Amar Ma’ruf Nahi Munkar: Selamatkan dari Azab
Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.
Kemungkaran
merupakan perbuatan yang harus ditinggalkan. Lebih dari itu,
kemungkaran juga tidak boleh didiamkan ketika terjadi di tengah-tengah
kehidupan. Siapa pun yang melihatnya harus berusaha untuk melarang dan
mencegahnya. Dengan begitu, dia memiliki alasan di hadapan Allah SWT dan
berhak untuk diselamatkan dari azabnya. Inilah di antara yang
dijelaskan oleh ayat ini.
Kegunaan Nasihat
Allah Swt berfirman: Wa idz qâlat ummat[un] minhum lima ta’zhûnâ qawm[an] Allâh muhlikuhum aw mu’adzdzibuhum adzâb[an] syadîd[an] (dan [ingatlah] ketika suatu umat di antara mereka berkata: "Mengapa kamu menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengadzab mereka dengan adzab yang amat keras?"). Dalam ayat sebelumnya diberitakan mengenai pelanggaran hari Sabtu yang dilakukan oleh Bani Israel yang tinggal di sebuah negeri yang terletak dekat laut. Setiap Sabtu banyak ikan berdatangan di laut dekat tinggal mereka. Selain Sabtu, ikan-ikan tersebut menghilang. Ditegaskan dalam ayat tersebut, itu merupakan ujian atau cobaan yang diberikan kepada mereka karena mereka berlaku fasik.
Terhadap ujian tersebut, sebagian di antara mereka tidak kuat menhadapinya. Mereka pun mencari ikan pada hari Sabtu tersebut. Padahal, mereka dilarang untuk mencari ikan pada hari tersebut. Itu berarti, mereka telah melakukan pelanggaran terhadap hari Sabtu. Disebutkan: ya’dûna fî al-sabt.
Pada saat itulah ada sebagian yang lain melarang agar tindakan pelanggaran tersebut tidak dilakukan. Ketika itu dilakukan, maka muncullah pertanyaan dari ummat[un] minhum (suatu umat dari mereka). Ada beberapa perbedaan mengenai siapa yang dimaksud dengan ummah di sini. Menurut pendapat yang terkuat, sebagaimana dipaparkan Fakhruddin al-Razi dan al-Wahidi bahwa penduduk negeri tersebut terbagi menjadi dua kelompok.Pertama, kelompok yang melakukan pelanggaran di hari Sabtu. Dan kedua, kelompok yang tidak ikut melakukannya. Kelompok kedua terbagi lagi menjadi dua kelompok. Pertama, yang memberikan nasihat dan teguran kepada kelompok pelanggar hari Sabtu. Dan kedua, yang diam dan tidak memberikan nasihat. Lebih dari itu, mereka pun mengingkari orang-orang yang memberikan nasihat seraya bertanya: lima ta’izhûhum (mengapa kamu menasihati mereka)? Pada telah maklum bahwa Allah akan muhlikuhum (menghancurkan mereka) di dunia dan mu’adzdzibuhum (mengazab mereka) di akhirat.
Terhadap pertanyaan demikian, mereka menjawab bahwa ada dua alasan mengapa mereka memberikan nasihat kepada orang-orang yang melakukan kemungkaran tersebut. Pertama: Qâlû ma’dzirat[an] ilâ Rabbikum (mereka menjawab: "Agar kami mempunyai alasan [pelepas tanggung jawab] kepada Tuhanmu). Kata ma’dzirahmerupakan bentuk mashdar berwazan maf’ilah seperti maghfirah. Dijelaskan Ibnu Duraid dalam kitabnya, al-Isytiqâq, kata al-‘udzr, al-‘idzrah, dan al-ma’dzirah berdekatan maknanya.
Artinya, sebagaimana dijelaskan al-Syaukani, “Nasihat kami itu sebagai alasan kepada Allah sehingga Dia tidak menghukum kami karena meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar yang diwajibkan kepada kita.”
Kedua: Wala’allahum yattaqûn (dan supaya mereka bertakwa). Artinya, dengan nasihat yang disampaikan kepada orang yang melakukan pelanggaran tersebut diharapkan membuat mereka sadar sehingga mau bertakwa. Yakni, menaati semua perintah dan larangan-Nya. Termasuk berhenti dari melanggar hari Sabtu. Disebutkannya yattaqûnmenunjukkan bahwa orang yang bertanya lima ya’izhûna tidak termasuk orang-orang yang melakukan pelanggaran.
Nasib Pemberi Nasihat dan Pelaku Maksiat
Dalam ayat selanjutnya disebutkan: Falammâ nasû mâ dzukkirû bihi (maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka). Pengertian nasû (melupakan) di sini adalah tarakûhu ‘an qashd (meninggalkan dengan sengaja). Demikian al-Qurthubi dalam tafsirnya. Oleh karena itu, sebagaimana dijelaskan al-Syaukani, frase ini memberikan pengertian bahwa ketika para pelaku maksiat dari penduduk negeri tersebut benar-benar mengabaikan peringatan orang-orang shalih yang melarang kemungkaran sebagaimana layaknya orang yang melupakan sesuatu, maka: Anjaynâ al-ladzîna yanhawna ‘an al-sû` (Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat). Yang disebutkan secara tegas disebutkan sebagai orang-orang yang diselamatkan adalah orang-orang yang melarang al-sû` (perbuatan jahat). Pengertian al-sû` di sini, sebagaimana dijelasakan Ibnu Jarir al-Thabari, adalah maksiat kepada Allah dan menghalalkan yang haram.
Sebaliknya: wa akhadnâ al-ladzîna zhalamû bi adzâb ba`îs (dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras). Yang dimaksud dengan al-ladzîna zhalamû adalah al-firqah al-‘ashiyah (kelompok pelaku maksiat). Yakni orang-orang yang melanggar hari Sabtu, menghalalkan apa yang diharamkan Allah berupa berburu ikan pada hari Sabtu. Demikian Ibnu Jarir al-Thabari dalam tafsirnya.
Terhadap mereka, Allah SWT menimpakan adzâb ba`îs. Artinya, adzâb syadîd wajî’ (azab yang pedih lagi menyakitkan). Dari kata al-ba`s yang berarti al-syiddah (kuat). Demikian al-Baghawi dalam tafsirnya.
Kemudian dijelaskan: bimâ kânû yafsuqûn (disebabkan mereka selalu berbuat fasik). Bahwa azab yang ditimpakan kepada mereka itu semata disebabkan oleh perbuatan fasik yang mereka lakukan. Dijelaskan al-Thabari, fasik adalah keluar dari menaati Allah kepada kemasiatan.
Mengenai azab yang mereka terima, dijelaskan dalam ayat berikutnya: Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang mereka dilarang mengerjakannya, Kami katakan kepadanya: "Jadilah kamu kera yang hina”(TQS al-A’raf [7]: 166).
Nasib Kelompok yang Tidak Memberikan Nasihat
Dalam ayat tersebut telah diberitakan dengan jelas bahwa mengenai al-firqah al-mu’tadiyyah (kelompok pelaku maksiat) dan al-firqah al-nâhiyah (kelompok yang melarang kemungkaran). Lalu bagaimana dengan orang-orang yang bertanya: lima ta’izhûna? Yakni kelompok yang tidak terlibat langsung terlibat dengan kemaksiatan, namun mereka tidak ikut melakukan amar ma’ruf nahi munkar?
Dalam ayat ini tidak diberitakan secara jelas. Oleh karena itu, ada perbedaan pendapat di kalangan para mufassir mengenai nasib mereka. Menurut Ikrimah mereka termasuk selamat. Sebab, mereka membenci perbuatan jahat yang dilakukan oleh pelaku maksiat. Ibnu Zaid berpendapat sebaliknya, mereka binasa. Menurutnya, ini merupakan ayat yang paling keras ancamannya dalam hal meninggalkan amal nahi munkar.
Bagi kita, tak boleh ambil risiko. Jika kita ingin mendapatkan keselamatan dari azab secara pasti, tak cukup hanya meninggalkan kemaksiatan dan kemungkaran. Namun juga harus memerintahkan yang ma’ruf dan melarang yang munkar. Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb.[]
Dan
(ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata: "Mengapa kamu
menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka
dengan azab yang amat keras?" Mereka menjawab: "Agar kami mempunyai
alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu, dan supaya mereka
bertakwa". Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada
mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat
dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras
disebabkan mereka selalu berbuat fasik(TQS al-A’raf [7]: 164-165).
Kegunaan Nasihat
Allah Swt berfirman: Wa idz qâlat ummat[un] minhum lima ta’zhûnâ qawm[an] Allâh muhlikuhum aw mu’adzdzibuhum adzâb[an] syadîd[an] (dan [ingatlah] ketika suatu umat di antara mereka berkata: "Mengapa kamu menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengadzab mereka dengan adzab yang amat keras?"). Dalam ayat sebelumnya diberitakan mengenai pelanggaran hari Sabtu yang dilakukan oleh Bani Israel yang tinggal di sebuah negeri yang terletak dekat laut. Setiap Sabtu banyak ikan berdatangan di laut dekat tinggal mereka. Selain Sabtu, ikan-ikan tersebut menghilang. Ditegaskan dalam ayat tersebut, itu merupakan ujian atau cobaan yang diberikan kepada mereka karena mereka berlaku fasik.
Terhadap ujian tersebut, sebagian di antara mereka tidak kuat menhadapinya. Mereka pun mencari ikan pada hari Sabtu tersebut. Padahal, mereka dilarang untuk mencari ikan pada hari tersebut. Itu berarti, mereka telah melakukan pelanggaran terhadap hari Sabtu. Disebutkan: ya’dûna fî al-sabt.
Pada saat itulah ada sebagian yang lain melarang agar tindakan pelanggaran tersebut tidak dilakukan. Ketika itu dilakukan, maka muncullah pertanyaan dari ummat[un] minhum (suatu umat dari mereka). Ada beberapa perbedaan mengenai siapa yang dimaksud dengan ummah di sini. Menurut pendapat yang terkuat, sebagaimana dipaparkan Fakhruddin al-Razi dan al-Wahidi bahwa penduduk negeri tersebut terbagi menjadi dua kelompok.Pertama, kelompok yang melakukan pelanggaran di hari Sabtu. Dan kedua, kelompok yang tidak ikut melakukannya. Kelompok kedua terbagi lagi menjadi dua kelompok. Pertama, yang memberikan nasihat dan teguran kepada kelompok pelanggar hari Sabtu. Dan kedua, yang diam dan tidak memberikan nasihat. Lebih dari itu, mereka pun mengingkari orang-orang yang memberikan nasihat seraya bertanya: lima ta’izhûhum (mengapa kamu menasihati mereka)? Pada telah maklum bahwa Allah akan muhlikuhum (menghancurkan mereka) di dunia dan mu’adzdzibuhum (mengazab mereka) di akhirat.
Terhadap pertanyaan demikian, mereka menjawab bahwa ada dua alasan mengapa mereka memberikan nasihat kepada orang-orang yang melakukan kemungkaran tersebut. Pertama: Qâlû ma’dzirat[an] ilâ Rabbikum (mereka menjawab: "Agar kami mempunyai alasan [pelepas tanggung jawab] kepada Tuhanmu). Kata ma’dzirahmerupakan bentuk mashdar berwazan maf’ilah seperti maghfirah. Dijelaskan Ibnu Duraid dalam kitabnya, al-Isytiqâq, kata al-‘udzr, al-‘idzrah, dan al-ma’dzirah berdekatan maknanya.
Artinya, sebagaimana dijelaskan al-Syaukani, “Nasihat kami itu sebagai alasan kepada Allah sehingga Dia tidak menghukum kami karena meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar yang diwajibkan kepada kita.”
Kedua: Wala’allahum yattaqûn (dan supaya mereka bertakwa). Artinya, dengan nasihat yang disampaikan kepada orang yang melakukan pelanggaran tersebut diharapkan membuat mereka sadar sehingga mau bertakwa. Yakni, menaati semua perintah dan larangan-Nya. Termasuk berhenti dari melanggar hari Sabtu. Disebutkannya yattaqûnmenunjukkan bahwa orang yang bertanya lima ya’izhûna tidak termasuk orang-orang yang melakukan pelanggaran.
Nasib Pemberi Nasihat dan Pelaku Maksiat
Dalam ayat selanjutnya disebutkan: Falammâ nasû mâ dzukkirû bihi (maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka). Pengertian nasû (melupakan) di sini adalah tarakûhu ‘an qashd (meninggalkan dengan sengaja). Demikian al-Qurthubi dalam tafsirnya. Oleh karena itu, sebagaimana dijelaskan al-Syaukani, frase ini memberikan pengertian bahwa ketika para pelaku maksiat dari penduduk negeri tersebut benar-benar mengabaikan peringatan orang-orang shalih yang melarang kemungkaran sebagaimana layaknya orang yang melupakan sesuatu, maka: Anjaynâ al-ladzîna yanhawna ‘an al-sû` (Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat). Yang disebutkan secara tegas disebutkan sebagai orang-orang yang diselamatkan adalah orang-orang yang melarang al-sû` (perbuatan jahat). Pengertian al-sû` di sini, sebagaimana dijelasakan Ibnu Jarir al-Thabari, adalah maksiat kepada Allah dan menghalalkan yang haram.
Sebaliknya: wa akhadnâ al-ladzîna zhalamû bi adzâb ba`îs (dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras). Yang dimaksud dengan al-ladzîna zhalamû adalah al-firqah al-‘ashiyah (kelompok pelaku maksiat). Yakni orang-orang yang melanggar hari Sabtu, menghalalkan apa yang diharamkan Allah berupa berburu ikan pada hari Sabtu. Demikian Ibnu Jarir al-Thabari dalam tafsirnya.
Terhadap mereka, Allah SWT menimpakan adzâb ba`îs. Artinya, adzâb syadîd wajî’ (azab yang pedih lagi menyakitkan). Dari kata al-ba`s yang berarti al-syiddah (kuat). Demikian al-Baghawi dalam tafsirnya.
Kemudian dijelaskan: bimâ kânû yafsuqûn (disebabkan mereka selalu berbuat fasik). Bahwa azab yang ditimpakan kepada mereka itu semata disebabkan oleh perbuatan fasik yang mereka lakukan. Dijelaskan al-Thabari, fasik adalah keluar dari menaati Allah kepada kemasiatan.
Mengenai azab yang mereka terima, dijelaskan dalam ayat berikutnya: Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang mereka dilarang mengerjakannya, Kami katakan kepadanya: "Jadilah kamu kera yang hina”(TQS al-A’raf [7]: 166).
Nasib Kelompok yang Tidak Memberikan Nasihat
Dalam ayat tersebut telah diberitakan dengan jelas bahwa mengenai al-firqah al-mu’tadiyyah (kelompok pelaku maksiat) dan al-firqah al-nâhiyah (kelompok yang melarang kemungkaran). Lalu bagaimana dengan orang-orang yang bertanya: lima ta’izhûna? Yakni kelompok yang tidak terlibat langsung terlibat dengan kemaksiatan, namun mereka tidak ikut melakukan amar ma’ruf nahi munkar?
Dalam ayat ini tidak diberitakan secara jelas. Oleh karena itu, ada perbedaan pendapat di kalangan para mufassir mengenai nasib mereka. Menurut Ikrimah mereka termasuk selamat. Sebab, mereka membenci perbuatan jahat yang dilakukan oleh pelaku maksiat. Ibnu Zaid berpendapat sebaliknya, mereka binasa. Menurutnya, ini merupakan ayat yang paling keras ancamannya dalam hal meninggalkan amal nahi munkar.
Bagi kita, tak boleh ambil risiko. Jika kita ingin mendapatkan keselamatan dari azab secara pasti, tak cukup hanya meninggalkan kemaksiatan dan kemungkaran. Namun juga harus memerintahkan yang ma’ruf dan melarang yang munkar. Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb.[]
Ikhtisar:
- Amar ma’ruf nahi munkar dilakukan berguna sebagai: (a) alasan kepada Allah di hari kiamat kelak; (b) membuat pelaku kemaksiatan sadar dan mau bertakwa
- Pelaku kemaksiatan yang mengabaikan nasihat ditimpa dengan azab
- Yang jelas disebutkan diselamatkan Allah SWT adalah orang-orang yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar