaku." (QS Al Kafirun: 6)
Pada ayat sebelumnya, Allah menyeru kepada kaum kafir dengan bentuk jamak,
"Katakanlah, hai orang-orang kafir." (QS Al Kafirun: 1)
Kemudian Allah SWT menjelaskan diin dalam bentuk tunggal,
"Bagimu agamamu." (QS Al Kafirun: 6)
Demikian pula bila kita memahami masalah Palestina. Siapakah yang merekayasa pendirian negara Yahudi Israel, melindunginya, dan membantunya dengan uang, senjata, dan dukungan politik, selain negara-negara kafir yang tegak di atas peradaban kapitalis?
Jadi, orang-orang yang menipu ummat mempunyai kewajiban untuk menghentikan seruan kufur tersebut; karena sadar atau tidak, dengan berpendapat seperti itu mereka telah menjadi agen intelektual kaum kapitalis. Sedangkan kalangan Muslim yang bersikap naif telah menganggap remeh dan menyibukkan dirinya dengan hal-hal yang tidak berguna, serta ikut serta menipu ummat. Mereka ikut serta dalam berbagai pertemuan dan dialog yang diadakan kaum Yahudi dan Nasrani. Seruan mereka adalah seruan yang penuh keraguan, yang dikumandangkan oleh orang-orang yang berniat memisahkan kaum Muslimin dari diinul Islam, dan hendak mencampuradukkan yang hak dan yang bathil.
"Orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah, 'Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk yang benar.' Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu." (QS Al Baqarah: 120)
Demikian juga firman-Nya,
"Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak, lalu mereka bersikap lunak pula kepadamu." (QS Al Qalam: 9)
Yang dimaksud bersikap lunak adalah cenderung kepada mereka. Ayat ini, sekalipun berbicara tentang kaum musyrik Makkah, namun dapat pula dialamatkan pada setiap orang kafir dan musyrik. Ayat-ayat yang muhkamat (pasti) telah membuktikan; para sahabat pun bersepakat (ijma); dan Ummat Islam juga tahu pasti, bahwa ahli kitab masuk dalam golongan orang-orang kafir. Oleh karena itu tidak mungkin berkompromi atau cenderung kepada mereka. Sebaliknya, kita harus menunjukkan kesalahan agama mereka, kekufuran mereka, dan kebohongan mereka, serta menyeru mereka untuk masuk ke dalam diin yang hak, yakni diinul Islam. Setelah Khilafah berhasil ditegakkan, mereka pun diseru untuk masuk Islam; bila menolak masuk Islam, mereka harus membayar jizyah; bila masih juga menolak, baru kemudian mereka diperangi.
Adalah suatu kesesatan bila berdalil dengan firman Allah,
"Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik." (QS Al Ankabut: 46),
namun menyembunyikan penggalan ayat berikutnya, yaitu:
"kecuali dengan orang-orang zhalim di antara mereka. Dan katakanlah, 'Kami telah beriman kepada kitab-kitab yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada kamu. Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu, dan hanya kepada-Nya kami berserah diri." (QS Al Ankabut: 46)
Dengan demikian, menurut ayat ini, orang-orang yang berbuat zhalim diperkecualikan dari perintah untuk berdebat dengan cara yang paling baik. Merekalah orang-orang yang memerangi kaum Muslimin dan tidak mau membayar jizyah. Maka yang harus dilakukan kepada orang-orang seperti itu adalah dengan mengalahkan mereka, bukan berdebat dengan mereka.
Demikian pula merupakan suatu kesalahan menjadikan firman Allah,
"Dan katakanlah kepada orang-orang yang tidak beriman, 'Berbuatlah menurut kemampuanmu, sesungguhnya kami pun berbuat pula. Dan tunggulah, sesungguhnya kami pun menunggu." (QS Huud: 121-122)
sebagai dalil untuk "hidup berdampingan secara damai antara kami dan mereka". Ayat ini justru bermakna intimidasi dan ancaman; yaitu bahwa kaum Muslimin diperintahkan, tidak sekedar mengintimidasi atau mengancam mereka, namun untuk memerangi mereka bila tidak mau memeluk Islam atau membayar jizyah. Lalu dimana adanya 'hidup berdampingan secara damai?'
Sementara itu, atas dasar firman Allah SWT,
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, Shabi'in, orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi, dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (QS Al Hajj: 17)
beberapa kalangan menyerukan untuk "menyerahkan keputusan kepada Allah atas segala perbedaan aqidah dan perbuatan antara kita dan mereka". Bila makna yang dipahami adalah tidak memaksa mereka masuk Islam, maka pemahaman itu tidaklah keliru. Tetapi bila seruan itu dipahami sebagai membiarkan mereka dalam kekufuran dan tidak menyeru mereka untuk masuk Islam, maka pemahaman itu keliru. Karena, kita diperintahkan untuk berdakwah kepada mereka, sampai mereka masuk Islam, atau membayar jizyah, atau diperangi. Bila yang dimaksud adalah tidak memerangi mereka, maka pemahaman ini juga tidak tepat; karena perang ofensif (qital ath-thalab) merupakan salah satu kewajiban dalam Islam sebagaimana akan dijelaskan kemudian.
Ada pula sebagian kalangan yang menjadikan ayat Al Qur'an berikut,
"Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama, dan tidak mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil." (QS Al Mumtahanah: 8)
sebagai dalil "bolehnya berbuat baik, adil, dan memperlakukan kaum kafir dengan baik". Maka katakanlah bahwa ayat ini ditujukan kepada orang-orang mukmin yang tinggal di Makkah dan tidak ikut hijrah, maka mereka boleh bermuamalah dengan mereka secara baik-baik. Bila dalil tersebut dimaknai bahwa setiap orang kafir boleh diperlakukan dengan baik, karena mereka tidak memerangi dan mengusir kaum Muslimin, maka pemahaman itu memang benar. Tentu saja, dalil itu tidak bisa digunakan terhadap orang-orang yang memerangi kaum Muslimin di Palestina, yang mengusir dan membantu pengusiran tersebut. Demikian pula, dalil itu tidak bisa ditujukan kepada orang-orang yang memerangi kaum Muslim Afghanistan, yang mengusir mereka, dan yang membantu pengusirannya. Begitu juga, dalil itu tidak bisa digunakan untuk orang-orang yang memerangi kaum Muslimin di Irak pada Perang Teluk Kedua, di Kashmir, di Chechnya, dan sebagainya.
Bila mereka menjadikan firman Allah,
"Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya, dan bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS Al Anfaal: 61)
sebagai dalil untuk mengatakan bahwa "Islam adalah agama perdamaian, dan bahwa perdamaian adalah asal kata Islam", maka ayat ini harus dipahami bersama dengan firman-Nya,
"Janganlah kamu bersikap lemah dan menyerukan perdamaian, padahal kamulah yang berada di atas (menang)." (QS Muhammad: 35)
Dengan demikian, bila kaum Muslimin hidup dalam keadaan bermartabat, kuat, berkuasa, dan sebagai satu jamaah, maka tidak ada istilah "perdamaian". Pertimbangan untuk menentukan manfaat atau mudharat dari sebuah perdamaian diserahkan sepenuhnya kepada Khalifah, dan tidak perlu ada pertimbangan dari orang lain kecuali yang mendapat amanat darinya.
Allah SWT berfirman,
"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam (as-silm) secara kaaffah, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu." (QS Al Baqarah: 208)
Maka katakanlah bahwa perlu ada pemahaman mengenai siapa saja yang diseru oleh ayat ini, serta apa yang dimaksud dengan as-silm. 'Orang-orang yang beriman' dalam ayat ini bisa bermakna kaum Muslimin, tetapi bisa juga berarti orang-orang yang beriman terhadap nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad SAW. Sedangkan as-silm bisa berarti Islam, tetapi bisa pula bermakna perdamaian (sulh).
Bila yang diseru adalah kaum Muslimin, maka tidak ada artinya memerintahkan mereka "masuk ke dalam perdamaian bersama kaum mukmin lainnya", karena yang diseru bukanlah prajurit tetapi sesama kaum mukmin. Makna yang lebih tepat adalah "masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, yaitu dengan menaati seluruh syariat Allah SWT, menegakkan aturan dan hukum-hukum-Nya, bukan dengan berusaha mengambil sebagian dan meninggalkan sebagian yang lain."
Sementara itu, bila yang diseru adalah orang-orang yang beriman sebelum Nabi Muhammad SAW, tidak ada artinya juga menyerukan kepada mereka untuk "masuklah ke dalam perdamaian." Makna seperti itu tidak ada dalam Al Qur'an. Imam At Thabari mengatakan, "Sedangkan bila yang dimaksud adalah masuk ke dalam perdamaian, maka hal ini tidak dikenal dalam khazanah Al Qur'an." Dengan demikian, makna ayat tersebut adalah menyeru orang-orang mukmin untuk masuk Islam dan untuk masuk secara keseluruhan. Jadi, siapa pun yang diseru ayat itu, tidak ada seruan bagi kaum Muslimin untuk ikut serta ke dalam suatu perjanjian perdamaian dengan kaum kafir atau perdamaian bersama (muwada'ah).
Sebagian kalangan ada pula yang menggunakan firman Allah SWT,
"Tetapi jika mereka membiarkan kamu dan tidak memerangi kamu serta menyerukan perdamaian kepadamu, maka Allah tidak memberi jalan bagimu untuk memerangi mereka." (QS An Nisa': 90)
untuk melarang kaum Muslimin memerangi kaum kafir yang membiarkan kaum Muslimin. Maka katakanlah bahwa ayat ini sebenarnya berkaitan dengan orang-orang munafik yang minta perlindungan kepada kaum yang mempunyai perjanjian dengan kaum Muslimin, dan mereka mengikuti aturan dan hukum kaum tersebut. Ayat ini berbicara tentang orang-orang munafik yang keluar bersama orang-orang kafir untuk memerangi kaum Muslimin, tetapi kemudian mundur dari peperangan, sebagaimana para munafik yang ikut bersama kaum musyrik Quraisy pada Perang Badr. Maka bagi mereka yang mundur dan minta perlindungan kepada kaum yang punya perjanjian dengan kaum Muslimin, tidak alasan untuk dibunuh.
Bila mereka mengajukan firman Allah SWT,
"Telah diizinkan berperang bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa menolong mereka." (QS Al Hajj: 39)
untuk mendukung pendapat mereka, bahwa "izin berperang hanya diberikan kepada kaum yang teraniaya untuk melawan orang-orang yang memeranginya". Maka katakanlah bahwa perintah untuk berperang merupakan perintah yang mutlak, tanpa ada syarat berupa penganiayaan. Alasannya adalah bahwa penggalan ayat "karena sesungguhnya mereka telah dianiaya" bukan menjadi 'illat hukum peperangan, namun hanya merupakan gambaran realitas (wasf waqi'). Ketika kaum musyrik Quraisy menganiaya kaum Muslimin yang akan mendatangi Rasulullah SAW, memukuli dan melukai kepala mereka, maka kaum Muslimin mengadu kepada Rasulullah SAW. Namun ternyata Rasulullah SAW bersabda kepada mereka, "Bersabarlah, karena aku belum mendapat perintah untuk berperang" sampai mereka berhijrah. Kemudian turunlah ayat ini, dimana Allah memerintahkan kaum Muslimin berperang setelah sekian lama Ia mencegahnya. Ad Dhahak berkata, "Para sahabat Rasulullah SAW meminta izin untuk memerangi orang-orang kafir ketika mereka menganiayanya, namun Allah berfirman,
"Sesungguhnya Allah tidak menyukai tiap-tiap orang yang berkhianat lagi mengingkari nikmat." (QS Al Hajj: 38)
Tetapi setelah berhijrah, Allah menurunkan firman-Nya,
"Telah diizinkan berperang bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa menolong mereka." (QS Al Hajj: 39)
Dengan demikian, ayat ini diturunkan untuk mencabut larangan bagi kaum Muslimin dalam memerangi orang-orang kafir. Oleh sebab itu, ayat ini menggambarkan suatu situasi yang spesifik, sekalipun mengandung perintah untuk berperang melalui makna isyarat (dalalat al-isyarah). Jadi, ayat itu tidak menjelaskan legitimasi mengenai berperang di jalan Allah secara umum, tetapi legitimasi untuk berperang untuk menjauhkan mara bahaya. Oleh karena itu tidak ada kontradiksi antara ayat ini dan ayat-ayat dalam Surat At Taubah. Selain itu, ayat-ayat dalam Surat At Taubah diturunkan belakangan, jadi tidak ada kemungkinan untuk dinasakh (dihapus), ditakhsis (dikhususkan), atau ditaqyid (dibatasi).
Bila mereka merujuk pada hadits dari Ibnu Awfa, bahwa Rasulullah SAW bersabda,
"Hai manusia, janganlah berharap bertemu dengan musuh dan berdoalah kepada Allah agar mendapat keselamatan. Apabila engkau bertemu mereka, bersabarlah dan ketahuilah bahwa sesungguhnya surga itu ada di bawah bayangan pedang."
Maka ketahuilah, bahwa hadits tersebut tidak berkaitan dengan perjanjian damai, karena isinya adalah tentang larangan untuk berharap bertemu musuh, bukan larangan untuk memerangi mereka atau perintah untuk membuat perjanjian damai dengannya. Para ulama mengatakan bahwa pelarangan itu berkaitan dengan perkara yang ada di balik harapan itu, yaitu kebanggaan ('ijab). Jadi penunjukan hadits ini sebagai dalil perjanjian damai dengan kaum kafir merupakan langkah yang tidak tepat.
Ada pula pengambilan kesimpulan dengan ayat-ayat Al Qur'an atau hadits yang tampaknya tidak perlu dibantah dan tidak perlu dijelaskan lebih lanjut. Namun demikian, kami akan menunjukkan di sini dengan maksud untuk membuktikan bahwa ada beberapa di antara penyeru dialog yang berusaha dengan segala cara mencari dalil untuk mendukung pendapat mereka. Tujuan utama mereka adalah untuk membuktikan bahwa Islam adalah diin perdamaian dan bukan diin perjuangan, pertarungan, dan jihad. Sebaliknya, dalam pandangan mereka, Islam adalah diin keamanan, perdamaian, dan toleransi. Beberapa nash yang mereka klaim sebagai dalil bagi pandangan mereka adalah sebagai berikut:
"Dan mengamankan mereka dari ketakutan." (QS Quraisy: 4)
". . . tanah suci yang aman." (QS Al Ankabut: 67)
"Dan demi kota ini yang aman." (QS At Tin: 3)
"Dan Dia benar-benar akan menukar keadaan mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa." (QS An Nuur: 55)
Demikian pula sabda Rasulullah SAW,
"Siapa pun di antara kalian bangun dalam keadaan aman dalam kelompoknya (sirb)."
Jelas bahwa menjadikan nash-nash di atas sebagai dalil bagi pendapat kufur mereka merupakan bentuk pelecehan terhadap syariat dan juga pelecehan pikiran ummat.
Bantahan atas Dalil-dalil Samar yang Menyangkal Kewajiban Jihad Ofensif (Jihad ath-Thalab)
Orang-orang yang mengatakan Islam adalah diin perdamaian seringkali menyangkal adanya kewajiban jihad ofensif, yaitu memulai peperangan melawan kaum kafir. Mereka membenarkan perang defensif, tetapi menolak perang ofensif (qital ath-thalab) yakni memulai serangan. Sejumlah kalangan di antara mereka mempunyai keyakinan bahwa tidak perlu melakukan perang ofensif, karena masih kaum Muslimin masih dapat mengatasi berbagai rintangan fisik, dan mengemban dakwah kepada kaum kafir tanpa harus berbenturan dengan rintangan tersebut, baik dakwah melalui internet, media massa, buku, selebaran, membangun masjid dan pusat kegiatan Islam di jantung kota negara-negara kafir, serta menjalin kontak individu agar mereka mau masuk diin Allah. Mereka beranggapan bahwa cara-cara di atas dapat menggantikan fungsi perang ofensif.
Namun demikian, pandangan itu bertentangan dengan nash-nash dalam Al Qur'an, as-Sunnah, dan ijma sahabat, yang memerintahkan kita memulai peperangan dengan mereka, sekalipun mereka tidak menyerang kaum Muslimin lebih dahulu, atau tidak mau masuk Islam dan tidak membayar jizyah, atau tidak mau tunduk kepada hukum Islam. Nash-nash ini tidak mengandung 'illat bahwa jihad hanya diwajibkan bila situasinya tidak memungkinkan dakwah secara verbal. Dalam Al Qur'an Allah SWT berfirman,
"Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, dan tidak pula kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan tidak beragama dengan agama yang benar, yaitu orang-orang yang diberi Al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh, sedang mereka dalam keadaan tunduk." (QS At Taubah: 29)
Demikian juga firman Allah SWT,
"Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka memerangi kamu semuanya. Dan ketahuilah bahwasannya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa." (QS At Taubah: 36)
Dan juga,
"Hai Nabi, berjihadlah melawan orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah jahannam, dan itulah tempat kembali yang seburuk-buruknya." (QS At Taubah: 73)
"Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. Itu telah menjadi janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al Qur'an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar." (QS At Taubah: 111)
Selain itu, Allah SWT juga berfirman,
"Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan darimu, dan ketahuilah bahwasannya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa." (QS At Taubah: 123)
Itulah ayat-ayat dari Surat At Taubah yang di antaranya diturunkan tanpa adanya takhsis (pengkhususan), taqyid (pembatasan), dan nasakh (penghapusan). Jadi ayat-ayat tersebut menjadi dalil bahwa jihad bisa berbentuk perang defensif maupun perang ofensif, yaitu perang untuk bertahan maupun untuk menyerang.
Sedangkan Allah SWT berfirman,
"Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya." (QS Al Anfaal: 61)
"Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi janganlah kamu melampaui batas. Karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas." (QS Al Baqarah: 190)
Atau firman-Nya dalam Al Qur'an,
"Telah diizinkan untuk berperang bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa menolong mereka." (QS Al Hajj: 39)
Ayat-ayat di atas, dan ayat-ayat lain yang mirip dengannya, tidak cukup tepat untuk mengkhususkan keumuman ayat-ayat dalam Surat At Taubah, dan tidak pula dapat membatasi kemutlakannya. Karena, ayat-ayat tersebut diturunkan sebelum ayat-ayat Surat At Taubah, sedangkan nash-nash yang turun lebih dahulu tidak dapat mengkhususkan atau membatasi ayat-ayat yang turun sesudahnya. Hal ini karena pengkhususan (takhsis) sama artinya dengan penghapusan (nasakh) terhadap sebagian dari nash-nash umum, atau dengan kata lain mengalihkan suatu aturan dari keumumannya dengan cara membatalkan sebagian dan menggantikannya dengan aturan lain. Sepanjang pengkhususan sama artinya dengan penghapusan - sementara dalam aturan penghapusan (nasakh) dipersyaratkan bahwa ayat penghapus (nasikh) harus ayat yang diturunkan sesudah ayat yang dihapus (mansukh) - maka ayat-ayat tersebut tidak dapat mengkhususkan ayat-ayat Surat Taubah karena ayat-ayat itu turun lebih dahulu. Ayat-ayat dalam Surat At Taubah itu merupakan sebagian ayat tentang jihad yang diturunkan pada akhir masa turunnya Al Qur'an, sehingga tidak ada pengkhususan (takhsis) terhadapnya.
Demikian juga halnya dengan pembatasan (taqyid). Sebagaimana takhsis, ayat yang membatasi haruslah yang diturunkan sesudah ayat yang mutlak atau ayat yang turun bersamanya, sehingga ayat tersebut bisa membatasi ayat yang mutlak tersebut. Karena ayat-ayat di atas tidak turun setelah ayat-ayat dalam Surat At Taubah, maka ayat-ayat itu tidak dapat membatasi kemutlakan ayat-ayat Surat At Taubah. Dengan demikian, ayat-ayat dalam Surat At Taubah tetap dalam keumumannya, karena tidak ada ayat yang mengkhususkannya; dan tetap dalam kemutlakannya, karena tidak ada ayat yang membatasinya.
Sementara itu, ada pula hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar yang berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda,
"Aku perintahkan supaya memerangi manusia sehingga mereka mengucapkan Dua Kalimah Syahadat iaitu: 'Laa ilaaha illa Allah Muhammad ar-Rasulullah', mendirikan shalat serta mengeluarkan zakat. Siapa saja yang melakukannya berarti darah dan hartanya bebas daripada aku kecuali dibenarkan oleh syariat Islam dan segalanya terserahlah kepada Allah untuk menentukannya"
Dalam riwayat yang lain dikatakan,
"Aku diperintahkan supaya memerangi manusia sehingga mereka mengucapkan 'Laa ilaaha illa Allah'. Siapa saja yang mengucapkannya berarti darah dan hartanya bebas daripada aku kecuali yang dibenarkan oleh syariat dan segalanya terserahlah kepada Allah untuk menentukannya."
Dalam hadits riwayat Imam Muslim dari Sulaiman bin Buraidah dari bapaknya, dikatakan bahwa, ketika Rasulullah menunjuk seseorang sebagai amir dalam suatu pasukan atau perjalanan, beliau selalu menasihatinya untuk takut kepada Allah demi kepentingan dirinya dan kebaikan kaum Muslimin yang bersamanya. Kemudian beliau akan berpesan,
"Perangilah atas nama Allah di jalan Allah, perangilah orang-orang yang kufur kepada Allah. Perangilah, tapi janganlah berlebihan (mengambil rampasan perang), janganlah kamu berkhianat, jangan memotong-motong tubuh musuh, dan jangan membunuh anak-anak. Apabila bertemu dengan musuh, maka tawarkan tiga pilihan, dan terimalah salah satu pilihan mereka, dan biarkanlah mereka. (Pertama) Serulah mereka untuk masuk Islam, dan apabila mereka menerima tawaran ini, maka terimalah ia dan biarkanlah ia. Kemudian tawarkan kepada mereka untuk hijrah dari wilayah mereka ke wilayah kaum Muhajirin. Sampaikan kabar bahwa bila mereka menerima tawaran ini, mereka mendapat hak yang sama dengan hak yang diterima kaum Muhajirin dan mempunyai kewajiban yang sama dengan kewajiban kaum Muhajirin. Bila mereka menolak untuk hijrah (ke wilayah Muhajirin), katakan kepadanya bahwa mereka sama seperti orang Badui Muslim, yaitu tunduk kepada hukum kaum mukmin, namun mereka tidak mendapat bagian rampasan perang, kecuali bila mereka mau berperang bersama kaum Muslimin. (Kedua) Bila mereka menolak, perintahkan mereka untuk membayar jizyah; bila mereka menerima tawaran ini, terimalah mereka dan biarkan mereka. (Ketiga) Bila mereka masih tetap menolak, maka mohonlah pertolongan kepada Allah, dan majulah memerangi mereka."
Kedua hadits tersebut secara eksplisit mengungkapkan bahwa jihad adalah memulai peperangan. Dan demikianlah tindakan Rasulullah SAW, yaitu memulai peperangan dengan kaum Hawazin di Hunain, Tsaqif ath-Thaif, dan dengan bangsa Romawi di Mu'tah dan Tabuk. Rasulullah SAW sendiri memimpin 27 peperangan dalam kurun waktu sembilan tahun, belum termasuk peperangan-peperangan yang dipimpin oleh para sahabat.
Demikian pula, ijma sahabat menunjukkan bahwa jihad adalah perang di jalan Allah untuk menyebarluaskan Islam, dan ini artinya memulai peperangan. Maka kemudian para sahabat berhasil menaklukkan Irak, Persia, Asy-Syam, Mesir, Afrika Utara, Khurasan, Kabul, Sijistan, dan sebagainya. Bangsa Koptik yang beragama Nasrani tidak lebih dulu menyerang kaum Muslimin, demikian pula suku bangsa Berber dan Dailam. Negeri-negeri itu seluruhnya ditaklukkan pada masa sahabat, dan merekalah yang berinisiatif memulai peperangan hingga berhasil menguasai wilayah kaum kafir. Setelah penjelasan ini, masihkah ada ruang untuk mengatakan bahwa jihad hanya ada dalam bentuk perang defensif, dan tidak ada istilah perang ofensif dalam Islam???
Kesimpulan
Singkatnya, benturan peradaban merupakan suatu keniscayaan. Benturan peradaban ada sejak dulu, sampai sekarang, dan tetap akan ada hingga Hari Akhir. Wahai kaum Muslimin, jangan pernah terperdaya oleh para penyeru dialog antar agama dan antar peradaban yang tidak mau menerima kenyataan, membiarkan segala penghinaan, dan takluk di hadapan kaum kafir. Siapkan diri anda untuk menghadapi konflik itu, karena peradaban kapitalis Barat telah memberikan serangan yang mematikan, baik secara militer, politik, maupun ekonomi. Namun demikian, mereka tidak akan mampu mengalahkan pemikiran kaum Muslimin. 'Aqidah anda adalah aqidah yang tak terkalahkan; aqidah yang akan selalu terpatri dalam jiwa, kecuali bila pemikiran-pemikiran yang berasal dari aqidah anda itu telah terkontaminasi dan teracuni. Maka berjuanglah untuk memurnikannya, dan menyingkirkan debu dan kotoran darinya dengan cara mengembalikan Al Qur'an dan As-Sunnah sebagai pedoman. Berhati-hatilah dalam menerima berbagai pemikiran yang tidak disertai dalil, atau menerima pernyataan yang disertai dalil-dalil namun berasal dari orang-orang yang tidak jelas benar kemujtahidannya. Saat ini adalah zaman pemimpin yang jahil, yang gemar memberikan fatwa tanpa landasan dan pengetahuan. Maka, waspadalah dengan orang-orang seperti ini. Carilah para ulama yang lurus dan ikhlas, dan ambilah diin anda dari mereka, karena mereka bagaikan lampu penerang dalam kegelapan, meski saat ini jumlah mereka tidak banyak. Dan ketahuilah bahwa kemenangan yang sejati adalah kejayaan Islam dan kaum Muslimin (izzul Islam wa al-Muslimun). Inilah janji Allah SWT dan Rasulullah SAW dalam nash-nash yang pasti (akhbar qath'iyyah), maka tetaplah beriman kepada kabar gembira dari Allah SWT. Berjuanglah untuk menegakkan Khilafah, dan menyatukan ummat dalam satu jama'ah di bawah kepemimpinan seorang Khalifah, yang akan membuat berbagai persiapan, menyatukan ummat, menggentarkan musuh-musuh ummat, melindungi negeri-negeri kaum Muslimin, mengurus dan memperlakukan warga negaranya secara adil, dan Allah - melalui tangannya - akan menjadikan Islam sebagai diin yang paling menonjol di antara diin-diin lainnya, meski kaum musyrikin tidak menyukainya.
Ya Allah, berilah petunjuk kepada ummat Muhammad mengenai hal-hal yang Engkau ridhai, dan jadikanlah mereka kaum yang pantas menerima pertolongan-Mu. Wahai Allah Yang Maha Penyayang, kami adalah makhluk yang lemah di hadapan-Mu, yang memohon pertolongan dan perlindungan-Mu, yang berserah diri kepada-Mu, dan sungguh-sungguh mengharap pertolongan-Mu. Tolonglah diin-Mu, penuhilah janji-Mu, dan turunkanlah kemenangan-Mu. Hanya kepada-Mu segala pujian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar