Spirit Kebangkitan Ummat

Selanjutnya akan datang kembali Khilafah berdasarkan metode kenabian. Kemudian belia SAW diam.” (HR. Ahmad dan Ath-Thabarani) “Siapa saja yang melepaskan ketaatan, maka ia akan bertemu Allah pada hari kiamat tanpa memiliki hujjah. Dan siapa saja yang meninggal sedang di pundaknya tidak ada baiat, maka ia mati seperti mati jahiliyah (dalam keadaan berdosa).” (HR. Muslim). “Sesungguhnya Allah telah mengumpulkan (memperlihatkan) bumi kepadaku. Sehingga, aku melihat bumi mulai dari ujung Timur hingga ujung Barat. Dan umatku, kekuasaannya akan meliputi bumi yang telah dikumpulkan (diperlihatkan) kepadaku….” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi) Abdullah Berkata, ”Pada saat kami sedang menulis di sisi Rasulullah SAW, tiba-tiba Rasulullah SAW ditanya, manakah di antara dua kota yang akan ditaklukkan pertama, Konstantinopel atau Roma(Italia). Rasulullah SAW bersabda: ”Kota Heraklius yang akan ditaklukkan pertama—yakni Konstantinopel.” (HR. Ahmad)

Rabu, 29 Agustus 2012

Kisah Kisah Karomah dan Kasyaf Sayyidina Umar Bin Khattab Ra. Link Download Film Umar bin Khattab - The Series Lengkap 30 Episode (subtitle Indonesia)

 

Teman-teman, berikut saya copaskan link download Film Omar bin Khattab - The Series yang tayang setiap jam 4 pagi di MNCTV. Film ini jauh lebih bagus dan edukatif dari pada Fetih 1453 a.k.a Conquest 1453 yang TERNYATA gak keren yang saya post-kan sebelumnya.

Mempertimbangkan kenyamanan dan kemudahan pengunjung dalam mendownload Film Umar bin Khattab - The Series di Blog ini, admin sengaja menyisakan link di Mediafire (MP4) dan link kualitas 720p saja, dan menhapus link selainnya.
DIRECT LINK DOWNLOAD FILM UMAR BIN KHATTAB - THE SERIES

Berikut adalah  link download film Umar bin Khattab - The Series. Saya copas dari http://filmarelu.com (mediafire) dan sinema-21.com (720p).
Format MP4 (mediafire), ukuran berkisar 70 MB / episode
Format MKV (720p), ukuran berkisar 300 MB / episode, jika diminta password: sinema-21.com
Episode 01: Mediafire | 720p
Episode 02: Mediafire | 720p
Episode 03: Mediafire | 720p
Episode 04: Mediafire | 720p
Episode 05: Mediafire | 720p
Episode 06: Mediafire | 720p
Episode 07: Mediafire | 720p
Episode 08: Mediafire | 720p
Episode 09: Mediafire | 720p
Episode 10: Mediafire | 720p
Episode 11: Mediafire | 720p
Episode 12: Mediafire | 720p
Episode 13: Mediafire | 720p - Reupload Part-1, Part-2
Episode 14: Mediafire | 720p
Episode 15: Mediafire | 720p - ReUpload
Episode 16: Mediafire | 720p
Episode 17: Mediafire | 720p
Episode 18: Mediafire | 720p
Episode 19: Mediafire | 720p
Episode 20: Mediafire | 720p
Episode 21: Mediafire | 720p Part-1 Part-2
Episode 22: Mediafire | 720p
Episode 23: Mediafire | 720p Part-1 Part-2
Episode 24: Mediafire | 720p
Episode 25: Mediafire | 720p
Episode 26: Mediafire | 720p
Episode 27: Mediafire | 720p Part-1 Part-2
Episode 28: Mediafire | 720p
Episode 29: Mediafire | 720p - Reupload
Episode 30: Mediafire | 720p Part-1 Part-2

Berikut adalah Subtitle Film Umar bin Khattab - The Series Lengkap 30 Episode. Tinggal di klik perjudul episode saja.Bisa juga menuju ke link berikut: Subtitle Bahasa Indonesia Umar Ibn Khattab Lengkap 30 Episode

Pemeran Umar bin Khattab
Umar bin Khattab di perankan oleh Aktor muda berkebangsaan Suriah yang bernama Samer Ismail

https://www.box.com/s/30b27da87c1677612654
Thanks to: MNCTV & MBC for Free Airing the series
Subtitle credit to revaldozen, awanxp, hendrabraminata, Nafsaka, Puspo Raharjo, Dafian tiket
 http://denisetiawan.com/umar-bin-khattab
Kisah Kisah Karomah dan Kasyaf Sayyidina Umar Bin Khattab Ra.

Kisah 1

Ibnu Abi Dunya meriwayatkan bahwa ketika `Umar bin Khattab r.a. melewati pemakaman Baqi’, ia mengucapkan salam, “Semoga keselamatan dilimpahkan padamu, hai para penghuni kubur. Kukabarkan bahwa istri kalian sudah menikah lagi, rumah kalian sudah ditempati, kekayaan kalian sudah dibagi.” Kemudian ada suara tanpa rupa menyahut, “Hai `Umar bin Khattab, kukabarkan juga bahwa kami telah mendapatkan balasan atas kewajiban yang telah kami lakukan, keuntungan atas harta yang yang telah kami dermakan, dan penyesalan atas kebaikan yang kami tinggalkan.” (Dikemukakan dalam bab tentang kubur)
Yahya bin Ayyub al-Khaza’i menceritakan bahwa `Umar bin Khattab mendatangi makam seorang pemuda lalu memanggilnya, “Hai Fulan! Dan orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya, akan mendapat dua surga (QS Al-Rahman [55]: 46). Dari liang kubur pemuda itu, terdengar jawaban, “Hai ‘Umar, Tuhanku telah memberikan dua surga itu kepadaku dua kali di dalam surga.” (Riwayat Ibnu ‘Asakir)

Kisah 2

Al Taj al-Subki mengemukakan bahwa salah satu karamah Khalifah ‘Umar al-Faruq r.a. dikemukakan dalam sabda Nabi yang berbunyi, “Di antara umat-umat scbclum kalian, ada orang-orang yang menjadi legenda. Jika orang seperti itu ada di antara umatku, dialah ‘Umar.”

Kisah 3

Diceritakan bahwa `Umar bin Khattab r.a. mengangkat Sariyah bin Zanim al-Khalji sebagai pemimpin salah satu angkatan perang kaum muslimin untuk menycrang Persia. Di Gerbang Nihawan, Sariyah dan pasukannya terdesak karena jumlah pasukan musuh yang sangat banyak, sehingga pasukan muslim hampir kalah. Sementara di Madinah, `Umar naik ke atas mimbar dan berkhutbah. Di tengah-tengah khutbahnya, ‘Umar berseru dengan suara lantang, “Hai Sariyah, berlindunglah ke gunung. Barangsiapa menyuruh esrigala untuk menggembalakan kambing, maka ia telah berlaku zalim!” Allah membuat Sariyah dan seluruh pasukannya yang ada di Gerbang Nihawan dapat mendengar suara `Umar di Madinah. Maka pasukan muslimin berlindung ke gunung, dan berkata, “Itu suara Khalifah `Umar.” Akhirnya mereka selamat dan memperoleh kemenangan.
Al Taj al-Subki menjelaskan bahwa ayahnya (Taqiyuddin al-Subki) menambahkan cerita di atas. Pada saat itu, Ali menghadiri khutbah `Umar lalu ia ditanya, “Apa maksud perkataan Khalifah `Umar barusan dan di mana Sariyah sekarang?” Ali menjawab, “‘Doakan saja Sariyah. Setiap masalah pasti ada jalan keluarnya.” Dan setelah kejadian yang dialami Sariyah dan pasukannya diketahui umat muslimin di Madinah, maksud perkataan `Umar di tengah-tengah khutbahnya tersebut menjadi jelas
Menurut al Taj al-Subki, `Umar r.a. tidak bermaksud menunjukkan karamahnya ini, Allah-lah yang menampakkan karamahnya, sehingga pasukan muslimin di Nihawan dapat melihatnya dengan mata telanjang, seolah-olah `Umar menampakkan diri secara nyata di hadapan mereka dan meninggalkan majelisnya di Madinah sementara seluruh panca indranya merasakan bahaya yang menimpa pasukan muslimin di Nihawan. Sariyah berbicara dengan `Umar seperti dengan orang yang ada bersamanya, baik `Umar benar-benar bersamanya secara nyata atau seolah-olah bersamanya. Para wali Allah terkadang mengetahui hal-hal luar biasa yang dikeluarkan oleh Allah melalui lisan mereka dan terkadang tidak mengetahuinya. Kedua hal tersebut adalah karamah.

Kisah 4

Dalam kitab al-Syamil, Imain al-Haramain menceritakan Karamah ‘Umar yang tampak ketika terjadi gempa bumi pada masa pemerintahannya. Ketika itu, ‘Umar malah mengucapkan pujian dan sanjungan kepada Allah, padahal bumi bergoncang begitu menakutkan. Kemudian `Umar memukul bumi dengan kantong tempat susu sambil berkata, “Tenanglah kau bumi, bukankah aku telah berlaku adil kepadamu.” Bumi kembali tenang saat itu juga. Menurut Imam al-Haramain, pada hakikatnya `Umar r.a. adalah amirul mukminin secara lahir dan batin juga sebagai khalifah Allah bagi bumi-Nya dan bagi penduduk bumi-Nya, sehingga `Umar mampumemerintahkan dan menghentikan gerakan bumi, sebagaimana ia menegur kesalahan-kesalahan penduduk bumi.

Kisah 5

Imam al-Haramain juga mengemukakan kisah tentang sungai Nil dalam kaitannya dengan karamah ‘Umar. Pada masa jahiliyah, sungai Nil tidak mengalir sehingga setiap tahun dilemparlah tumbal berupa seorang perawan ke dalam sungai tersebut. Ketika Islam datang, sungai Nil yang seharusnya sudah mengalir, tenyata tidak mengalir. Penduduk Mesir kemudian mendatangi Amr bin Ash dan melaporkan bahwa sungai Nil kering sehingga diberi tumbal dengan melempar seorang perawan yang dilengkapi dengan perhiasan dan pakaian terbaiknya. Kemudian Amr bin Ash r.a. berkata kepada mereka, “Sesungguhnya hal ini tidak boleh dilakukan karena Islam telah menghapus tradisi tersebut.” Maka penduduk Mesir bertahan selama tiga bulan dengan tidak mengalirnya Sungai Nil, sehingga mereka benar-benar menderita.
‘Amr menulis surat kepada Khalifah `Umar bin Khattab untuk menceritakan peristiwa tersebut. Dalam surat jawaban untuk ‘Amr bin Ash, ‘Umar menyatakan, “Engkau benar bahwa Islam telah menghapus tradisi tersebut. Aku mengirim secarik kertas untukmu, lemparkanlah kertas itu ke sungai Nil!” Kemudian Amr membuka kertas tersebut sebelum melemparnya ke sungai Nil. Ternyata kertas tersebut berisi tulisan Khalifah ‘Umar untuk sungai Nil di Mesir yang menyatakan, “Jika kamu mengalir karena dirimu sendiri, maka jangan mengalir. Namun jika Allah Yang Maha Esa dan Maha Perkasa yang mengalirkanmu, maka kami mohon kepada Allah Yang Maha Esa dan Maha Perkasa untuk membuatmu mengalir.” Kemudian ‘Amr melempar kertas tersebut ke sungai Nil sebelum kekeringan benar-bcnar terjadi. Sementara itu penduduk Mesir telah bersiap-siap untuk pindah meninggalkan Mesir. Pagi harinya, ternyata Allah Swt. telah mengalirkan sungai Nil enam belas hasta dalam satu malam.

Kisah 6

Imam al-Haramain menceritakan karamah `Umar lainnya. ‘Umar pernah memimpin suatu pasukan ke Syam. Kemudian ada sekelompok orang menghalanginya, sehingga ‘Umar berpaling darinya. Lalu sekelompok orang tadi menghalanginya lagi, `Umar pun berpaling darinya lagi. Sekelompok orang tadi menghalangi `Umar untuk ketiga kalinya dan ‘Umar berpaling lagi darinya. Pada akhirnya, diketahui bahwa di dalam sekelompok orang tersebut terdapat pembunuh ‘Utsman dan Ali r.a.

Kisah 7

Dalam kitab Riyadh al-Shalihin, Imam Nawawi mengemukakan bahwa Abdullah bin `Umar r.a. berkata, “Setiap kali `Umar mengatakan sesuatu yang menurut prasangkaku begini, pasti prasangkanya itu yang benar.”
Saya tidak mengemukakan riwayat dari Ibnu `Umar tersebut dalam kitab Hujjatullah ‘ala al-’Alamin. Kisah tentang Sariyah dan sungai Nil yang sangat terkenal juga disebutkan dalam kitab Thabaqat al-Munawi al-Kubra. Dalam kitab tersebut juga dikemukakan karamah ‘Umar yang lainnya yaitu ketika ada orang yang bercerita dusta kepadanya, lalu `Umar menyuruh orang itu diam. Orang itu bercerita lagi kepada `Umar, lalu Umar menyuruhnya diam. Kemudian orang itu berkata, “Setiap kali aku berdusta kepadamu, niscaya engkau menyuruhku diam.”

Kisah 8

Diccritakan bahwa ‘Umar bertanya kepada seorang laki-laki, “Siapa namamu?” Orang itu menjawab, “Jamrah (artinya bara).” `Umar bertanya lagi, “Siapa ayahmu?” Ia menjawab, “Syihab (lampu).” `Umar bertanya, “Keturunan siapa?” Ia menjawab, “Keturunan Harqah (kebakaran).” ‘Umar bertanya, “Di mana tempat tinggalmu?” Ia menjawab, “Di Al Harrah (panas).” `Umar bertanya lagi, “Daerah mana?” Ia menjawab, “Di Dzatu Lazha (Tempat api).” Kemudian `Umar berkata, “Aku melihat keluargamu telah terbakar.” Dan seperti itulah yang terjadi.

Kisah 9

Fakhrurrazi dalam tafsir surah Al-Kahfi menceritakan bahwa salah satu kampung di Madinah dilanda kebakaran. Kemudian `Umar menulis di secarik kain, “Hai api, padamlah dengan izin Allah!” ‘Secarik kain itu dilemparkan ke dalam api, maka api itu langsung padam.

Kisah 10

Fakhrurrazi menceritakan bahwa ada utusan Raja Romawi datang menghadap `Umar. Utusan itu mencari rumah `Umar dan mengira rumah ‘Umar seperti istana para raja. Orang-orang mengatakan, “‘Umar tidak memiliki istana, ia ada di padang pasir sedang memerah susu.” Setelah sampai di padang pasir yang ditunjukkan, utusan itu melihat `Umar telah meletakkan kantong tempat susu di bawah kepalanya dan tidur di atas tanah. Terperanjatlah utusan itu melihat `Umar, lalu berkata, “Bangsa-bangsa di Timur dan Barat takut kepada manusia ini, padahal ia hanya seperti ini. Dalam hati ia berjanji akan membunuh `Umar saat sepi seperti itu dan membebaskan ketakutan manusia terhadapnya. Tatkala ia telah mengangkat pedangnya, tiba-tiba Allah mengeluarkan dua harimau dari dalam bumi yang siap memangsanya. Utusan itu menjadi takut sehingga terlepaslah pedang dari tangannya. ‘Umar kemudian terbangun, dan ia tidak melihat apa-apa. ‘Umar menanyai utusan itu tentang apa yang terjadi. Ia menuturkan peristiwa tersebut, dan akhirnya masuk Islam.
Menurut Fakhrurrazi, kejadian-kejadian luar biasa di atas diriwayatkan secara ahad (dalam salah satu tingkatan sanadnya hanya ada satu periwayat). Adapun yang dikisahkan secara mutawatir adalah kenyataan bahwa meskipun `Umar menjauhi kekayaan duniawi dan tidak pernah memaksa atau menakut-nakuti orang lain, ia mampu menguasai daerah Timur dan Barat, serta menaklukkan hati para raja dan pemimpin. Jika anda mengkaji buku-buku sejarah, anda tak akan menemukan pemimpin seperti ‘Umar, sejak zaman Adam sampai sekarang. Bagaimana ‘Umar yang begitu menghindari sikap memaksa bisa menjalankan politiknya dengan gemilang. Tidak diragukan lagi, itu adalah karamahnya yang paling besar.

Minggu, 26 Agustus 2012

Negeri Yang Layak Bagi Penegakkan Kembali Khilafah


Pengantar

Sejak institusi negara Khilafah dihapuskan pada tanggal 28 Rajab 1342 H, bertepatan dengan 3 Maret 1924, oleh Attaturk—seorang agen loyalis kaum kafir najis, Inggris—negeri-negeri kaum Muslim yang terbentang luas dari Maroko di tepi Atlantik hingga Merauke di Nusantara, benar-benar telah kelihangan tâj al-furûdh (mahkota kekuasaan), yang menjamin pelaksanaan setiap kewajiban kaum Muslim serta pemersatu bangsa dan umat. Sejauh ini, tâj al-furûdh (Khilafah) belum terwujud kembali. Maka dari itu, setiap negeri dari negeri-negeri kaum Muslim wajib untuk membaiat seorang khalifah, dan melaksanakan akad Khilafah. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan apakah negeri itu adalah negeri yang luas seperti Mesir, Turki, Indonesia atau negeri yang kecil seperti Yordania, Tunisia, Libanon dan lainnya. Yang penting negeri itu telah memenuhi syarat. Lalu apa syarat bagi negeri yang di sana akan ditegakkan kembali Khilafah?
Telaah Kitab kali ini akan membahas Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam pasal 29, yang berbunyi: “Daerah atau negeri yang membaiat khalifah dengan baiat in’iqad disyaratkan mempunyai kekuasaan independen, yang bersandar pada kekuasaan kaum Muslim saja, dan tidak bergantung pada negara kafir manapun; dan keamanan kaum Muslim di daerah itu—baik di dalam maupun di luar negeri—adalah dengan keamanan Islam saja, bukan dengan keamanan kufur. Adapun baiat taat yang diambil dari kaum Muslim di negeri-negeri lain tidak disyaratkan demikian.” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 128).
Jadi, negeri yang akan melakukan akad Khilafah dan mengangkat seorang khalifah (baiat in’iqad)—setelah tidak adanya satu pun di dunia ini, khususnya di negeri-negeri kaum Muslim, daerah atau negeri yang merupakan negara Khilafah—sehinga Islam bisa diterapkan secara kâffah, yakni sempurna dan menyeluruh (kâmil dan syâmil) harus memenuhi dua syarat utama: (1) kekuasaannya independen; (2) keamanannya di tangan Islam.

Kekuasaan Independen
Syarat pertama bagi negeri yang akan melakukan akad Khilafah dan mengangkat seorang khalifah (baiat in’iqad) adalah kekuasaan daerah atau negeri itu haruslah independen. Artinya, kekuasaan negeri itu merupakan kekuasaan yang hakiki (otonomi penuh, sulthân[an] dzâtiy[an]), yang hanya bersandar pada kekuasaan kaum Muslim saja, dan tidak bergantung pada negara kafir manapun, atau tidak di bawah pengaruh orang (negara) kafir (Rodhi, Hizb at-Tahrir Tsaqafatuhu wa Manhajuhu fi Iqamah Dawlah al-Khilafah al-Islamiyah. Hlm. 233; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah (fi al-Hukm wa al-Idârah), hlm. 25).
Dalil bahwa kekuasaan daerah atau negeri itu harus independen adalah larangan kaum kafir menguasai kaum Muslim, sebagaimana firman Allah SWT:
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلا
Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang Mukmin (QS An-Nisa’ [4] : 141).

Kekuasaan (
as-sulthân) secara bahasa bermakna al-quwah (kekuatan), as-saytharah (dominasi) dan an-nufûd (pengaruh). Kalimat sallathahu ‘alayhi, artinya menguasakan atau memberikan otoritas kepada dia. Kalimat tasallatha ‘alayhi, artinya tahakkama (memerin-tah), tamakkana (memiliki kedudukan) dan saythara (mendominasi) (Anis, Al-Mu’jam al-Wasîth, hlm. 443).
Dengan demikian apabila di suatu daerah atau negeri di antara negeri-negeri kaum Muslim itu masih berada di bawah kekuasaan atau pengaruh kaum kafir, maka tidak layak di daerah atau negeri itu diangkat seorang khalifah. Sebab, mengangkat khalifah itu tidak lain adalah untuk menegakkan kekuasaan, sementara daerah atau negeri itu tidak memiliki kekuasaan yang independen (otonomi penuh, sulthân[an] dzâtiy[an]), artinya kekuasaan di negeri itu masih merupakan kekuasaan kufur. Padahal Khilafah tidak akan tegak dengan kekuasaan kufur (Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 127-128).

Keamanan Islam
Syarat kedua bagi negeri yang akan melakukan akad Khilafah dan mengangkat seorang khalifah (baiat in’iqad) adalah keamanan daerah atau negeri itu haruslah dengan keamanan Islam. Kata al-amân (keamanan) artinya adalah al-hifzz (proteksi atau perlindungan). Misalnya, firman Allah SWT:
وَهَذَا الْبَلَدِ الأمِينِ
Demi kota ini yang aman (QS At-Tîn [95]: 3).

Kota di sini maksudnya adalah Makkah. Kata
al-amîn bermakna al-amân (keamanan), yakni Allah memproteksi atau melindunginya dari dalam; atau kata al-amîn bermakna al-ma’mûn, yakni diproteksi atau dilindungi dari berbagai bencana (Az-Zamakhsyarai, Tafsir al-Kasysyâf, IV/268).
Jadi, syarat bahwa keamanan daerah atau negeri itu haruslah dengan keamanan Islam, bukan keamanan kufur, artinya bahwa perlindungan daerah atau negeri itu, baik keamanan dalam negeri maupun luar negerinya, merupakan perlindungan Islam, yakni berasal dari kekuatan kaum Muslim—yang dipandang sebagai kekuatan Islam—saja (Rodhi, Hizb at-Tahrir Tsaqafatuhu wa Manhajuhu fi Iqamah Dawlah al-Khilafah al-Islamiyah. Hlm. 233; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah (fi al-Hukm wa al-Idârah), hlm. 25).
Dalil bahwa keamanan negeri itu harus dengan keamanan Islam saja adalah dalil dârul kufur (negara kufur) dan Dârul Islam (Negara Islam). Sebab, mengangkat khalifah itu tidak lain adalah menjadikan sebuah negara menjadi Dârul Islam (negara Islam). Sebuah negara tidak akan menjadi Dârul Islam (Negara Islam) hanya semata-mata menegakkan pemerintahan Islam, melainkan keamanannya juga harus dengan keamanan Islam, bukan keamanan kufur (Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 129).

Apa itu Dârul Islam (Negara Islam)?
دَارُ الإِسْلاَمِ هِيَ الدَّارُ الَّتِى تَجْرِى عَلَيْهَا أَحْكَامُ الإِسْلاَمِ، وَ يَأْمَنُ مَنْ فِيْهَا بِأَمَانِ الْمُسْلِمِيْنَ سَوَاءٌ أَكَانُوْا مُسْلِمِيْنَ أَمْ ذِمِّيِّيْنَ
Dârul Islam (negara Islam) adalah negara yang padanya diterapkan hukum-hukum Islam, dan keamanan orang (rakyat) yang ada di dalamnya dengan keamanan kaum Muslim, baik mereka itu kaum Muslim maupun kafir dzimmi (Khallaf, As-Siyâsah asy-Syar’iyyah, hlm. 71).

Dengan demikian untuk menilai apakah negara itu Negara Islam atau negara kufur, harus diperhatikan dua hal:
Pertama: penerapan hukum Islam. Kedua: keamanannya dengan keamanan kaum Muslim, yakni dengan kekuasaan dan kekuatan kaum Muslim. Apabila kedua elemen ini sudah terpenuhi pada sebuah negara, maka negara itu merupakan Negara Islam (Haikal, Al-Jihâd wal Qitâl fi as-Siyâsah asy-Syar’iyah, I/666).
Itulah dua syarat utama bagi negeri yang akan melakukan akad Khilafah dan mengangkat seorang khalifah (baiat in’iqad). Apabila kedua syarat ini telah terpenuhi oleh sebuah daerah atau negeri, maka daerah atau negeri itu layak bagi tegaknya kembali Khilafah. Sebaliknya, apabila syarat itu tidak ada, atau salah satunya saja yang tidak ada, maka daerah atau negeri itu tidak layak bagi tegaknya kembali Khilafah. Oleh karena itu, Rasulullah saw. menolak kekuasaan yang akan diberikan oleh kaum kafir Quraisy melalui utusannya Utbah bin Rabi’ah.
Dalam hal ini, Prof. Dr Muhammad Rawwas Qol’ahji mengemukakan analisis politiknya terkait penolakan Rasulullah saw. tersebut serta menjawab pernyataan seseorang yang mengatakan, “Muhammad diutus untuk menyampaikan risalah dan mendirikan negara yang dapat menerapkan ideologi risalah ini, serta mempercepat sampainya kepada tujuan-tujuannya. Kalau begitu, mengapa ketika beliau ditawari kekuasaan dan kepemimpinan oleh kaum Quraisy beliau tidak mau menerimanya?
Jawabnya, poin politis terpenting terkait dengan tujuan penolakan Rasulullah saw. terhadap tawaran tersebut adalah: Pertama, negara manapun tidak akan tegak di atas dukungan rakyat yang baru saja dimulai, sebab tidak akan kokoh dan kuat negara yang hanya didirikan oleh sekelompok orang. Mengingat dukungan ketika itu belum memenuhi syarat untuk mendirikan negara yang diinginkan oleh Rasulullah saw, maka beliu pun menolak tawaran tersebut.
Kedua, negara membutuhkan aparat manusia yang benar-benar percaya dan ikhlas dalam menjalankan tugasnya. Ketika kekuasaan itu ditawarkan kepada Rasulullah saw, beliau belum menyiapkan aparat yang memadai yang mampu memberikan kepuasan ketika ditugasi mengurusi administrasi dan hal-hal yang terkait langsung dengan tugas-tugas negara. Sebab, tidak mungkin suatu negara tegak dengan bantuan orang-orang yang sama sekali tidak percaya, apalagi ikhlas dalam bertugas.
Ketiga, negara yang tegak di tengah-tengah musuhnya akan benar-benar menjadi negara yang tidak berdaya untuk memperluas kekuasaannya, selain berisiko sekali, sebab mereka akan selalu memata-matainya. Untuk itu, selama Rasulullah saw. masih belum mampu pada periode ini untuk memperluas kekuasaannya di tengah-tengah kaum Quraisy, maka langkah terbaik bagi beliau adalah menunda dulu berdirinya negara sampai beliau benar-benar mampu.
Keempat, negara yang diinginkan oleh Rasulullah saw. adalah negara yang beliau bangun sendiri bersama generasi-generasi Islam, bukan negara ciptaan musuh-musuh Islam. Kepemimpinan yang diinginkan beliau adalah kepemimpinan yang diberikan oleh kaum Muslim, yang kaum Muslim benar-benar berkuasa dengan kepemimpinan itu. Jadi, beliau tidak menginginkan kepemimpinan yang dengan kepemimpinan itu justru beliau hanya menjadi buruh (boneka) bagi musuh-musuh Allah, serta memusuhi ideologi yang beliau embannya. Sebab, negara yang demikian ini tidak mungkin mampu menjalankan kedaulatannya dengan sempurna, dan menjalankan ideologinya sesuai yang diinginkan. Maka dari itu, demi semua itulah Rasulullah saw. menolak kekuasaan yang ditawarkan kaum musyrik Quraisy kepada beliau (Qol’ahji, Sirah Nabawiyah Sisi Politis Perjuangan Rasulullah saw, hlm. 67-68).
Artinya, penolakan Rasulullah saw. terhadap tawaran kekuasaan dari kaum Quraisy ketika itu adalah karena tidak terpenuhinya syarat utama untuk mendirikan Negara Islam, baik dari segi kekuasaan maupun keamanannya.

Baiat Taat Bagi Negeri-Negeri yang Lain
Apabila suatu daerah atau negeri telah memenuhi syarat utama tersebut, maka khilafah benar-benar telah terwujud dengan terlaksananya baiat oleh penduduk negeri itu kepada Khalifah. Orang yang dibaiat dengan baiat in’iqad sesuai dengan ketentuan syariah itu menjadi khalifah yang sah, dan selanjutnya tidak boleh membaiat khalifah lain. Apabila ada negeri lain yang membaiat khalifah lain setelah itu, maka baiatnya batal dan tidak sah. Rasulullah saw. bersabda:
إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوْا الآخَرَ مِنْهُمَا
Apabila dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah khalifah yang lain (terakhir) dari keduanya (HR Muslim).

Jika Khilafah telah tegak di suatu negeri, dan khalifah telah terwujud, maka wajib bagi kaum Muslim di seluruh dunia untuk bergabung di bawah panji Khilafah dan membaiat khalifah tersebut sebagai baiat taat. Sebab, jika tidak, maka semuanya berdosa di sisi Allah SWT (Rodhi,
Hizb at-Tahrir Tsaqafatuhu wa Manhajuhu fi Iqamah Dawlah al-Khilafah al-Islamiyah. Hlm. 234; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fi al-Hukm wa al-Idârah, hlm. 26).

WalLâhu a’lam bish-shawâb.

Daftar Bacaan
Anis, Dr. Ibrahim, Al-Mu’jam al-Wasîth, (tanpa penerbit), tanpa tahun.
Haikal, Dr. Muhammad Khair, Al-Jihâd wal Qitâl fi as-Siyâsah asy-Syar’iyah (Beirut: Darul Bayariq), Cetakan II, 1996.
Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah (fi al-Hukm wa al-Idârah) (Beirut: Darul Ummah), Cetakan I, 2005.
Khallaf, Abadul Wahab, As-Siyâsah asy-Syar’iyyah, (Beirut: Muassasah al-Risalah), Cetakan V, 1993.
An-Nabhani, Asy-Syaikh Taqiyuddih, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.
Rodhi, Muhammad Muhsin, Hizb at-Tahrir Tsaqafatuhu wa Manhajuhu fi Iqamah Dawlah al-Khilafah al-Islamiyah, (Departemen Pendidikan Tinggi dan Kajian Keilmuan Universitas Islam Baghdad), 2006.
Qol’ahji, Prof. Dr. Muhammad Rawwas, Sirah Nabawiyah Sisi Politis Perjuangan Rasulullah saw, (Bogor: Al Azhar Press) Cetakan V, 2011.
Az-Zamakhsyarai, Mahmud bin Umar bin Muhammad bin Ahmad al-Khawarizmi, Tafsir al-Kasysyâf, (Beirut: Darul Fikr), tanpa tahun.