– Gerombolan Jaringan Islam Liberal (JIL) adakan aksi “Indonesia Tanpa FPI”, di depan Plasa Indonesia, Jl. Kebon Kacang, Jakarta Pusat, Selasa (14/2/2012). Melalui demo ini, mereka mendukung tindakan anarkis yang dilakukan preman yang mentasnamakan masyarakat Dayak yang mengancam akan membunuh empat pimpinan FPI Pusat di Palangkaraya, Kalteng, Sabtu lalu.
Slogan mereka cuma satu, Indonesia tanpa FPI, Indonesia tanpa Kekerasan. Itulah yang mereka teriakkan sepanjang aksi dari pukul 16.00 hingga 17.00 WIB. Gerombolan JIL ini menuduh bahwa FPI lah pelaku kekerasan di Indonesia. Sepertinya mereka menutup mata, bahwa kejadian di Palangkaraya justru FPI menjadi korban. Korban kekerasan dan percobaan pembunuhan adalah pimpinan FPI, sementara para preman di sana menjebol Bandara Tjilik Riwut, menduduki apron bandara, membawa dan mengacungkan mandau dan tombak. Mereka inilah yang harusnya dikutuk karena telah melakukan kekerasan.
Siapakah gerombolan JIL yang getol ingin FPI bubar ini?. Dari pengamatan salah satu media Islam,
di lapangan diketahui gembong-gembong Liberal yang hadir dalam aksi yang dijaga oleh sekitar 100 polisi dengan sebagian anggotanya bersenjata lengkap dan diliput oleh puluhan media itu diantaranya Ulil Abshar Abdallah (JIL/Freedom Institute), Inayah Wahid (putri Gus Dur), Anis Hidayah (Migrant Care), Guntur Romli (JIL/Salihara), Hanung Bramantyo (sutradara liberal) dan Vivi Widyawati (LSM Perempuan Mahardika).
Pesertanya sekitar 50 orang, laki-laki, perempuan dan bencong. Sulit untuk mengatakan bahwa kelompok ini adalah kumpulan orang-orang beriman dan beramal sholeh. Orang-orang yang ingin FPI bubar ini bila digambarkan secara global setidaknya terdiri dari kaum bencong, pria rambut gimbal bertato dan cewek perokok bertato. Ada pula seorang sineas muda yang rajin membuat film-film yang menusuk Islam dan umat Islam.
Inilah tipologi segelintir orang yang mengaku anti kekerasan dan menginginkan FPI bubar:
Sutradara Hanung Bramantyo tak akan bebas berkarya bila FPI masih ada
Ada unsur politis dalam tragedi penyerangan delegasi FPI
Siraaj
Selasa, 14 Februari 2012 22:18:14
JAKARTA (Arrahmah.com) – Penghadangan delegasi FPI Pusat di Bandara Tjilik Riwut, Palangkaraya pada Sabtu (11/2/2012), janggal dan sarat dengan muatan politis. Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI), Habib Muhammad Rizieq Syihab, menganggap ribuan massa penghadang yang mengklaim Suku Dayak tersebut merupakan binaan dari Gubernur Kalimantan Tengah (Kalteng), Teras Narang.
Massa yang mengatasnamakan warga Dayak itu mengepung pesawat Sriwijaya yang di dalamnya ada empat pimpinan DPP FPI diantaranya, Ustadz Sobri Lubis (Sekjen FPI), Habib Muchsin Al- Attas (Ketua DPP FPI), Ustadz Awit Masyhuri (Ketua Bidang Dakwah FPI) dan Ustadz Maman Suryadi Abdurrahman (Panglima Laskar FPI).
Menurut Habib Rizieq, ada skenario berupa penyesatan opini publik bahwa seakan-akan keberadaan FPI di Kalteng dapat mengganggu kestabilan masyarakat terutama Suku Dayak. Padahal menurut Habib, selama ini FPI telah memiliki hubungan baik dengan berbagai suku Dayak se-Kalimantan. Habib Rizieq menjelaskan bahwa sebulan lalu bahkan delegasi warga Dayak Kalteng dari berbagai agama mendatangi DPP FPI di Petamburan untuk meminta bantuan untuk menghadapi arogansi Gubernur Kalteng dan Kapolda Kalteng tentang konflik agraria seperti Kasus Mesuji – Lampung.
Fakta yang lain menegaskan bahwa tidak semua warga Dayak menolak kehadiran FPI di Kalimantan Tengah. Berbeda dengan massa yang mengatasnamakan Dewan Adat Dayat (DAD) dan Majelis Adat Dayak Nusantara (MADN) yang memang menolak kedatangan FPI di Kalteng, Tokoh Dayak Seruyan mengakui jika mereka mendukung FPI.
“Saya dari masyarakat Dayak Seruyan. Betul kata Habib (Rizieq) tidak semua masyarakat menolak FPI, kami akan tetap mendirikan FPI di Seruyan, Kobar, Kotim, Sampit, dan Kuala Kapuas, secepat-cepatnya. Masyarakat mendukung dan kami bahkan meminta”, kata Budiardi, warga asli Dayak yang tercatat sebagai anggota DPRD Seruyan, Senin (13/2/2012), dilansir fpi.or.id.
Budiardi menambahkan bahwa yang menolak FPI bukanlah masyarakat Dayak di pedalaman, melainkan sekelompok orang di Palangkaraya, “Masyarakat Dayak menginginkan FPI ada di sana”, ujarnya yang juga menjabat sebagai pengurus Dewan Adat Suku Dayak.
Habib Rizieq mengatakan, bahwa Budiardi yang hingga kini bersama 12 orang lainnya dituduh sebagai tersangka atas tuduhan perusakan kebun kelapa sawit pada awal Desember lalu, adalah anggota dewan yang sedang melakukan pembelaan terhadap masyarakat Dayak Seruyan yang tanahnya dirampas oleh pengusaha lokal.
“Setelah beliau berjuang selama bertahun-tahun, justru beliau yang dikejar-kejar, mau dikerjai oleh Gubernur Kalteng dan mau dikerjai oleh Kapolda Kalteng. Maka dari itu mereka meminta perlindungan pada FPI dan kini FPI tengah melakukan advokasi dan litigasi”, jelas Habib.
Banyak perusahaan perkebunan yang terletak di Kabupaten Seruyan yang membuka lahan melebihi izin resmi yang mereka terima. Hal ini menyebabkan timbulnya konflik antara masyarakat dan perusahaan. Seperti yang terjadi di kawasan PT Sawit Subur Lestari dan PT. Best Agro Internasional.
Habib Rizieq yakin penolakan kedatangan FPI karena takut kebobrokan pejabat terbongkar. Habib menilai Teras Narang sengaja menggerakkan massa untuk menghadang FPI karena takut kebobrokannya terbongkat, terutama soal perampasan tanah masyarakat Dayak oleh para Kapitalis, “Mereka takut dibongkar keboborokannya. (Justru) FPI sedang membela Dayak Seruyan yang dizalimi pengusaha dan preman”, ujarnya.
Sementara itu, menurut Munarman, Ketua FPI Bidang Nahi Munkar, menilai penolakan terhadap kedatangan pengurus pusat FPI merupakan bentuk balas dendam Teras Narang terhadap Islam. Terutama terkait sejumlah kasus di Jabodetabek.
Munarman menduga Teras Narang melihat dengan salah kasus Ciketing di Bekasi dan GKI Yasmin di Bogor. Teras Narang mungkin melihat ada peran FPI di belakang kasus-kasus gereja ilegal itu, “Jadi dia balas dendam terhadap FPI”, katanya.
Sentimen Agama dan Politik
Alasan warga Palangkaraya menolak keberadaan FPI seperti yang mereka katakan adalah karena FPI sering melakukan “kekerasan”. Padahal
, aksi FPI yang mereka katakan sebagai “kekerasan” itu tidak sebanding dengan kader-kader partai politik, termasu PDI, masih banyak mereka yang melakukan kekerasan. Tentunya “kekerasan” FPI adalah untuk memberantas kemaksiatan bukan kekerasan yang dilakukan untuk merusak tatanan masyarakat.
Contohnya, di pilkada di Tuban, kader PDI beberapa waktu lalu, meluluhkan lantakkan pendopo Kabupaten Tuban, tetapi tidak ada yang menyebut PDI sebagai biang tindak kekerasan. Teras Narang, adalah salah satu kader PDI, seorang Kristen Fanatik, telah membangun gereja terbesar di Kalimantan. Toleransi yang selama ini didengungkan di pusat, hanyalah omong kosong belaka. Orang-orang Kristen menganggap orang-orang non-Kristen sebagai domba-domba yang sesat, dan harus diselamatkan (dikristenkan), maka tidak ada toleransi pada dasarnya, terutama terhadap umat Islam.
Tentunya Umat Islam yang “sadar” sudah faham bahwa Allah telah memberitahu bahwa Kristen dan Yahudi selamanya tidak akan pernah senang kepada Umat Islam, kecuali jika mengikuti agama mereka.
Di Palangkaraya, orang-orang Dayak Kristen melakukan pembantaian terhadap ribuan orang Madura. Laki-laki, perempuan, anak-anak, dan orang tua, tidak pandang bulu, biadab tanpa belas kasihan. Tetapi, tindakan mereka tidak pernah dikatakan atau dikutuk sebagai tindakan kekerasan. Di Singkawang dan Sanggoledo, ratusan orang Madura tewas, dan ribuan lainnya meninggalkan rumah-rumah mereka, karena dibunuh dan rumah mereka dihancurkan oleh orang-orang Dayak Kristen. Namun tindakan itu tak juga dianggap terkutuk oleh “orang-orang atas” dan para pengikutnya di negeri ini.
Pada bulan Januari lalu, puluhan warga Kabupaten Seruyan, Provinsi Kalteng, berdemo mendatangi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mengadukan soal lahan tanah mereka yang dirampas oleh perusahaan Kapitalis perkebunan kelapa sawit. Mereka juga meminta perlindungan hukum terhadap 12 orang masyarakat Seruyan yang ditahan pihak Kepolisian Polres Seruyan atas tuduhan perusakan tanah perkebunan. Namun “para petinggi” tak juga menggubris jeritan rakyat.
Hal tersebut bukanlah sesuatu yang baru atau aneh. Sudah menjadi kebiasaan bagi para Kapitalis merampas hak-hak rakyat jelata dengan menggunakan tangan-tangan politisi. Kapitalis membayar, uang melimpah, tangan mereka bersih, diatas keringat dan darah rakyat pedesaan.
Sistem Hukum Kafir
Sistem hukum kafir selalu beridiri diatas penderitaan rakyat. Maka janganlah heran, jika masalah sekecil apapun yang dilakukan oleh rakyat kecil akan mendapat “hukuman seberat-beratnya”. Apa saja yang “mengusik” tatanan hukum kafir, akan dijatuhi hukuman yang tidak logis. Lalu apa hubungannya dengan kasus yang sedang dihadapi FPI?
FPI adalah salah satu ormas Islam yang “keras” untuk menegakkan Syari’at Islam. Saudara-saudara di FPI tidak akan segan-segan bertindak untuk memberantas kemaksiatan yang meraja lela. Hal ini adalah suatu ancaman terbesar bagi negara yang menegakkan sitem hukum kafir. Umat Islam yang kuat terhadap keyakinannya akan selalu menjadi “buruan” para politis hukum kafir. Sekecil apapun tindakan yang diperbuat, maka akan dijatuhi hukuman yang tidak logis, minimal dicemarkan nama baiknya di tengah-tengah masyarakat yang sudah terdoktrin sistem kafir.
Umat Islam yang senantiasa ingin menegakkan kebenaran akan selalu dihalang-halangi oleh para “tentara” sistem kafir. Maka kita lihat, sekecil apapun tindakan yang dilakukan Umat Islam untuk menegakkan kebenaran yang dalam sistem hukum kafir telah tercatat sebagai “kekerasan”, akan disorot oleh setiap media yang mendukung sistem kafir, untuk menyebarkan propaganda, memutar balikkan fakta, menyembunyikan kebenaran, tidak mengizinkan mereka yang ingin berbicara membela kebenaran, dan akhirnya mendoktrin masyarakat awam. (siraaj/arrahmah.com)
Nekad, Kaum Fasik JIL Cari Penyakit, Menantang FPI di Bunderan HI
JAKARTA (VoA-Islam) – Setelah berorasi dan menggelorakan yel-yel Indonesia Tanpa FPI, kaum fasik Jaringan Islam Liberal (JIL) atau sebut saja Jaringan Iblis Laknatullah, menantang Front Pembela Islam (FPI) dengan menunggu di depan Bunderan HI. Sepertinya mereka siap berdarah-darah, meski slogan yang diusung adalah anti kekerasan dan damai.
Salah seorang koordinator lapangan (korlap) Gerakan Tanpa FPI bernama Vivi yang terus memprovokasi masyarakat dan para pengunjuk rasa agar bertahan di bunderan HI untuk menunggu kedatangan FPI yang kabarnya sedang bergerak ke HI. “Ayo teman-teman, yang berani, bertahan di sini, kita lawan FPI,” teriak Vivi sang korlap.
Rupanya, dedengkot JIL, Ulil Absar Abdalla, Guntur Romli, termasuk Hanung Bramantyo juga sedang menunggu-nunggu kedatangan FPI. Menunggu kedatangan FPI sama saja mencari penyakit. Dalam pemantauan Voa-Islam, gerakan sepilis akan menuju ke Kantor LBH, jika laskar FPI betul-betul datang.
Lama tak ditunggu, FPI tak datang-datang juga. Mereka terus berorasi dan mengumbarkan syahwat kebenciannya terhadap FPI. Perlu diketahui, Kaum Sepilis, bukan sedang mengkampanyekan anti kekerasan, melainkan anti FPI. Mereka berkedok cinta damai, padahal seperti memantik api di tengah kerumunan.
Siapa sesungguhnya yang menyukai kekerasan? Siapa sesungguhnya yang memutarbalikkan fakta? Siapa sebenarnya yang terlebih dulu menabuh genderang perang? Tak lain mereka adalah kaum fasik Jaringan Islam Liberal (JIL) atau lebih tepatnya Jaringan Iblis Laknatullah. Mereka berupaya memancing kemarahan rakyat Indonesia untuk membenci FPI tanpa alasan yang jelas.
Mereka memutarbalikkan fakta apa sesungguhnya yang terjadi di Palangkaraya, dimana FPI dalam posisi terzalimi, dihadang gerombolan preman di landasan pesawat Bandara Palangkaraya, belum lama ini.
Kabar FPI akan menyerang kaum sepilis di bunderan HI adalah rumor belaka. Isu itu sengaja dihembuskan agar target mereka menyeret FPI ke meja hijau, seperti Insiden Monas kembali terulang. Yang jelas, FPI cinta damai, yang lebih mengedepankan dialog. FPI tak mudah terprovokasi dengan mulut-mulut kebencian yang diumbar kaum fasik Jaringan Iblis Laknatullah (JIL).
(Desastian)
MUI, NU & Muhammadiyah Kecam Perusakan Rumah Anggota FPI Palangkaraya
SURABAYA (voa-islam.com) - Sebanyak 37 ormas Islam di Jawa Timur mengutuk keras tindakan perusakan rumah anggota Front Pembela Islam (FPI) di Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Mereka meminta pihak terkait bertanggung jawab atas peristiwa tersebut.
Pernyataan sikap itu disampaikan 37 ormas Islam yang tergabung dalam Gerakan Umat Islam Bersatu (GUIB) Jatim di Kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur. Ormas yang hadir di antaranya Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, GP Ansor, Hizbur Tahrir Indonesia (HTI).
Mochammad Yunus, Sekretaris MUI Jatim, Selasa (14/2/2012), mengungkapkan ormas mendesak Kepolisian segera menyelesaikan kasus pengerusakan dengan menangkap pelaku.
Hal yang sama juga disampikan Seketararis FPI Jatim Mochamad Choiruddin. Menurutnya penyerangan terhadap FPI sudah mengarah kepada perbuatan kriminal.
Seperti diketahui pada Sabtu 11 Februari lalu, rombongan pengurus FPI dari Jakarta yang akan menghadiri pengkuhan pengurus FPI Palangkaraya dihadang dan dibubarkan oleh sekelompok orang di Bandara Tjilik Riwut, Palangkaraya. Massa juga membakar sebuah tenda dan memecahkan kaca jendela rumah seorang anggota FPI di Palangkaraya.(widad/okz)
Pernyataan sikap FUI terkait percobaan pembunuhan delegasi FPI Pusat di Kalteng
Siraaj
Selasa, 14 Februari 2012 09:22:47
JAKARTA (Arrahmah.com) – Terkait dengan tragedi penghadangan, pengepungan, perusakan dan pembakaran serta percobaan pembunuhan terhadap rombongan delegasi Front Pembela Islam (FPI) Pusat, diantaranyaKetua Bidang Dakwah, Habib Muhsin b Ahmad Alattas, Sekjen KH. Ahmad Sobri Lubis, Wasekjen KH. Awit Masyhuri dan Panglima LPI Ust. Maman Suryadi, yang hendak berkunjung ke Palangka Raya dan Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah untuk urusan dakwah pada hari Sabtu (11/2/2012), sebagaimana kronologi kejadian yang dilaporkan beberapa media, maka Forum Umat Islam (FUI) membuat pernyataan sikap sebagai berikut:
****
FORUM UMAT ISLAM
Mengutuk Percobaan Pembunuhan Pengurus FPI Pusat di Kalimantan Tengah
Sebagaimana dilansir media massa bahwa ada ribuan orang mengepung bandara Tjilik Riwut Palangka Raya dan ratusan di antara mereka dengan membawa senjata tajam memasuki bandara dan mengepung pesawat Sriwijaya yang di dalamnya ada empat pimpinan DPP FPI dari Jakarta yang akan berbicara di Tabligh Akbar di Kuala Kapuas. Karena mereka bersenjata dan bernafsu mau membunuh pimpinan FPI yang ada di pesawat, pilot pesawat menerbangkan keempat pimpinan FPI ke Banjarmasin. Lalu dari Banjarmasin dengan jalan darat keempat pimpinan FPI dibawa ke Kuala Kapuas dan diterima Bupati. Namun ribuan gerombolan orang yang mengatasnamakan suku Dayak itu mengejar sampai Kuala Kapuas, mengepung rumah Bupati, dan memaksa agar FPI menggagalkan acaranya. Mereka menolak FPI dengan alasan FPI identik dengan anarkis dan kekerasan.
Terhadap peristiwa tersebut Forum Umat Islam (FUI) menyatakan:
- Mengutuk tindakan gerombolan yang mengatasnamakan suku Dayak yang telah mengepung pesawat dan mengacung-acungkan senjata untuk membunuh empat pimpinan FPI yang ada di dalam pesawat, bahkan mengejar ke Kuala Kapuas untuk mengusir dan hendak membunuh mereka serta membakar rumah/panggung Tabligh Akbar.
- FPI sebagai anggota FUI adalah ormas Islam yang sah yang dilindungi UU dan berhak beroperasi di seluruh wilayah NKRI, sehingga melarangnya berarti melanggar UU. Alasan bahwa FPI identik dengan anarkis oleh gerombolan anarkis tersebut adalah tidak sah dan batal dengan kelakuan mereka sendiri.
- Mengutuk para pejabat Pemprov Kalimantan yang berada di balik aksi anarkis gerombolan tersebut yang memiliki agenda politik tertentu berkaitan dengan kezaliman terhadap rakyat dalam sengketa tanah, khususnya di Kabupaten Seruyan.
- Mengutuk Kapolda Kalimantan Tengah yang gagal menjaga keamanan dan melakukan pembiaran sehingga gerombolan preman bersenjata bebas berkeliaran bahkan masuk bandara. Pembiaran ini mengingatkan kita pada peristiwa pembantaian dan pengusiran puluhan ribu etnis Madura dari Sampit dan seluruh wialayah Kalimantan Tengah sebelas tahun lalu.
- Mendukung sikap dan langkah FPI yang elegan dalam mengahadapi fitnah tersebut.
- Meminta semua pimpinan ormas dan lembaga Islam serta semua komponan umat Islam untuk memberikan simpati dan dukungan kepada FPI agar tetap melanjutkan dakwah dan amar makruf nahi munkar di seluruh wilayah NKRI, termasuk Kalimantan Tengah.
Jakarta, Senin 21 Robi’ul Awwal 1433 H / 13 Februari 2012 M.
Forum Umat Islam
KH. Muhammad Al Khaththath
Sekretaris Jenderal
Sikap Media Islam Ketika FPI Jadi Bulan-bulanan Media Sekuler
Oleh: Mohamad Fadhilah Zein
Front Pembela Islam (FPI) menjadi bulan-bulanan media. Berangkat dari sinisme terhadap FPI, akhirnya pemberitaan yang dilakukan sebagian media menjadi tidak obyektif. Kecuali media Islam, beberapa media menyajikan pemberitaan yang mengarahkan pembacanya pada citra buruk FPI.
Sikap sinis ini semakin kentara ketika media menghadirkan berita yang tidak sama antara badan berita dengan judul. Misalnya, Kompas.com tertanggal 12 februari pukul 12.40 WIB, yang menurunkan berita tentang statemen Din Syamsudin terkait penolakan kehadiran FPI di Kalimantan Tengah. Judul berita yang diturunkan Kompas.com adalah “Din Syamsudin: Tolak Ormas Anarkis”. Isi berita tersebut adalah pernyataan Din Syamsudin yang menolak segala bentuk kekerasan. Tidak ada satu kalimat pun dari Ketua Umum PP Muhammadiyah, di berita itu, yang menyebut “Tolak Ormas Anarkis.”
Pemberian judul di atas menjadi bias karena seolah-olah Din Syamsudin menolak FPI, padahal dalam pernyataannya, Din hanya mengatakan tolak segala bentuk aksi kekerasan yang bisa dilakukan siapa saja. Bisa disimpulkan, Kompas.com sudah melakukan penghukuman terhadap FPI (Trial by The Press) dengan memberikan judul seperti itu. Selengkapnya bisa dilihat http://nasional.kompas.com/read/2012/02/12/12403753/Din.Syamsuddin.Tolak.Ormas.Anarkis.
Lain pula yang dilakukan Vivanews.com. Media ini menurunkan sejumlah berita terkait kehadiran FPI di Kalimantan Tengah namun mendapat penolakan dari masyarakat setempat. Salah satu berita yang cukup bombastis adalah berita dengan judul “Usir FPI karena Warga Dayak Trauma Konflik” tertanggal 14 februari pukul 00:02 WIB.
Dengan judul menggunakan tanda kutip, pembaca disuguhi pernyataan langsung dari seorang pengamat. Redaksi tentu sudah memilih siapa pengamat yang jawabannya sesuai dengan keinginan mereka. Uniknya, ada lead yang memperkuat judul dalam berita itu, “Tak ada terkait agama. Mereka tidak menolak Islam, tapi menolak radikalisme.” Pemilihan lead semacam ini menjadi biasa dilakukan awak redaksi untuk mengarahkan kemana pembaca akan digiring. Selengkapnya bisa dilihat http://nasional.vivanews.com/news/read/287841–usir-fpi-karena-warga-dayak-trauma-konflik-
Detik.com sebagai portal berita internet yang kini dikuasai Transcorp juga tidak kalah menunjukkan sinisme terhadap FPI. Media ini bahkan menghilangkan identitas Habib pada Ketua Umum FPI Muhammad Rizieq Shihab. Di setiap penulisan berita, Detik.com selalu menyebut Ketua Umum FPI Rizieq Shihab. Tidak ada penjelasan mengenai hal ini dari portal berita ini.
Di beritanya lainnya, Detik.com mewawancarai peneliti SETARA Institute yang notabene adalah lawan ideologis FPI. Dalam wawancara itu, FPI digambarkan sebagai organisasi yang kebal terhadap hukum karena merusak tempat-tempat prostitusi , penyebaran miras dan lain sebagainya, namun dibiarkan oleh pemerintah. Statemen peneliti SETARA Institute pun dikutip hanya sebagian oleh Detik.com, karena di akhir badan berita, penulisnya hanya mengutip penggalan kalimat dari berita yang sudah tayang sebelumnya.
Beritanya bisa di lihat http://news.detik.com/read/2012/02/13/020916/1840605/10/insiden-tolak-fpi-di-palangkaraya-bentuk-kekecewaan-pada-pemerintah?nd992203605
Yang harus diperhatikan lebih di Detik.com adalah komentar-komentar dari pembaca yang kebanyakan anonim. Setiap berita menyangkut FPI atau Islam, pasti banyak komentar-komentar sinis, bahkan menghina, yang sepertinya dibiarkan oleh redaksi Detik.com.
Sementara itu, Antaranews.com yang menjadi kantor berita resmi pun menurunkan sejumlah berita yang bisa disimpulkan tidak setuju dengan adanya FPI. Beberapa judul yang ditulis media ini bahkan menunjukkan sikap redaksi yang demikian. Salah satunya adalah berita dengan judul “Warga Dayak Tolak FPI” tertanggal 11 Februari pukul 15:54 WIB. Beritanya http://www.antaranews.com/berita/296896/warga-dayak-tolak-fpi
Antaranews.com rupanya juga menurunkan berita yang sama dengan Kompas.com tertanggal 12 Februari dengan narasumber Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsudin. Berbeda dengan Kompas.com, Antaranews.com tidak mengutip satu kata pun tentang ormas anarkis. Dalam artikel itu, Din Syamsudin menekankan tidak ada agama di Indonesia yang menolak keberagaman.
Bagaimana media massa Islam?
Berbeda dengan media-media massa mainstream, media Islam justru melakukan pembelaan terhadap FPI. Sebut saja eramuslim.com, voa-islam.com, arrahmah.com, hidayatullah.com dan republika.co.id. Sebagian dari media massa itu bahkan menyebut Dayak Kafir untuk menunjukkan sikap redaksi.
Mereka mengutip statemen dari seluruh pengurus FPI, pengamat Islam yang menguntungkan FPI, atau statemen-statemen pejabat negara, dalam hal ini kepolisian, untuk memposisikan FPI sebagai pihak yang tidak dirugikan. Hidayatullah.com bahkan tidak ragu menyebut adanya upaya pembunuhan atas apa yang terjadi pada Sabtu (11/2) yang lalu.
Media ini mengutip pernyataan Wasekjen FPI, KH. Awit Masyhuri yang menyebut ada pihak-pihak yang khawatir kepentingan ekonominya terganggu dengan kedatangan FPI. Menurut Awit, sebulan lalu delegasi warga Dayak Kalteng dari berbagai agama mendatangi DPP FPI di Petamburan untuk meminta bantuan untuk menghadapi arogansi Gubernur Kalteng dan Kapolda Kalteng tentang konflik agraria seperti Kasus Mesuji– Lampung.
Voice of Al-Islam atau VOA-Islam.com lebih keras lagi menyebut Dayak Kafir atas apa yang terjadi dengan FPI. Media ini juga menunjukkan pembelaan terhadap Habib Rizieq Shihab dan seluruh pendukungnya. Hal ini jelas karena posisi media ini adalah sesuai dengan visi dan misinya yang khawatir dengan nasib umat Islam yang semakin termarjinalkan dengan kelompok-kelompok Kapitalis dan Zionis.
Eramuslim.com yang lebih dulu menjadi portal berita dunia Islam juga membela FPI. Ada yang menarik dari tulisan editorial Media Islam Rujukan ini. Editorial berjudul “Mengapa Menolak Habib Rizieq?” mempertanyakan sikap ambivalensi media terhadap pelaku-pelaku kekerasan di tanah air.
Dalam tulisan itu, Eramuslim mengkritisi arti kekerasan yang sering disematkan pada FPI. Padahal, pada kenyataannya, banyak kekerasan-kekerasan yang dialami umat Islam di daerah, justru dilakukan kelompok-kelompok non-muslim, namun hal itu tidak diungkap media-media massa mainstream.
Dalam kerusuhan Madura vs Dayak, Eramuslim.com mengungkit kembali kerusuhan antara Muslim vs Kristen. Selengkapnya bisa dilihat http://www.eramuslim.com/editorial/mengapa-menolak-habib-riziq.htm
Arrahmah.com yang mengusung tagline Berita Dunia Islam & Berita Jihad Terdepan, mengeluarkan sikap redaksi yang keras. Meminjam pernyataan Ketua bidang Nahi Munkar DPP FPI Munarman, media online ini menghalalkan darah kafir harbi yang menghalang-halangi dakwah Islamiyah.
Bahkan, Gubernur Kalimantan Tengah, Agustin Teras Narang, dicap sebagai kafir harbi yang darahnya halal untuk ditumpahkan. Beritanya ada disini: http://arrahmah.com/read/2012/02/11/17991-munarman-kafir-yang-menghalangi-dakwah-adalah-kafir-harbi-halal-darahnya.html
Kebenaran Hakikat vs Kebenaran Prosedural
Dari uraian pemberitaan di atas, terbukti bahwa media-media memiliki banyak kepentingan, bisa ideologis, ekonomi, politik dan lain sebagainya. Awak redaksi akan menentukan seperti apa wajah media tersebut. Seorang muslimkah dia, liberal, agnostik, kejawen dan sebagainya, akan mempengaruhi berita-berita yang disuguhkan.
Pembaca pun hanya menjadi penonton, yang jika tidak hati-hati dan cerdas, akan terhanyut dan terombang-ambing dalam pusaran informasi yang begitu deras dan terbuka. Independensi media massa pun dipertanyakan, jika melihat dari pemberitaan FPI.
Bahkan, media berperan besar dalam menstigmakan FPI sebagai organisasi pro-kekerasan. Bayangkan saja, setiap ada penggerebekan yang dilakukan FPI, maka jurnalis televisi akan selalu hadir. Tayangan video itu lalu disiarkan secara langsung di setiap program berita. Masyarakat pun tercengang dengan apa yang disaksikannya. Jadilah, FPI tertuduh sebagai ormas kekerasan.
Apakah kekerasan hanya dilakukan FPI? Jawabnya tidak. Kita semua tahu bahwa pelaku kerusuhan di daerah banyak juga yang dilakukan oleh non-muslim. Namun, porsi pemberitaannya tidak sama dengan apa yang dilakukan FPI.
Jika kita melihat hakikat yang dilakukan FPI, maka kebenaran yang diusung tidak terbantahkan. Maksudnya begini, siapa pun pasti setuju bahwa minuman keras, prostitusi, perjudian dan sejenisnya adalah tindak kejahatan yang harus diberantas. Tidak perlu ditanya betapa banyak bukti kehancuran akibat perbuatan-perbuatan tersebut. Kecuali bagi penganut adanya kebenaran relatif, maka hal-hal tersebut tentu tidak berlaku.
Apa yang dilakukan FPI secara hakikat adalah benar, karena mereka menghilangkan penyakit sosial masyarakat yang sudah endemik. Kekerasan yang mereka lakukan biasanya menjadi pilihan terakhir, karena adanya kelompok penentang. Pun hingga saat ini, kekerasan itu tidak sampai menimbulkan korban jiwa.
Bandingkan dengan kekerasan di daerah, misalnya Ambon, Poso, Bima, Makassar dan lainnya sebagainya, yang menyebabkan korban meninggal dunia. Kebenaran hakikat yang diyakini FPI bertabrakan dengan kebenaran prosedural yang ditetapkan dalam kehidupan masyarakat.
Ambil contoh kasus Perda Miras yang ramai beberapa waktu lalu. Kementerian Dalam Negeri berdalih Perda-perda Miras bertentangan dengan Keputusan Presiden Nomor 3 tahun 1997. Oleh sebab itu, muncul wacana pencabutan Perda-perda tersebut.
Secara prosedural perundang-undangan, upaya Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi benar untuk mencabut Perda-perda tersebut. Tapi, secara hakikat, dia akan bertabrakan dengan kebenaran yang diyakini umat Islam secara mayoritas.
Inilah contoh kasus yang menyebabkan lahirnya kelompok-kelompok seperti FPI. Selama kebenaran prosedural tidak berdasarkan kebenaran hakikat, maka akan selalu lahir generasi pembela Islam. Dan, bagi mereka yang sungguh-sungguh memerangi FPI dikhawatirkan terjangkit penyakit Islamophobia yang wabahnya sudah mendunia.
(*)
HTI demo Tolak Seks Bebas di Bundaran HI
Althaf
Selasa, 14 Februari 2012 14:25:52
JAKARTA (Arrahmah.com) – Sebagian masyarakat merayakan 14 Februari sebagai Hari Kasih Sayang. Puluhan perempuan anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menolak Hari Valentine yang dianggap penghalalan seks bebas.
Sedikitnya 50 perempuan berkerudung menggelar aksi di Bundaran Indonesia, Jakarta, Selasa (14/2/2012).
Mereka mengibarkan bendera HTI warna hitam dan membentangkan spanduk spanduk warna putih ukuran 10×2 meter bertuliskan “Bangsa ini tidak akan pernah maju dan bermartabat selama seks bebas terus dilestarikan.”
Spanduk lainnya, “Gaul sehat dan syar’i ciri remaja berprestasi” dan “Khilafah Islamiyah melibas seks bebas, menjamin generasi gemilang.”
Tidak ada orasi dalam aksi ini. Mereka hanya memutari Bundaran HI sambil terus membentangkan spanduk.
Seorang peserta aksi, Risma, berpendapat seks bebas di Indonesia semakin menggila dan Hari Valentine seringkali dianggap sebagai penghalalan seks bebas.
“Padahal yang kita tahu mayoritas penduduk kita beragama Islam, dan itu dilarang oleh agama. Kami menolak adanya seks bebas karena itu jelas-jelas budaya Barat,” kata Risma.
Arus lalu lintas juga tidak terganggu dan terlihat ramai lancar. (dtk/arrahmah.com)
INIKAH DEMOKRASI... ??? / !!!
Terjadi Di Jakarta !!!, Ayah Menggendong Mayat Anaknya Dari RSCM Ke Bogor Karena Tak Mampu Bayar Ambulan !!
Penumpang kereta rel listrik (krl) jurusan Jakarta – Bogor pun geger minggu (5/6). Sebab, mereka tahu bahwa seorang pemulung bernama Supriono (38 thn) tengah menggendong mayat anak, khaerunisa (3 thn).
Supriono akan memakamkan si kecil di kampung Kramat, Bogor dengan menggunakan jasa krl. Tapi di stasiun tebet, supriono dipaksa turun dari kereta, lantas dibawa ke kantor polisi karena dicurigai si anak adalah korban kejahatan. Tapi di kantor polisi, Supriono mengatakan si anak tewas karena penyakit muntaber. Polisi belum langsung percaya dan memaksa supriono membawa jenazah itu ke RSCM untuk diautopsi.
Di RSCM, Supriono menjelaskan bahwa khaerunisa sudah empat hari terserang muntaber. Dia sudah membawa khaerunisa untuk berobat ke puskesmas kecamatan setiabudi. Saya hanya sekali bawa khaerunisa ke puskesmas, saya tidak punya uang untuk membawanya lagi ke puskesmas, meski biaya hanya rp 4.000,- saya hanya pemulung kardus, gelas dan botol plastik yang penghasilannya hanya rp 10.000,- per hari. Ujar bapak 2 anak yang mengaku tinggal di kolong perlintasan rel ka di cikini itu.
Supriono hanya bisa berharap Khaerunisa sembuh dengan sendirinya. Selama sakit khaerunisa terkadang masih mengikuti ayah dan kakaknya, muriski saleh (6 thn), untuk memulung kardus di manggarai hingga salemba, meski hanya terbaring digerobak ayahnya.
Karena tidak kuasa melawan penyakitnya, akhirnya khaerunisa menghembuskan nafas terakhirnya pada minggu (5/6) pukul 07.00.
Khaerunisa meninggal di depan sang ayah, dengan terbaring di dalam gerobak yang kotor itu, di sela-sela kardus yang bau. Tak ada siapa-siapa, kecuali sang bapak dan kakaknya. Supriono dan muriski termangu. Uang di saku tinggal rp 6.000,- tak mungkin cukup beli kain kafan untuk membungkus mayat si kecil dengan layak, apalagi sampai harus menyewa ambulans. Khaerunisa masih terbaring di gerobak. Supriono mengajak musriki berjalan menyorong gerobak berisikan mayat itu dari manggarai hingga ke stasiun tebet, supriono berniat menguburkan anaknya di kampong pemulung di kramat, bogor. Ia berharap di sana mendapatkan bantuan dari sesama pemulung.
Pukul 10.00 yang mulai terik, gerobak mayat itu tiba di stasiun tebet.
Yang tersisa hanyalah sarung kucel yang kemudian dipakai membungkus jenazah si kecil. Kepala mayat anak yang dicinta itu dibiarkan terbuka, biar orang tak tahu kalau khaerunisa sudah menghadap sang khalik. Dengan menggandeng si sulung yang berusia 6 thn, Supriono menggendong Khaerunisa menuju stasiun. Ketika krl jurusan bogor datang, tiba-tiba seorang pedagang menghampiri supriono dan menanyakan anaknya. Lalu dijelaskan oleh Supriono bahwa anaknya telah meninggal dan akan dibawa ke Bogor spontan penumpang krl yang mendengar penjelasan supriono langsung berkerumun dan supriono langsung dibawa ke kantor polisi Tebet. Polisi menyuruh agar supriono membawa anaknya ke RSCM dengan menumpang ambulans hitam.
Supriono ngotot meminta agar mayat anaknya bisa segera dimakamkan.
Tapi dia hanya bisa tersandar di tembok ketika menantikan surat permintaan pulang dari RSCM. Sambil memandangi mayat khaerunisa yang terbujur kaku. Hingga saat itu Muriski sang kakak yang belum mengerti kalau adiknya telah meninggal masih terus bermain sambil sesekali memegang tubuh adiknya. Pukul 16.00, akhirnya petugas RSCM mengeluarkan surat tersebut, lagi-lagi karena tidak punya uang untuk menyewa ambulans, Supriono harus berjalan kaki menggendong mayat Khaerunisa dengan kain sarung sambil menggandeng tangan Muriski. Beberapa warga yang iba memberikan uang sekadarnya untuk ongkos perjalanan ke Bogor.
Para pedagang di RSCM juga memberikan air minum kemasan untuk bekal Supriono dan Muriski di perjalanan.
Psikolog Sartono Mukadis menangis mendengar cerita ini dan mengaku benar-benar terpukul dengan peristiwa yang sangat tragis tersebut karena masyarakat dan aparat pemerintah saat ini sudah tidak lagi perduli terhadap sesama. Peristiwa itu adalah dosa masyarakat yang seharusnya kita bertanggung jawab untuk mengurus jenazah khaerunisa. Jangan bilang keluarga supriono tidak memiliki KTP atau KK atau bahkan tempat tinggal dan alamat tetap. Ini merupakan tamparan untuk bangsa Indonesia, ujarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar