WHO mencatat setiap hari ada 7.000 orang yang terinfeksi HIV/AIDS.
Indonesia menempati urutan pertama dalam penularan HIV/AIDS di Asia
Tenggara. Prestasi ini bukanlah sebuah kebanggaan, melainkan sebuah
musibah. Data Kementerian Kesehatan per Juni 2011 menunjukkan jumlah
pengidap AIDS mencapai 26.400 orang dan lebih dari 66.600 orang telah
terinfeksi HIV positif. Totalnya sebanyak 93.000 orang.
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)
Sugiri Syarief, menyatakan angka tersebut belum mencerminkan data yang
sebenarnya. “HIV/AIDS bagaikan fenomena gunung es, di mana yang terlihat
hanya sekitar 20 persen saja," ujarnya
Kalau demikian, jumlah yang nyata bisa lima kali lipatnya. Bahkan ada
yang memperkirakan jumlahnya bisa jauh lebih banyak lagi. Mungkin 10
hingga 100 kali lipat. Dari data yang ada, lebih dari 70 persen di
antaranya pengidap HIV/AIDS adalah generasi muda usia produktif berkisar
20-39 tahun. Data World Health Organization (WHO) mengungkapkan, 7.000
orang terinfeksi penyakit itu setiap harinya.
Di seluruh dunia, ODHA (orang dengan HIV/AIDS) mencapai 5,2 juta
jiwa. Padahal pada tahun lalu, jumlahnya hanya 1,2 juta jiwa saja.
Lagi-lagi itu adalah data yang tercatat. Angka pastinya tidak diketahui
karena banyak pengidap HIV/AIDS tidak mengetahui bahwa dirinya telah
terinfeksi virus mematikan tersebut.
Berkembangnya penyakit mematikan ini tidak lain karena perilaku seks
bebas. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh BKKBN, penularan terbesar
melalui hubungan seks (heteroseksual) yakni sebesar 54,8 persen. Disusul
berikutnya melalui penggunaan jarum suntik—biasanya narkoba (31,8
persen), homoseksual (2,9 persen), perinatal/ibu ke anak (2,8 persen),
dan transfusi darah (0,2 persen).
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPA) mengungkapkan, penyebaran
penyakit HIV/AIDS ini tidak lepas dari adanya tempat-tempat pelacuran.
Salah satunya adalah pelabuhan laut. "Tidak ada satu pelabuhan pun yang
tidak ada pelacuran," ujar Nafsiah Mboi, selaku Sekretaris Komisi
Penangulangan Aids Nasional (KPAN), dalam acara Rakorkesra tentang
HIV/AIDS bersama KPA di gedung Kemenkes, Jakarta, September lalu.
Menurut Nafsiah, di pelabuhan orang bisa datang dari mana-mana dan di
pelabuhan angka penggunaan kondomnya juga terbilang hampir nol, yang
berarti masuk ke dalam hubungan seks berisiko."Umumnya orang-orang ini
tergolong 4M (Mobile Men with Money and Macho), yaitu laki-laki
yang sering berpindah-pindah dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya
dan mereka memiliki uang, sebagian dari mereka biasanya mencari hiburan
yang salah satunya adalah seks," ungkapnya.
Mia—bukan nama sebenarnya—adalah salah satu di antaranya. Pelacur
yang mangkal di sebuah lokalisasi di Surabaya ini tinggal menunggu nasib
karena tubuhnya digerogoti penyakit yang belum ditemukan obatnya itu.
Sebuah media nasional menulis, Mia sempat shock dengan penyakitnya itu.
Tapi, dengan alasan ekonomi, wanita muda ini tak juga meninggalkan dunia
gelapnya. Ia tetap saja melayani lelaki hidung belang setiap harinya.
Agar orang lain tak tertular, ia pun menggunakan kondom. Hanya saja ia
tak sekuat ketika masih sehat dulu. ‘Kerja’-nya dibatasi.
Itu kalau ODHA masih ‘baikan’, tidak mau menularkan penyakitnya
kepada orang lain. Ada juga ODHA yang sengaja menyebarkan penyakit itu.
Korbannya sudah banyak. Inilah mengapa banyak ibu-ibu yang sebenarnya
tak melakukan seks bebas tapi kemudian tertulari menjadi ODHA gara-gara
suaminya. Pasangannya itu membawa penyakit ke rumah.
Di Amerika, Simon McClure, pria menikah usia 38 tahun asal
Middlesbrough diduga telah melakukan hubungan seksual dengan ratusan
wanita. Ia diyakini telah terinfeksi HIV sejak 5 tahun lalu, seperti
dilansir Telegraph, Kamis (6/10/2011).
McClure telah didiagnosis dengan HIV pada tahun 2006 setelah kembali
dari perjalanan ke Thailand. Ia juga berkunjung ke Swiss, di mana dia
diperkirakan telah berhubungan seks dengan banyak pekerja seks
komersial. Karena tindakannya itu, McClure dijatuhi hukuman dua
tahun delapan bulan di Pengadilan Teeside Crown karena telah
berhubungan seks tanpa kondom sehingga menimbulkan kerugian menyedihkan
bagi tubuh korbannya. Salah satu korbannya mengetahui telah terinfeksi
ketika ia melakukan tes darah setelah mengetahui hamil. Bayinya lahir
prematur, tapi tes darah menunjukkan bayi tersebut tidak tertular
HIV."Hidup saya tidak akan normal kembali," kata salah satu korban Simon
McClure.
Bisa jadi orang seperti McClure banyak. Tak terkecuali di Indonesia.
Inilah yang bisa menjawab, mengapa jumlah orang yang terinfeksi HIV/AIDS
terus meningkat. Selain itu, jumlah wanita yang menjadi pelacur juga
terus bertambah. Dan, banyak orang telah jatuh ke dalam seks bebas dan
narkoba. Virus HIV ini berada di dalam cairan tubuh manusia,
yang berarti penularannya terjadi dari cairan di tubuh. Cairan yang
potensial mengandung virus HIV adalah darah, cairan sperma, cairan
vagina dan air susu ibu. Sedangkan keringat, air liur dan air mata tidak
menularkan virus HIV.Orang yang punya penyakit infeksi jika memiliki
luka atau ada cairan dari tubuh yang keluar maka bisa 10 kali menularkan
potensi HIV kepada pasangannya lewat hubungan seks.
Melihat kecenderungan yang ada, bukan suatu yang mustahil, bila di
masa mendatang jumlah orang yang mati bergelimpangan karena penyakit
HIV/AIDS ini akan meningkat. Seperti fenomena gunung es, orang bisa
kaget karena tiba-tiba di sekitarnya sudah banyak ODHA. Waspadalah![] Mujiyanto
Bukan Deret Hitung, Tapi Deret Ukur
Peningkatan jumlah pengidah HIV/AIDS memang luar biasa. Tak ada yang
menduga jumlahnya seperti sekarang. Di Indonesia, saat penyakit ini
pertama kali dilaporkan tahun 1987, jumlah penderitanya hanya lima
orang. Tahun 2007, jumlah itu melonjak menjadi 2.947 kasus. Setahun
kemudian, jumlah itu menjadi 4.969 kasus. Tahun 2009, ada 19.973 kasus.
Tahun 2010, ada 24.131 kasus. Dan hingga pertengahan tahun 2011,
tercatat ada 26.483 kasus.
Data tersebut menunjukkan pertambahan kasus HIV/AIDS tak lagi
mengikuti deret hitung, tapi mengikuti deret ukur. Lihat saja
peningkatannya berkali-kali lipat. Padahal, di tengah perkembangan itu,
sudah ada perlakuan dari pemerintah untuk mencegah penyebaran penyakit
karena kemaksiatan ini.
Peningkatan serupa terjadi di belahan dunia lainnya. Di Amerika, saat
penyakit yang disebut ‘acquired immune dificiency syndrome’ (AIDS)
pertama dideteksi tahun 1980, ada 31 orang meninggal karenanya. Setahun
kemudian, jumlah korbannya meningkat menjadi 234 orang. Sepuluh tahun
berikutnya melonjak menjadi 20.454 kasus. Salah satu ODHA yang tewas
adalah penyanyi rock Freddie Mercury.
Tahun 1997, di seluruh dunia ada 6,4 juta orang yang tewas karena
HIV/AIDS. Sementara yang tertular HIV mencapai 22 juta orang. Berbagai
obat-obatan dan vaksi dicari untuk menyembuhkan penyakit ini, tapi tak
berhasil. Tahun 2007, diperkirakan ada 33 juta orang yang terjangkiti
HIV. Setiap harinya 7.000 orang menjadi pengidap HIV baru.[] emje
|
Munculnya
penyakit seksual HIV/AIDS ini tidak lepas dari sistem hidup masyarakat
dunia saat ini yang dipimpin oleh ideologi kapitalisme.
Bom kecil meledak orang terbelalak, tapi HIV/AIDS kian mengganas
orang tak tersentak. Padahal, HIV/AIDS adalah bahaya terselubung yang
sedang mengintai kehidupan masyarakat. Apakah Anda yakin, orang di
sekitar Anda semuanya bebas HIV/AIDS?
WHO mencatat setiap hari ada 7.000 orang terinveksi Human immunodeficiency virus (HIV)/ Acquired immune deficiency syndrome
(AIDS). Penyebarannya pun luar biasa. Tak ada yang menduga sebelumnya
penyakit yang diidentifikasi pada tahun 1980-an itu merebak begitu
cepat. Data menunjukkan orang yang tertular tahun ini mencapai 33 juta
orang. Pertambahannya tidak lagi mengikuti deret hitung tapi sudah
mengikuti deret ukur. Korban tewasnya pun mencapai lebih dari 6 juta
orang. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan dengan penyakit flu
burung yang terjadi beberapa tahun terakhir.
Penyakit yang awalnya ditemukan pada orang yang homoseksual ini pun
mampir ke Indonesia. Di Indonesia, ODHA tahun ini mencapai lebih dari
26.000 orang. Mereka berasal dari berbagai kalangan dari mulai
penggangguran, pelajar/mahasiswa, pekerja, PNS, polisi/tentara, hingga
pengguna narkoba.
Penyakit ini menular paling besar melalui hubungan seks. Besarnya,
penularan HIV/AIDS ini menunjukkan indikator bahwa perilaku seks bebas
kian subur. Itu juga mengindikasikan bahwa berbagai pencegahan yang
dilakukan selama ini gagal membuahkan hasil.
Pemerintah telah salah dalam menentukan akar masalah persoalan ini.
Kalau pun tahu akan permasalahannya, penyelesaiannya tidak tuntas atau
hanya setengah-setengah. Kalau dilihat, persoalan penularan HIV/AIDS ini
karena adanya hubungan seks bebas, seharusnya pencegahannya adalah
pelarangan seks bebas sama sekali.
Namun apa yang terjadi? Dalam kampanye-kampanye pencegahan HIV/AIDS
justru yang dimunculkan adalah seks aman. Artinya boleh melakukan
hubungan seks dengan siapa saja asalkan dengan menggunakan kondom. Jelas
ini tidak kena sasaran. Soalnya, terbukti kondom sendiri tidak menjamin
penularan HIV/AIDS ini. Yang tidak pakai pun tak ada sanksi. Terus
siapa yang mengawasinya?
Perilaku maksiat para ODHA tak pernah dihentikan. ODHA yang biasa
menggunakan jarum suntik, malah dibagikan jarum suntik agar tidak
menggunakan satu jarum suntik dari orang lain. Demikian juga para
pelacur tidak dilarang menjadi pelacur, tapi diberi kondom dan diminta
menggunakan kondom bila melayani pelanggannya. Sementara para homoseks
pun dianjurkan pakai kondom jika berhubungan seks.
Tindakan pemerintah ini tidak membuat jera orang-orang bejat ini.
Seorang ODHA yang terkena HIV/AIDS karena homoseks mengaku kepada Media Umat,
tetap melanjutkan tindakan terkutuk itu dengan alasan sekarang hal itu
bisa dilakukan dengan aman. Ia tak merasa berdosa dan menghentikan
aksinya meski penyakit mematikan menyerangnya.
Apa yang dilakukan oleh pemerintah itu sama dan sebangun dengan
program global. Tak heran jika hasilnya pun sama. Secara global,
penularan penyakit itu tak terkendali. Di negara semaju Amerika saja,
prevalensinya pun melonjak. Justru ada kecenderungan peningkatan yang
tajam gara-gara ada obat yang bisa mengurangi risiko bahaya penyakit
ini.
Buah Kapitalisme
Munculnya penyakit seksual HIV/AIDS ini tidak lepas dari sistem hidup
masyarakat dunia saat ini yang dipimpin oleh ideologi kapitalisme.
Dengan pola hidup yang permisif (serba boleh), hubungan laki-laki dan
wanita maupun hubungan sejenis tidak boleh dibatasi. Pembatasnya hanya
jika mengganggu hak-hak orang lain.
Dalam pandangan kapitalisme, kalau ada dampak dari pola hubungan
seperti itu harus dicari obatnya. Bukan dilarang hubungannya itu
sendiri. Karena melarang kebebasan warga negara—termasuk dalam hubungan
seks—dianggap melanggar hak asasi manusia (HAM).
Maka wajar jika lokalisasi pelacuran dibiarkan dan malah dibangun.
Tujuannya, mengais keuntungan dari bisnis esek-esek ini. Dengan
dilokalisasi, para pelacur ini bisa dikontrol dan dijaga kesehatannya
sehingga tetap bisa melayani tamu-tamu hidung belang dari mana pun.
Kalau pun ada yang tertular penyakit, pemerintah membantunya dengan
menyediakan berbagai obat-obatan dan sarana lainnya. Ini bisa
menghidupkan perusahaan obat. Seks telah menjadi lahan bisnis.
Solusi Islam
Kondisi nyata itu bertolak belakang dengan pandangan Islam. Islam
melarang sama sekali zina, apalagi homoseksualitas. Kalau remaja sudah baligh
dan memiliki hasrat seksual, Islam membuka pintu bagi mereka untuk
menikah. Menikah dalam masa muda tak perlu dipersulit, justru harus
dipermudah.
Islam membatasi hubungan lawan jenis atau hubungan seksual antara
pria dan wanita hanya dalam lembaga perkawinan dan melalui pemilikan
hamba-hamba sahaya semata. Sebaliknya, Islam telah menetapkan bahwa
setiap hubungan lawan jenis selain dengan dua cara tersebut adalah
sebuah dosa besar yang layak diganjar dengan hukuman yang paling keras.
Sistem interaksi pria dan wanita dalam Islam menjadikan aspek ruhani
sebagai landasan dan hukum-hukum syariat sebagai tolok ukur. Di
dalamnya terdapat hukum-hukum yang mampu menciptakan nilai-nilai akhlak
yang luhur. Hukum-hukum tersebut banyak jumlahnya. Di antaranya, pria
maupun wanita wajib menundukkan pandangannya. Mereka juga dilarang
berkhalwat (berdua-duaan), kecuali wanita itu disertai mahramnya. Wanita
juga tidak boleh tabaruj (bersolek).
Selain itu, Islam sangat menjaga agar jamaah (komunitas) kaum wanita
terpisah dari jamaah (komunitas) kaum pria; begitu juga didalam masjid,
di sekolah, dan lain sebagainya. Meski begitu, tetap membolehkan adanya
kerja sama antara pria dan wanita yang bersifat umum dalam
urusan-urusan muamalat;bukan hubungan yang bersifat khusus seperti
saling mengunjungi antara wanita dengan pria yang bukan mahramnya atau
jalan-jalan bersama.
Pola hubungan yang demikian tidak akan terwujud di dalam sistem kufur
seperti sekarang. Satu-satunya sistem yang bisa menjamin kehidupan yang
lebih baik, terbebas dari HIV/AIDS adalah sistem Islam. Itulah
khilafah.[] mujiyanto
|
Rokhmat S Labib, Ketua DPP HTI
Dari tahun ke tahun, anggaran yang digelontorkan pemerintah untuk
mengatasi masalah HIV/AIDS semakin besar namun ternyata angka penyakit
–yangsebagian besar penularannya melalui perzinaan—itu semakin tinggi.
Mengapa bisa demikian? Adakah yang salah dari solusi yang selama ini
dijalankan pemerintah? Temukan jawabannya dalam wawancara wartawan
Tabloid Media Umat Joko Prasetyo dengan Ketua DPP Hizbut Tahrir
Indonesia Rokhmat S Labib. Berikut petikannya.
Mengapa pengidap HIV/AIDS semakin marak di Indonesia?
Bagaimana tidak meningkat terus, lha akar masalahnya tidak
disentuh. Padahal akar masalahnya sudah sangat jelas. Semua data dan
fakta menunjukkan bahwa penularan HIV/AIDS erat kaitannya dengan
perilaku seks bebas dan penggunaan jarum suntikbergantian yang biasa
digunakan para pecandu narkoba.
Namun demikian, tidak ada langkah kongkrit dari pemerintah untuk
memutus rantai utama media penularan HIV/AIDS. Perilaku seks bebas ini
tidak dihentikan. Sebaliknya, pemerintah justrumenggalakkan pemakaian
kondom.
Itu kan hanya salah satu solusinya?
Memang benar, selain menganjurkan pemakaian kondom, pemerintah juga mengampanyekan perilaku lainnya, seperti abstinence,yaknitidak melakukan hubungan seks, dan be faithfull, yakni
setia kepada pasangan. Akan tetapi, jika tidak bisa menahan diri dengan
dua perilaku tersebut, masih dibuka opsi berikutnya, yakni memakai
kondom!
Ironisnya, kampanye pemakaian kondom inilah yang justrulebih menonjol
daripada yang lain. Program juga sangat gencar. Akses terhadap kondom
dipermudah, bahkan dibagikan secara gratis di lokasi-lokasi prostitusi
dan para pelakunya. Lebih tragis lagi, penggunaan kondom juga
dikampanyekan kepada remaja-remaja yang belum menikah. Ini kan sama saja mengajari berzina.
Kan untuk menekan jumlah pengidap HIV?
Alasan itu jelas salah besar.
Mengapa?
Setidaknya ada tiga alasan. Pertama, banyak pakar yang meragukan efektivitas kondom dalam mencegah penularan virus HIV.
Kedua,kampanye pemakaian kondom bagi pelaku seks bebas
tersebut sifatnya hanya anjuran. Tidak ada sanksi apa pun bagi yang
melanggarnya. Seandainya ada, pelaksanaannya tentu juga amat sulit.
Bagaimana dan siapa yang mengawasi para pelaku seks bebas itu
menggunakan kondom atau tidak?
Ketiga, program itu sudah terbukti gagal di negara asalnya,
negara-negara Barat. Meskipun kampanye pemakaian kondom di negara-negara
tersebut amat gencar, namun jumlah pengidap HIVdi negara-negara terus
meningkat. Maka aneh sekali, program yang sudah jelas-jelas gagal itu,
masih diikuti.
Dan yang lebih penting, kampanye penggalakan kondom bagi pelaku seks
bebas tersebut justru melegitimasi seks bebas. Seolah dikatakan kepada
para pelaku seks bebas itu, “Silakan Anda berzina, tapi jangan lupa
pakai kondom!”
Ini kan konyol sekali. Jangankan bisa menghentikan HIV, tindakan ini
malah mengundang azab Allah SWT yang lebih besar. Dalam hadits riwayat
Al Thabarani dan AlHakim, disebutkan: Apabila zina dan riba telah
terang-terangan dilakukan di suatu negeri, maka sesungguhnya mereka
telah menghalalkan diri mereka dari azab Allah.
Mengapapemerintah lebih memilih melegalkan seks bebas daripada melarangnya?
Itu tidak bisa dilepaskan dengan ideologi yang diadopsi oleh negara
ini. Diakui atau tidak, ideologi yang diadopsi negara ini adalah
sekulerisme-kapitalisme. Nah, diantara ide yang menonjol dari ideologi ini adalah ide kebebasan, freedom. Salah satunya adalah kebebasan berperilaku. Termasuk di dalamnya aktivitas seksual.
Setiap individu berhak dan bebas melakukannya dengan siapa saja,
asalkan atas dasar suka sama suka. Negara tidak boleh campur tangan
kecuali ada pihak yang merasa terganggu dan dirugikan. Selama itu tidak
ada, seks bebas tidak boleh dilarang. Bahkan, jika dianggap bermanfaat
secara ekonomi, seks bisa menjadi komoditas yang bernilai komersial.
Nah, karena seks bebas tidak boleh dilarang, maka yang dilakukan adalah meminimalisir risiko. Pilihannya, yaitu, kampanyekan kondom. Inilah solusi sekulerisme-kapitalisme.
Bagaimana solusi Islammengatasi persoalan tersebut?
Dalam Islam, jelas. Zinamerupakan perbuatan haram. Bahkan termasuk
dalam dosa besar. Pelakunya diancam dengan azab besar di akhirat. Di
dunia, hukumannya juga sangat berat. Bagi yang belum menikah dicambuk
seratus kali dihadapan khalayak. Bagi yang sudah menikah, dirajam hingga
mati.Bagi yang homo lebih berat lagi, pelakunya harus dibunuh.
Demikian pula dengan narkoba. Islam telah mengharamkan benda yang
membahayakan tersebut. Sehingga pengguna narkoba, pengedar, produsen,
dan semua yang terlibat juga dihukum berat.
Dengan tindakan tegas tersebut, penularan HIV/AIDS tidak akan serumit
seperti sekarang. Sebab rantai utama penyebaran HIV telah terputus.Tak
hanya itu, Islam juga menutup semua pintu yang dapat mengantarkan kepada
perbuatan tersebut.
Ada perintah menutup aurat, larangan tabarruj (berdandan berlebihan di depan umum, red), ikhtilath (campur aduk, red) dan khulwah (berdua-duan di tempat yang sepi, red) antara pria wanita, dan lain-lain.
Pada saat yang sama, pernikahan dipermudah. Poligami juga dibuka.
Pemerintah juga wajib menciptakan lapangan kerja seluas-luanya. Suasana
ketakwaan dan keimanan harus dibangun sehingga ada keterikatan terhadap
hukum Islam. Dengan demikian, kalau ada yang berzina, amat keterlaluan.
Perlakuan terhadap orang yang sudah telanjur tertular HIV sendiri?
Setidaknya, mereka dikategorikan menjadi dua. Pertama,penderita
yang tertular akibat kemaksitan yang dia lakukan, seperti berzina atau
menggunakan narkoba. Mereka harus dihukum sesuai dengan ketentuan Islam.
Seperti tadi saya katakan, ada yang harus dihukum mati. Jika hukuman
ini dilakukan, berarti pasti dapat mengurangi jumlah pengidap dan
penyebar virus HIV.
Kedua, mereka yang menjadi korban penularan atau pelaku
kemaksiatan yang tidak sampai dihukum mati harus diobati. Apabila
dikuatirkan menularkan kepada orang lain di samping diobati juga
dikarantina.
Kalau dikarantina, apa tidak dianggap mendiskriminasi mereka?
Karantina bukan untuk mendiskriminasi mereka. Namun untuk mencegah
agar mereka tidak menularkan penyakitnya kepada orang lain. Dalam
haditsriwayat Ahmad, Bukhari, Muslim dan AlNasa’i,Rasulullah
SAWmemerintahkan apabila ada sebuah daerah terserang wabah thâ’ûn, orang yang berada di luar daerah itu tidak boleh masuk.
Sebaliknya, orang yang ada di dalamnya tidak boleh keluar. Ini bukan
untuk mendiskriminasi atau mengisolasi, namun mencegah agar penyakit
menular itu tidak menyebar luas.
Namun saya harus mengingatkan, semua solusi tersebut tidak bisa
berjalan sendiri. Ini juga terkait dengan aspek kehidupan lainnya,
seperti politik, ekonomi, pendidikan, dan lain-ain. Di samping itu, ini
hanya bisa dijalankan oleh negara.
Realitas ini semakin menunjukkan betapa besarnya umat membutuhan
khilafah, institusi negara yang menerapkan syariah Islam secara kâffah.[] |
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar