Apakah Kelompok, Partai, atau Harakah Islam Yang Ada di Negeri-negeri Islam Sekarang Termasuk Firqah yang Harus Dijauhi?
Ada
sebagian kaum Muslim memahami bahwa keberadaan partai, jama’ah,
kelompok, atau organisasi-organisasi Islam yang berdiri di tengah-tengah
kaum Muslim termasuk firqah yang harus dijauhi oleh seluruh kaum
Muslim.Mereka beralasan; (1) ada perintah dari Nabi Mohammad saw kepada
kaum Muslim untuk mengikatkan diri dengan jama’ah al-Muslimin dan
meninggalkan firqah-firqah; (2) kelompok-kelompok ini telah menyebabkan
kaum Muslim terpecah belah dalam partai-partai dan kelompok-kelompok;
(3) masing-masing kelompok fanatik dengan kelompoknya
sendiri.Berdasarkan alasan-alasan ini, lalu mereka mengharamkan semua
kutlah (kelompok, gerakan, partai, organisasi, jama’ah), walaupun
kelompok (hizb) itu memperjuangkan Islam.
Untuk alasan pertama, mereka mengetengahkan sebuah hadits yang dituturkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Hudzaifah al-Yamaniy ra, bahwasanya beliau ra berkata;
كَانَ
النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
عَنْ الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنْ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ
يُدْرِكَنِي فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا فِي جَاهِلِيَّةٍ
وَشَرٍّ فَجَاءَنَا اللَّهُ بِهَذَا الْخَيْرِ فَهَلْ بَعْدَ هَذَا
الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ قَالَ نَعَمْ قُلْتُ وَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الشَّرِّ
مِنْ خَيْرٍ قَالَ نَعَمْ وَفِيهِ دَخَنٌ قُلْتُ وَمَا دَخَنُهُ قَالَ
قَوْمٌ يَهْدُونَ بِغَيْرِ هَدْيِي تَعْرِفُ مِنْهُمْ وَتُنْكِرُ قُلْتُ
فَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ قَالَ نَعَمْ دُعَاةٌ إِلَى
أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا قُلْتُ
يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا فَقَالَ هُمْ مِنْ جِلْدَتِنَا
وَيَتَكَلَّمُونَ بِأَلْسِنَتِنَا قُلْتُ فَمَا تَأْمُرُنِي إِنْ
أَدْرَكَنِي ذَلِكَ قَالَ تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ
قُلْتُ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلَا إِمَامٌ قَالَ
فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ
شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ
”Orang-orang
bertanya kepada Rasulullah saw tentang kebaikan.Sedangkan aku bertanya
kepada beliau saw mengenai keburukan, karena khawatir keburukan itu akan
menimpaku.Aku bertanya, ”Ya Rasulullah, sesungguhnya, kami dahulu
berada di masa jahiliyyah dan keburukan.Lalu, Allah mendatangkan kepada
kami kebaikan ini.Lantas, apakah setelah kebaikan ini akan datang
keburukan?Nabi saw menjawab, ”Ya”. Saya bertanya lagi,”Apakah setelah
keburukan itu akan ada kebaikan? Nabi saw menjawab, ”Ya, dan di dalamnya
terdapat ”dakhan” (kotoran).Aku bertanya, ”Apa kotorannya?” Beliau
menjawab, ”Kaum yang memberi petunjuk bukan dengan petunjukku; yang mana
kamu mengenal mereka, dan kamu akan mengingkari”.Aku bertanya lagi,
”Apakah setelah kebaikan itu akan datang keburukan lagi?Nabi saw
menjawab, ”Ya, orang-orang yang mengajak ke pintu-pintu neraka.Siapa
saja yang menerima ajakan mereka menuju pintu-pintu neraka, mereka akan
melemparkannya ke dalam neraka”.Aku bertanya lagi, ”Ya Rasulullah,
beritahukanlah sifat-sifat mereka kepada kami”.Nabi saw menjawab,
”Mereka memiliki kulit yang sama dengan kita, dan berbicara dengan
bahasa-bahasa kita”.Aku bertanya lagi, ”Apa yang engkau perintahkan
kepada kami, jika hal itu menimpaku?Nabi saw menjawab, ”Tetapilah
jama’at al-Muslimiin dan imam mereka”.Aku bertanya, ”Lalu, bagaimana
jika mereka tidak memiliki jama’ah dan imam”.Nabi saw bersabda,
”Jauhilah semua firqah tersebut, meskipun engkau harus menggigit akar
pohon, hingga kematian menjemputmu, sedangkan engkau tetap dalam keadaan
seperti itu”.[HR. Imam Bukhari dan Muslim]
Menurut
mereka, hadits ini menunjukkan bahwa kaum Muslim wajib menjauhi
firqah-firqah (kelompok-kelompok) yang ada, di saat kaum Muslim tidak
memiliki jama’ah dan imam.Masih menurut mereka, pengertian semacam ini
terlihat jelas dalam redaksi hadits;
فَإِنْ
لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلَا إِمَامٌ قَالَ فَاعْتَزِلْ تِلْكَ
الْفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى
يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ
”Hudzaifah
ra bertanya, ”Lalu, bagaimana jika mereka tidak memiliki jama’ah dan
imam”.Nabi saw bersabda, ”Jauhilah semua firqah tersebut, meskipun
engkau harus menggigit akar pohon, hingga kematian menjemputmu,
sedangkan engkau tetap dalam keadaan seperti itu”.[HR. Imam Bukhari dan Muslim]
Berdasarkan hadits ini mereka berpendapat bahwa, keberadaan firqah (kelompok, partai, hizb, danjama’ah) di
dunia Islam saat ini merupakan sesuatu yang terlarang dan harus dijauhi
oleh seluruh kaum Muslim sebagai bentuk pengamalan hadits riwayat
Hudzaidah al-Yamaniy di atas.Oleh karena itu, masih menurut mereka, kaum
Muslim dilarang mendirikan, berkecimpung, atau melibatkan diri dalam
kelompok, partai, atau hizb, apapun alasannya.
Istinbath
semacam ini tidak tepat. Sebab, kesimpulan seperti itu belum melibatkan
dan mencakup keseluruhan nash yang berbicara mengenai jama’ah (kelompok,
hizb, jamaa’ah, firqah, dan thaaifah).Pasalnya, di samping ada
kewajiban menjauhi firqah, seperti yang tercantum di dalam hadits
Hudzaifah al-Yamaniy di atas, ada pula perintah sebaliknya, yakni
perintah mendirikan kutlah, kelompok, firqah, hizb, atau
thaaifah.Perintah untuk mendirikan jamaa’ah, firqah, atau thaaifah,
disebutkan secara tegas di dalam al-Quran.Allah swt berfirman;
وَلْتَكُنْ
مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan
hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar;
merekalah orang-orang yang beruntung”. [TQS Ali Imron (3):104]
Imam Ibnu Katsir menyatakan;
والمقصود من هذه الآية أن تكون فرْقَة من الأمَّة متصدية
لهذا الشأن، وإن كان ذلك واجبا على كل فرد من الأمة بحسبه، كما ثبت في
صحيح مسلم عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “مَنْ
رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَده، فَإنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
فَبِلِسَانِهِ، فَإنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أضْعَفُ
الإيمَانِ”. وفي رواية: “وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنَ الإيمَانِ حَبَّةُ
خَرْدَلٍ”
“Maksud
ayat ini adalah, hendaknya ada kelompok (firqah) dari umat ini (umat
Islam) yang siap sedia menjalankan tugas tersebut (dakwah menuju Islam
dan amar makruf nahi ‘anil mungkar), walaupun (dakwah menuju Islam dan
amar makruf nahi ‘anil mungkar) juga kewajiban setiap individu umat ini;
sebagaimana telah ditetapkan di dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah
ra, bahwasanya ia berkata, “Rasulullah saw bersabda, “
“مَنْ
رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَده، فَإنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
فَبِلِسَانِهِ، فَإنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أضْعَفُ
الإيمَانِ”. وفي رواية: “وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنَ الإيمَانِ حَبَّةُ
خَرْدَلٍ” .
“Siapa
saja diantara kalian yang menyaksikan kemungkaran, hendaknya ia ubah
dengan tangannya.Jika ia tidak mampu (mengubah dengan tangan) hendaknya
dengan lisannya.Dan
jika ia tidak mampu (mengubah dengan lisannya), hendaknya dengan
hatinya”.Di dalam riwayat lain dituturkan, ”Setelah itu tidak ada
keimanan seberat biji gandum pun”.[HR. Imam Muslim dari Abu Musa al-Asy’ariy][1]
Di dalam Tafsir al-Thabariy disebutkan, ”Abu
Ja’far menyatakan, ”..yakni adanya jamaa’ah (kelompok) yang menyeru
manusia menuju kebaikan, yakni Islam dan syariat Islam yang telah
disyariatkan Allah atas hambaNya; dan melakukan amar ma’ruf nahi ’anil
mungkar; yakni memerintahkan manusia untuk mengikuti Nabi Muhammad saw,
dan agamanya yang berasal dari sisi Allah swt; dan mencegah kemungkaran;
yakni mereka mencegah dari ingkar kepada Allah, serta (mencegah)
mendustakan Nabi Muhammad saw dan ajaran yang dibawanya dari sisi
Allah….”[2]
Imam Ali Al-Shabuniy menyatakan, ”Maksudnya,
hendaknya dirikanlah kelompok (thaaifah) dari kalian (umat Islam) untuk
berdakwah menuju Allah, dan untuk mengajak kepada setiap kebajikan dan
mencegah dari setiap kemungkaran”.[3]
Dengan
demikian, ayat di atas menunjukkan dengan sangat jelas bahwa, Allah swt
telah memerintahkan kaum Muslim untuk mendirikan jama’ah, thaifah,
hizb, atau kelompok dari kalangan kaum Muslim yang bertugas menyeru
kepada Islam dan melakukan amar makruf nahi ’anil mungkar. Frase ”minkum” pada ayat di atas merujuk kepada kaum Muslim, bukan merujuk kepada non Muslim.Semua ini menunjukkan bahwa ”jama’ah” tersebut harus beranggotakan orang-orang Muslim, bukan orang-orang kafir.
Lalu,
bagaimana mengkompromikan hadits Hudzaifah al-Yamaniy yang
memerintahkan kaum Muslim menjauhi firqah, dengan al-Quran yang justru
memerintahkan kaum Muslim mendirikan firqah (kelompok)?Kompromi kedua
dalil ini adalah sebagai berikut.
Pada
dasarnya, maksud sabda Nabi saw agar kaum Muslim menjauhi firqah-firqah
yang yang tercantum di dalam hadits Hudzaifah ra tidak bersifat mutlak
untuk semua firqah (kelompok), akan tetapi sebatas pada firqah-firqah
(kelompok) yang menyimpang dari al-Quran dan Sunnah.Artinya, jika
kelompok, partai, atau jamaa’ah tersebut telah menyimpang dari jalan
lurus yang digariskan Allah swt dan RasulNya, maka firqah tersebut harus
dijauhi, dan seorang Muslim tidak boleh berkecimpung di
dalamnya.Sedangkan firqah, thaaifah, jamaa’ah, maupun hizb
yang didirikan untuk mengamalkan perintah Allah swt surat Ali Imron
ayat 104; dan selama firqah, thaaifah, jamaa’ah, maupun hizb tersebut
tetap berdiri di atas al-Quran dan Sunnah serta menyeru kepada kebaikan;
maka kelompok-kelompok seperti ini bukan termasuk firqah yang harus
dijauhi.Bahkan, kelompok semacam ini wajib ada di tengah-tengah kaum
Muslim untuk melakukan amar makruf nahi ’anil mungkar, walaupun
jumlahnya lebih dari satu.
Makna semacam ini tampak jelas dalam sabda Rasulullah saw;
فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلَا إِمَامٌ قَالَ فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ
”Hudzaifah
ra bertanya, ”Lalu, bagaimana jika mereka tidak memiliki jama’ah dan
imam”.Nabi saw bersabda, ”Jauhilah semua firqah tersebut, meskipun
engkau harus menggigit akar pohon, hingga kematian menjemputmu,
sedangkan engkau tetap dalam keadaan seperti itu”.[HR. Imam Bukhari dan Muslim].
Lafadz di dalam hadits itu adalah ”fa’tazil tilka al-firaqa kullaha”.Kata ”tilka”
menunjukkan bahwa firqah yang dimaksud bukanlah semua firqah secara
keseluruhan.Akan tetapi, semua firqah yang memiliki sifat sebagaimana
yang disebutkan Nabi dalam lafadz sebelumnya, yakni, ”du’at ila abwaab al-jahannam” (para penyeru kepada pintu-pintu jahannam)”.
Dengan
demikian, firqah yang diperintahkan oleh hadits ini untuk dijauhi
adalah firqah-firqah yang mengajak kepada pintu-pintu neraka. Degan kata
lain, firqah-firqah yang yang mengajak kepada kekufuran, yang semua itu
mengantarkan pelakunya masuk ke dalam neraka jahannam.Bukan
kelompok-kelompok yang berdiri di atas sunnah Rasul dan menegakkan amar makruf nahi ’anil mungkar.
Adapun terhadap firqah atau kelompok yang tetap berdiri di atas sunnah Nabi saw, dan senantiasa menegakkan amar makruf nahi ’anil mungkar,
maka seorang Muslim diperintahkan untuk berada di dalam kelompok
tersebut.Hal ini ditegaskan dalam perintah Allah swt surat Ali Imron
ayat 104. Kaum Muslim diperintahkan mendukung dan melibatkan diri dalam
kelompok yang bertujuan untuk melenyapkan kekufuran dan kemungkaran yang
telah tersebar luas di tengah-tengah masyarakat akibat diterapkannya
aqidah dan sistem kufur.
Alasan
lain yang mengharuskan seorang Muslim melibatkan diri dalam kelompok,
jamaa’ah, atau partai yang berdiri di atas sunnah Nabi saw, dan yang
bertujuan menegakkan hukum-hukum Allah secara kaaffah adalah; kenyataan
bahwa, perjuangan menegakkan hukum-hukum Allah swt secara menyeluruh
tidak mungkin dilakukan seorang diri, atau melalui ’amal fardiy (kerja individual).Tujuan semacam ini hanya bisa diwujudkan melalui perjuangan yang bersifat kolektif (’amal jamaa’iy).Selain
itu, perjuangan menegakkan kembali hukum-hukum Allah swt secara kaaffah
merupakan perjuangan yang sangat berat dan membutuhkan andil banyak
orang; dan tidak mungkin dipikul oleh seorang individu saja.Kaedah
syar’iyyah menyatakan;
مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
“Tidak tersempurnanya suatu kewajiban kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu menjadi wajib”
Adapun untuk alasan kedua yang menyatakan bahwa, keberadaan kelompok-kelompok
tersebut telah menyebabkan kaum Muslim terpecah belah, sehingga
kelompok itu harus dijauhi; sesungguhnya alasan semacam ini tidaklah
benar.Harus ditegaskan; banyaknya kelompok, partai, atau jama’ah yang
berdiri di atas Islam bukan sesuatu yang terlarang.Sebab, kata ”ummah” dalam Surat Ali Imron:104 berbentuk ism al-jins sehingga tidak membatasi hanya satu.
Pada
dasarnya, salah satu faktor yang menyebabkan kaum Muslim terpecah belah
adalah, adanya fanatisme kelompok danmadzhab yang
berlebih-lebihan.Sikap inilah, sesungguhnya yang menyebabkan kaum Muslim
terpecah belah, bukan banyaknya kelompok, partai, maupun madzhab.Di
dalam lintasan sejarahnya, kaum Muslim telah terbiasa dengan banyak
madzhab dan kelompok, akan tetapi mereka tetap bisa bersatu dan tidak
terpecah belah.Faktor lain yang menyebabkan kaum Muslim terpecah belah
adalah ketiadaan seorang Imam (Khalifah).
Adapun
alasan ketiga untuk menolak keberadaan kelompok, partai, dan jama’ah
Islam adalah,masing-masing kelompok tersebutfanatik dengan kelompoknya
sendiri dan berbangga-bangga dengan apa yang ada pada diri mereka.Mereka
mengetengahkan firman Allah swt;
مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ
“yaitu
orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa
golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada
golongan mereka”.[TQS
al-Ruum (30): 32], dan masih banyak ayat-ayat yang memiliki pengertian
senada, misalnya Al-Maidah (5):53; al-Mu`minuun (23):54], dan
sebagainya.
Berdasarkan
ayat ini, mereka menyatakan bahwa kelompok, partai, atau jamaa’ah yang
ada sekarang ini telah menyebabkan munculnya sikap fanatisme kelompok
dan berbangga-bangga dengan kelompoknya sendiri, sehingga mereka harus
dijauhi.Oleh karena itu, semua hizb (kelompok) adalah haram.Lantas,
benarkah pendapat semacam ini?Untuk menjawab pertanyaan ini ada baiknya
kita simak penjelasan para ulama tafsir tentang ayat ini.
Imam Ibnu Katsir di dalam Tafsir Ibnu Katsir menyatakan;
وقوله:
{ مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ
بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ } أي: لا تكونوا من المشركين الذين قد فرقوا
دينهم أي: بدلوه وغيروه وآمنوا ببعض وكفروا ببعض.وقرأ
بعضهم: “فارقوا دينهم” أي: تركوه وراء ظهورهم، وهؤلاء كاليهود والنصارى
والمجوس وعَبَدة الأوثان، وسائر أهل الأديان الباطلة، مما عدا أهل الإسلام،
كما قال تعالى: { إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا
لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ إِنَّمَا أَمْرُهُمْ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ
يُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْعَلُونَ } [الأنعام: 159]، فأهل الأديان قبلنا اختلفوا فيما بينهم على آراء وملَل باطلة، وكل فرقة منهم تزعم أنهم على شيء،وهذه
الأمةأيضًا اختلفوا فيما بينهم على نحل كلها ضلالةإلا واحدة، وهم أهل
السنة والجماعة، المتمسكون بكتاب الله وسنة رسول اللهصلى الله عليه وسلم،
وبما كان عليه الصدر الأول من الصحابة والتابعين، وأئمة المسلمين في قديم
الدهر وحديثه، كما رواه الحاكم في مستدركه أنه سئل، عليه السلامعن الفرقة
الناجية منهم، فقال: “ما أنا عليه [اليوم]وأصحابي” .
“Adapun
firman Allah swt: (min al-ladziina farraquu diinahum wa kaanuu syiya’an
kullu hizb bimaa ladaihim farihuun), maksudnya adalah, “janganlah
kalian menjadi bagian orang-orang musyrik yang telah memecahbelah agama
mereka; yakni mengganti dan mengubah agamanya, iman terhadap sebagian
dan kafir (ingkar) terhadap sebagian yang lain.Sebagian ulama membaca
dengan : (faaraquu diinahum), yang maknanya adalah “taarakuuhu wara`a
dzahrihi” (meninggalkan agamanya di belakang punggung mereka).Mereka itu
seperti orang-orang Yahudi, Nashraniy, Majusiy, penyembah berhala, dan
semua pemilik agama bathil; selain penganut agama Islam; sebagaimana
firman Allah swt, artinya “ Sesungguhnya, orang-orang yang memecah belah
agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada
sedikitpun tanggungjawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya, urusan mereka
hanyalah terserah kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan
kepada mereka apa yang telah mereka perbuat”.[TQS Al An’aam (6):159]Penganut
agama sebelum kita telah berselisih di antara mereka mengenai
pemikiran-pemikiran dan syariat-syariat agama yang bathil.Setiap
kelompok mengaku berada di atas kebenaran.Umat ini (umat Islam) juga
akan berselisih dalam urusan agama, dan seluruhnya, kecuali satu
kelompok, yakni ahlu al-sunnah wa al-jamaa’ah yang senantiasa berpegang
teguh kepada Kitabullah dan Sunnah NabiNya, dan apa yang telah ditempuh
oleh generasi awal Islam dari kalangan shahabat ra dan tabi’uun dan para
ulama kaum Muslim baik salaf maupun khalaf; sebagaimana dituturkan oleh
Imam al-Hakim di dalam al-Mustadrak, bahwasanya Nabi saw ditanya
tentang firqah al-naajiyah (kelompok yang selamat) dari kalangan
mereka.Nabi saw menjawab, ”Kelompok yang berada di atas jalan yang aku
tempuh saat ini dan juga para shahabat”.[4]
Berdasarkan penjelasan di atas dapatlah disimpulkan bahwa kelompok (firqah)
yang dicela dan berbangga-bangga dengan apa yang ada pada diri mereka,
adalah kelompok yang berbangga-bangga dengan keyakinan dan pendirian
mereka yang sesat dan kufur.Kelompok ini telah mengganti dan mengubah
sendi keyakinan dan syariat agama mereka, lalu mereka berbangga-bangga
dengan keyakinan dan syariat agama yang telah menyimpang dan sesat
itu.Kebanggaan yang dilarang di dalam ayat tersebut adalah kebanggaan
dalam kesesatan dan kekufuran.Sedangkan kebanggaan dalam Islam atau pada
perkara yang wajib dibanggakan bukanlah kebanggaan yang
dilarang.Misalnya, seorang Muslim harus berbangga dengan dan menunjukkan
keislamannya.Sebab, secara bahasa kata al-farh berarti naqiidl al-huzn (lawan dari sedih)[5].Menurut ulama tafsir, frase (farihuun) pada ayat di atas bermakna masruurun, mu’jibuun, dan raadluun (senang, kagum, dan ridla)[6].Dengan demikian, seorang Muslim wajib ridlo, senang, dan kagum dengan agama Allah dan para perkara yang boleh dibanggakan.Allah swt berfirman;
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
”Katakanlah:
“Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka
bergembira (yafrahuu). Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik
dari apa yang mereka kumpulkan”. [TQS Yunus (10):58]
Berbangga
dan bergembira dengan kurnia dan rahmat Allah sesuatu yang dibenarkan,
dan tidak dilarang.Sedangkan berbangga dengan sesuatu yang seharusnya
tidak boleh dibanggakan adalah terlarang.Misalnya, Allah swt berfirman;
وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا ءَاتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ
”
dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya
kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi
membanggakan diri”. [TQS Al Hadiid (57):23]
Oleh
karena itu, berbangga-bangga yang dilarang dalam konteks ayat di atas
(surat Ruum: 32) adalah berbangga-bangga dalam kesesatan dan kekufuran.
Sedangkan berbangga-bangga dalam kebenaran dan keIslaman bukanlah
sesuatu yang dilarang.
Berdasarkan
uraian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa, ayat ini tidak bisa
ditujukan kepada kelompok-kelompok Islam yang masih tegak di atas sunnah
Nabi saw, dan tidak mengganti sendi-sendi dan syariat agama
Islam.Semampang, aqidah mereka tetap Islam, dan mereka masih berjalan di
atas jalan yang lurus, dan berjuang untuk menegakkan Islam, maka
kelompok seperti ini bukanlah firqah yang disinggung oleh ayat ini.
Oleh karena itu, kelompok Islam, baik yang berbentuk jamaa’ah, partai, atau hizb yang
ada di dunia Islam saat ini, yang didirikan untuk memenuhi seruan Allah
swt dalam surat Ali Imron ayat 104, dan yang tetap berdiri di atas
jalan lurus (sunnah Nabi saw), bukanlah kelompok yang
diharamkan.Kelompok-kelompok seperti ini tidak boleh dijauhi, bahkan
seorang Muslim wajib membantu perjuangan mereka dengan harta dan jiwa.
Sedangkan
kelompok, partai, atau jamaa’ah yang didirikan di atas aqidah kufur,
semacam sekulerisme, demokrasi, sosialisme, nasionalisme, dan
sebagainya; serta bertujuan untuk menerapkan dan melanggengkan sistem
kufur, maka kelompok-kelompok seperti ini adalah kelompok yang harus
dijauhi; dan kaum Muslim dilarang membantu atau melibatkan diri di
dalamnya.Pasalnya, kelompok ini tidak berada di atas jalan yang lurus
(sunnah Nabi saw), alias telah menyimpang dari jalan Islam.
Kelompok-kelompok seperti inilah yang dimaksud oleh nash-nash al-Quran
dan hadits riwayat Hudzaifah al-Yamaniy di atas, sebagai firqah yang
sesat dan harus dijauhi kaum Muslim. Bukan hizb atau firqah yang tetap
berjalan di atas sunnah Nabi saw.
Di samping itu, Rasulullah saw juga secara tegas menyebutkan dan memuji keberadaan firqah naajiyyah (kelompok yang selamat).Nabi saw bersabda;
لَا
تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ لَا
يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ
كَذَلِكَ وَلَيْسَ فِي حَدِيثِ قُتَيْبَةَ وَهُمْ كَذَلِكَ
”Akan
ada kelompok dari umatku yang selalu menang di atas kebenaran, tidak
akan membahayakan mereka orang yang memusuhi mereka, hingga Allah
mendatangkan perintahnya, dan mereka tetap dalam keadaan seperti itu”.[HR. Imam Muslim]
Nabi saw juga memuji dan menyebut ’thaaifah al-zhaahirah’ (kelompok yang menang).Imam Ahmad menuturkan sebuah hadits, bahwasanya Nabi saw bersabda;
َزَالُ
طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي عَلَى الْحَقِّ ظَاهِرِينَ لَعَدُوِّهِمْ
قَاهِرِينَ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَالَفَهُمْ إِلَّا مَا أَصَابَهُمْ مِنْ
لَأْوَاءَ حَتَّى يَأْتِيَهُمْ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ كَذَلِكَ قَالُوا يَا
رَسُولَ اللَّهِ وَأَيْنَ هُمْ قَالَ بِبَيْتِ الْمَقْدِسِ وَأَكْنَافِ
بَيْتِ الْمَقْدِسِ
”Akan
selalu ada kelompok (thaaifah) dari umatku yang senantiasa berada di
atas kebenaran, dan mampu mengalahkan musuh-musuh mereka.Tidak akan
membahayakan mereka, orang-orang yang menyelisihi mereka kecuali hanya
sekedar kesulitan hidup yang menimpa mereka, hingga tiba urusan Allah
swt, dan mereka tetap berada dalam keadaan itu.Para shahabat bertanya,
”Ya Rasulullah, di manakah kelompok itu?Rasulullah saw bersabda, ”Di
Baitul Maqdis dan sekitar Baitul Maqdis”.[HR. Imam Ahmad]
Kewajiban Mendirikan Jama’ah atau Partai Politik Berbasis Islam
Al-Quran
telah menyatakan dengan sangat jelas adanya kewajiban atas kaum Muslim
untuk mendirikan jama’ah, partai politik, hakarah, atau hizb.Allah swt
berfirman:
وَلْتَكُنْ
مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan
hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar;
merekalah orang-orang yang beruntung. [TQS Ali Imran (3) : 104]
Menurut Ibnu Katsir, maksud ayat ini adalah hendaknya ada firqah (kelompok)
dari umat ini (umat Islam) yang melaksanakan kewajiban tersebut
(yad’una ila al-khair wa ya’muruuna bi al-ma’ruf wa yanhauna ‘an
al-mungkar), meskipun kewajiban tersebut juga berlaku bagi setiap
individu umat ini; seperti yang telah ditetapkan di dalam Shahih Muslim
dari Abu Hurairah, “Siapa saja diantara kalian yang melihat kemungkaran,
maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya; jika tidak mampu
hendaklah ia mengubahnya dengan lisannya, dan jika tidak mampu, maka
ubahlah dengan hatinya, dan ini adalah selemah-lemah iman.”[HR. Muslim] [Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, surat Ali Imron:104]
Beberapa ahli tafsir lain memaknai kata (ummah) di dalam ayat itu dengan jamaa’ah[7].Ulama tafsir lain memaknainya dengan “thaaifah”.[8]Sedangkan kata al-jamaa’ah, firqah, dan thaaifah memiliki pengertian yang sama, yakni sekumpulan manusia[9].
Berdasarkan
penjelasan di atas dapat dipahami bahwa, meskipun di satu sisi, Allah
swt memerintahkan kaum Muslim untuk hidup di dalam satu kesatuan ummat,
yakni jamaa’at al-muslimiin (seluruh kaum Muslim yang dipimpin
seorang khalifah), akan tetapi, di sisi lain, Allah juga memerintahkan
kaum Muslim untuk mendirikan “firqah, thaaifah, atau jamaa’ah (kelompok)” dari kalangan kaum Muslim, yang bertujuan melaksanakan dakwah menuju Islam (yad’uuna ila al-khair) dan amar makruf nahi ‘anil mungkar; meskipun hal ini juga merupakan kewajiban setiap individu kaum Muslim.
Kesimpulan seperti ini bisa dimengerti karena, huruf “min” pada frase (minkum) pada surat Ali Imron : 104 tersebut berfungsi untuk “tab’idl” (membatasi) bukan untuk “bayan” (menjelaskan).Atas dasar itu, kewajiban mendirikan jamaa’ah yang
bertugas melakukan dakwah menuju Islam (yad’uuna ila al-khair) dan amar
makruf nahi ‘anil mungkar, adalah fardlu kifayah. Adapun sebagian
mufassir yang berpendapat bahwa huruf “min” pada surat Ali Imron 104 ini bermakna lil bayan,
sesungguhnya pendapat semacam ini telah dilemahkan oleh Imam Thabariy,
Ibnu Katsir, Al-Hafidz Suyuthiy, Imam Qurthubiy, dan lain-lain[10].Menurut Imam Qurthubiy, makna li tab’iidl lebih shahih.
Adapun makna dari kata “al-khair” yang tercantum dalam frase [yad’uuna ila al-khair: menyeru kepada kebajikan] adalah Islam beserta syariah yang disyariatkan Allah kepada hambaNya.Ini adalah penafsiran Imam Thabariy[11].Ada pula yang mengartikan “al-khair” dengan al-diin secara keseluruhan, baik yang menyangkut ushul, furu’, dan syariatnya.Penafsiran semacam ini diketengahkan oleh Imam al-Sa’diy[12].Sedangkan mufassir lain menafsirkan “al-khair” dengan Islam itu sendiri[13].
Sedangkan makna kata “al-makruf” dalam frase [amar makruuf] adalah semua hal yang sejalan dengan al-Kitab dan Sunnah.Sedangkan ”al-mungkar” adalah semua hal yang bertentangan dengan al-Kitab dan Sunnah[14].
Dengan
demikian, surat Ali Imron ayat 104 merupakan dalil sharih wajibnya kaum
Muslim untuk mendirikan sebuah partai politik yang bertujuan menyeru
kepada Islam dan melakukan amar ma’ruf nahi ‘anil mungkar.Hanya saja,
hukum mendirikan jama’ah atau partai politik berasaskan Islam adalah fardlu kifayah, bukan fardlu ‘ain.Artinya,
jika ada sebagian kaum Muslim yang telah menunaikan kewajiban tersebut,
dan mereka berhasil menuntaskan kewajiban tersebut, maka gugurlah
kewajiban itu bagi kaum Muslim lainnya. []
[1]Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, surat Ali Imron (3):104; lihat juga Imam Qurthubiy, Tafsir al-Qurthubiy, surat Ali Imron (3):104; Imam Suyuthiy, Tafsir Jalalain, dan kitab-kitab tafsir lainnya.
[2]Imam al-Thabariy, Tafsir al-Thabariy, surat Ali Imron (3):104
[3]Imam Ali al-Shabuniy, Shafwat al-Tafaasiir, juz 1, hal. 221
[4] Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz 6, hal. 317
[5]Ibnu Mandzur, Lisaan al-‘Arab, juz 2, hal. 541; Ibnu Sayyidih, al-Muhkam wa al-Muhiith al-A’dzam, juz 2, hal. 23
[6] Imam An Nasaafiy, Madaarik al-Tanziil, juz 2, hal. 138 menafsirkan frase “farihuun” dengan masruurun; Imam Zuhailiy, al-Tafsiir al-Muniir, juz 17, hal. 56 menafsirkannya dengan masruurun mu’jibuun; al-Khaazin, Lubaab al-Ta’wiil, juz 3, hal. 273; dan Samarqandiy, Bahr al-’Uluum, juz 2, hal.410, menafsirkannya dengan mu’jibuun raadluun; Imam Qurthubiy, Tafsir Qurthubiy, juz 6, hal. 86, Imam Baidlawiy, Tafsir al-Baidlawiy, juz 2, hl. 106; dan Imam Syaukaniy, Fath al-Qadiir, juz 2, hal. 604, mengartikannya dengan mu’jibuun.Al-Wahidiy, al-Wasiith, juz 3, hal. 292, menafsirkannya dengan raadluun.
[7] Al-Alusi, Ruuh al-Ma’aaniy, juz 2, hal. 237; al-Samarqandiy, Bahr al-‘Uluum, juz 1, hal. 289; Al-Baqaiy, Nadzm al-Durar, juz 2, hal. 132; Ali al-Shabuniy, Shafwat al-Tafaasiir, juz 1, hal. 201.
[8] Al-Jazairiy, Aysar al-Tafaasiir,juz 1, hal. 357-358
[9]Imam Ibnu Mandzur, Lisaan al-‘Arab, juz 8, hal. 53; al-Muhkaam wa al-Muhiith al-A’dzam, juz 1, hal. 120-121; Imam al-Raziy, Mukhtaar al-Shihaah, hal. 501
[10] Imam Qurthubiy, al-Jaami’ li Ahkaam al-Quran, juz 4, hal. 106; Abu Hayyan, al-Bahr al-Muhiith, juz 2, hal. 23; al-Zamakhsyariy, al-Kasysyaaf, juz 1, hal. 288; Imam Nasaafiy, Madaarik al-Tanziil wa Haqaaiq al-Ta`wiil, juz 1, hal. 94; Imam al-Syaukaniy, Fath al-Qadiir, juz 1, hal. 465; Imam Baidlawiy, Anwaar al-Tanziil wa Asraar al-Ta`wiil, juz 1, hal. 173; dan lain-lain.
[11] Imam Thabariy, Tafsir al-Thabariy, juz 3, hal. 385
[12] ‘Abd al-Rahman al-Sa’diy, Taysiir al-Kariim al-Rahmaan, juz 1, hal. 288.
[13] Imam al-Naisaburiy, Tafsiir Gharaaib al-Quran, juz 1, hal. 474-475; Imam Suyuthiy, al-Durr al-Mantsuur, juz 2, hal. 110; Abu Hayyan al-Andalusiy, Tafsiir al-Bahr al-Muhiith, juz 2, hal. 23; dan lain sebagainya.
[14] Imam al-Nasafiy, Tafsir al-Nasafiy, juz 1, hal. 94.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar