Spirit Kebangkitan Ummat

Selanjutnya akan datang kembali Khilafah berdasarkan metode kenabian. Kemudian belia SAW diam.” (HR. Ahmad dan Ath-Thabarani) “Siapa saja yang melepaskan ketaatan, maka ia akan bertemu Allah pada hari kiamat tanpa memiliki hujjah. Dan siapa saja yang meninggal sedang di pundaknya tidak ada baiat, maka ia mati seperti mati jahiliyah (dalam keadaan berdosa).” (HR. Muslim). “Sesungguhnya Allah telah mengumpulkan (memperlihatkan) bumi kepadaku. Sehingga, aku melihat bumi mulai dari ujung Timur hingga ujung Barat. Dan umatku, kekuasaannya akan meliputi bumi yang telah dikumpulkan (diperlihatkan) kepadaku….” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi) Abdullah Berkata, ”Pada saat kami sedang menulis di sisi Rasulullah SAW, tiba-tiba Rasulullah SAW ditanya, manakah di antara dua kota yang akan ditaklukkan pertama, Konstantinopel atau Roma(Italia). Rasulullah SAW bersabda: ”Kota Heraklius yang akan ditaklukkan pertama—yakni Konstantinopel.” (HR. Ahmad)

Jumat, 01 Juni 2012

Demokrat: Katakan Tidak Pada Korupsi!

Demokrat: Katakan Tidak Pada Korupsi!

Foto: Demokrat: Katakan Tidak Pada Korupsi!



KATAKAN TIDAK PADA(HAL)KORUPSI!

Masih ingatkah slogan partai bebas dari korupsi sekaligus Anti-korupsi milik Partai Demokrat yang berbunyi “GELENGKAN kepala dan katakan Tidak, Abaikan rayuannya dan katakan Tidak, Tutup telinga dan katakan Tidak”.

Slogan tersebut adalah senjata paling ampuh yang dipakai Demokrat untuk membuktikan betapa konsistennya partai itu memberantas korupsi. Namun kenyataannya slogan tersebut menjadi sebuah ”BUNGKUS KEPALSUAN” sekaligus berbohong terhadap mayoritas rakyat Indonesia. Betapa tidak, sejumlah besar kasus korupsi di Indonesia ternyata melibatkan kader partai besutan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Slogan pemberantasan korupsi serta pemerintahan yang bersih hanyalah sekedar konsumsi janji-janji tipuan belaka.

Pada masa kampanye Pemilu 2009 silam. Kala itu, Partai Demokrat merayu rakyat Indonesia lewat semboyan pemberantasan korupsi yang tanpa pandang bulu. Harus diakui, rayuan yang disebar luaskan melalui media massa itu memang cukup menarik perhatian. Ini karena SBY, Anas Urbaningrum, Andi Malarangeng, dan Angelina Sondakh turut serta membintangi iklan kampanye itu.

“GELENGKAN KEPALA DAN KATAKAN TIDAK, ABAIKAN RAYUANNYA DAN KATAKAN TIDAK, TUTUP TELINGA DAN KATAKAN TIDAK”

Slogan ini dipakai Demokrat untuk membuktikan betapa konsistennya partai itu memberantas korupsi. Bahkan pada penghujung iklan itu, ‘Partai Demokrat bersama SBY terus melawan korupsi tanpa pandang bulu’, menjadi kalimat penutup yang terasa indah di telinga.

Entah karena iklan itu memang sangat bermutu dan menjanjikan, Partai Demokrat dan SBY akhirnya berhasil merebut kekuasaan untuk kedua kalinya. Lebih bombastis lagi, SBY tak lagi perlu bertarung dua kali putaran pemilu, seperti Pemilu 2004. Sekali putaran saja, Yudhoyono kembali melenggang ke Istana.

Namun, semboyan “KATAKAN TIDAK PADA KORUPSI” kini menjadi bumerang bagi Partai Demokrat dan SBY sendiri. Apa lacur, sederet kader partai berlambang mercy itu justru terseret dalam derasnya pusaran korupsi. Sayangnya, meski SBY berkali-kali mengatakan tidak akan pernah pandang bulu memberantas korupsi, sepertinya pernyataan itu tidak berlaku pada kader sendiri. Tak heran, kini banyak kalangan menuding Partai Demokrat sebagai SARANGNYA PARA KORUPTOR.

Bungkus kepalsuan yang selama ini dikemas rapi oleh SBY dan partainya serta kroni-kroninya dengan politik pencitraan, kini mulai terbuka dan rakyat dapat melihat dengan mata telanjang, isi dari bungkus pencitraan tersebut ternyata pepesan kosong alias kebohongan.

Polemik seputar status hukum sebanyak 61 kepala daerah yang mayoritas terjerat kasus dugaan korupsi beberapa waktu lalu hingga saat ini masih tersendat. Apa boleh buat, mayoritas dari jumlah itu adalah kader Partai Demokrat, sehingga mendapat ‘PERLAKUAN KHUSUS’ dari partai penguasa.

Apalagi, para koruptor yang sebelumnya bukan kader Demokrat, ramai-ramai berpindah haluan ke Demokrat. Tujuannya bisa ditebak, suaka politik adalah yang utama. Muncul pertanyaan, apakah fenomena ini masih bisa menjamin Partai Demokrat sebagai partai yang betul-betul ingin memberantas korupsi?

Ternyata, Partai Demokrat menjadi bunker yang paling aman untuk tempat berlindung bagi para koruptor. Hal ini menunjukkan dan semakin mempertegas ada fenomena bahwa kepala-kepala daerah yang berlatar belakang atau politisi yang merupakan kader partai penguasa saat ini (Demokrat) biasanya akan mendapatkan “JAMINAN DAN PERLINDUNGAN” untuk bebas ketika tersangkut dalam suatu kasus pidana.

Indonesia Coruption Watch (ICW) sudah berkali-kali menuding Partai Demokrat sebagai sarang persembunyian para koruptor. Dalam penelitiannya, ICW setidaknya menemukan tujuh kepala daerah yang terlibat kasus korupsi. Bahkan, kader junior itu semakin merasa nyaman, sebab hukum seolah-olah tidak mampu menjamah mereka.

Kesan tebang pilih yang terbersit di benak publik tentu saja tidak terelakkan. Merujuk pada kader partai lain, ICW lantas membandingkan kasus yang menimpa kader PKS Misbakhun dan kader Golkar Syamsul Arifin Gubernur Sumatera Utara. Kedua politisi ini akhirnya harus meringkuk di sel penjara.
Penelitian terbaru ICW bahkan menegaskan 76 persen dari pernyataan SBY yang mendukung pemberantasan korupsi nyatanya tidak terealisasi. Padahal, berdasarkan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari presiden.
Namun, justru di sinilah letak persoalannya. Kekuasaan memberi izin yang digenggam SBY diduga menjadi sumber presiden melakukan tindakan diskriminatif. Perlindungan hukum menjadi sebab utama pindahnya kepala daerah ke Partai Demokrat. Dengan tingginya tingkat korupsi di Pilkada, suaka politik dengan cara masuk ke lingkaran kekuasaan menjadi hal penting. Apalagi, politik pemberantasan korupsi kita saat ini masih tebang pilih. Upaya SBY untuk melindungi kader-kader Demokrat serta kroni-kroninya yang terlibat korupsi kini semakin dapat dilihat dengan mata telanjang.

Tidak sedikit para petinggi Partai Demokrat yang terlibat kasus kejahatan korupsi dan sulit sekali diusut secara hukum, karena bisa diganti dengan deal, bargaining atau ‘DAGANG SAPI’ dengan uang dan jabatan. Padahal, di luar negeri seperti Jepang dan Korea, seorang pejabat tinggi yang baru dicurigai terlibat kasus saja, sudah mengundurkan diri atas inisiatif sendiri sebagai tanggungjawab moral dan sanksi sosial. Kalau di negeri ini, meski sudah diduga kuat dan digoyang sana-sini, tetap saja sang pejabat tidak mau mengakui kesalahan.

Berikut ini adalah nama-nama sebagian besar kader partai penguasa (Demokrat) yang menjadi tersangka maupun yang diduga kuat terlibat kasus kejahatan korupsi dari tingkat pusat maupun yang berada di daerah-daerah:

    1. Johny Allen Marbun. Wakil Ketua Umum I Partai Demokrat ini terlibat dugaan kasus suap dana stimulus fiskal 2009 untuk pembangunan infrastruktur (dermaga dan pelabuhan udara) di Indonesia bagian Timur dari Rp. 10,2 triliun menjadi Rp 12,2 triliun di Kementerian Perhubungan. Kasus ini terjadi ketika Abdul Hadi Djamal, salah satu anggota DPR Fraksi PAN periode 2004-2009 ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada tanggal 2 Maret 2009 bersama dengan pegawai Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Darmawati setelah menerima uang 90.000 dollar AS dan Rp 54,5 juta dari Komisaris PT. Kurnia Jaya Wira Bakti Surabaya, Hontjo Kurniawan. Hadi dalam keterangannya menyebutkan, uang yang ia terima dari Hontjo bukanlah yang pertama. Pada Ferbuari 2009 Hadi mengaku mendapat Rp 1 miliar untuk diteruskan kepada Jhony Allen yang menjabat sebagai Wakil Ketua Panitia Anggaran DPR melalui ajudannya yang bernama Risco Pesiwarissa. Uang itu adalah sebagian dari komitmen total penyerahan uang sebesar Rp. 3 miliar. Dugaan keterlibatan Johny Allen kembali mencuat setelah mantan ajudannya yang lama jadi buron tiba-tiba datang ke KPK pada tanggal 18 Mei 2010 setelah selama 1 tahun menghilang dan menjadi buronan KPK. Kepada penyidik KPK, Risco mengaku bahwa dirinya yang memberikan uang Rp 1 miliar dari Abdul Hadi Djamal kepada Johnny Allen di Aston Residence, Jakarta pada 27 Februari 2009. Namun Johny berbohong, ia mengaku tak mengenal atau memiliki ajudan bernama Risco.

Bukan hanya itu, Jhonny Allen ini diduga kuat ikut bermain dalam proyek perluasan tanah kuburan di daerah Pondok Aren, Jakarta Timur pada tahun 2008. Untuk keperluan perluasan itu Jhonny menyuap salah seorang pegawai Dinas Pemakaman DKI Jakarta Endan Suhjada sebesar Rp 550 juta. Tindakan Jhony Allen tentu tamparan keras bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sekaligus Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat yang selalu menyatakan akan menghunus pedang untuk melawan korupsi. SBY harus menindak Jhonny Allen. Kalau tidak maka citra pemerintah dan Partai Demokrat akan hancur.

    2. Andi Nurpati. Sejak awal kepindahan mantan Anggota KPU periode 2007-2012 menjadi anggota Partai Demokrat pada Juli 2010 lalu telah menimbulkan tanda tanya dan polemik bagi publik. Penunjukan dirinya sebagai Ketua Divisi Komunikasi Publik DPP Partai Demokrat periode 2010-2015 dibawah kepemimpinan Anas Urbaningrum – yang juga sama-sama merupakan mantan Anggota KPU periode 2002-2007 – semakin memperkuat dan menegaskan indikasi akan adanya intervensi dan tidak independennya KPU. Andi Nurpati. Wanita yang sebelumnya adalah anggota KPU ini juga terseret dalam kasus pemalsuan surat MK yang kasusnya tidak lagi dilanjutkan. Bahkan, saat ini dia dipercaya sebagai salah satu Ketua DPP Partai Demokrat.
  
  3. Max Sopacua. Anggota Komisi I DPR dari Partai Demokrat yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Umum II DPP Partai Demokrat ini diduga menerima dan turut menikmati uang hasil korupsi dari mantan Sekjen Departemen Kesehatan Sjafii Ahmad berupa Mandiri Traveler Cheque) senilai Rp 45 juta yang kemudian digunakan untuk sebagian pembayaran dari pembelian satu unit mobil Honda CRV atas nama Max Sopacua. Kasus tersebut terjadi pada tahun 2007, ketika Max menjadi anggota DPR 2004-2009 yang membawahi Departemen Kesehatan dan terjadi korupsi dalam pengadaan 37 unit rontgen portable untuk puskesmas di daerah terpencil yang menimbulkan kerugian keuangan negara sebesar Rp. 9,48 miliar akibat penggelembungan harga.

    4. Agusrin M Najamudin. Agusrin Najamudin, Gubernur Bengkulu. Dia kader demokrat yang terlilit Dispenda gate atau kasus korupsi dalam penyaluran dan penggunaan dana bagi hasil pajak bumi dan bangunan. Ia divonis bebas oleh Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Syarifuddin dalam kasus dugaan korupsi Dana Bagi Hasil Pajak Bumi Bangunan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan senilai Rp. 20,162 Miliar yang didakwakan kepadanya saat menjabat Gubernur Bengkulu pada periode sebelumnya. Atas putusan tersebut, Jaksa Penuntut Umum Zuhandi langsung mengajukan banding, karena menilai bahwa putusan itu tidak sesuai dengan yang diharapkan dalam tuntutan yakni pidana 4,5 tahun penjara, denda Rp. 500 juta dan subsidair kurungan 6 bulan. Berkas kasus ini sebetulnya telah dilimpahkan ke PN Jakarta Pusat pada awal Juli 2009, namun baru disidangkan pada awal Januari 2011 sesudah dirinya terpilih kembali dan dilantik menjadi Gubernur Bengkulu untuk periode kedua. Putusan Majelis Hakim PN Jakpus tersebut sangat janggal dan cenderung beraroma politik.

    5. Amrun Daulay. Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Demokrat periode 2009-2014 ini pada tanggal 11 April 2011 telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena turut terlibat dalam kasus dugaan korupsi pengadaan sarung, mesin jahit, dan sapi di Kementerian Sosial tahun 2004-2008 yang merugikan negara sekitar Rp. 33,7 miliar. Amrun yang saat kasus itu terjadi menjabat sebagai Direktur Jenderal Bantuan Sosial Fakir Miskin Depsos dianggap mengetahui secara pasti proyek pengadaan sapi impor di Depsos.

    6. Murman Effendi. Ketua DPD Partai Demokrat Bengkulu yang juga Bupati Seluma, Bengkulu. Murman adalah Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Demokrat Provinsi Bengkulu yang terpilih pada Januari 2011, menggantikan Gubernur Bengkulu Agusrin Najamudin yang tidak lagi mencalonkan diri sebagai Ketua DPD Demokrat setelah tersandung kasus dugaan korupsi APBD. Murman Effendi ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka kasus dugaan suap pengesahan Peraturan Daerah (Perda) No.12/2010 tentang Pengikatan Dana Anggaran Pembangunan Infrastruktur Peningkatan Jalan dengan Konstruksi Hotmix dan Jembatan Kabupaten Seluma tahun 2010-2011. Atas perbuatannya, KPK menjerat Murman melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a, Pasal 5 ayat 1 huruf b dan atau Pasal 13 UU No.20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

    7. As’ad Syam. Ketua MPD Demokat Provinsi Jambi, diputus bersalah atas kasus korupsi proyek pembangunan jaringan listrik PLTD Sungai Bahar, Muarojambi pada tahun 2004, senilai Rp4,5 miliar.

    8. Djufri. Mantan Walikota Bukit Tinggi asal Demokrat, yang kini menjabat anggota DPR asal Demokrat juga terjerat dugaan korupsi pengadaan tanah kantor DPRD Bukittinggi dan pool kendaraan Sub Dinas Kebersihan dan Pertamanan Bukittinggi 2007 yang merugikan keuangan negara sekitar Rp1,2 miliar. Kendati Djufri telah ditetapkan sebagai tersangka pada 9 Januari 2009 lalu, hingga kini ia masih bebas mondar-mandir di gedung Senayan. Sedangkan kasusnya kini ditangani Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat.

    9. Andrias Palino Popang. Wakil Bupati Tanah Toraja terlibat kasus korupsi anggaran pendapatan dan belanja Tanah Toraja 2003-2004 senilai Rp1,9 miliar.

    10. Satono, Bupati Lampung Timur terlilit kasus dugaan penyimpangan dana anggaran pendapatan dan belanja daerah periode 2005-2008.

    11. Aziddin. Mantan anggota Komisi VIII DPR Partai Demokrat periode 2004-2009, Aziddin terlibat kasus percaloan pemondokan dan katering haji pada tahun 2006 dengan menyalahgunakan surat rekomendasi fraksi dalam melaksanakan tugasnya sebagai anggota pemantau haji. Hingga saat ini tidak ada tindakan hukum yang dilakuk`n kepada dirinya.

    12. Sukawi Sutarip. Mantan walikota Semarang, kader Partai Demokrat ini pada tanggal 5 Mei 2008 oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah ditetapkan sebagai tersangka dalam sejumlah kasus penyelewengan dana APBD bersama-sama dengan ketua DPRD Kota Semarang Ismoyo Subroto pada periode 1999-2004 yang mengakibatkan kerugian negara sekitar Rp. 6 miliar. Namun pada tanggal 29 Oktober 2010 Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah mengeluarkan surat penghentian penyidikan perkara kepada mantan calon Gubernur Jateng yang diusung oleh Partai Demokrat tersebut.

    13. Muhammad Nazaruddin. Pria keturunan Pakistan ini adalah mantan Bendahara Umum dari Partai Demokrat (PD) yang ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi Wisma Atlet. Kader partai berlambang mercy itu terlibat beberapa kasus korupsi, antara lain kasus suap Sekretaris Menteri Pemuda dan Olahraga (Sesmenpora) dan korupsi dalam pengadaan barang yang dibiayai dengan anggaran pendapatan dan belanja negara.

    14. Andi Malarangeng. Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) ini, diduga membantu PT Duta Graha Indah (DGI) untuk memenangkan proyek pembangunan Wisma Atlet di Jakabaring Palembang. Wafid dan Mindo Rosalina Manulang dipersidangan, secara terang benderang telah mengungkapkan secara jelas keterlibatan Andi. Termasuk terlibat menerima aliaran dana Rp500 juta oleh Rosa untuk kongres pemilihan Ketua Umum Partai Demokrat di Bandung.

    15. Anas Urbaningrum. Ketua Umum Partai Demokrat yang disebut-sebut sebagai bos besar ini, diduga kuat terlibat kasus suap wisma atlet dan kasus-kasus dugaan korupsi yang dilakukan melalui modus penggiringan proyek pemerintah melalui perusahaan bernama Grup Permai. Juga dugaan dana sebesar Rp7 juta dollar AS atau sekitar Rp100 miliar dari proyek Hambalang mengalir ke Ketua Umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Uang ini digunakan untuk pemenangan Anas sebagai Ketua Umum Partai Demokrat.

    16. Angelina Sondakh. Tersangaka dalam kasus suap Wisma Atlet SEA Games makin terkuak. Setelah Yulianis dan Mindo Rosalina Manulang bersaksi di persidangan, kesaksian juga datang dari Gerhana Sianipar. Keterangan Direktur Utama PT Exatech Technology Utama itu–anak usaha Grup Permai yang dimiliki Nazaruddin–makin mengukuhkan dugaan keterlibatan Angie. Penetapan Angelina Sondakh sebagai tersangka baru dalam kasus suap Wisma Atlet SEA Games oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tinggal menunggu waktu. Alasannya, makin banyak keterangan saksi di persidangan kasus suap Wisma Atlet yang menyebutkan keterlibatan politikus Partai Demokrat ini.

    17. Mirwan Amir. Wakil Ketua Badan Anggaran dari Fraksi Demokrat ini diduga terlibat kasusu proyek wisma Atlet SEA Games 2011. Mirwan ditengarai turut membagikan sejumlah uang untuk memuluskan proyek ini. Mirwan juga dituduh kecipratan dana Rp1 miliar. Dana ini disebut-sebut sebagai pelicin proyek di Banggar. 

http://www.globalmuslim.web.id/

KATAKAN TIDAK PADA(HAL)KORUPSI!

Masih ingatkah slogan partai bebas dari korupsi sekaligus Anti-korupsi milik Partai Demokrat yang berbunyi “GELENGKAN kepala dan katakan Tidak, Abaikan rayuannya dan katakan Tidak, Tutup telinga dan katakan Tidak”.

Slogan tersebut adalah senjata paling ampuh yang dipakai Demokrat untuk membuktikan betapa konsistennya partai itu memberantas korupsi. Namun kenyataannya slogan tersebut menjadi sebuah ”BUNGKUS KEPALSUAN” sekaligus berbohong terhadap mayoritas rakyat Indonesia. Betapa tidak, sejumlah besar kasus korupsi di Indonesia ternyata melibatkan kader partai besutan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Slogan pemberantasan korupsi serta pemerintahan yang bersih hanyalah sekedar konsumsi janji-janji tipuan belaka.

Pada masa kampanye Pemilu 2009 silam. Kala itu, Partai Demokrat merayu rakyat Indonesia lewat semboyan pemberantasan korupsi yang tanpa pandang bulu. Harus diakui, rayuan yang disebar luaskan melalui media massa itu memang cukup menarik perhatian. Ini karena SBY, Anas Urbaningrum, Andi Malarangeng, dan Angelina Sondakh turut serta membintangi iklan kampanye itu.

“GELENGKAN KEPALA DAN KATAKAN TIDAK, ABAIKAN RAYUANNYA DAN KATAKAN TIDAK, TUTUP TELINGA DAN KATAKAN TIDAK”

Slogan ini dipakai Demokrat untuk membuktikan betapa konsistennya partai itu memberantas korupsi. Bahkan pada penghujung iklan itu, ‘Partai Demokrat bersama SBY terus melawan korupsi tanpa pandang bulu’, menjadi kalimat penutup yang terasa indah di telinga.

Entah karena iklan itu memang sangat bermutu dan menjanjikan, Partai Demokrat dan SBY akhirnya berhasil merebut kekuasaan untuk kedua kalinya. Lebih bombastis lagi, SBY tak lagi perlu bertarung dua kali putaran pemilu, seperti Pemilu 2004. Sekali putaran saja, Yudhoyono kembali melenggang ke Istana.

Namun, semboyan “KATAKAN TIDAK PADA KORUPSI” kini menjadi bumerang bagi Partai Demokrat dan SBY sendiri. Apa lacur, sederet kader partai berlambang mercy itu justru terseret dalam derasnya pusaran korupsi. Sayangnya, meski SBY berkali-kali mengatakan tidak akan pernah pandang bulu memberantas korupsi, sepertinya pernyataan itu tidak berlaku pada kader sendiri. Tak heran, kini banyak kalangan menuding Partai Demokrat sebagai SARANGNYA PARA KORUPTOR.

Bungkus kepalsuan yang selama ini dikemas rapi oleh SBY dan partainya serta kroni-kroninya dengan politik pencitraan, kini mulai terbuka dan rakyat dapat melihat dengan mata telanjang, isi dari bungkus pencitraan tersebut ternyata pepesan kosong alias kebohongan.

Polemik seputar status hukum sebanyak 61 kepala daerah yang mayoritas terjerat kasus dugaan korupsi beberapa waktu lalu hingga saat ini masih tersendat. Apa boleh buat, mayoritas dari jumlah itu adalah kader Partai Demokrat, sehingga mendapat ‘PERLAKUAN KHUSUS’ dari partai penguasa.

Apalagi, para koruptor yang sebelumnya bukan kader Demokrat, ramai-ramai berpindah haluan ke Demokrat. Tujuannya bisa ditebak, suaka politik adalah yang utama. Muncul pertanyaan, apakah fenomena ini masih bisa menjamin Partai Demokrat sebagai partai yang betul-betul ingin memberantas korupsi?

Ternyata, Partai Demokrat menjadi bunker yang paling aman untuk tempat berlindung bagi para koruptor. Hal ini menunjukkan dan semakin mempertegas ada fenomena bahwa kepala-kepala daerah yang berlatar belakang atau politisi yang merupakan kader partai penguasa saat ini (Demokrat) biasanya akan mendapatkan “JAMINAN DAN PERLINDUNGAN” untuk bebas ketika tersangkut dalam suatu kasus pidana.

Indonesia Coruption Watch (ICW) sudah berkali-kali menuding Partai Demokrat sebagai sarang persembunyian para koruptor. Dalam penelitiannya, ICW setidaknya menemukan tujuh kepala daerah yang terlibat kasus korupsi. Bahkan, kader junior itu semakin merasa nyaman, sebab hukum seolah-olah tidak mampu menjamah mereka.

Kesan tebang pilih yang terbersit di benak publik tentu saja tidak terelakkan. Merujuk pada kader partai lain, ICW lantas membandingkan kasus yang menimpa kader PKS Misbakhun dan kader Golkar Syamsul Arifin Gubernur Sumatera Utara. Kedua politisi ini akhirnya harus meringkuk di sel penjara.
Penelitian terbaru ICW bahkan menegaskan 76 persen dari pernyataan SBY yang mendukung pemberantasan korupsi nyatanya tidak terealisasi. Padahal, berdasarkan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari presiden.
Namun, justru di sinilah letak persoalannya. Kekuasaan memberi izin yang digenggam SBY diduga menjadi sumber presiden melakukan tindakan diskriminatif. Perlindungan hukum menjadi sebab utama pindahnya kepala daerah ke Partai Demokrat. Dengan tingginya tingkat korupsi di Pilkada, suaka politik dengan cara masuk ke lingkaran kekuasaan menjadi hal penting. Apalagi, politik pemberantasan korupsi kita saat ini masih tebang pilih. Upaya SBY untuk melindungi kader-kader Demokrat serta kroni-kroninya yang terlibat korupsi kini semakin dapat dilihat dengan mata telanjang.

Tidak sedikit para petinggi Partai Demokrat yang terlibat kasus kejahatan korupsi dan sulit sekali diusut secara hukum, karena bisa diganti dengan deal, bargaining atau ‘DAGANG SAPI’ dengan uang dan jabatan. Padahal, di luar negeri seperti Jepang dan Korea, seorang pejabat tinggi yang baru dicurigai terlibat kasus saja, sudah mengundurkan diri atas inisiatif sendiri sebagai tanggungjawab moral dan sanksi sosial. Kalau di negeri ini, meski sudah diduga kuat dan digoyang sana-sini, tetap saja sang pejabat tidak mau mengakui kesalahan.

Berikut ini adalah nama-nama sebagian besar kader partai penguasa (Demokrat) yang menjadi tersangka maupun yang diduga kuat terlibat kasus kejahatan korupsi dari tingkat pusat maupun yang berada di daerah-daerah:
     

1. Johny Allen Marbun. Wakil Ketua Umum I Partai Demokrat ini terlibat dugaan kasus suap dana stimulus fiskal 2009 untuk pembangunan infrastruktur (dermaga dan pelabuhan udara) di Indonesia bagian Timur dari Rp. 10,2 triliun menjadi Rp 12,2 triliun di Kementerian Perhubungan. Kasus ini terjadi ketika Abdul Hadi Djamal, salah satu anggota DPR Fraksi PAN periode 2004-2009 ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada tanggal 2 Maret 2009 bersama dengan pegawai Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Darmawati setelah menerima uang 90.000 dollar AS dan Rp 54,5 juta dari Komisaris PT. Kurnia Jaya Wira Bakti Surabaya, Hontjo Kurniawan. Hadi dalam keterangannya menyebutkan, uang yang ia terima dari Hontjo bukanlah yang pertama. Pada Ferbuari 2009 Hadi mengaku mendapat Rp 1 miliar untuk diteruskan kepada Jhony Allen yang menjabat sebagai Wakil Ketua Panitia Anggaran DPR melalui ajudannya yang bernama Risco Pesiwarissa. Uang itu adalah sebagian dari komitmen total penyerahan uang sebesar Rp. 3 miliar. Dugaan keterlibatan Johny Allen kembali mencuat setelah mantan ajudannya yang lama jadi buron tiba-tiba datang ke KPK pada tanggal 18 Mei 2010 setelah selama 1 tahun menghilang dan menjadi buronan KPK. Kepada penyidik KPK, Risco mengaku bahwa dirinya yang memberikan uang Rp 1 miliar dari Abdul Hadi Djamal kepada Johnny Allen di Aston Residence, Jakarta pada 27 Februari 2009. Namun Johny berbohong, ia mengaku tak mengenal atau memiliki ajudan bernama Risco.

Bukan hanya itu, Jhonny Allen ini diduga kuat ikut bermain dalam proyek perluasan tanah kuburan di daerah Pondok Aren, Jakarta Timur pada tahun 2008. Untuk keperluan perluasan itu Jhonny menyuap salah seorang pegawai Dinas Pemakaman DKI Jakarta Endan Suhjada sebesar Rp 550 juta. Tindakan Jhony Allen tentu tamparan keras bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sekaligus Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat yang selalu menyatakan akan menghunus pedang untuk melawan korupsi. SBY harus menindak Jhonny Allen. Kalau tidak maka citra pemerintah dan Partai Demokrat akan hancur.

2. Andi Nurpati. Sejak awal kepindahan mantan Anggota KPU periode 2007-2012 menjadi anggota Partai Demokrat pada Juli 2010 lalu telah menimbulkan tanda tanya dan polemik bagi publik. Penunjukan dirinya sebagai Ketua Divisi Komunikasi Publik DPP Partai Demokrat periode 2010-2015 dibawah kepemimpinan Anas Urbaningrum – yang juga sama-sama merupakan mantan Anggota KPU periode 2002-2007 – semakin memperkuat dan menegaskan indikasi akan adanya intervensi dan tidak independennya KPU. Andi Nurpati. Wanita yang sebelumnya adalah anggota KPU ini juga terseret dalam kasus pemalsuan surat MK yang kasusnya tidak lagi dilanjutkan. Bahkan, saat ini dia dipercaya sebagai salah satu Ketua DPP Partai Demokrat.

3. Max Sopacua. Anggota Komisi I DPR dari Partai Demokrat yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Umum II DPP Partai Demokrat ini diduga menerima dan turut menikmati uang hasil korupsi dari mantan Sekjen Departemen Kesehatan Sjafii Ahmad berupa Mandiri Traveler Cheque) senilai Rp 45 juta yang kemudian digunakan untuk sebagian pembayaran dari pembelian satu unit mobil Honda CRV atas nama Max Sopacua. Kasus tersebut terjadi pada tahun 2007, ketika Max menjadi anggota DPR 2004-2009 yang membawahi Departemen Kesehatan dan terjadi korupsi dalam pengadaan 37 unit rontgen portable untuk puskesmas di daerah terpencil yang menimbulkan kerugian keuangan negara sebesar Rp. 9,48 miliar akibat penggelembungan harga.

4. Agusrin M Najamudin. Agusrin Najamudin, Gubernur Bengkulu. Dia kader demokrat yang terlilit Dispenda gate atau kasus korupsi dalam penyaluran dan penggunaan dana bagi hasil pajak bumi dan bangunan. Ia divonis bebas oleh Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Syarifuddin dalam kasus dugaan korupsi Dana Bagi Hasil Pajak Bumi Bangunan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan senilai Rp. 20,162 Miliar yang didakwakan kepadanya saat menjabat Gubernur Bengkulu pada periode sebelumnya. Atas putusan tersebut, Jaksa Penuntut Umum Zuhandi langsung mengajukan banding, karena menilai bahwa putusan itu tidak sesuai dengan yang diharapkan dalam tuntutan yakni pidana 4,5 tahun penjara, denda Rp. 500 juta dan subsidair kurungan 6 bulan. Berkas kasus ini sebetulnya telah dilimpahkan ke PN Jakarta Pusat pada awal Juli 2009, namun baru disidangkan pada awal Januari 2011 sesudah dirinya terpilih kembali dan dilantik menjadi Gubernur Bengkulu untuk periode kedua. Putusan Majelis Hakim PN Jakpus tersebut sangat janggal dan cenderung beraroma politik.

5. Amrun Daulay. Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Demokrat periode 2009-2014 ini pada tanggal 11 April 2011 telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena turut terlibat dalam kasus dugaan korupsi pengadaan sarung, mesin jahit, dan sapi di Kementerian Sosial tahun 2004-2008 yang merugikan negara sekitar Rp. 33,7 miliar. Amrun yang saat kasus itu terjadi menjabat sebagai Direktur Jenderal Bantuan Sosial Fakir Miskin Depsos dianggap mengetahui secara pasti proyek pengadaan sapi impor di Depsos.

6. Murman Effendi. Ketua DPD Partai Demokrat Bengkulu yang juga Bupati Seluma, Bengkulu. Murman adalah Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Demokrat Provinsi Bengkulu yang terpilih pada Januari 2011, menggantikan Gubernur Bengkulu Agusrin Najamudin yang tidak lagi mencalonkan diri sebagai Ketua DPD Demokrat setelah tersandung kasus dugaan korupsi APBD. Murman Effendi ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka kasus dugaan suap pengesahan Peraturan Daerah (Perda) No.12/2010 tentang Pengikatan Dana Anggaran Pembangunan Infrastruktur Peningkatan Jalan dengan Konstruksi Hotmix dan Jembatan Kabupaten Seluma tahun 2010-2011. Atas perbuatannya, KPK menjerat Murman melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a, Pasal 5 ayat 1 huruf b dan atau Pasal 13 UU No.20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
 
7. As’ad Syam. Ketua MPD Demokat Provinsi Jambi, diputus bersalah atas kasus korupsi proyek pembangunan jaringan listrik PLTD Sungai Bahar, Muarojambi pada tahun 2004, senilai Rp4,5 miliar.

8. Djufri. Mantan Walikota Bukit Tinggi asal Demokrat, yang kini menjabat anggota DPR asal Demokrat juga terjerat dugaan korupsi pengadaan tanah kantor DPRD Bukittinggi dan pool kendaraan Sub Dinas Kebersihan dan Pertamanan Bukittinggi 2007 yang merugikan keuangan negara sekitar Rp1,2 miliar. Kendati Djufri telah ditetapkan sebagai tersangka pada 9 Januari 2009 lalu, hingga kini ia masih bebas mondar-mandir di gedung Senayan. Sedangkan kasusnya kini ditangani Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat.

9. Andrias Palino Popang. Wakil Bupati Tanah Toraja terlibat kasus korupsi anggaran pendapatan dan belanja Tanah Toraja 2003-2004 senilai Rp1,9 miliar.

10. Satono, Bupati Lampung Timur terlilit kasus dugaan penyimpangan dana anggaran pendapatan dan belanja daerah periode 2005-2008.

11. Aziddin. Mantan anggota Komisi VIII DPR Partai Demokrat periode 2004-2009, Aziddin terlibat kasus percaloan pemondokan dan katering haji pada tahun 2006 dengan menyalahgunakan surat rekomendasi fraksi dalam melaksanakan tugasnya sebagai anggota pemantau haji. Hingga saat ini tidak ada tindakan hukum yang dilakuk`n kepada dirinya.

12. Sukawi Sutarip. Mantan walikota Semarang, kader Partai Demokrat ini pada tanggal 5 Mei 2008 oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah ditetapkan sebagai tersangka dalam sejumlah kasus penyelewengan dana APBD bersama-sama dengan ketua DPRD Kota Semarang Ismoyo Subroto pada periode 1999-2004 yang mengakibatkan kerugian negara sekitar Rp. 6 miliar. Namun pada tanggal 29 Oktober 2010 Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah mengeluarkan surat penghentian penyidikan perkara kepada mantan calon Gubernur Jateng yang diusung oleh Partai Demokrat tersebut.

13. Muhammad Nazaruddin. Pria keturunan Pakistan ini adalah mantan Bendahara Umum dari Partai Demokrat (PD) yang ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi Wisma Atlet. Kader partai berlambang mercy itu terlibat beberapa kasus korupsi, antara lain kasus suap Sekretaris Menteri Pemuda dan Olahraga (Sesmenpora) dan korupsi dalam pengadaan barang yang dibiayai dengan anggaran pendapatan dan belanja negara.
Kemal AttaTurk Penghancur Khilafah

14. Andi Malarangeng. Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) ini, diduga membantu PT Duta Graha Indah (DGI) untuk memenangkan proyek pembangunan Wisma Atlet di Jakabaring Palembang. Wafid dan Mindo Rosalina Manulang dipersidangan, secara terang benderang telah mengungkapkan secara jelas keterlibatan Andi. Termasuk terlibat menerima aliaran dana Rp500 juta oleh Rosa untuk kongres pemilihan Ketua Umum Partai Demokrat di Bandung.

15. Anas Urbaningrum. Ketua Umum Partai Demokrat yang disebut-sebut sebagai bos besar ini, diduga kuat terlibat kasus suap wisma atlet dan kasus-kasus dugaan korupsi yang dilakukan melalui modus penggiringan proyek pemerintah melalui perusahaan bernama Grup Permai. Juga dugaan dana sebesar Rp7 juta dollar AS atau sekitar Rp100 miliar dari proyek Hambalang mengalir ke Ketua Umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Uang ini digunakan untuk pemenangan Anas sebagai Ketua Umum Partai Demokrat.

16. Angelina Sondakh. Tersangaka dalam kasus suap Wisma Atlet SEA Games makin terkuak. Setelah Yulianis dan Mindo Rosalina Manulang bersaksi di persidangan, kesaksian juga datang dari Gerhana Sianipar. Keterangan Direktur Utama PT Exatech Technology Utama itu–anak usaha Grup Permai yang dimiliki Nazaruddin–makin mengukuhkan dugaan keterlibatan Angie. Penetapan Angelina Sondakh sebagai tersangka baru dalam kasus suap Wisma Atlet SEA Games oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tinggal menunggu waktu. Alasannya, makin banyak keterangan saksi di persidangan kasus suap Wisma Atlet yang menyebutkan keterlibatan politikus Partai Demokrat ini.

17. Mirwan Amir. Wakil Ketua Badan Anggaran dari Fraksi Demokrat ini diduga terlibat kasusu proyek wisma Atlet SEA Games 2011. Mirwan ditengarai turut membagikan sejumlah uang untuk memuluskan proyek ini. Mirwan juga dituduh kecipratan dana Rp1 miliar. Dana ini disebut-sebut sebagai pelicin proyek di Banggar.

Related Posts by Categories

1 komentar:

  1. Marzuki Alie Siap Gantikan Anas Urbaningrum Jadi Bintang Iklan
    "Katakan Tidak pada Korupsi", Semoga Dia Tak Korupsi
    http://www.rimanews.com/read/20130109/87794/marzuki-alie-siap-gantikan-anas-urbaningrum-jadi-bintang-iklan-katakan-tidak

    Demokrat Tetap Usung Slogan Katakan Tidak Pada Korupsi
    http://www.tribunnews.com/2013/01/09/demokrat-tetap-usung-slogan-katakan-tidak-pada-korupsi

    Kejagung Kaji SP3 Kasus Baturaja yang Libatkan Marzuki Alie
    http://news.okezone.com/read/2012/10/23/339/707724/kejagung-kaji-sp3-kasus-baturaja

    Kejaksaan Kaji SP3 Kasus Korupsi Marzuki Alie
    "Apalah Marzuki Alie, hanya orang ndeso tapi yang tak bisa dinapikan"
    http://nasional.news.viva.co.id/news/read/361488-kejaksaan-kaji-sp3-kasus-korupsi-marzuki-alie

    KOMENTAR
    Seharusnya, kalau toh ada iklan anti-korupsi itu, bintangnya bukan si Marzuki Alie ...

    BalasHapus