Meraih Kemuliaan Dengan Dakwah
Siapa pun maklum, bahwa manusia yang paling mulia di sisi Allah
adalah para nabi dan rasul. Tidak ada manusia yang lebih mulia dari
golongan mereka. Kemuliaan nabi dan rasul tentu bukan dari sisi fisik
ataupun aspek kemanusiaan lainnya. Sebab, secara fisik dan dilihat dari
aspek kemanusiaannya, nabi dan rasul adalah manusia biasa sebagaimana
umumnya manusia, termasuk Rasulullah Muhammad Saw sekalipun.
Lalu apa yang menyebabkan mereka mulia di sisi Allah? Tidak lain karena
risalah yang mereka emban. Artinya, kemuliaan mereka terletak pada
kedudukan mereka sebagai para pengemban risalah, atau para pengemban
dakwah. Allah SWT berfirman:
Rasul-rasul mereka berkata kepada mereka,
“Sesungguhnya kami tidak lain adalah manusia biasa seperti kalian. Akan
tetapi, Allah telah memberikan karunia-Nya kepada siapa saja yang
dikehendakinya di antara-hamba-hamba-Nya.” (Qs. Ibrahim [14]: 11).
Menurut Ibn Katsir, kalimat, “Akan tetapi, Allah telah memberikan
karunia-Nya kepada siapa saja yang dikehendakinya di
antara-hamba-hamba-Nya,” bermakna bahwa mereka diberi karunia berupa
nubuwwah dan risalah yang mereka emban. (Ibn Katsir, Tafsîr Ibn Katsîr).
Pengertian yang sama terdapat pada ayat berikut:
Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya aku adalah manusia bisa seperti
kalian. (Hanya saja) aku telah diberi wahyu, bahwa sesungguhnya Tuhan
kalian adalah Tuhan Yang Maha Esa.” (Qs. al-Kahfi [18]: 110).
Pujian Terhadap Para Pengemban Dakwah
Jika kemuliaan para nabi dan para rasul dicirikan oleh risalah yang
diembannya, lalu bagaimana kedudukan umat mereka yang meneruskan
aktivitas mereka yang mulia itu, yakni mengemban risalah (baca: dakwah)?
Allah SWT berfirman:
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru
manusia menuju Allah? (Qs. Fushshilat [41]: 33).
Menurut Imam al-Hasan, ayat di atas berlaku umum bagi siapa saja yang
menyeru manusia ke jalan Allah (Al-Qurthubi, Tafsîr al-Qurthubi).
Mereka, menurut Imam Hasan al-Bashri, adalah kekasih Allah, wali Allah,
dan pilihan Allah; mereka adalah penduduk bumi yang paling dicintai
Allah karena dakwah yang diserukannya (Ibn Katsir, op.cit.).
Karena itu, di sisi Allah, para pengemban dakwah adalah pewaris sejati
para rasul dan para nabi Allah. Sebab, merekalah yang mewarisi risalah
yang pernah diemban para nabi dan para rasul itu, sedangkan kita tahu,
para nabi dan para rasul tidak meninggalkan apapun yang diwariskan bagi
umat mereka, kecuali risalah yang mereka emban. Rasulullah Saw bersabda:
Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi
itu tidak mewariskan dinar ataupun dirham. Mereka hanya mewariskan
ilmu. Karena itu, siapa saja yang mengambilnya, maka sesungguhnya ia
telah mengambil harta yang banyak. [HR. at-Tirmidzi, Ibn Majah, Ahmad,
ad-Darimi].
Ulama dalam hadis di atas tentu saja mereka yang mengamalkan dan
mendakwahkan ilmu mereka (al-‘ulamâ’ al-‘âmilûn). Sebab, jika mereka
sekadar berilmu, tetapi tidak mengamalkan dan mendakwahkan ilmunya,
kedudukan mereka justru hina di mata Allah, bahkan akan mendapatkan azab
yang sangat keras. Rasulullah Saw bersabda:
Manusia yang akan merasakan azab paling keras pada Hari Kiamat adalah
ulama yang dengan ilmunya, Allah tidak memberinya manfaat. [HR. Ibn
Majah].
Karena itulah, mengapa Rasulullah Saw juga bersabda:
Sampaikanlah dariku walapun hanya satu ayat. [HR. at-Tirmidzi].
Di samping itu, banyak dorongan sekaligus pujian dari Allah dan
Rasul-Nya yang ditujukan kepada para pengemban dakwah dan penyampai
hidayah Allah. Rasulullah Saw, misalnya, bersabda, sebagaimana
dituturkan Abu Hurairah:
Siapa saja yang menyeru manusia pada hidayah, maka ia mendapatkan pahala
sebesar yang diperoleh oleh orang-orang yang mengikutinya, tanpa
mengurangi sedikit pun pahala mereka. [HR. Muslim].
Sabda Rasul di atas sangat dipahami benar oleh para sahabat beliau.
Karena itu, wajar jika mereka adalah orang-orang yang tidak pernah
mengenal lelah dalam menyampaikan risalah Islam; meskipun mereka harus
mengorbankan sebagian besar waktu, tenaga, pikiran, harta-benda,
keluarga, bahkan nyawa sekalipun. Mereka adalah orang-orang yang
senantiasa menjadikan dakwah sebagai poros hidup mereka, bahkan yang
menentukan ‘hidup-mati’ mereka.
Rasulullah Saw dan para sahabat adalah orang-orang yang menomorsatukan
dakwah ketimbang urusan-urusan di luar dakwah yang bersifat duniawi.
Mereka bukanlah tipikal orang-orang yang lebih banyak disibukkan
waktunya untuk mencari dunia (kecuali sekadar memenuhi kebutuhan dirinya
dan keluarganya saja). Mereka juga tidak menghabiskan sebagian besar
waktunya untuk hal-hal yang tidak bermanfaat, meskipun mubah/halal. Jika
tidak, mana mungkin mereka berhasil menyebarluaskan Islam di seluruh
jazirah Arab dalam waktu yang sangat singkat?
Ini seharusnya menjadi pelajaran bagi para pengemban dakwah saat ini,
apalagi mereka yang mencita-citakan tegaknya kembali Khilafah Islam.
Dalam hal ini, kita patut bertanya, mungkinkah umat ini mampu membangun
kembali Khilafah Islam, sementara dakwah yang dilakukan para pengemban
dakwah kepada mereka sangat minimal dan ‘ala kadar’-nya? Mungkinkah umat
terdorong untuk bersama-sama menegakkan kembali Khilafah Islam,
sementara dorongan yang dilakukan para pengemban dakwah terhadap mereka
sangat lemah?
Dakwah Islam Dan Amar Makruf Nahi Mungkar
Allah SWT berfirman:
Hendaklah ada di antara kalian sekelompok umat yang menyerukan kebaikan
(Islam) dan melakukan amar makruf nahi mungkar. (Qs. Ali-Imran [3]:
104).
Amar makruf nahi mungkar adalah bagian dari dakwah Islam. Baik-buruknya
masyarakat —salah satunya— bergantung pada dilaksanakan atau tidaknya
amar makruf nahi mungkar. Imam al-Ghazali pernah berkata, “Sesungguhnya
aktivitas amar makruf nahi mungkar adalah poros yang paling agung dalam
agama. Karena aktivitas inilah Allah mengutus para nabi seluruhnya.
Seandainya umat Islam mengkerdilkan amar makruf nahi mungkar, tidak mau
memahami dan mengamalkannya, tentu akan berhenti nubuwwah ini; kesesatan
akan tersebar luas, kebodohan akan menjadi hal yang lumrah, kerusakan
akan merajalela, pelanggaran akan semakin meluas, negeri-negeri akan
hancur, dan manusia akan binasa.” (Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn,
2/306).
Celaan Dan Ancaman Bagi Orang Yang Meninggalkan Dakwah
Allah SWT berfirman:
Mengapa orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka tidak
melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan makanan yang
haram? Sungguh, amat buruk apa yang telah mereka kerjakan. (Qs.
al-Mâ’idah [5]: 63).
Frasa labi’sya mâ kânû yashna’ûn (Sungguh, amat buruk apa yang telah
mereka kerjakan) jelas merupakan celaan dari Allah SWT dan peringatan
kepada para ulama Yahudi dan Nasrani karena mereka tidak menegakkan
dakwah dan amar makruf nahi mungkar. Berkenaan dengan ayat ini, Imam
al-Qurtubi berkomentar dalam tafsirnya, “Ayat ini menunjuk pada orang
yang berdiam diri dan tidak mau mencegah kemungkaran, bahwa mereka pada
dasarnya sama dengan orang yang berbuat kemungkaran itu sendiri.”
(Al-Qurthubi, op.cit., 6/237).
Sementara itu di dalam as-Sunnah, Rasulullah Saw antara lain bersabda:
Siapa saja di antara kalian yang melihat kemungkaran maka ubahlah
kemungkaran itu dengan tangannya; jika tidak mampu, dengan lisannya;
jika tidak mampu, dengan qalbunya. Yang demikian itu adalah
selemah-lemahnya iman. [HR. Muslim].
Jarir bin Abdillah berkata:
Aku membaiat Rasul Saw untuk menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan memberi nasihat untuk setiap Muslim. [HR. Muslim].
Dalam hadis di atas sangat jelas bahwa nasihat —yang merupakan bagian
dari aktivitas dakwah Islam— adalah di antara perkara yang dijadikan
akad baiat. Baiat sendiri adalah akad perjanjian yang wajib dipenuhi dan
haram untuk dilanggar. Allah SWT berfirman:
Siapa saja yang melanggar janjinya niscaya akibatnya akan menimpa
dirinya sendiri. (Qs. al-Fath [49]: 10).
Penting untuk disadari, bahwa seorang Muslim tidak selayaknya
meninggalkan aktivitas amar makruf nahi mungkar karena rasa takut atas
kehidupan dan rezekinya. Sebab, sesungguhnya ajal dan rezeki ada di
tangan Allah; tidak seorang pun berkuasa atas keduanya. Rasul Saw
bersabda:
Tidak layak seseorang, ketika menyaksikan suatu tempat di dalamnya ada
kebenaran, kecuali dia akan mengatakannya. Sesungguhnya sekali-kali hal
itu tidak akan pernah memajukan ajalnya dan tidak akan pernah mencegah
apa yang telah menjadi rezeki baginya. [HR. al-Baihaqi].
Berdiam Diri Terhadap Kemungkaran Adalah Tindak Kriminal
Khalifah Umar bin Abdul Aziz r.a. menyatakan bahwa sesungguhnya berdiam
diri (membisu) terhadap kemungkaran dan pelakunya adalah termasuk
kemungkaran itu sendiri yang berhak mendapat sanksi di dunia. Sanksi di
sini adalah ta’zîr yang diserahkan sepenuhnya kepada Imam/Khalifah atau
seorang qâdhi. Diriwayatkan, polisi Umar bin Abdul Aziz pernah datang
pada sekelompok orang yang sedang meminum khamr, sementara di sana juga
ada seorang Muslim yang duduk bersama mereka, tetapi dia tidak
ikut-ikutan karena sedang berpuasa. Saat itu, polisi diperintahkan untuk
mencambuk semua orang yang ada di sana. Namun, sang polisi bertanya,
“Wahai Amirul Mukminin, si fulan ini tidak ikut minum bersama mereka;
dia sedang berpuasa.” Umar bin Abdul Aziz tegas berkata, “Hadirkan dia
dan cambuklah!” (Al-Qaradhawi, Al-Halal wa al-Harâm, hlm. 73).
Umar melakukan hal demikian karena beliau memandang sikap berdiam diri
atas kemungkaran sebagai sebuah tindakan kriminal.
Khatimah Sesungguhnya saat ini, banyak di antara mereka yang mengklaim sebagai pengemban dakwah, bahkan menjadi anggota jamaah dakwah, hanya memposisikan diri layaknya kaum Muslim kebanyakan; sebatas hanya sebagai pendengar semata. Mereka semata-mata rajin menghadiri halaqah, liqâ’, seminar, atau banyak membaca buletin dan nasyrah; tetapi tidak ada aktivitas dakwah yang dilakukan, kecuali sedikit sekali. Mereka merasa cukup dengan itu. Mereka sangat minimalis. Padahal mereka menyadari dengan baik sabda Rasul berikut: Allah itu Mahabaik dan tidak menerima kecuali yang baik-baik saja. [HR. Muslim, at-Tirmidzi, dan Ahmad].
Khatimah Sesungguhnya saat ini, banyak di antara mereka yang mengklaim sebagai pengemban dakwah, bahkan menjadi anggota jamaah dakwah, hanya memposisikan diri layaknya kaum Muslim kebanyakan; sebatas hanya sebagai pendengar semata. Mereka semata-mata rajin menghadiri halaqah, liqâ’, seminar, atau banyak membaca buletin dan nasyrah; tetapi tidak ada aktivitas dakwah yang dilakukan, kecuali sedikit sekali. Mereka merasa cukup dengan itu. Mereka sangat minimalis. Padahal mereka menyadari dengan baik sabda Rasul berikut: Allah itu Mahabaik dan tidak menerima kecuali yang baik-baik saja. [HR. Muslim, at-Tirmidzi, dan Ahmad].
Sebagaimana Allah tidak menerima makanan jelek yang kita sedekahkan,
Allah juga pasti tidak akan menerima amalan kita yang jelek yang kita
berikan bagi Islam. Bukankah aktivitas dakwah yang minimalis adalah
bagian dari sesuatu yang jelek? Sebab, sesungguhnya Islam menghendaki
dari diri kita pengorbanan waktu, tenaga, dan pikiran yang optimal serta
harta yang banyak. Islam menghendaki segala sesuatunya yang terbaik
dari diri kita. Tidakkah kita melihat bagaimana Abu Bakar ash-Shiddiq
yang menginfakkan seluruh hartanya di jalan Allah dan jalan dakwah
Islam? Ketika beliau melakukan itu, beliau ditanya Rasulullah Saw, “Apa
yang engkau tinggalkan untuk keluargamu, wahai Abu Bakar?” Beliau hanya
menjawab, “Aku meninggalkan bagi mereka Allah dan Rasul-Nya.”
Demikianlah, sesungguhnya Islam menghendaki dari setiap Muslim waktunya,
hartanya, tenaganya, semangatnya, rumahnya, mobilnya, bahkan hidupnya.
Sesungguhnya Islam menghendaki setiap Muslim ‘menjual’ dirinya kepada
Allah dan memberikan setiap hari sesuatu yang baru bagi Islam. Tidakkah
kita melihat bagaimana kesungguhan Mus‘ab bin Umair dalam berdakwah?
Mush’ab setiap hari dalam hidupnya senantiasa memberikan konstribusi
baru bagi Islam di dalam dakwah dan jihad yang dilakukannya. Beliau
adalah dai pertama dalam Islam di kota Madinah. Di tangannyalah sebagian
besar penduduk Madinah berhasil diislamkan. Dia adalah peletak pertama
fondasi Negara Islam Madinah.
Dia adalah kontributor sesungguhnya bagi Islam dan jamaah kaum Muslim.
Lalu bagaimana dengan kita?
Lalu bagaimana dengan kita?
-Sudah berapa puluh orang yang kita Islamkan?
-Sudah berapa ratus orang Islam yang berhasil kita ajak memasuki barisan
dakwah Islam?
-Apakah kita telah berusaha keras untuk memahami Islam,
mengamalkan, sekaligus mendakwahkannya?
-Berapa banyak harta yang kita
infakkan setiap minggunya untuk kepentingan dakwah Islam?
-Berapa malam
setiap minggunya kita memikirkan aktivitas demi kebangkitan Islam secara
umum, atau kemajuan Islam di kota tempat tinggal kita?
-Berapa kali kita
melakukan amar makruf nahi mungkar setiap harinya?
Demikian
seterusnya.
Pertanyaan-pertanyaan itu penting kita tanyakan kepada diri kita untuk
mengukur sejauh mana kita telah mengorbankan diri kita untuk Allah.
Lihatlah oleh kita seorang pekerja pabrik, seandainya dia tidak
melakukan apapun dan tidak menghasilkan apapun; dia tidak bekerja selain
mengisi daftar hadir pada pagi hari dan pulang di sore hari, kira-kira
apa yang dihasilkan olehnya? Demikian juga seseorang yang sekadar
‘terdaftar’ sebagai anggota jamaah dakwah, sementara tidak ada atau
sedikit yang dia lakukan untuk dakwah dan jamaahnya. Dia sekadar hadir
di setiap halaqah dan tidak ada aktivitas lain yang dilakukannya selain
halaqah; apa yang dihasilkan dari dirinya dan apa pula yang
disumbangkannya bagi dakwah Islam? Renungkanlah!
Download Kitab2 Yg Membongkar Makar & Kejahatan Yahudi - Gratis
[Majalah al-wa'ie, Edisi 49]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar