Spirit Kebangkitan Ummat

Selanjutnya akan datang kembali Khilafah berdasarkan metode kenabian. Kemudian belia SAW diam.” (HR. Ahmad dan Ath-Thabarani) “Siapa saja yang melepaskan ketaatan, maka ia akan bertemu Allah pada hari kiamat tanpa memiliki hujjah. Dan siapa saja yang meninggal sedang di pundaknya tidak ada baiat, maka ia mati seperti mati jahiliyah (dalam keadaan berdosa).” (HR. Muslim). “Sesungguhnya Allah telah mengumpulkan (memperlihatkan) bumi kepadaku. Sehingga, aku melihat bumi mulai dari ujung Timur hingga ujung Barat. Dan umatku, kekuasaannya akan meliputi bumi yang telah dikumpulkan (diperlihatkan) kepadaku….” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi) Abdullah Berkata, ”Pada saat kami sedang menulis di sisi Rasulullah SAW, tiba-tiba Rasulullah SAW ditanya, manakah di antara dua kota yang akan ditaklukkan pertama, Konstantinopel atau Roma(Italia). Rasulullah SAW bersabda: ”Kota Heraklius yang akan ditaklukkan pertama—yakni Konstantinopel.” (HR. Ahmad)

Rabu, 18 Januari 2012

Catatan Ustadz Syamsuddin Ramadhan : Niat Jihad: Wajib!, HUKUM SEPUTAR RIBA, Jangan Meragukan Perintah Allah! KAPAN PENGUASA TIDAK BOLEH DITAATI? Darul Islam dan Darul Kufr Dalam Timbangan Syariat


Niat Jihad: Wajib!
oleh Syamsuddin Ramadhan pada 15 Juni 2010 pukul 10:18
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَهْمٍ الْأَنْطَاكِيُّ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ وُهَيْبٍ الْمَكِّيِّ عَنْ عُمَرَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ عَنْ سُمَيٍّ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ :قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَغْزُ وَلَمْ يُحَدِّثْ بِهِ نَفْسَهُ مَاتَ عَلَى شُعْبَةٍ مِنْ نِفَاقٍ (رواه المسلم)
Telah meriwayatkan kepada kami, Mohammad bin ‘Abdirrahman bin Sahm al-Anthakiyyu; telah mengabarkan kepada kami ‘Abdullah bin al-Mubarak, dari Wuhaib al-Makkiy dari ‘Umar bin Mohammad bin al-Munkadir, dari Sumaiyy, dari Abi Shalih dari Abu Hurairah ra, bahwasanya ia berkata, “Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa meninggal tidak pernah berperang, atau tidak pernah berniat untuk berperang, maka ia mati dalam kemunafikan”.[HR. Imam Muslim
HUKUM SEPUTAR RIBA: Ikhwaniy wa akhwatiy, barangkali ada yang memerlukan tulisan tentang riba..
oleh Syamsuddin Ramadhan pada 27 Juli 2010 pukul 11:30
RIBA


Definisi Riba
Secara Bahasa
Secara literal, al-ribâ bermakna al-ziyâdah (tambahan). Menurut Imam Thabariy, makna asal dari riba adalah al-ziyadah wa al-inaafah (tambahan atau kelebihan). Al-irbaa’ adalah al-ziyadah ‘ala al-syai’ (tambahan yang dikenakan di atas sesuatu). Jika dinyatakan irbay fulaanun ila fulaanin (seseorang meriba orang lain), maksudnya adalah idzaa zaada ‘alaihi (jika ia mengenakan tambahan terhadap orang tersebut). Rabay al-syai’ maksudnya adalah idzaa zaada maa kaana ‘alaihi fa ‘adzuma (jika seseorang menambahkan lebih dari seharusnya, kemudian membesar).
Imam al-Jurjaniy di dalam Kitab al-Ta’riifaat menyatakan; secara bahasa riba bermakna al-ziyadah (tambahan). Sedangkan menurut syariat, riba adalah fadl khaal min ‘iwadl syuritha li ahad al-‘aaqidain (kelebihan yang tidak disertai dengan kompensasi yang disyaratkan pada salah satu orang yang menandatangani akad).
Imam al-Manawiy di dalam Kitab al-Ta’aariif mengatakan; menurut pengertian bahasa, riba bermakna ziyadah (tambahan). Sedangkan menurut pengertian syariat, riba adalah ‘aqad atas sebuah kompensasi yang tidak ketahui kesesuaiannya dalam timbangan syariat, baik ketika dilakukan aqad, atau diakhirkannya dua barang yang hendak ditukarkan, atau salah satunya. Ini adalah definisi riba menurut Madzhab Syafiy .

Abu Ishaq di dalam Kitab al-Mubadda’ menyatakan; secara bahasa, riba bermakna ziyadah. Ini didasarkan pada firman Allah swt surat al-Hajj:5. Imam al-Bahutiy menuturkan di dalam Kitab al-Raudla al-Murbi’; secara literal, riba bermakna al-ziyadah.
Ibnu Qudamah di dalam Kitab al-Mughniy menyatakan, secara bahasa, riba bermakna al-ziyadah . Di dalam Kitab I’anat al-Thalibin, Imam al-Dimyati menyatakan; secara literal riba bermakna ziyadah.
Imam Syaukaniy menyatakan --mengutip pendapat al-Hafidz Ibnu Hajar--, “Makna asal dari riba adalah al-ziyaadah (tambahan), baik pada sesuatu itu sendiri, seperti firman Allah swt, “

: فَإِذَا أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ
"Kemudian apabila telah kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah (QS al-Hajj: 5); maupun pada pertukaran (muqabilah) seperti pertukaran uang satu dirham dengan dua dirham.
Di dalam kitab Durur al-Hukkaam Syarh Ghurur al-Ahkaam dinyatakan, riba menurut bahasa bermakna al-fadl (kelebihan). Menurut Ibnu Juraij, riba kadang-kadang disebutkan untuk semua praktek jual beli yang diharamkan oleh syariat, dan lafadz riba memiliki hakekat syar’iyyah .

Riba Menurut Istilah Ulama
Ibnu Qudamah di dalam Kitab al-Mughniy menyatakan; secara literal, riba bermakna al-ziyadah (tambahan). Sedangkan menurut syariat, riba adalah tambahan pada sesuatu tertentu .
Imam Ibnu al-‘Arabiy mendefinisikan riba dengan; semua tambahan yang tidak disertai dengan adanya pertukaran kompensasi.
Imam Suyuthiy dalam Tafsir Jalalain menyatakan, riba adalah tambahan yang dikenakan di dalam mu’amalah, uang, maupun makanan, baik dalam kadar maupun waktunya .
Di dalam kitab al-Mabsuuth, Imam Sarkhasiy menyatakan bahwa riba adalah al-fadllu al-khaaliy ‘an al-‘iwadl al-masyruuth fi al-bai’ (kelebihan atau tambahan yang tidak disertai kompensasi yang disyaratkan di dalam jual beli). Di dalam jual beli yang halal terjadi pertukaran antara harta dengan harta. Sedangkan jika di dalam jual beli terdapat tambahan (kelebihan) yang tidak disertai kompensasi, maka hal ini bertentangan dengan perkara yang menjadi konsekuensi sebuah jual beli, dan hal semacam ini haram menurut syariat.
Pengarang kitab Durur al-Hukkaam Syarh Ghurur al-Ahkaam menyatakan; menurut pengertian syariat, riba bermakna fadl ahad al-mutajaanisain ‘ala al-aakhar bi al-mi’yaar al-syar’iy khaaliyan ‘an ‘iwadl (kelebihan yang dikenakan atas salah satu dari dua benda yang sejenis dalam ukuran syar’iy yang tidak menyertakan adanya pertukaran kompensasi).
Di dalam Kitab al-‘Inayah Syarh al-Hidayah disebutkan; riba menurut istilah adalah al-fadl al-khaaliy ‘an al-‘iwadl al-masyruuth fi al-bai’ (kelebihan yang tidak disertai dengan kompensasi yang disyaratkan di dalam transaksi jual beli).
Dalam Kitab al-Jauharah al-Naiyyirah, disebutkan; secara bahasa, riba bermakna al-ziyadah (tambahan). Sedangkan menurut syariat, riba adalah aqad bathil dengan sifat tertentu, sama saja apakah di dalamnya ada tambahan maupun tidak. Perhatikanlah, anda memahami bahwa jual beli dirham dengan dirham yang pembayarannya ditunda adalah riba; dan di dalamnya tidak ada tambahan .
Di dalam Kitab Nihayat al-Muhtaaj ila Syarh al-Minhaaj, disebutkan; riba menurut bahasa Arab bermakna al-ziyadah; seperti firman Allah swt, “ihtizzat wa rabat” ; yakni tumbuh dan bertambah. Sedangkan menurut syariat, riba adalah ‘aqd ‘ala ‘iwadl makhshuush ghairu ma’luum al-tamaatsul fi mi’yaar al-syar’ haalat al-‘aqd au ma ta`khiir fi al-badalain au ahadihimaa” (aqad atas sebuah kompensasi tertentu yang tidak diketahui kesesuaiannya dalam timbangan syariat, baik ketika aqad itu berlangsung maupun ketika ada penundaan salah satu barang yang ditukarkan) .
Dalam Kitab Hasyiyyah al-Bajiiramiy ‘ala al-Khathiib disebutkan; riba menurut bahasa adalah al-ziyadah (tambahan). Allah swt berfirman, “ihtazzat wa rabat”, yakni, zaadat wa namat (bertambah dan tumbuh). Sedangkan menurut syariat, riba adalah ‘aqd ‘ala ‘iwadl makhshuush ghairu ma’luum al-tamaatsul fi mi’yaar al-syar’ haalat al-‘aqd au ma ta`khiir fi al-badalain au ahadihimaa” (aqad atas sebuah kompensasi tertentu yang tidak diketahui kesesuaiannya dalam timbangan syariat, baik ketika aqad itu berlangsung maupun ketika ada penundaan salah satu barang yang ditukarkan, maupun keduanya)”. Riba dibagi menjadi tiga macam; riba fadlal, riba yadd, riba nasaa` . Pengertian riba semacam ini juga disebutkan di dalam Kitab Mughniy al-Muhtaaj ila Ma’rifat al-Faadz al-Minhaaj.
Di dalam Kitab Syarah Muntahiy al-Idaaraat, disebutkan bahwa riba, menurut syariat adalah al-tafaadlul fi al-syai’ (melebihkan pada sesuatu) .
Menurut Abu Ishaq, riba menurut bahasa bermakna ziyadah (tambahan), sedangkan menurut pengertian syariat, ziyadah fi syai` makhshuush (tambahan yang dikenakan pada sesuatu tertentu) .
Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhaniy dalam Kitab al-Nidzam al-Iqtishaadiy fi al-Islaam, mendefinisikan riba sebagai berikut; perolehan harta dengan harta lain yang sejenis dengan saling melebihkan antara satu dengan yang lain . Definisi yang lebih luas, riba adalah tambahan yang didapatkan dari beberapa jenis transaksi yang ditentukan syara’. Riba bisa terjadi dalam jual-beli, qardh (utang-piutang), dan salam.

Hukum Riba
Seluruh ‘ulama sepakat mengenai keharaman riba, baik yang dipungut sedikit maupun banyak. Seseorang tidak boleh menguasai harta riba; dan harta itu harus dikembalikan kepada pemiliknya, jika pemiliknya sudah diketahui, dan ia hanya berhak atas pokok hartanya saja.
Di dalam Kitab al-Mughniy, Ibnu Qudamah mengatakan, “Riba diharamkan berdasarkan Kitab, Sunnah, dan Ijma’. Adapun Kitab, pengharamannya didasarkan pada firman Allah swt,”Wa harrama al-riba” (dan Allah swt telah mengharamkan riba) (Al-Baqarah:275) dan ayat-ayat berikutnya. Sedangkan Sunnah; telah diriwayatkan dari Nabi saw bahwasanya beliau bersabda, “Jauhilah oleh kalian 7 perkara yang membinasakan”. Para shahabat bertanya, “Apa itu, Ya Rasulullah?”. Rasulullah saw menjawab, “Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan haq, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari peperangan, menuduh wanita-wanita Mukmin yang baik-baik berbuat zina”. Juga didasarkan pada sebuah riwayat, bahwa Nabi saw telah melaknat orang yang memakan riba, wakil, saksi, dan penulisnya”.[HR. Imam Bukhari dan Muslim]...Dan umat Islam telah berkonsensus mengenai keharaman riba.”
Imam al-Syiraaziy di dalam Kitab al-Muhadzdzab menyatakan; riba merupakan perkara yang diharamkan. Keharamannya didasarkan pada firman Allah swt, “Wa ahall al-Allahu al-bai` wa harrama al-riba” (Allah swt telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba)[Al-Baqarah:275], dan juga firmanNya, “al-ladziina ya`kuluuna al-riba laa yaquumuuna illa yaquumu al-ladziy yatakhabbathuhu al-syaithaan min al-mass” (orang yang memakan riba tidak bisa berdiri, kecuali seperti berdirinya orang yang kerasukan setan)”. [al-Baqarah:275].....Ibnu Mas’ud meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw melaknat orang yang memakan riba, wakil, saksi, dan penulisnya”. [HR. Imam Bukhari dan Muslim]
Imam al-Shan’aniy di dalam Kitab Subul al-Salaam mengatakan; seluruh umat telah bersepakat atas haramnya riba secara global .
Di dalam Kitab I’aanat al-Thaalibiin disebutkan; riba termasuk dosa besar, bahkan termasuk sebesar-besarnya dosa besar (min akbar al-kabaair). Pasalnya, Rasulullah saw telah melaknat orang yang memakan riba, wakil, saksi, dan penulisnya. Selain itu, Allah swt dan RasulNya telah memaklumkan perang terhadap pelaku riba. Di dalam Kitab al-Nihayah dituturkan bahwasanya dosa riba itu lebih besar dibandingkan dosa zina, mencuri, dan minum khamer. Imam Syarbiniy di dalam Kitab al-Iqna’ juga menyatakan hal yang sama .
Mohammad bin Ali bin Mohammad al-Syaukaniy menyatakan; kaum Muslim sepakat bahwa riba termasuk dosa besar.
Imam Nawawiy di dalam Syarh Shahih Muslim juga menyatakan bahwa kaum Muslim telah sepakat mengenai keharaman riba jahiliyyah secara global .
Mohammad Ali al-Saayis di dalam Tafsiir Ayaat Ahkaam menyatakan, telah terjadi kesepakatan atas keharaman riba di dalam dua jenis ini (riba nasii’ah dan riba fadlal). Keharaman riba jenis pertama ditetapkan berdasarkan al-Quran; sedangkan keharaman riba jenis kedua ditetapkan berdasarkan hadits shahih .
Abu Ishaq di dalam Kitab al-Mubadda’ menyatakan; keharaman riba telah menjadi konsensus, berdasarkan al-Quran dan Sunnah .


Dalil tentang Haramnya Riba:
Al-Quran:

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبا لا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
"Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), “Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,” padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya (QS al-Baqarah: 275).

يَمْحَقُ اللّهُ الْرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللّهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa (QS al-Baqarah: 276).

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوسُ أَمْوَالِكُمْ لا تَظْلِمُونَ وَلا تُظْلَمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya (QS al-Baqarah: 279).

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا الرِّبا أَضْعَافاً مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan". (QS Ali Imron: 130).

Al-Sunnah:

اجْتَنِبُوُا السَّبْعَ الْمُوْبِقَاتِ, قُلْنَا: وَمَا هُنّ يَا رَسُوْلََ اللهِ؟ قَالَ: الشِّرْكُ بِاللهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِيْ حَرَّمَ اللهُ إِلَّا بِالحْقِّ وَأَكْلَ الرِّبَا وَأَكْلَ مَالِ الْيَتِيْمِ وَالتَّوَلَّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقًَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتَ الْغَافِلَاتِ
"Jauhilah tujuh perkara yang menghancurkan. Kami bertanya, Apa itu wahai Rasulullah? Beliau menjawa, “Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, berlari dari medan pertempuran, menuduh zina mu’minah yang menjaga kehormatannya". (HR Muslim dari ABu Hurairah).

دِرْهَمُ رِبَا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتٍّ وَثَلَاثِيْنَ زِنْيَةً
"Satu dirham riba yang dimakan seseorang, dan dia mengetahui (bahwa itu adalah riba), maka itu lebih berat daripada enam puluh kali zina". (HR Ahmad dari Abdullah bin Hanzhalah).

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلّّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ ثَمَنِ الدَّمِ، وَثَمَنِ الْكَلْبِ، وَكَسْبِ الْأَمَةِ، وَلَعَنَ الْوَاشِمَةِ، وَالْمُسْتَوْشَمَةِ، وَآَكِلَ الرِّبََا، وَمُوَكِّلَهُ، وَلَعَنَ الْمُصّوِّرِ
"Sesungguhnya Rasulullah saw melarang hasil penjualan darah, hasil penjualan anjing, dan penghasilan budak wanita; dan melaknat orang yang mentato, yang diminta mentato, pemakan riba, dan pemberi riba; dan melaknat pelukis". (HR al-Bukhari dari ABu Jahifah dari bapaknya).

الرِبَا ثَلاثَةٌَ وَسَبْعُوْنَ بَابًا أَيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمَّهُ, وَإِنَّ أَرْبَى الرِّبَا عَرْضُ الرَّجُلِ الْمُسْلِمَ
"Riba itu mempunyai 73 pintu, sedang yang paling ringan seperti seorang laki-laki yang menzinai ibunya, dan sejahat-jahatnya riba adalah mengganggu kehormatan seorang muslim". (HR Ibn Majah).

لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّباَ وَمُوْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ, وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ
"Rasulullah saw melaknat orang memakan riba, yang memberi makan riba, penulisnya, dan dua orang saksinya. Belia bersabda; Mereka semua sama". (HR Muslim)

إِذَا ظَهَرَ الزِّنَا والرِّبَا فِي قَرْيَةٍ فَقَدْ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ
"Apabila zina dan riba telah nampak (mendominasi) di suatu kampung, maka sesungguhnya mereka telah menghalalkan diri mereka dari azab Allah". (HR al-Thabarani dan al-Hakim).

Macam-Macam Riba
Menurut sebagian ulama, riba dibagi menjadi dua, (1) riba nasi'ah, dan (2) riba fadlal. Menurut Syafi'iyyah, riba dibagi menjadi tiga; (1) riba nasi'ah, (2) riba fadlal, (3) riba yadd. [Mohammad Ali As-Sais, Tafsiir Ayat al-Ahkaam, hal. 162] Berdasarkan klasifikasi di atas, kita dapat mengklasifikasi riba menjadi empat macam.

1. Riba Nasiah
Riba yang diambil karena penundaan pembayaran utang untuk dibayarkan pada tempo yang baru, sama saja apakah itu utang berupa harga pembelian atau qardh.
Adapun dalil pelarangannya adalah hadits yang diriwayatkan Imam Muslim;

الرِّبَا فِيْ النَّسِيْئَةِ
" Riba itu dalam nasi’ah". (HR Muslim dari Ibnu Abbas)
Ibnu Abbas berkata: Usamah bin Zaid telah menyampaikan kepadaku bahwa Rasulullah saw bersabda:

آلاَ إِنَّمَا الرِّبَا فِيْ النَّسِيْئَةِ
"Ingatlah, sesungguhnya riba itu dalam nasi’ah". (HR Muslim).

2. Riba al-Fadhl
Riba yang diambil dari kelebihan dari pertukaran barang yang sejenis. Dalil pelarangannya adalah hadits yang dituturkan oleh Imam Muslim.

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
"Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, semisal, setara, dan kontan. Apabila jenisnya berbeda, juallah sesuka hatimu jika dilakukan dengan kontan".HR Muslim dari Ubadah bin Shamit ra).

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَزْنًا بِوَزْنٍ مِثْلًا بِمِثْلٍ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَزْنًا بِوَزْنٍ مِثْلًا بِمِثْلٍ فَمَنْ زَادَ أَوْ اسْتَزَادَ فَهُوَ رِبًا
"Emas dengan emas, setimbang dan semisal; perak dengan perak, setimbang dan semisal; barang siapa yang menambah atau meminta tambahan, maka (tambahannya) itu adalah riba". (HR Muslim dari Abu Hurairah).

عن فضالة قال: اشتريت يوم خيبر قلادة باثني عشر دينارًا فيها ذهب وخرز، ففصّلتها فوجدت فيها أكثر من اثني عشر ديناراً، فذكرت ذلك للنبي صلّى الله عليه وسلّم فقال: ”لا تباع حتى تفصل“
"Dari Fudhalah berkata: Saya membeli kalung pada perang Khaibar seharga dua belas dinar. Di dalamnya ada emas dan merjan. Setelah aku pisahkan (antara emas dan merjan), aku mendapatinya lebih dari dua belas dinar. Hal itu saya sampaikan kepada Nabi saw. Beliau pun bersabda, “Jangan dijual hingga dipisahkan (antara emas dengan lainnya)". (HR Muslim dari Fudhalah)
Dari Said bin Musayyab bahwa Abu Hurairah dan Abu Said:

أن رسول الله صلّى الله عليه وسلّم بعث أخا بني عدي الأنصاري فاستعمله على خيبر، فقدم بتمر جنيب [نوع من التمر من أعلاه وأجوده] فقال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم: ”أكلّ تمر خيبر هكذا“؟ قال: لا والله يا رسول الله، إنا لنشتري الصاع بالصاعين من الجمع [نوع من التمر الرديء وقد فسر بأنه الخليط من التمر]، فقال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم: ”لا تفعلوا ولكن مثلاً بمثل أو بيعوا هذا واشتروا بثمنه من هذا، وكذلك الميزان“
"Sesungguhnya Rasulullah saw mengutus saudara Bani Adi al-Anshari untuk dipekerjakan di Khaibar. Kamudia dia datang dengan membawa kurma Janib (salah satu jenis kurma yang berkualitas tinggi dan bagus). Rasulullah saw bersabda, “Apakah semua kurma Khaibar seperti itu?” Dia menjawab, “Tidak, wahai Rasulullah . Sesunguhnya kami membeli satu sha’ dengan dua sha’ dari al-jam’ (salah satu jenis kurma yang jelek, ditafsirkan juga campuran kurma). Rasulullah saw bersabda, “Jangan kamu lakukan itu, tapi (tukarlah) yang setara atau juallah kurma (yang jelek itu) dan belilah (kurma yang bagus) dengan uang hasil penjualan itu. Demikianlah timbangan itu". (HR Muslim).

3. Riba al-Yadd
Riba yang disebabkan karena penundaan pembayaran dalam pertukaran barang-barang. Dengan kata lain, pihak peminjam dan yang meminjamkan uang/barang telah berpisah dari tempat aqad sebelum diadakan serah terima.

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ
"Emas dengan emas riba kecuali dengan dibayarkan kontan, gandum dengan gandum riba kecuali dengan dibayarkan kontan; kurma dengan kurma riba kecuali dengan dibayarkan kontan; kismis dengan kismis riba, kecuali dengan dibayarkan kontan (HR al-Bukhari dari Umar bin al-Khaththab)

الْوَرِقُ بِالذَّهَبِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالتَّمْرُِالتَّمْرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ
"Perak dengan emas riba kecuali dengan dibayarkan kontan; gandum dengan gandum riba kecuali dengan dibayarkan kontan kismis dengan kismis riba, kecuali dengan dibayarkan kontan; kurma dengan kurma riba kecuali dengan dibayarkan kontan". [Ibnu Qudamah, Al-Mughniy, juz IV, hal. 13]

4. Riba Qardl.
Riba qaradl adalah meminjam uang kepada seseorang dengan syarat ada kelebihan atau keuntungan bagi pemberi pinjaman.
Pelarangan ini sejalan dengan kaedah ushul fiqh, "Kullu qardl jarra manfa'atan fahuwa riba". (Setiap pinjaman yang menarik keuntungan (membuahkan bunga) adalah riba".[Sayyid Saabiq, Fiqh al-Sunnah, (edisi terjemahan); jilid xii, hal. 113]

Perbedaan Riba dengan Jual Beli
1. Dalam jual beli, antara pembeli dan penjual sama-sama mendapatkan pertukaran di atas prinsip kesetaraan atau persamaan. Si pembeli mendapatkan keuntungan atau manfaat dari barang yang dibelinya dari penjual, sedangkan penjual mendapatkan keuntungan dari pembeli karena waktu, tenaga, dan pikirannya yang digunakan untuk mendapatkan barang itu demi kepentingan pembeli. Adapun dalam aktivitas riba, tidak akan didapatkan manfaat atau keuntungan yang didasarkan di atas prinsip persamaan tersebut. Pemilik uang atau modal, pasti akan mendapatkan keuntungan karena meminjamkan modalnya, namun, peminjam hanya mendapatkan "jangka waktu" pemanfataan atas modal atau uang yang dipinjamnya. Padahal, jangka waktu saja, pasti tidak akan menghasilkan keuntungan bagi peminjam. Jika dalam "jangka waktu yang diberikan oleh peminjam itu", kemungkinan mendapatkan kerugian sama dengan kemungkinan mendapatkan keuntungan, maka di dalam aqad riba, pasti ada salah satu pihak yang mendapatkan laba (keuntungan), sedangkan pihak lain belum tentu mendapatkannya.
2. Di dalam perdagangan, bagaimanapun besarnya keuntungan yang diperoleh pemilik barang, ia akan memperolehnya hanya sekali saja; itu pun jika ada kesepakatan antara pemilik dan pembeli barang. Dalam praktek riba, si pemilik barang atau modal senantiasa akan memperoleh bunga uang, selama pinjaman pokoknya belum dilunasi. Bahkan, semakin lama, hutang yang tidak dapat dilunasi akan semakin bertambah, dan menumpuk, hingga menghabiskan seluruh harta kekayaan peminjam.
3. Dalam jual beli, jerih payah dan pekerjaan seseorang baru akan mendapatkan keuntungan setelah ia mencurahkan tenaga dan pikirannya. Sedangkan dalam praktek riba, seseorang hanya meminjamkan sejumlah uang yang tidak dipakainya, kemudian uang itu berkembang tanpa harus berjerih dan payah.
Top of Form
Darul Islam dan Darul Kufr Dalam Timbangan Syariat: Ikhwaniy wa akhwatiy barangkali tulisan ini diperlukan...
oleh Syamsuddin Ramadhan pada 3 Agustus 2010 pukul 23:06
NEGARA ISLAM DAN NEGARA KAFIR
[DAAR AL-ISLAM WA DAAR AL-KUFR]
Fathiy Syamsuddin Ramadhan An Nawiy



Daar Dalam Tinjauan Bahasa
Kata daar, secara bahasa bermakna, al-mahallu yajma’ al-banaa’ wa al-saahah; al-manzil al-maskuun [Tempat berkumpulnya bangunan dan tempat lapang; tempat yang ditinggali]. Daar al-Islaam adalah bilaad al-Muslim (negara Islam adalah negara kaum Muslim] .
Imam al-Raziy dalam Kamus Mukhtaar al-Shihaah menyatakan; al-daar adalah muannatsah (kata benda berjenis perempuan). Makna al-daar di dalam firman Allah swt, "wa lani'ma daar al-muttaqiin", adalah al-matswa wa al-maudli' (kediaman atau tempat tinggal). Sedangkan bentuk jamak (plural) dari kata al-daar adalah ad`uur atau diyaar.
Dalam kitab Lisaan al-'Arab, Ibnu Mandzur menjelaskan; al-daar adalah isim (kata benda) yang mencakup makna al-'irshah (sebidang tanah), al-banaa` (bangunan), wa al-mahallah (tempat tinggal); wa kullu maudlu` halla bihi qaumun wa huwa daaruhum (setiap tempat yang didiami oleh suatu kaum adalah rumah mereka). al-Daar bisa juga bermakna al-balad (negeri). Diriwayatkan dari Sibawaih, bahwasanya ia berkata, "Hadizhi al-daar na'imat al-balad". (Negeri (daar) ini adalah negeri yang diberi kenikmatan). Kata "al-daar" juga bermakna kota Nabi Mohammad saw. Di dalam al-Quran Allah swt berfirman, "Walladziina yatabawwau al-daar wa al-iimana". [Dan orang-orang yang menempati kota Madinah, dan orang-orang yang telah beriman sebelumnya](TQS. Al Hasyr (59):9)
Kata daar banyak disebutkan di dalam al-Quran dengan makna yang beragam. Misalnya, daar al-salaam [TQS Al An'aam (6):127], maknanya adalah surga. Pengertian senada juga tercantum dalam al-Quran, meskipun dengan ungkapan berbeda; semisal, daar al-akhirah [TQS Al An'aam (6):32], daar al-bawaar [TQS Ibrahim (14):28], daar al-muqamah [TQS Faathir (35):35], daar al-qaraar [TQS Al Mukmin (40):39], daar al-khuld [TQS Fushilat (41):28], semuanya bermakna surga.
Daar dengan makna rumah ditunjukkan dalam firman Allah swt, artinya ”Bersukarialah kamu sekalian di rumahmu selama tiga hari.”[TQS Huud (11):65]. Daar dengan pengertian negara atau negeri disebutkan dalam firman Allah swt,artinya, “..nanti Aku akan memperlihatkan kepadamu negeri [negara] orang-orang yang fasik.” [TQS Al A'raaf (7):145]; dan lain sebagainya. Bentuk jama’ dari daar adalah diyaar, duur, diyaarah, ad`ur. Bentuk jama’ diyaar banyak dicantumkan dalam al-Quran; semisal dalam surat [TQS Al Baqarah (2):84], [TQS Al Nisaa` (4):66], [TQS Mumtahanah (60):8,9], [TQS Al Baqarah (2):246].

Daar dalam Tinjauan Syariat
Dr. Mohammad Khair Haekal menyatakan; sesungguhnya frase Daar al-Islaam adalah istilah syar'iy yang dipakai untuk menunjukkan realitas tertentu dari sebuah negara. Frase Daar al-Kufr juga merupakan istilah syar'iy yang digunakan untuk menunjukkan realitas tertentu dari sebuah negara yang berlawanan dengan daar al-Islaam. Begitu pula istilah "daar al-kufr, daar al-syirk, dan daar al-harb", semuanya adalah istilah syar'iy yang maknanya sama untuk menunjukkan realitas tertentu dari sebuah negara yang faktanya berbeda dengan fakta pertama (daar al-Islaam).
Istilah Daar al-Islaam dan Daar al-Kufr telah dituturkan di dalam Sunnah dan Atsar para shahabat. Imam al-Mawardi menuturkan sebuah riwayat dar Nabi saw, bahwasanya beliau bersabda;
"Semua hal yang ada di dalam Daar al-Islam menjadi terlarang (terpelihara), sedangkan semua hal yang ada di dalam Daar al-syirk telah dihalalkan". Maksudnya, semua orang yang hidup di dalam Daar al-Islaam, harta dan darahnya terpelihara. Harta penduduk Daar al-Islam tidak boleh dirampas, darahnya juga tidak boleh ditumpahkan tanpa ada alasan yang syar'iy. Sedangkan penduduk Daar al-Kufr, maka harta dan darahnya tidak terpelihara, kecuali ada alasan syar'iy yang mewajibkan kaum Muslim melindungi harta dan darahnya .
Di dalam kitab al-Kharaj karya Abu Yusuf dituturkan, bahwasanya ada sebuah surat yang ditulis oleh Khalid bin Walid kepada penduduk al-Hiirah. Di dalam surat itu tertulis, "….Aku telah menetapkan bagi mereka (penduduk Hirah yang menjalin perjanjian dzimmah); yakni orang tua yang tidak mampu bekerja, atau orang yang cacat, atau orang yang dahulunya kaya lalu jatuh miskin, sehingga harus ditanggung nafkahnya oleh penduduk yang lain; semuanya dibebaskan dari pembayaran jizyah, dan mereka akan dicukupi nafkahnya dari harta Baitul Maal kaum Muslim, selama mereka masih bermukim di Daar al-Hijrah dan Daar al-Islaam. Jika mereka berpindah ke negeri lain yang bukan Daar al-Hijrah, maka tidak ada kewajiban bagi kaum Muslim untuk mencukupi nafkah mereka.."
Ibnu Hazm mengatakan, "Semua tempat selain negeri Rasulullah saw adalah tempat yang boleh diperangi; disebut Daar al-Harb, serta tempat untuk berjihad.."
Berdasarkan riwayat di atas dapat disimpulkan, bahwa frase Daar al-Islaam, adalah istilah syar'iy yang ditujukan untuk menunjukkan realitas tertentu dari sebuah negara. Sebab, di sana ada perbedaan hukum dan perlakuan pada orang yang menjadi warga negara Daar al-Islaam dan Daar al-Kufr.
Para fukaha juga telah membahas kedua istilah ini di dalam kitab-kitab mereka. Dengan penjelasan para fukaha tersebut, kita dapat memahami syarat atau sifat yang yang harus dimiliki suatu negara hingga absah disebut negara Islam.
Al-Kasaaiy, di dalam kitab Badaai' al-Shanaai', mengatakan, "Tidak ada perbedaan di kalangan fukaha kami, bahwa Daar Kufr (negeri kufur) bisa berubah menjadi Daar al-Islaam dengan tampaknya hukum-hukum Islam di sana. Mereka berbeda pendapat mengenai Daar al-Islaam; kapan ia bisa berubah menjadi Daar al-Kufr? Abu Hanifah berpendapat; Daar al-Islaam tidak akan berubah menjadi Daar al-Kufr kecuali jika telah memenuhi tiga syarat. Pertama, telah tampak jelas diberlakukannya hukum-hukum kufr di dalamnya. Kedua, meminta perlindungan kepada Daar al-Kufr. Ketiga, kaum Muslim dan dzimmiy tidak lagi dijamin keamanannya, seperti halnya keamanaan yang mereka dapat pertama kali, yakni, jaminan keamanan dari kaum Muslim". Sedangkan Abu Yusuf dan Mohammad berpendapat, "Daar al-Islaam berubah menjadi Daar al-Kufr jika di dalamnya telah tampak jelas hukum-hukum kufur.
Di dalam Haasyiyah (catatan pinggir) Ibnu 'Aabidiin atas kitab Al-Durr al-Mukhtaar Syarh Tanwiir al-Abshaar, disebutkan,"Daar al-Islaam tidak akan berubah menjadi Daar al-Harb….(karena) misalnya, orang Kafir berhasil menguasai negeri kita, atau penduduk Mesir murtad kemudian mereka berkuasa, atau diterapkan kepada mereka hukum-hukum kufur; atau negeri itu mencabut dzimmah (perjanjian untuk mendapatkan perlindungan dari Daulah Islam), atau negeri mereka dikuasai oleh musuh; salah satu hal tersebut tidak menjadikan Daar Islam berubah menjadi Daar al-Harb jika telah memenuhi tiga syarat. Sedangkan Abu Yusuf dan Mohammad berpendapat; cukup dengan satu syarat saja; yakni tampaknya hukum-hukum kufur di negara itu, dan ini adalah qiyas.."
Syaikh Mohammad Abu Zahrah berkomentar," Barangkali, buah perbedaan diantara dua pendapat tersebut tampak jelas pada masa kita sekarang ini. Oleh karena itu, bila pendapat Abu Hanifah itu diterapkan maka, negeri-negeri mulai dari wilayah barat hingga daerah Turkistan, dan Pakistan terkategori Daar al-Islam. Sebab, walaupun penduduknya tidak menerapkan hukum-hukum Islam, akan tetapi mereka hidup dalam perlindungan kaum Muslim. Oleh karena itu, negeri-negeri ini termasuk Daar al-Islaam. Dan jika pendapat Abu Yusuf dan Mohammad, serta para fukaha yang sejalan dengan keduanya diterapkan, maka negeri-negeri Islam sekarang ini tidak terhitung sebagai Daar al-Islaam, akan tetapi Daar al-Harb; sSebab, di negeri-negeri itu tidak tampak dan tidak diterapkan hukum-hukum Islam."
Di dalam kamus Fikihnya, Syaikh Sa'diy Abu Habib menjelaskan tentang Daar al-Islam dan Daar al-Harb sebagai berikut;
"Menurut pengikut madzhab Syafi'iy, daar al-harb adalah negeri-negeri kaum kafir (bilaad al-kuffaar) yang tidak memiliki perjanjian damai dengan kaum Muslim. Sedangkan Daar al-Islam menurut pengikut madzhab Syafi'iy adalah setiap negeri yang dibangun oleh kaum Muslim, seperti Baghdad, Bashrah, atau penduduknya masuk Islam, seperti Madinah atau Yaman, atau negeri yang ditaklukkan dengan perang, semacam Khaibar, Mesir, wilayah kota Iraq; atau ditaklukkan secara damai, atau wilayah yang kita miliki dan orang kafir yang hidup di dalamnya membayar jizyah". Sedangkan menurut pengikut Imam Ahmad bin Hanbal, "Daar Islam adalah setiap negeri yang dibangun oleh kaum Muslim, seperti Bashrah, atau negeri yang ditaklukkan oleh kaum Muslim, seperti kota Yaman.."
'Abd al-Qadir Audah menyatakan, "Daar Islam adalah negeri yang tampak jelas penerapan hukum-hukum Islam, atau penduduknya yang Muslim mampu menampakkan hukum-hukum Islam di negeri itu. Termasuk Daar al-Islam juga, setiap negeri yang seluruh penduduknya beragama Islam, atau mayoritasnya beragama Islam. Termasuk Daar al-Islam juga setiap negeri yang dikuasai dan diperintah oleh kaum Muslim, walaupun mayoritas penduduknya bukan kaum Muslim. Termasuk Daar al-Islam juga setiap negeri yang dikuasai dan diperintah oleh non Muslim, namun penduduknya yang Muslim masih tetap bisa menampakkan hukum-hukum Islam, atau tidak ada satupun halangan yang merintangi mereka untuk menampakkan hukum-hukum Islam".
Di dalam kitab al-Siyaasat al-Syar'iyyah karya Syaikh 'Abd al-Wahhab Khalaf dituturkan, "Daar al-Islam adalah negeri yang diberlakukan hukum-hukum Islam; dan keamanan negeri itu dibawah keamanan kaum Muslim, sama saja, apakah penduduknya Muslim atau dzimmiy. Sedangkan Daar al-Harb adalah negeri yang tidak diberlakukan hukum-hukum Islam, dan keamanan negeri itu tidak dijamin oleh kaum Muslim".
Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani merinci apa yang dijelaskan di dalam kitab al-Siyaasat al-Syar'iyyah karya Syaikh 'Abd al-Wahhab Khalaf sebagai berikut, "Penetapan suatu negeri termasuk Daar al-Islam atau Daar al-Kufr harus memperhatikan dua perkara. Pertama, hukum yang diberlakukan di negeri itu adalah hukum Islam. Kedua, keamanan di negeri itu harus dijamin oleh kaum Muslim; yakni; kekuasaannya. Jika di suatu negeri memenuhi dua perkara ini, maka ia disebut Daar al-Islam. Dan negeri itu telah berubah menjadi Daar al-Kufr menuju Daar al-Islam. Akan tetapi, jika salah satu unsur itu lenyap, maka negeri itu menjadi Daar al-Kufr. Oleh karena negeri Islam yang tidak menerapkan hukum-hukum Islam maka ia adalah Daar al-Kufr. Begitu pula sebaliknya, jika negeri Islam menerapkan hukum-hukum Islam, namun keamanannya tidak dijamin oleh kaum Muslim, yakni kekuasaannya; namun dijamin oleh kaum kafir, maka negeri itu termasuk Daar al-Kufr. Oleh karena itu, seluruh negeri kaum Muslim sekarang ini termasuk Daar al-Kufr. Alasannya, negeri-negeri itu tidak menerapkan hukum Islam. Suatu negeri juga tetap disebut Daar al-Kufr, seandainya di dalamnya kaum kafir menerapkan hukum-hukum Islam atas kaum Muslim, namun kekuasaannya dipegang oleh kaum kafir. Dalam keadaan semacam ini, maka keamanan negeri itu di bawah keamanan kafir kafir; dan secara otomatis ia termasuk Daar al-Kufr."
Menurut Dr. Mohammad Khair Haekal, dari pendapat-pendapat di atas, pendapat yang paling rajih adalah pendapat yang menyatakan, bahwa Daar al-Islam adalah negeri yang system pemerintahannya adalah system pemerintahan Islam (diatur dengan hukum Islam), dan pada saat yang sama, keamanan negeri tersebut; baik keamanan dalam dan luar negeri, berada di bawah kendali kaum Muslim .
Walhasil, Daar Islaam adalah negara yang menerapkan hukum Islam, dan keamanan negara tersebut di bawah jaminan kaum Muslim.
Daar Kufur adalah negara yang menerapkan syari’at kufur, dan keamanannya tidak dijamin oleh kaum Muslim.”
Definisi di atas didasarkan pada realitas negeri Mekah dan realitas Madinah pasca hijrah. Sebelum hijrah ke Madinah, Mekah dan seluruh dunia adalah Daar al-Kufr. Baru setelah Nabi Mohammad saw dan para shahabatnya hijrah ke Madinah, dan menegakkan Daulah Islamiyyah di sana, maka terwujudlah Daar al-Islam pertama kali dalam sejarah kaum Muslim. Sedangkan Mekah dan negeri-negeri di sekitarnya tetap berstatus Daar al-Kufr. Dari sini kita bisa melihat realitas Mekah sebagai Daar al-Kufr, dan Madinah sebagai Daar al-Islaam. Berdasarkan kedua realitas yang bertentangan inilah kita bisa memahami syarat dan sifat Daar al-Islam dan Daar al-Kufr. Di Mekah saat itu, hukum-hukum Islam tidak diterapkan dalam konteks negara dan masyarakat, meskipun di sana telah tampak sebagian syiar agama Islam, yakni sholat yang dikerjakan oleh kaum Muslim yang masih tinggal di Mekah; itupun harus seijin orang-orang kafir sebagai penguasa Mekah. Di sisi lain, kaum Muslim yang ada di Mekah tidak mampu menjamin keamanannya secara mandiri, akan tetapi mereka hidup di bawah jaminan keamanan kaum kafir. Realitas ini menunjukkan kepada kita, bahwa di Mekah tidak ditampakkan hukum-hukum Islam, dan jaminan keamanan atas penduduknya berada di tangan orang kafir; sehingga Mekah di sebut Daar al-Kufr. Ini berbeda dengan Madinah. Di Madinah, hukum-hukum Islam diterapkan dan ditampakkan secara jelas, dan jaminan keamanan dalam dan luar negeri berada di bawah tangan kaum Muslim.
Realitas tentang Daar al-Kufr juga ditunjukkan oleh negeri Habasyah. Habasyah, negeri di mana kaum Muslim diperintahkan oleh Rasulullah saw untuk berhijrah ke sana, juga tidak tampak adanya penerapan hukum Islam oleh masyarakat dan negaranya. Jika di sana tampak ada sebagian syiar Islam yang dilakukan oleh kaum Muslim yang tinggal di sana; itu pun harus seijin penguasa kufur. Selain itu, keamanan yang ada di Habasyah berada di bawah kekuasaan kaum kafir. Saat itu tidak ada khilaf, bahwa Habasyah adalah Daar al-Kufr.
Bukti lain yang mendukung definisi di atas adalah, sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Sulaiman Ibnu Buraidah; di mana di dalamnya dituturkan bahwasanya Nabi saw bersabda, “

أُدْعُهُمْ إِلَى الإِسْلاَمِ فَإِنْ أَجَـابُوكَ فأَقْبِلْ مِنْهُمْ و كُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ أُدْعُهُمْ إِلَى التَّحَوّلِ مِنْ دَارِهِمْ الى دَارِالمُهَاجِرِيْنَ و أَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ إِنْ فَعَلُوا ذَلِكَ فَلَهُمْ مــا لِلْمُهَاجِرِيْنَ وَ عَلَيْهِمْ مَـا عَلَى الْمُهَـاجِريْنَ
"... Serulah mereka kepada Islam, maka apabila mereka menyambutnya, terimalah mereka dan hentikanlah peperangan atas mereka; kemudian ajaklah mereka berpindah dari negerinya (Daarul Kufur) ke Daarul Muhajirin (Daarul Islam yang berpusat di Madinah); dan beritahukanlah kepada mereka bahwa apabila mereka telah melakukan semua itu, maka mereka akan mendapatkan hak yang sama sebagaimana yang dimiliki kaum muhajirin, dan juga kewajiban yang sama seperti halnya kewajiban kaum muhajirin.”
Hadits ini sebagai dasar pijakan untuk menetapkan istilah daar Islam [negara Islam] dan daar kufur [negara kafir]. Daar al-Muhajirin, pada riwayat di atas adalah sebutan Daar Islam pada masa Rasulullah saw. Manthuq [tekstual] riwayat di atas menunjukkan dengan jelas, bahwa Rasulullah saw memerintahkan para shahabat untuk memerangi negeri-negeri kufur jika mereka tetap menolak bergabung di bawah naungan Daar Muhajirin [Daulah Islamiyyah]. Perintah Rasul untuk memerangi negeri-negeri kufur menunjukkan dengan jelas, adanya batas demarkasi yang berujud wilayah kekuasaan,yang memisahkan antara negara Islam [daar Islam] dengan daar kufur. Dengan kata lain, Daulah Islamiyyah adalah sebuah negara yang memiliki teritorial (wilayah) yang jelas dan tegas. Wilayah yang berada di dalam batas teritorial masuk dalam kekuasaan Daulah Islamiyyah, sedangkan wilayah, atau negara yang berada di luar batas wilayah Daulah Islamiyyah dianggap sebagai negara kufur (daar al-kufr).
Akan tetapi, batas teritorial Daulah Khilafah Islamiyyah bukanlah batas wilayah yang bersifat permanen seperti halnya batas teritorial negara bangsa. Akan tetapi, batas wilayah Daulah Islamiyyah bersifat fleksibel dan terus melebar seiring dengan aktivitas jihad yang dilakukan oleh Daulah Islamiyyah. Ini didasarkan pada kenyataan, bahwa Daulah Islamiyyah akan terus melakukan ekspansi dakwah ke seluruh dunia, dengan jalan propaganda dan jihad, hingga seluruh manusia tunduk di bawah kalimat tauhid; La Ilaha Illa al-Allah. Daerah-daerah yang tunduk dan takluk di bawah kekuasaan Daulah Khilafah Islamiyyah secara otomatis akan dimasukkan sebagai bagian dari wilayah Daulah Khilafah Islamiyyah. Sedangkan daerah yang belum tunduk dan patuh di bawah kekuasaan Khilafah Islamiyyah, dipandang sebagai negara kufur yang wajib diperangi hingga menjadi bagian dari Khilafah Islamiyyah dengan cara jihad fi sabilillah

Daulah Khilafah Islamiyyah Tidak Harus Berujud Negara?
Sebagian kaum Muslim berpendapat, bahwa Islam tidak mengenal konsep negara dan batas-batas kewilayahan. Menurut mereka, seorang khalifah, atau kekhilafahan Islam tidak mesti memiliki negara, atau teritorial tertentu. Bahkan, masih menurut mereka, meletakkan Islam dalam bingkai sebuah negara, sama artinya telah mengecilkan dan mengerdilkan Islam. Pemahaman semacam ini adalah pemahaman bathil dan bertentangan dengan nash-nash sharih. Bila wilayah negara tidak diperlukan untuk membangun Daulah Khilafah Islamiyyah atau Daulah Islamiyyah, lalu, mengapa Rasulullah saw –dalam hadits yang diriwayatkan dari Sulaiman bin Buraidah-- menyebut negara Muhajirin, dan negara mereka [negara kufur]? Penyebutan daar Muhajirin [negara Islam] memberi pemahaman kepada kita, bahwa Khilafah Islamiyyah harus memiliki wilayah yang jelas. Selain itu, kemestian adanya negara dan batas wilayah yang tegas bagi Daulah Islamiyyah berkaitan erat dengan hukum-hukum berikut ini;

a. Penetapan Status Kewarganegaraan
Seseorang diketahui bahwa ia seorang kafir dzimmiy, kafir mu’ahid, kafir musta’min, atau kafir harbiy, jika ada batas wilayah negara yang jelas. Bila batas wilayah negara tidak ada –tidak memiliki wilayah yang jelas--, tentu kategorisasi kafir dzimmiy, mu’ahid, dan harbiy tidak akan berlaku lagi. Padahal, Rasulullah saw dalam riwayat-riwayat shahih, telah menyebut istilah-istilah kafir dzimmiy, mu’ahid, dan kafir harbiy. Rasulullah saw bersabda artinya; “Barangsiapa membunuh kafir mu’ahid (kafir yang mengadakan perjanjian dengan Daulah Islam) maka dia tidak akan mencium bau surga.”[HR. Bukhari]. Kafir mu’ahid adalah seorang kafir yang negaranya mengadakan perjanjian dengan negara Islam. Hadits ini memberikan pengertian adanya batas wilayah yang tegas antara negara Islam dengan negara kafir. Rasulullah saw bersabda, artinya, “Barangsiapa melukai dzimmiy [kafir dzimmiy] maka pada hari kiamat akulah yang menjadi musuhnya.”[HR. Khathib dalam tarikhnya. Sanadnya hasan]. Rasulullah saw juga bersabda, artinya, “Keluarkanlah kaum musyrikin [posisinya sebagai kafir dzimmiy –lihat Mukhtashar Nailul Authar--dari Jaziratul Arab, dan kenakan upeti para utusan itu, seperti aku pernah mengenakan upeti kepada mereka.[HR.Ahmad, Bukhari,dan Muslim, dari Ibnu ‘Abbas] Hadits ini dengan jelas menyebut istilah kafir dzimmiy. Kafir Dzimmiy adalah seorang kafir yang tunduk dan berada di dalam kekuasaan Daulah Islamiyyah. Hadits ini juga menunjukkan dengan jelas, keharusan adanya wilayah yang tegas, bagi sebuah negara, sehingga bisa diklasifikasi mana kafir dzimmiy dan mana yang bukan. Kafir musta’min, adalah orang kafir yang lari dari negaranya [negara kafir] dan masuk ke dalam Daulah Islamiyyah untuk meminta jaminan keamanan. Inipun dijelaskan dalam sunnah. Rasulullah saw pernah memberikan keamanan kepada utusan-utusan orang musyrik. Ini saja sudah cukup untuk menggugurkan pendapat yang menyatakan, bahwa Daulah Khilafah Islamiyyah yang dipimpin oleh seorang Khalifah tidak harus memiliki wilayah yang tegas. Atas dasar itu, adanya status kewarganegaraan memestikan pula adanya wilayah negara yang jelas dan tegas.

b. Hukum Jihad fi Sabilillah
Adanya negara dan batas negara yang jelas juga berhubungan erat dengan hukum jihad di jalan Allah. Allah swt berfirman:

“Dan perangilah mereka sehingga tidak ada lagi fitnah dan agar semua agama karena Allah…”[TQS Al Anfaal (8):39] Jihad fi sabilillah adalah berperang melawan orang kafir, merebut dan menaklukkan wilayah mereka dan benteng mereka. Secara implisit ini juga menunjukkan bahwa Daulah Islamiyyah harus memiliki wilayah yang tegas untuk membedakan dirinya dengan negara kafir, agar hukum jihad bisa ditegakkan. Kalau negara Islam tidak memiliki wilayah negara, atas dasar apa kita memerangi negara-negara kafir?

c. Hukum Perjanjian Antar Negara (al-Shulh)
Al-Quran telah menyitir dan menjelaskan secara rinci hukum-hukum perjanjian antara Daar al-Islaam dengan Daar al-Kufr. Allah swt berfirman:

“…kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatupun (dari isi perjanjianmu) dan tidak pula mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya..”[TQS Al Taubah (9):4]. Perjanjian pasti melibatkan dan menyertakan dua belah pihak. Dalam konteks ini, kadang-kadang terjadi perjanjian yang melibatkan Daulah Islam [negara Islam] dengan negara Kafir. Ini menunjukkan dengan jelas, bahwa adanya hukum perjanjian antar dua negara mengharuskan pula adanya negara yang berdaulat penuh atas teritorial tertentu. Kalau Islam tidak mengenal konsep negara dan batas wilayah negara, lalu mengapa Islam mengakui, bahkan mensyari’atkan perjanjian yang melibatkan dua negara?

d. Hukum Bersiaga di Perbatasan Negara
Kemestian adanya negara dan batas teritorial yang jelas dan tegas, juga ditunjukkan dengan kewajiban untuk bersiap siaga di perbatasan negara. Adanya hukum bersiap siaga di perbatasan, menunjukkan dengan jelas pula, bahwa Khilafah Islamiyyah harus berujud negara yang memiliki teritorial dan demarkasi yang jelas. Allah swt berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah kalian dan kuatkanlah kesabaran kalian serta tetaplah bersiap-siap (di perbatasan negerimu [Daulah Islamiyyah], kemudian bertaqwalah kepada Allah, supaya kalian beruntung.”[TQS Ali Imran (3):200]. Ayat ini dengan sangat jelas memerintahkan kaum Muslim untuk berjaga-jaga di perbatasan negaranya. Adanya batas negara, menunjukkan juga bahwa Daulah Islamiyyah harus memiliki wilayah dan batas kewilayahan yang jelas. Jika Islam tidak mengenal batas kenegaraan, mengapa Allah memerintahkan kaum Muslim untuk berjaga di perbatasan?! Bahkan, banyak riwayat menjelaskan keutamaan orang yang menjaga perbatasan negara. Rasul saw bersabda, artinya, “Siaga (berjaga) satu malam di jalan Allah lebih baik daripada seribu malam yang dijalani dengan shalat di malam harinya dan berpuasa di siang harinya.”[HR. Thabarani, dan Hakim, dengan sanad hasan]. Berjaga atau bersiaga di sini termasuk menjaga perbatasan negara agar tidak diserang musuh.

e. Hukum Hijrah
Imam Ahmad dan Nasaaiy meriwayatkan sebuah hadits, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Hijrah itu tidak ada putus-putusnya selama musuh itu masih diperangi.” Imam Bukhari meriwayatkan hadits dari ‘Aisyah ra, bahwa ‘Aisyah pernah ditanya tentang hijrah, beliau menjawab, “Hari ini tidak hijrah lagi, yang ada adalah seorang mukmin yang membawa lari agamanya kepada Allah dan Rasul, karena khawatir kena fitnah.” Hijrah adalah berpindah dari wilayah Daar Kufur, menuju wilayah Daar Islam. Ini juga menunjukkan bahwa Khilafah Islamiyyah harus berujud negara yang memiliki wilayah yang jelas, agar hukum hijrah dan hukum-hukum Islam lain bisa ditegakkan.
Akan tetapi, batas wilayah Daulah Islamiyyah [negara Islam] bukanlah batas wilayah yang bersifat permanen , akan tetapi terus melebar hingga mencakup seluruh dunia. Konsep batas wilayah dalam Islam berbeda dengan konsep batas negara yang dikembangkan oleh pakar politik barat. Batas wilayah negara yang dikembangkan oleh orang-orang barat adalah batas negara yang bersifat tetap (fixed), yang menafikan adanya penaklukan, serta aktivitas “memperlebar kekuasaan”. Sedangkan batas wilayah Khilafah Islamiyyah akan meluas dan melebar hingga ke seluruh penjuru dunia. Meskipun demikian, batas wilayah negara Islam harus tegas dan jelas; sebagai bentuk konsekuensi hukum-hukum mengenai kewarganegaraan, jihad fi sabilillah, perjanjian, dan hukum-hukum yang lain.
Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan, bahwa kekhilafahan Islam berujud sebuah negara yang memiliki wilayah dan batas teritorial tertentu. Seorang khalifah mesti memiliki, atau memimpin suatu wilayah tertentu untuk melaksanakan syariat Islam. Dengan kata lain, Kekhilafahan Islam mesti berujud negara (daulah) yang memiliki teritorial dan batas yang jelas dan tegas. Masalah ini telah masyhur dan diketahui secara luas oleh kaum Muslim. Sejarah mutawatir juga telah menunjukkan dengan sangat jelas adanya kekuasaan dan teritorial negara Khilafah Islamiyyah yang membentang sepanjang dua pertiga dunia. Oleh karena itu, bila ada yang menyatakan, bahwa Islam tidak mengenal konsep negara [daar], bahkan mendakwahkan khalifah tidak harus memiliki wilayah kekuasaan yang tegas, jelas-jelas ia telah menyimpang dari syariat Islam dan sejarah mutawatir.

Syarat Negara Islam
Suatu negara absah disebut negara Islam bila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut;
1. Menerapkan syari’at Islam secara menyeluruh
2. Keamanan wilayah tersebut dijamin oleh penguasa Muslim [dalam arti ia memiliki kekuatan untuk menerapkan Islam dalam negeri, dan mengemban dakwah Islam ke luar negeri].
Suatu negara sah disebut sebagai negara Islam, jika 'aqidah Islam dijadikan sebagai ideologi negara, dan syariat Islam diterapkan secara menyeluruh dan sempurna untuk mengatur seluruh aspek kehidupan. 'Aqidah Islam harus dijadikan pandangan hidup dan ideologi negara; menjadi jiwa bagi konstitusi negara, perundang-undangan, norma, dan etika yang ada di tengah-tengah masyarakat. Sedangkan urusan dan tatalaksana negara, hubungan rakyat dengan negara, partai politik, dan hubungan dengan warga negara lain diatur seluruhnya dengan syariat Islam. Tidak ada satupun aturan asing yang bertengan dengan 'aqidah dan syariat Islam yang diterapkan di dalam Daulah Islamiyyah. Seluruh sendi masyarakat wajib berjalan dan diatur sesuai dengan aturan-aturan Islam.
Ketentuan semacam ini didasarkan pada nash-nash yang tercantum di dalam al-Quran dan sunnah. Di dalam al-Quran, Allah swt telah berfirman:

وَ مَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَـا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمْ الْكَافِرُوْنَ
“Siapa saja yang tidak menerapkan hukum berdasarkan apa yang diturunkan Allah (yaitu Al Qur’an dan As Sunnah), maka mereka itulah tergolong orang-orang kafir" (Al Maidah: 44)


وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ
"(Dan) Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka dengan apa yang telah diturunkan Allah, dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Dan waspadalah engkau terhadap fitnah mereka yang hendak memalingkan engkau dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu." (al-Maidah:49).
Di samping itu, al-Quran telah menjelaskan berbagai macam masalah, baik yang menyangkut urusan ekonomi, politik, dan sosial budaya di banyak ayat. Ayat-ayat ini menunjukkan, bahwa syariat Islam adalah syariat sempurna yang wajib diterapkan secara menyeluruh dalam setiap aspek kehidupan. Allah swt berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلَّا تَرْتَابُوا إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah mu`amalahmu itu), kecuali jika mu`amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.." (al-Baqarah:282)

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنْثَى بِالْأُنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema`afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema`afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma`af) membayar (diat) kepada yang memberi ma`af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih." (al-Baqarah:178)

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
"Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (al-Baqarah:216)

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قَاتِلُوا الَّذِينَ يَلُونَكُمْ مِنَ الْكُفَّارِ وَلْيَجِدُوا فِيكُمْ غِلْظَةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ
"Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa." (al-Taubah:123)

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ أُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيمَةُ الْأَنْعَامِ إِلَّا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ
"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.." (al-Maidah:1)

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
"Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendo`alah untuk mereka. Sesungguhnya do`a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (al-Taubah:103)

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ
"Laki-laki dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang telah mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah". (al-Maidah:38)

أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى
"Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu), dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya." (al-Thalaq:6)

الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman." (al-Nur:2)

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
"Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.." (al-Baqarah:275)

مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
"Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya". (Al-Hasyr:7)

وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
"Dan orang-orang yang menimbun emas dan perak serta tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka sampaikanlah khabar gembira kepada mereka tentang adzab yang sangat pedih." (al-Taubah:34)

إِنَّ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ لُعِنُوا فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
"Sesungguhnya orang-orang yang menuduh (berbuat zina) kepada wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman, mereka kena la'nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka adzab yang besar. (al-Nuur:23)

وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا
"Dan janganlah kalian saling mematai-matai serta janganlah saling menggunjingkan sebagian kalian dari yang lainnya." (Al-Hujurat:12)

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ يُخْرِجُونَ الرَّسُولَ وَإِيَّاكُمْ أَنْ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ رَبِّكُمْ إِنْ كُنْتُمْ خَرَجْتُمْ جِهَادًا فِي سَبِيلِي وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِي تُسِرُّونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَأَنَا أَعْلَمُ بِمَا أَخْفَيْتُمْ وَمَا أَعْلَنْتُمْ وَمَنْ يَفْعَلْهُ مِنْكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ السَّبِيلِ
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus.." (al-Mumtahanah:1)
Masih banyak ayat maupun hadits yang mengatur masalah-masalah ekonomi, hukum pidana dan perdata, hubungan kemasyarakatan, akhlaq, kenegaraan, militer, mu'amalah, dan lain-lain.
Berdasarkan ayat-ayat di atas kita bisa menyimpulkan, bahwa kaum Muslim telah diwajibkan untuk menerapkan hukum Islam secara menyeluruh dalam semua aspek kehidupan. Allah swt menegaskan:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
"Wahai orang-orang yang beriman masuklah kamu kepada Islam secara menyeluruh. Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagi kamu." (Al-Baqarah: 208)
Dalam menafsirkan ayat ini, Imam Ibnu Katsir menyatakan:
“Allah swt telah memerintahkan hamba-hambaNya yang mukmin dan mempercayai RasulNya agar mengadopsi system keyakinan Islam (‘aqidah) dan syari’at Islam, mengerjakan seluruh perintahNya dan meninggalkan seluruh laranganNya selagi mereka mampu."
Imam Thabariy menyatakan :
“Ayat di atas merupakan perintah kepada orang-orang beriman untuk menolak selain hukum Islam; perintah untuk menjalankan syari’at Islam secara menyeluruh; dan larangan mengingkari satupun hukum yang merupakan bagian dari hukum Islam.”
Di dalam sunnah juga dinyatakan dengan sangat jelas, bahwa penerapan syariat Islam menjadi salah satu syarat apakah suatu negara disebut sebagai negara Islam.
Dalam sebuah hadits yang dituturkan oleh ‘Auf ibnu Malik dinyatakan, bahwasanya ia berkata:

قِيْلَ يَـا رَسُوْلَ الله : أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالسَيْف ؟ فَقَالَ لاَ مَا أقَامُوا فِيْكُمْ الصَّلاَة
"...ditanyakan oleh para sahabat: 'Wahai Rasulullah tidakkah kita serang saja mereka itu dengan pedang?', Beliau menjawab: 'Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat di tengah-tengah masyarakat (maksudnya melaksanakan hukum-hukum syara')."
Dalam riwayat lain juga dituturkan, bahwasanya, saat Ubadah Ibnu Shamit menceritakan peristiwa bai'at aqabah, ia mengatakan:

وَ أَنْ لاَ نُنَـازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ إلاّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحـاً عِنْدَكـــُمْ مِنَ اللهِ فِيْهِ بُرْهَانٌ
“Dan hendaknya kami tidak menentang kekuasaan penguasa kecuali (sabda Rasulullah:) 'Apabila kalian melihat kekufuran yang terang-terangan, yang dapat dibuktikan berdasarkan keterangan dari Allah SWT.”
Hadits-hadits di atas menunjukkan dengan jelas, bahwa syarat sebuah negara disebut sebagai negara Islam (daar Islam), pertama; adanya penerapan hukum Islam secara menyeluruh. Bila suatu negeri, meskipun mayoritas penduduknya Muslim, akan tetapi, syari’at Islam tidak diterapkan di wilayah tersebut, maka negeri tersebut terkategori sebagai daar kufur (negara kufur). Wilayah semacam ini boleh diperangi, meskipun mayoritas penduduknya Muslim. Kedua, keamanan negara tersebut harus dijamin oleh keamanan Islam --yakni di bawah kekuasaan kaum Muslim. Syarat kedua ini didasarkan pada nash-nash berikut ini
Adapun masalah keamaan, di dalam al-Quran dinyatakan dengan sangat jelas, bahwa keamanan kaum Muslim merupakan syarat agar sebuah negara di sebut sebagai negara Islam. Allah swt berfirman:

وَ لَنْ يَجْعَلَ اللهُ للْكَافِرِيْنَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيْلاً
"Dan Allah (selama-lamanya) tidak memberikan hak bagi orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin." [TQS An Nisaa’ (4): 141]
Di dalam sebuah riwayat dituturkan, bahwasanya Anas bin Malik ra berkata.:
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ حَدَّثَنِي حُمَيْدٌ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا غَزَا قَوْمًا لَمْ يَغْزُ بِنَا لَيْلًا حَتَّى يُصْبِحَ فَإِنْ سَمِعَ أَذَانًا كَفَّ عَنْهُمْ وَإِنْ لَمْ يَسْمَعْ أَذَانًا أَغَارَ عَلَيْهِمْ
"Adalah Rasulullah apabila memerangi suatu kaum, tidak memeranginya di waktu malam, hingga tiba waktu pagi. Maka, apabila beliau mendengar adzan (shubuh) berkumandang, maka beliau mengurungkan peperangan, dan apabila tidak mendengar suara adzan beliau melanjutkan rencana perangnya setelah shalat shubuh".[HR. Imam Ahmad] Adapun dalam riwayat 'Isham al Muzaniy dituturkan :

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا بَعَثَ جَيْشًا أَوْ سَرِيَّةً يَقُولُ لَهُمْ إِذَا رَأَيْتُمْ مَسْجِدًا أَوْ سَمِعْتُمْ مُؤَذِّنًا فَلَا تَقْتُلُوا أَحَدًا
"Adalah Nabi SAW apabila mengutus tentara atau pasukan perang, beliau selalu berpesan kepada mereka, "Apabila kalian melihat masjid atau mendengar adzan berkumandang, janganlah kalian membunuh seorang pun."[HR. Imam Turmudziy]
Hadits-hadits ini menunjukkan, bahwa, bila suatu negeri tidak berada di dalam kekuasaan kaum Muslim, meskipun di negeri-negeri tersebut terdapat syi’ar Islam (penduduknya mayoritas Muslim), negeri-negeri tersebut tetap harus diperangi, sebagaimana telah ditunjukkan oleh perilaku Rasulullah saw. Adanya adzan –dalam riwayat-riwayat di atas—menunjukkan, bahwa di wilayah-wilayah tersebut ada komunitas kaum Muslim dan juga syi’ar Islam, akan tetapi karena keamanan atau perlindungan wilayah tersebut tidak berada di bawah proteksi kaum Muslim, tetap saja Rasulullah saw melancarkan serangan militer ke wilayah tersebut. Hanya saja, supaya tidak ada kekeliruan, yakni memerangi kaum Mukmin sendiri, beliau menunda penyerangan hingga datangnya waktu Shubuh. Ini ditujukan agar bisa dipilahkan mana orang kafir dan mana orang Mukmin. Riwayat di atas menunjukkan; bila suatu wilayah keamanannya tidak dijamin oleh kaum Muslim (atau tidak berada di bawah kekuasaan Islam) maka negeri itu tetap berpredikat sebagai daar kufur, dan boleh diperangi.
Mengingat Khilafah adalah refleksi dari kepemimpinan Daulah Islamiyyah yang melaksanakan konstitusi-konstitusi di wilayah tertentu , maka, seorang khalifah mesti memiliki wilayah atau teritorial tertentu. Meskipun demikian, teritorial atau batas negara Khilafah bukanlah batas wilayah yang bersifat permanen (tetap tidak pernah meluas), akan tetapi bersifat elastis. Konsep batas wilayah elastis ini, telah membedakan konsep batas wilayah negara dalam Daar Islam dengan konsep batas wilayah negara versi barat (nasionalisme).
Selain itu, adanya wilayah bagi Khalifah merupakan konsekuensi logis adanya hukum-hukum jihad, penetapan status kewarganegaraan (kafir dzimmi, harbiy, dan musta’min), hukum perjanjian (shulh), serta hukum-hukum yang berkaitan dengan pemerintahan, serta hukum-hukum lainnya.
Dakwaan bahwa Khilafah Islamiyyah tidak memerlukan wilayah, atau seorang khalifah tidak mesti menguasai dan memimpin wilayah tertentu adalah dakwaan bathil dan menyesatkan. Bagaimana mungkin seorang khalifah bisa menetapkan status kewarganeraan bagi kafir dzimmi, harbiy, dan musta’min, bila ia tidak memiliki wilayah yang jelas? Selain itu, apa artinya Rasulullah saw mengangkat wali, ‘ummal, serta mengadakan perjanjian dengan negeri-negeri kufur lainnya? Lalu apa artinya, beliau saw melakukan jihad memerangi negeri-negeri kafir! Bukankah ini merupakan dalil yang jelas, bahwa Khilafah Islamiyyah mesti berujud negara yang memiliki wilayah tertentu dan jelas?
Lalu, atas dasar apa, ada sebagian kaum Muslim dengan gegabah menyatakan, bahwa khalifah tidak harus memiliki batas wilayah tertentu, bahkan Islam tidak mengenal konsep negara [daar]?
KAPAN PENGUASA TIDAK BOLEH DITAATI? Ikhwaniy wa akhwatiy, barangkali tulisan ini diperlukan..
oleh Syamsuddin Ramadhan pada 27 Juli 2010 pukul 13:48
KAPAN PENGUASA TIDAK BOLEH DITAATI?
Fathiy Syamsuddin Ramadhan An Nawiy



Salah satu kewajiban penting umat Islam adalah mentaati seorang penguasa Muslim. Nabi Muhammad saw di dalam hadits-hadits shahih telah menjelaskan ketetapan ini dengan sangat jelas. Para ulama salaf dan khalaf juga tidak pernah berselisih pendapat mengenai kewajiban mentaati penguasa yang tetap menjalankan urusan pemerintahan sesuai dengan aqidah dan syariat Islam. Mayoritas ulama juga berpendapat, kaum Muslim wajib mentaati penguasa fasik dan dzalim, semampang mereka tidak mengubah salah satu sendi dari ajaran Islam. Mereka juga memahami bahwa ketaatan kepada penguasa bukanlah ketaatan yang bersifat mutlak, namun dibatasi oleh batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh syariat. Para ulama juga sepakat, jika seorang penguasa telah menampakkan kekufuran yang nyata (kufran shurahan), maka kaum Muslim dilarang mentaati mereka, bahkan wajib memakzulkan mereka meskipun dengan menggunakan pedang.
Sayangnya, fatwa ulama-ulama ikhlash ini sering dipelintir untuk menghambat terjadinya suksesi kekuasaan dari kekuasaan kufur menuju kekuasaan Islam. Mereka menyerukan agar kaum Muslim tetap mentaati penguasa-penguasa walaupun penguasa itu jelas-jelas telah terjatuh ke dalam kekufuran yang nyata. Mereka juga menyeru kepada kaum Muslim untuk tidak mengkritik mereka dengan terang-terangan. Bahkan, mereka menyerang sekelompok kaum Muslim yang berani mengkritik para penguasa dengan terang-terangan.
Lalu, benarkah para penguasa sekarang tetap harus ditaati? Bagaimana pandangan Islam mengenai ketaatan kepada penguasa? Dan kapan seorang Muslim wajib melepaskan ketaatan dari penguasa, bahkan wajib memakzulkan mereka?

Taat Kepada Penguasa
Mentaati penguasa merupakan salah satu kewajiban seorang Muslim. Allah swt berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah RasulNya, dan ulil amri di antara kalian. Kemudian, jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.”[al-Nisaa’:59]
Ketika menafsirkan surat al-Nisa’:59, Imam Nasafiy menyatakan:

ودلت الآية على أن طاعة الأمراء واجبة إذا وافقوا الحق فإذا خالفوه فلا طاعة لهم لقوله عليه السلام " لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق " . وحكي أن مسلمة بن عبد الملك بن مروان قال لأبي حازم : ألستم أمرتم بطاعتنا بقوله : و«أولي الأمر منكم»؟ فقال أبو حازم : أليس قد نزعت الطاعة عنكم إذا خالفتم الحق . بقوله «فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله» أي القرآن و«الرسول» في حياته وإلى أحاديثه بعد وفاته { ذلك } إشارة إلى الرد أي الرد إلى الكتاب والسنة
“Ayat ini menunjukkan bahwa taat kepada para pemimpin adalah wajib, jika mereka sejalan dengan kebenaran. Apabila ia berpaling dari kebenaran, maka tidak ada ketaatan bagi mereka. Ketetapan semacam ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw, “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam kemaksiyatan kepada Allah.”[HR. Ahmad]. Dituturkan bahwa Maslamah bin Abdul Malik bin Marwan berkata kepada Abu Hazim,” Bukankah engkau diperintahkan untuk mentaati kami, sebagaimana firman Allah, “dan taatlah kepada ulil amri diantara kalian..” Ibnu Hazim menjawab, “Bukankah ketaatan akan tercabut dari anda, jika anda menyelisihi kebenaran, berdasarkan firman Allah, “jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah, yakni kepada Rasul pada saat beliau masih hidup, dan kepada hadits-hadits Rasul setelah beliau saw wafat..”
Pendapat senada juga dikemukakan oleh al-Hafidz al-Suyuthi dalam kitab Tafsirnya,Durr al-Mantsuur, Imam Syaukani dalam Fath al-Qadir, dan serta kalangan mufassir lainnya.
Ibnu al-‘Arabiy, dalam kitab Ahkaam al-Quran, menyatakan:
“Kemudian mereka diperintahkan untuk mentaati pemimpin (ulil amri) yang telah diperintahkan oleh Rasulullah. Ketaatan kepada mereka bukanlah ketaatan mutlak, akan tetapi yang dikecualikan dalam hal ketaatan dan apa yang diwajibkan kepada mereka…."
Dalam kitab Minhaaj al-Sunnah, Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah berkata:
“Sesungguhnya, Nabi saw telah memerintahkan untuk taat kepada imam (pemimpin) legal yang memiliki kekuasaan, dan mampu mengatur urusan masyarakat. Tidak ada ketaatan bagi pemimpin yang tidak dikenal dan tidak legal. Tidak ada ketaatan bagi orang yang tidak memiliki kekuasaan dan tidak memiliki kemampuan apapun, secara asal. “
Di dalam hadits-hadits shahih juga dituturkan mengenai kewajiban mentaati penguasa (ulil amriy), baik yang adil maupun fasik. Imam Bukhari menuturkan sebuah riwayat dari Abi Salamah bin ‘Abdirrahman, bahwasanya ia mendengar Abu Hurairah berkata:

مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ أَطَاعَ أَمِيرِي فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ عَصَى أَمِيرِي فَقَدْ عَصَانِي
“Rasulullah saw telah bersabda, “Siapa saja yang mentaati aku, maka dia telah mentaati Allah swt, dan barang siapa bermaksiyat kepadaku, sungguh dia telah bermaksiyat kepada Allah. Siapa saja yang mentaati pemimpinku, maka dia telah mentaatiku; dan barangsiapa tidak taat kepada pemimpinku, maka dia telah berbuat maksiyat kepadaku..”[HR. Bukhari]
Hisyam bin ‘Urwah meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Shalih dari Abu Hurairah ra, bahwasanya ia menyatakan, bahwa Rasulullah saw bersabda:

سَيَلِيْكُمْ بَعْدِي وُلَاةٌ فَيَلِيْكُمُ الْبِرَّ بِبِرِّهِ وَالْفَاجِرُ بِفُجُوْرِهِ فَاسْمَعُوْا لَهُمْ وَأَطِيْعُوْا فِي كُلِّ مَا وَافَقَ الْحَقَّ وَصَلُّوْا وَرَاءَهُمْ فَإِنْ أَحْسَنُوْا فَلَكُمْ وَلَهُمْ وَإِنْ أًَسَاءُوْا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ
“Setelahku akan ada para penguasa, maka yang baik akan memimpin kalian dengan kebaikannya, sedangkan yang jelek akan memimpin kalian dengan kejelekannya. Untuk itu, dengar dan taatilah mereka dalam segala urusan bila sesuai dengan yang haq. Apabila mereka berbuat baik, maka kebaikan itu adalah hak bagi kalian. Apabila mereka berbuat jelek maka kejelekan itu hak bagi kalian untuk mengingatkan mereka, serta kewajiban mereka untuk melaksanakannya.”
Imam Bukhari menuturkan sebuah hadits dari ‘Abdullah, bahwasanya Rasulullah saw bersabda kepada kami:

سَتَكُونُ أَثَرَةٌ وَأُمُورٌ تُنْكِرُونَهَا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ تُؤَدُّونَ الْحَقَّ الَّذِي عَلَيْكُمْ وَتَسْأَلُونَ اللَّهَ الَّذِي لَكُمْ
“Kalian akan melihat pada masa setelahku, ada suatu keadaan yang tidak disukai serta hal-hal yang kalian anggap mungkar. Mereka (para shahabat) bertanya, “Apa yang engkau perintahkan kepada kami, wahai Rasulullah? Beliau menjawab, “Tunaikanlah hak mereka, dan memohonlah kepada Allah hak kalian.”[HR. Bukhari]
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, dari Abu Raja’, dari Ibnu ‘Abbas, dinyatakan, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ مِنْ النَّاسِ خَرَجَ مِنْ السُّلْطَانِ شِبْرًا فَمَاتَ عَلَيْهِ إِلَّا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa membenci sesuatu yang ada pada pemimpinnya, hendaklah ia bersabar. Sebab, tak seorangpun boleh memisahkan diri dari jama’ah, sekalipun hanya sejengkal, kemudian dia mati, maka matinya adalah seperti mati jahiliyyah.”[HR. Bukhari]
Dalam Syarh an-Nawawi ‘alaa Shahiih Muslim telah dinyatakan, "Memisahkan diri dari mereka ---maksudnya, para penguasa--- hukumnya jelas haram, berdasarkan ijma’ kaum Muslim, walaupun para penguasa itu orang yang fasik dan zalim. Banyak hadits yang menunjukkan pengertian seperti pendapat saya ini”.
Hadits-hadits di atas merupakan hujjah yang sangat jelas wajibnya seorang Muslim mentaati penguasa meskipun ia terkenal fasik dan dzalim. Bahkan di dalam riwayat-riwayat lain, Rasulullah saw telah memberikan penegasan (ta’kid) agar kaum Muslim tetap mentaati penguasa dalam kondisi apapun.

Kapan Penguasa Tidak Boleh Ditaati?
Meskipun kaum Muslim diperintahkan untuk tetap mentaati penguasa dzalim dan fasiq , dan dilarang memerangi dengan pedang, akan tetapi dalam satu kondisi; kaum mukmin wajib memisahkan diri dari mereka, tidak memberikan ketaatan kepada mereka, dan diperbolehkan memerangi mereka dengan pedang, yaitu, jika mereka telah menampakkan kekufuran yang nyata. Ketentuan semacam ini didasarkan pada riwayat-riwayat berikut ini. Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا
"Akan datang para penguasa, lalu kalian akan mengetahui kemakrufan dan kemungkarannya, maka siapa saja yang membencinya akan bebas (dari dosa), dan siapa saja yang mengingkarinya dia akan selamat, tapi siapa saja yang rela dan mengikutinya (dia akan celaka)". Para shahabat bertanya, "Tidaklah kita perangi mereka?" Beliau bersabda, "Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat" Jawab Rasul.” [HR. Imam Muslim]
Tatkala berkomentar terhadap hadits ini, Imam Nawawi, dalam Syarah Shahih Muslim menyatakan:

"قوله صلى الله عليه وسلم : ( ستكون أمراء فتعرفون وتنكرون فمن عرف فقد برئ ومن أنكر سلم , ولكن من رضي وتابع , قالوا : أفلا نقاتلهم ؟ قال : لا . . . ما صلوا " هذا الحديث فيه معجزة ظاهرة بالإخبار بالمستقبل , ووقع ذلك كما أخبر صلى الله عليه وسلم . وأما قوله صلى الله عليه وسلم : ( فمن عرف فقد برئ ) وفي الرواية التي بعدها : ( فمن كره فقد برئ ) فأما رواية من روى ( فمن كره فقد برئ ) فظاهرة , ومعناه : من كره ذلك المنكر فقد برئ من إثمه وعقوبته , وهذا في حق من لا يستطيع إنكاره بيده لا لسانه فليكرهه بقلبه , وليبرأ . وأما من روى ( فمن عرف فقد برئ ) فمعناه - والله أعلم - فمن عرف المنكر ولم يشتبه عليه ; فقد صارت له طريق إلى البراءة من إثمه وعقوبته بأن يغيره بيديه أو بلسانه , فإن عجز فليكرهه بقلبه . وقوله صلى الله عليه وسلم : ( ولكن من رضي وتابع ) معناه : لكن الإثم والعقوبة على من رضي وتابع . وفيه : دليل على أن من عجز عن إزالة المنكر لا يأثم بمجرد السكوت . بل إنما يأثم بالرضى به , أو بألا يكرهه بقلبه أو بالمتابعة عليه . وأما قوله : ( أفلا نقاتلهم ؟ قال : لا , ما صلوا ) ففيه معنى ما سبق أنه لا يجوز الخروج على الخلفاء بمجرد الظلم أو الفسق ما لم يغيروا شيئا من قواعد الإسلام .
“Sabda Nabi saw, “(Satukuunu umaraaun fa ta’rifuuna wa tunkiruun faman ‘arifa faqad bari`a wa man ankara salima, wa lakin man radliya wa taaba’a, qaaluu: afalaa nuqaatiluhum? Qaala : Laa…ma shalluu)”, hadits ini, di dalamnya terkandung mukjizat yang sangat nyata mengenai informasi yang akan terjadi di masa mendatang, dan hal ini telah terjadi sebagaimana yang dikabarkan oleh Nabi saw. Adapun sabda Rasulullah saw, “(faman ‘arafa faqad bari`a) dan dalam riwayat lain dituturkan, “(faman kariha faqad bari`a). Adapun riwayat dari orang yang meriwayatkan, “(faman kariha faqad bari`a), maka hal ini sudah sangat jelas. Maknanya adalah, ”Siapa saja yang membenci kemungkaran tersebut, maka terlepaslah dosa dan siksanya. Ini hanya berlaku bagi orang yang tidak mampu mengingkari dengan tangan dan lisannya, lalu ia mengingkari kemungkaran itu dengan hati. Dengan demikian, ia telah terbebas (dari dosa dan siksa). Adapun orang yang meriwayatkan dengan redaksi ”(faman ’arafa bari`a), maknanya adalah –Allah swt yang lebih Mengetahui--, ”Siapa saja yang menyaksikan kemungkaran, kemudian ia tidak mengikutinya, maka ia akan mendapat jalan untuk terlepas dari dosa dan siksanya dengan cara mengubah kemungkaran itu dengan tangan dan lisannya. Dan jika tidak mampu, hendaknya ia mengingkari kemungkaran itu dengan hatinya. Sedangkan sabda beliau, ”(walakin man radliya wa taaba’a)”, maknanya adalah, akan tetapi, dosa dan siksa akan dijatuhkan kepada orang yang meridloi dan mengikuti. Hadits ini merupakan dalil, bahwa orang yang tidak mampu melenyapkan kemungkaran tidak akan berdosa meskipun hanya sukut (mengingkari kemungkaran dengan diam). Namun, ia berdosa jika ridlo dengan kemungkaran itu, atau jika tidak membenci kemungkaran itu, atau malah mengikutinya. Adapun sabda Rasulullah saw, ”(Afalaa nuqaatiluhum? Qaala ” Laa, maa shalluu), di dalamnya terkandung makna sebagaimana disebutkan sebelumnya, yakni tidak boleh memisahkan diri dari para khalifah, jika sekedar dzalim dan fasik, dan selama mereka tidak mengubah salah satu dari sendi-sendi Islam”.
Dalam hadits 'Auf bin Malik yang diriwayatkan Imam Muslim, juga diceritakan:

قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ
"Ditanyakan,”Ya Rasulullah, mengapa kita tidak memerangi mereka dengan pedang?!' Lalu dijawab, ”Tidak, selama di tengah kalian masih ditegakkan shalat.” [HR. Imam Muslim]
Dalam riwayat lain, mereka berkata:

قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا
"Kami bertanya, 'Ya Rasulullah, mengapa kita tidak mengumumkan perang terhadap mereka ketika itu?!' Beliau menjawab, 'Tidak, selama mereka masih sholat.”
Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari 'Ubadah bin Shamit, bahwasanya dia berkata:

دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
"Nabi SAW mengundang kami, lalu kami mengucapkan baiat kepada beliau dalam segala sesuatu yang diwajibkan kepada kami bahwa kami berbaiat kepada beliau untuk selalu mendengarkan dan taat [kepada Allah dan Rasul-Nya], baik dalam kesenangan dan kebencian kami, kesulitan dan kemudahan kami dan beliau juga menandaskan kepada kami untuk tidak mencabut suatu urusan dari ahlinya kecuali jika kalian (kita) melihat kekufuran secara nyata [dan] memiliki bukti yang kuat dari Allah."[HR. Bukhari]
Hadits-hadits ini telah mengecualikan larangan untuk memisahkan diri dan memerangi penguasa dengan pedang pada satu kondisi, yakni ”kekufuran yang nyata”. Artinya, jika seorang penguasa telah melakukan kekufuran yang nyata, maka kaum Mukmin wajib melepaskan ketaatan dari dan diperbolehkan memerangi mereka dengan pedang.
Al-Hafidz Ibnu Hajar, tatkala mengomentari hadits-hadits di atas menyatakan, jika kekufuran penguasa bisa dibuktikan dengan ayat-ayat, nash-nash, atau berita shahih yang tidak memerlukan takwil lagi, maka seorang wajib memisahkan diri darinya. Akan tetapi, jika bukti-bukti kekufurannya masih samar dan masih memerlukan takwil, seseorang tetap tidak boleh memisahkan diri dari penguasa.
Imam al-Khathabiy menyatakan; yang dimaksud dengan "kufran bawahan" (kekufuran yang nyata) adalah "kufran dzaahiran baadiyan" (kekufuran yang nyata dan terang benderang)
'Abdul Qadim Zallum, dalam Nidzam al-Hukmi fi al-Islaam, menyatakan, bahwa maksud dari sabda Rasulullah saw "selama mereka masih mengerjakan sholat", adalah selama mereka masih memerintah dengan Islam; yakni menerapkan hukum-hukum Islam, bukan hanya mengerjakan sholat belaka. Ungkapan semacam ini termasuk dalam majaz ithlaaq al-juz`iy wa iradaat al-kulli (disebutkan sebagian namun yang dimaksud adalah keseluruhan).
Masih menurut 'Abdul Qadim Zallum, riwayat yang dituturkan oleh 'Auf bin Malik, Ummu Salamah, dan 'Ubadah bin Shamit, seluruhnya berbicara tentang khuruj 'ala al-imaam (memisahkan diri dari imam), yakni larangan memisahkan diri dari imam. Ini termaktub dengan jelas pada redaksi hadits: " Para shahabat bertanya, "Tidaklah kita perangi mereka?" Beliau bersabda, "Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat" Jawab Rasul.” [HR. Imam Muslim]. Dengan demikian, hadits ini merupakan larangan bagi kaum Muslim untuk memisahkan diri dari penguasa, meskipun ia terkenal fasiq dan dzalim.
Masih menurut 'Abdul Qadim Zallum; akan tetapi, larangan memisahkan diri dari penguasa telah dikecualikan oleh potongan kalimat berikutnya, yakni," kecuali jika kalian (kita) melihat kekufuran secara nyata dan memiliki bukti yang kuat dari Allah."[HR. Bukhari]. Ini menunjukkan, bahwa seorang Muslim wajib memisahkan diri dari penguasa, bahkan boleh memerangi mereka dengan pedang, jika telah terbukti dengan nyata dan pasti, bahwa penguasa tersebut telah terjatuh ke dalam "kekufuran yang nyata."
Bukti-bukti yang membolehkan kaum Muslim memerangi khalifah haruslah bukti yang menyakinkan (qath'iy). Ini didasarkan pada kenyataan, bahwa kekufuran adalah lawan keimanan. Jika keimanan harus didasarkan pada bukti-bukti yang menyakinkan (qath'iy), demikian juga mengenai kekufuran. Kekufuran harus bisa dibuktikan berdasarkan bukti maupun fakta yang pasti, tidak samar, dan tidak memerlukan takwil lagi. Misalnya, jika seorang penguasa telah murtad dari Islam, atau mengubah sendi-sendi 'aqidah dan syariat Islam berdasarkan bukti yang menyakinkan, maka ia tidak boleh ditaati, dan wajib diperangi. Sebaliknya, jika bukti-bukti kekufurannya tidak pasti, samar, dan masih mengandung takwil, seorang Muslim tidak diperkenankan mengangkat pedang di hadapannya.
Imam Nawawiy, di dalam Syarah Shahih Muslim menyatakan;

قال القاضي عياض : أجمع العلماء على أن الإمامة لا تنعقد لكافر , وعلى أنه لو طرأ عليه الكفر انعزل , قال : وكذا لو ترك إقامة الصلوات والدعاء إليها , ..... قال القاضي : فلو طرأ عليه كفر وتغيير للشرع أو بدعة خرج عن حكم الولاية , وسقطت طاعته , ووجب على المسلمين القيام عليه , وخلعه ونصب إمام عادل إن أمكنهم ذلك.
Imam Qadliy ‘Iyadl menyatakan, “Para ulama telah sepakat bahwa imamah tidak sah diberikan kepada orang kafir. Mereka juga sepakat, seandainya seorang penguasa terjatuh ke dalam kekafiran, maka ia wajib dimakzulkan. Beliau juga berpendapat, “Demikian juga jika seorang penguasa meninggalkan penegakkan sholat dan seruan untuk sholat…Imam Qadliy ’Iyadl berkata, ”Seandainya seorang penguasa terjatuh ke dalam kekufuran dan mengubah syariat, atau terjatuh dalam bid’ah yang mengeluarkan dari hukm al-wilayah (tidak sah lagi mengurusi urusan pemerintahan), maka terputuslah ketaatan kepadanya, dan wajib atas kaum Muslim untuk memeranginya, memakzulkannya, dan mengangkat seorang imam adil, jika hal itu memungkinkan bagi mereka”.
Patut dicatat, kewajiban memerangi penguasa yang telah terjatuh ke dalam “kekufuran yang nyata” berlaku bagi penguasa yang sebelumnya menerapkan sistem Islam, kemudian ia mengubahnya menjadi sistem kufur. Pada saat itu, umat Islam harus mencegah tindakan tersebut sekalipun dengan mengangkat senjata. Sedangkan apabila penguasa itu sejak awal menerapkan sistem kufur, maka tindakan yang dilakukan terhadapnya tidak dengan mengangkat senjata. Namun, melalui aktivitas dakwah yang mengikuti thariqah dakwah Rasulullah saw dalam mengubah masyarakat kufur menjadi masyarakat Islam. Dan thariqah dakwah Rasulullah saw dalam mengubah masyarakat kufur menjadi masyarakat Islam tidak menggunakan kekerasan dan senjata. Beliau saw melakukan pembinaan (tatsqif), berinteraksi dengan umat (tafaa’ul ma’a al-ummah), dan pengambilalihan kekuasaan (istilaam al-hukm).

Status Penguasa Dalam Sistem Kufur
Para ulama telah sepakat; seorang Muslim wajib memisahkan diri dari penguasa yang telah terjatuh kepada kekufuran yang nyata, berdasarkan hadits-hadits shahih di atas. Mereka juga sepakat mengenai bolehnya memerangi penguasa yang telah terjatuh kepada kekufuran yang nyata. Di dalam Syarh an-Nawawi ‘alaa Shahiih Muslim, dijelaskan sebagai berikut," al-Qaadhi ‘Iyaadh berkata, "Para ulama’ telah sepakat, bahwa jabatan imamah tidak boleh diserahkan kepada orang kafir, kalau tiba-tiba kekufuran itu menimpa dirinya. Dalam kondisi semacam ini ia wajib dipecat. Beliau berkata," Ketentuan ini juga berlaku jika ia meninggalkan penegakkan sholat dan dakwah untuk mendirikan sholat. Lalu, Imam Nawawi berkata," al-Qaadhi berkata," "Seandainya khalifah terjatuh ke dalam kekufuran, atau mengubah syariat, atau melakukan bid'ah yang bisa mengeluarkan dirinya dari jabatan kepala negara; maka ia tidak wajib ditaati. Kaum Muslim wajib mengangkat senjata, mencopotnya, dan mengangkat imam adil yang baru, jika mereka mampu melakukan hal itu.".
Pertanyaannya, kapan seorang penguasa dianggap telah terjatuh kepada ”kekufuran yang nyata”, sehingga kaum Muslim harus melepaskan ketaatan kepada mereka?
Dr. Mohammad Khair Haekal menyatakan; penguasa dianggap telah terjatuh kepada kekufuran yang nyata, jika ia berada dalam kondisi-kondisi berikut ini;
1. Kekufuran nyata yang terjadi pada diri penguasa itu sendiri. Para ulama berpendapat mengenai wajibnya "munaza'ah" (merebut kekuasaan) dari penguasa yang telah keluar dari Islam . Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari ‘Ubadah bin Shaamit ra, bahwasanya ia berkata;


دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
"Nabi SAW mengundang kami, lalu kami mengucapkan baiat kepada beliau dalam segala sesuatu yang diwajibkan kepada kami bahwa kami berbaiat kepada beliau untuk selalu mendengarkan dan taat [kepada Allah dan Rasul-Nya], baik dalam kesenangan dan kebencian kami, kesulitan dan kemudahan kami dan beliau juga menandaskan kepada kami untuk tidak mencabut suatu urusan dari ahlinya kecuali jika kalian (kita) melihat kekufuran secara nyata [dan] memiliki bukti yang kuat dari Allah."[HR. Bukhari dan Muslim]
2. Kekufuran nyata yang terjadi pada individu-individu kaum Muslim karena kemurtadan mereka dari Islam, namun hal ini tidak diingkari atau dicegah oleh penguasa. Ketentuan ini didasarkan pada riwayat-riwayat yang bertutur wajibnya merebut kekuasaan ketika telah terjadi kekufuran yang nyata pada individu-individu kaum Muslim, dan penguasa tidak mengingkari kekufuran ini. Menurut Dr. Mohammad Khair Haekal, kekufuran tersebut tidak dibatasi hanya kepada penguasa saja atau selain penguasa. Hadits-hadits itu hanya ditaqyiid (dibatasi) dengan kata "bawahan" (nyata) belaka; yakni kekufuran tersebut terjadi secara terang-terangan, telah tersebar luas, dan sudah tidak bisa diingkari lagi.
3. Kekufuran nyata yang berasal dari sistem pemerintahannya, yakni, ketika penguasa tersebut menegakkan sistem pemerintahan di atas aqidah kufur, walaupun penguasa itu belum dianggap kafir. Ketentuan ini didasarkan pada riwayat-riwayat yang menuturkan wajibnya merebut kekuasaan dari penguasa jika telah tampak kekufuran yang nyata. Frase "kekufuran nyata" yang terdapat di dalam nash-nash tersebut tidak hanya diterapkan kepada penguasa yang jatuh kepada kekufuran maupun kepada selain penguasa; akan tetapi juga bisa diberlakukan pada sistem pemerintahan yang ditegakkan di atas aqidah kufur, misalnya atheisme maupun sekulerisme; dan selanjutnya, sistem ini dipaksakan dan diberlakukan di tengah-tengah masyarakat.
Oleh karena itu, jika seorang penguasa memerintahkan rakyatnya melakukan kemaksiyatan, namun selama sistem aturannya menganggap kemaksiyatan itu sebagai tindak penyimpangan terhadap aturan, maka dalam kondisi semacam ini belum terwujud apa yang disebut dengan "kekufuran yang nyata", baik pada penguasa maupun sistem pemerintahannya. Namun, bila kemaksiyatan yang dilakukannya berpijak kepada sistem aturan yang justru melegalkan dan mensahkan tindak kemaksiyatan tersebut, misalnya, karena sistem aturannya dibangun berdasarkan sekulerisme--, maka kemaksiyatan semacam ini dianggap sebagai "kekufuran yang nyata" .

Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan Dr. Mohammad Khair Haekal di atas dapatlah disimpulkan bahwa penguasa-penguasa yang menjadikan aqidah kufur sebagai asas negara –semacam demokrasi dan sekulerisme--, serta menerapkan aturan-aturan kufur telah terjatuh kepada tindak ”kekufuran yang nyata” (kufran shurahan), walaupun secara individu mereka masih mengerjakan sholat. Begitu pula jika mereka tidak lagi menyeru rakyat untuk menegakkan sholat dengan cara menegakkan sanksi bagi orang yang tidak mengerjakan sholat; atau jika mereka sudah mengubah salah satu sendi dari Islam; maka dalam kondisi semacam ini mereka tidak boleh ditaati, bahkan kaum Muslim wajib memisahkan diri dari mereka dan memakzulkan mereka jika memungkinkan.
Pendapat ini sejalan dengan penjelasan Imam Syaukaniy ketika menafsirkan firman Allah swt, surat An Nisa’ ayat 59;

“وأولي الأمر هم : الأئمة ، والسلاطين ، والقضاة ، وكل من كانت له ولاية شرعية لا ولاية طاغوتية”
“Ulil amriy adalah para imam, sultan, qadliy, dan setiap orang yang memiliki kekuasaan syar’iyyah bukan kekuasaan thaghutiyyah ”.
Walhasil, penguasa-penguasa di negeri-negeri kaum Muslim saat ini telah terjatuh ke dalam kekufuran yang nyata. Kaum Muslim wajib memisahkan diri dari mereka, tidak memberikan ketaatan kepada mereka, dan dengan sekuat tenaga berjuang untuk mengganti system kufur tersebut menjadi system Islam. Inilah pendapat yang lurus, suci, dan dipegang oleh para ulama-ulama wara’.
Sayangnya, ketentuan semacam ini telah dikaburkan dan diselewengkan oleh ulama-ulama salatin yang rela berkhianat terhadap umat Islam untuk melanggengkan eksistensi penguasa dan pemerintahan kufur melalui fatwa-fatwa culas dan penuh dengan pengkhianatan. Ulama-ulama ini tidak segan-segan dan malu-malu menyerukan kepada umat Islam agar mereka tetap mentaati penguasa-penguasa sekarang, padahal para penguasa itu telah terjatuh ke dalam “kekufuran yang nyata”. Wallahu al-Haadiy al-Muwaffiq ila Aqwaam al-Thaariq. (Syamsuddin Ramadhan).
Top of Form
TAKHIRJ HADITS RIWAYAT IMAM AHMAD : KHILAFAH 'ALA MINHAJ AN-NUBUWWAH
oleh Syamsuddin Ramadhan pada 26 Juli 2010 pukul 18:19
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ الطَّيَالِسِيُّ حَدَّثَنِي دَاوُدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْوَاسِطِيُّ حَدَّثَنِي حَبِيبُ بْنُ سَالِمٍ عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ كُنَّا قُعُودًا فِي الْمَسْجِدِ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ بَشِيرٌ رَجُلًا يَكُفُّ حَدِيثَهُ فَجَاءَ أَبُو ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِيُّ فَقَالَ يَا بَشِيرُ بْنَ سَعْدٍ أَتَحْفَظُ حَدِيثَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْأُمَرَاءِ فَقَالَ حُذَيْفَةُ أَنَا أَحْفَظُ خُطْبَتَهُ فَجَلَسَ أَبُو ثَعْلَبَةَ فَقَالَ حُذَيْفَةُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ (رَوَاهُ اَحْمَدُ)
Imam Ahmad berkata, "Sulaiman bin Dawud al-Thayaalisiy telah meriwayatkan sebuah hadits kepada kami; di mana ia berkata, "Dawud bin Ibrahim al-Wasithiy telah menuturkan hadits kepadaku (Sulaiman bin Dawud al-Thayalisiy). Dan Dawud bin Ibrahim berkata, "Habib bin Salim telah meriwayatkan sebuah hadits dari Nu'man bin Basyir; dimana ia berkata, "Kami sedang duduk di dalam Masjid bersama Nabi saw, --Basyir sendiri adalah seorang laki-laki yang suka mengumpulkan hadits Nabi saw. Lalu, datanglah Abu Tsa'labah al-Khusyaniy seraya berkata, "Wahai Basyir bin Sa'ad, apakah kamu hafal hadits Nabi saw yang berbicara tentang para pemimpin? Hudzaifah menjawab, "Saya hafal khuthbah Nabi saw." Hudzaifah berkata, "Nabi saw bersabda, "Akan datang kepada kalian masa kenabian, dan atas kehendak Allah masa itu akan datang. Kemudian, Allah akan menghapusnya, jika Ia berkehendak menghapusnya. Setelah itu, akan datang masa Kekhilafahan 'ala Minhaaj al-Nubuwwah; dan atas kehendak Allah masa itu akan datang. Lalu, Allah menghapusnya jika Ia berkehendak menghapusnya. Setelah itu, akan datang kepada kalian, masa raja menggigit (raja yang dzalim), dan atas kehendak Allah masa itu akan datang. Lalu, Allah menghapusnya, jika Ia berkehendak menghapusnya. Setelah itu, akan datang masa raja dictator (pemaksa); dan atas kehendak Allah masa itu akan datang; lalu Allah akan menghapusnya jika berkehendak menghapusnya. Kemudian, datanglah masa Khilafah 'ala Minhaaj al-Nubuwwah (Khilafah yang berjalan di atas kenabian). Setelah itu, beliau diam".[HR. Imam Ahmad]

Takhrij Hadits
Hadits ini bersumber dari Musnad Imam Ahmad, hadits no.17680, dan hanya Imam Ahmad bin Hanbal sendiri yang meriwayatkan hadits ini (infarada Imam Ahmad bin Hanbal). Riwayat ini termasuk hadits marfu' (bersambung hingga Rasulullah saw). Adapun perawi hadits ini adalah sebagai berikut.
Sulaiman bin Dawud al-Thayaalisiy. Nama beliau adalah Sulaiman bin Dawud al-Jaarud. Beliau adalah seorang tabi'ut tabi'iy kecil (shugra min al-atbaa'). Nasabnya adalah al-Thayaalisiy. Kunyahnya adalah Abu Dawud. Beliau tinggal di kota Bashrah dan meninggal di kota yang sama pada tahun 204 Hijriyah. Guru-gurunya adalah Aban bin Yazid, Ibrahim bin Sa'ad bin Ibrahim bin 'Abdurrahman bin 'Auf, Abu Bakar bin 'Isyasy bin Salim, Ishaq bin Sa'id bin 'Aman bin Sa'id bin al-'Ash, Israil bin Yunus bin Abi Ishaq, Ismail bin Ja'far bin Abi Katsir, Asy'ats bin Said, Bustham bin Muslim bin Numair, Tsabit bin Yazid, Jarir, bin Hazm bin Zaid, Habib bin Abu Habib Yazid, Harb bin Syaddad, Huraisy bin Salim, Al-Hasan bin Abi Ja'far 'Ijlaan, al-Hakam bin 'Athiyyah, Himad bin Salamah bin Dinar, Humaid bin Abi Humaid Mahran, Kharijah bin Mush'ab bin Kharijah, Khalid bin Dinar, Dawud bin Abi al-Farat 'Amru bin al-Farat, Dawud bin Qais, Rubbah bin 'Ubadah bin al-'Ilaa`, Zaidah bin Qudamah, Zum'ah bin Shalih, Dawud bin Ibrahim, Zuhair bin Mohammad, dan lain-lain.
Murid-murid yang meriwayatkan hadits darinya adalah, Ahmad bin Ibrahim bin Katsir, Ahmad bin 'Abdullah bin 'Ali bin Suwaid bin Manjuf, Ahmad bin 'Ubadah bin Musa, Ahmad bin Mohammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad, Ishaq bin Manshur bin Bahram, Hujjaj bin Yusuf bin al-Hujjaj, Al-Hasan bin 'Ali bin Mohammad, Khalifah bin Khiyaath bin Khalifah bin Khiyaath, dan lain sebagainya.
Menurut Ibnu Mahdi, beliau adalah manusia paling terpercaya (ashdaaq al-naas). Ahmad bin Hanbal mengatakan, "Dia tsiqqah dan terpercaya (tsiqqah mashduuq). Yahya bin Mu'in mengomentari dirinya dengan "shaduuq" (orang yang paling terpercaya). Ali al-Madaniy mengatakan, "Aku tidak pernah melihat seorang pun yang paling kuat hafalannya dibandingkan dirinya". Amru bin Fallas menyatakan, "Aku tidak pernah melihat ahli hadits yang lebih hafal dibandingkan dirinya". Al-'Ajalaniy berkata, "Dia tsiqqah dan banyak hafalannya".
Dawud bin Ibrahim al-Waasithiy. Nama beliau adalah Dawud bin Ibrahim. Nasabnya adalah al-Wasithiy. Beliau termasuk tabi'iy kecil; dan wafat di kota Bashrah. Murid beliau adalah Sulaiman bin Dawud al-Thayaalisiy, dan ia berguru kepada Habib bin Salim. Para ahli hadits menyatakan bahwa ia adalah tsiqqah (kepercayaan).
Habib bin Salim. Nama beliau adalah Habib bin Salim al-Anshoriy. Beliau termasuk tabi'iy tengah. Nasab beliau adalah al-Anshoriy. Hadits beliau tidak menjadi masalah untuk diambil. Ibnu Hibban menganggapnya tsiqqah. Abu Hatim al-Raziy dan Abu Dawud al-Sajastaniy mengatakan, "Dia tsiqqah". Imam Bukhari mengatakan, "Fiihi nadzar" (haditsnya perlu diteliti). Ibnu 'Adiy mengatakan, "Hadits yang diriwayatkan darinya ada idldlirab di sanad-sanadnya".
Nu'man bin Basyir bin Sa'ad. Nama beliau adalah Nu'man bin Basyir bin Sa'ad. Nasabnya adalah al-Anshoriy al-Khazrajiy. Nama kunyahnya adalah Abu 'Abdullah. Beliau tinggal di Kufah dan meninggal di kota Halwan pada tahun 65 Hijriyyah. Beliau adalah seorang shahabat yang keadilannya tidak perlu dipertanyakan lagi. Murid-murid beliau, diantaranya adalah, Azhar bin 'Abdullah bin Jami', Habib bin Salim, al-Hasan bin Ali al-Hasan Yasar, al-Husain bin al-Harits, Humaid bin 'Abdurrahman bin 'Auf, Haitsamah bin 'Abdurrahman bin Abi Sabrah, Rabi'ah bin Yazid, Sammaak bin Harb bin Aus, Al-Dlahak bin Qais bin Khalid al-Akbar bin Wahab, dan lain-lain.

Kesimpulan
Hadits di atas adalah hadits marfu' yang diriwayatkan oleh perawi-perawi yang tsiqqah. Oleh karena itu, hadits di atas maqbul, alias absah dijadikan hujjah. Adapun penilaian Imam Bukhari terhadap Habib bin Salim, sesungguhnya tidak menggugurkan penilaian-penilaian ahli hadits yang lain terhadap Habib bin Salim. Meskipun Imam Bukhari tidak memasukkan riwayat ini di dalam kitab shahihnya, akan tetapi ulama-ulama hadits lain menganggapnya shahih, dan menilai Habib bin Salim sebagai perawi yang tsiqqah. Atas dasar itu, jika kita mengikuti penilaian Ibnu Hibban, dan muhadditsiin lain yang menganggap tsiqqah Habib bin Salim, maka hadits di atas adalah hadits shahih yang layak dijadikan dalil istinbath tanpa ada keraguan sedikitpun. Hadits ini didukung sekitar delapan hadits lain, dengan makna yang sama. Seperti masuknya Islam ke setiap rumah, al-waraq al-mu’allaq, turunnya Khilafah di al-Quds, dan sebagainya. Makna hadits kembalinya Khilafah ‘ala Minhaj Nubuwwah ini diriwayatkan oleh 25 sahabat, yang kemudian diriwayatkan oleh 39 tabiin, lalu diriwayatkan oleh 62 tabiit tabiin. Ini menunjukkan bahwa, hadits tentang bisyarah (khabar gembira) akan tegaknya Khilafah 'Ala Minhaj An Nubuwwah termasuk hadits mutawatir bil makna.
Hanya saja, tegaknya Khilafah 'Ala Minhaaj al-Nubuwwah menyertakan peran dan andil dari kaum Muslim, bukan semata-mata hanya andil dari Allah swt. Untuk itu, kaum Muslim wajib merencanakan dan berjuang dengan sungguh-sungguh untuk menegakkan dan mewujudkan kembali Khilafah Islamiyyah ini. Ia dilarang menunggu-nunggu tegaknya Khilafah Islaamiyyah tanpa melakukan tindakan apapun, dengan alasan berdirinya khilafah merupakan taqdir dan qadla'nya Allah swt. Oleh karena itu, seandainya hadits ini tidak ada, atau dianggap tidak layak dijadikan dalil, sesungguhnya kaum Muslim tetap diperintahkan untuk menegakkan Khilafah Islamiyyah hingga datangnya hari kiamat. Mereka dilarang hidup tanpa keberadaan seorang Khalifah yang mengatur urusan mereka dengan syariat Allah swt. Sesungguhnya, yang diwajibkan syariat atas kaum Muslim adalah menegakkan Khilafah al-Islamiyyah tanpa memperhatikan lagi apakah Khilafah Islamiyyah bisa berdiri kembali atau tidak dalam prerograsi Allah. Hanya saja, seorang Muslim wajib menyakini dan mengimani apa yang telah dijanjikan Allah swt kepada mereka; yakni, jika mereka bersungguh-sungguh dan sabar dalam menolong agama Allah, niscaya Allah akan menolong mereka dan meneguhkan kedudukan mereka. Allah swt berfirman;
"Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu".[TQS Mohammad (47):7]
Top of Form
LANJUTAN: TANGGAPAN BALIK ATAS TANGGAPAN RAPUH
oleh Syamsuddin Ramadhan pada 24 Juli 2010 pukul 9:14
HTI: c. Ada perintah dari Rasulullah saw untuk mengoreksi (muhasabah) penguasa hingga taraf memerangi penguasa yang melakukan kekufuran yang nyata (kufran bawahan). Nabi saw memerintahkan para shahabat untuk mengoreksi penguasa dengan pedang, jika telah tampak kekufuran yang nyata. Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Ubadah bin Shamit, bahwasanya dia berkata:
دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
“Nabi SAW mengundang kami, lalu kami mengucapkan baiat kepada beliau dalam segala sesuatu yang diwajibkan kepada kami bahwa kami berbaiat kepada beliau untu selalu mendengarkan dan taat [kepada Allah dan Rasul-Nya], baik dalam kesenangan dan kebencian kami, kesulitan dan kemudahan kami dan beliau juga menandaskan kepada kami untuk tidak mencabut suatu urusan dari ahlinya kecuali jika kalian (kita) melihat kekufuran secara nyata [dan] memiliki bukti yang kuat dari Allah.”[HR. Imam Bukhari]
Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا
“Akan datang para penguasa, lalu kalian akan mengetahui kemakrufan dan kemungkarannya, maka siapa saja yang membencinya akan bebas (dari dosa), dan siapa saja yang mengingkarinya dia akan selamat, tapi siapa saja yang rela dan mengikutinya (dia akan celaka)”. Para shahabat bertanya, “Tidaklah kita perangi mereka?” Beliau bersabda, “Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat” Jawab Rasul.” [HR. Imam Muslim]

Tatkala berkomentar terhadap hadits ini, Imam Nawawi, dalam Syarah Shahih Muslim menyatakan, “Di dalam hadits ini terkandung mukjizat nyata mengenai kejadian yang akan terjadi di masa depan, dan hal ini telah terjadi sebagaimana yang telah dikabarkan oleh Rasulullah saw….Sedangkan makna dari fragmen, “”Tidaklah kita perangi mereka?” Beliau bersabda, “Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat,” jawab Rasul; adalah ketidakbolehan memisahkan diri dari para khalifah, jika mereka sekedar melakukan kedzaliman dan kefasikan, dan selama mereka tidak mengubah satupun sendi-sendi dasar Islam.”
Hadits di atas menunjukkan bahwa dalam kondisi-kondisi tertentu seorang Muslim wajib mengoreksi penguasa dengan terang-terangan bahkan dengan pedang, jika para penguasanya melakukan kekufuran yang nyata. Hadits-hadits di atas juga menjelaskan bahwa seorang Muslim wajib memisahkan diri dari penguasa-penguasa yang melakukan kekufuran yang nyata. Selain itu, riwayat di atas juga menunjukkan bahwa menasehati penguasa boleh dilakukan dengan pedang, jika penguasa tersebut telah menampakkan kekufuran yang nyata. Lalu, bagaimana bisa dinyatakan bahwa menasehati penguasa harus dilakukan dengan sembunyi-sembunyi (empat mata) dan tidak boleh dilakukan dengan terang-terangan?
Tanggapan: Hadits itu berbicara mengenai mengganti hakim yang telah kafir dan keluar dari islam dan tidak berbicara tentang cara menasehati penguasa, dan yang kita fahami dari perkataan An Nawawi yang antum bawakan bahwa hakim yang melakukan kezaliman dan kefasiqan maka kita dilarang membangkang dari penguasa seperti itu, tidak pula menasehatinya secara terang-terangan.. dan berhukum dengan hukum selain Allah bukanlah perkara yang membuat pelakunya keluar dari millah islam secara mutlak sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama. Oleh karena itu tidak ada satupun ulama yang memahami dari hadits di atas bolehnya menasehati penguasa secara terangan-terangan, dan yang antum katakan itu berasal dari kantong antum sendiri..
Tanggapan Balik:
Kesimpulan antum itu dikarenakan antum tidak melihat keseluruhan 2 hadits yang ana ketengahkan. Pada hadits kedua yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan kata "wa man ankara salima.." Mengingkari penguasa yang tersebut dalam hadits di atas bisa saja dilakukan dengan hati, perbuatan, dan perkataan. Hadits di atas berlaku untuk para penguasa yang masih menegakkan system Islam, dan menjalankan syariat Islam sebagai aturan yang
Ana juga setuju bahwa kita tidak boleh menghukumi kafir orang yang menyimpang dari syariat, atau menerapkan hukum kufur. Semua harus dikembalikan kepada i'tiqadnya atas perbuatan menyimpang itu. Jika ia menerapkan hukum kufur itu atas pengetahuannya dan disertai dengan keyakinan, maka ia telah kafir. Sebaliknya, jika tidak disertai i'tiqad maka dia tidak boleh dihukumi kafir. Ya akh, tolong antum jawab, apa hukum penguasa yang berkata dengan terang-terangan bahwa mereka menyakini kebenaran demokrasi, sekulerisme, dan nasionalisme, bahkan bersumpah untuk membela dan mempertahankan system taghut, bekerjasama dengan orang-orang kafir bahkan rela membunuhi saudara-saudara Mukminnya?
HTI: d. Realitas muhasabah yang dilakukan oleh para shahabat ra terhadap para penguasa. Apabila kita meneliti secara jernih dan mendalam realitas muhasabah hukam yang dilakukan oleh shahabat ra, dapatlah disimpulkan bahwa mereka melakukan muhasabah dengan berbagai macam cara, tidak dengan satu cara saja.
Tanggapan: Sekali lagi, jangan terlalu gegabah mengambil kesimpulan hanya karena kisah yang antum bawakan itu kebetulan sesuai dengan hawa nafsu, kewajiban kita adalah melihat keadaan suatu kisah dan menimbangnya dengan dalil, agar kita dapat memahaminya dengan benar..
Tanggapan Balik:
Berdasarkan hawa nafsu? Lalu apakah antum tidak melihat bagaimana tatacara shahabat mengoreksi penguasa saat itu, dan juga yang dilakukan oleh para ulama salafush shalih?
HTI: Riwayat-riwayat berikut ini menjelaskan kepada kita bagaimana cara-cara muhasabah yang mereka lakukan.
• Di dalam Kitab Al Bidayah wa An Nihayah, juz 8, hal. 217, disebutkan bahwasanya Imam Al Huda al-Husain bin ‘Ali ra, pemimpin pemuda ahlul jannah, memisahkan diri (khuruj) dari penguasa fajir Khalifah Yazid bin Mu’awiyyah. Imam Husain ra dibai’at oleh penduduk Kufah pada tahun 61 H. Beliau ra juga mengutus anak pamannya, Muslim bin ‘Aqil ra untuk mengambil bai’at penduduk Kufah untuk dirinya. Dan tidak kurang 18 ribu orang membai’at dirinya. Dan di dalam sejarah, tak seorang pun menyatakan bahwa Imam Husain ra dan penduduk Kufah pada saat itu termasuk firqah (kelompok) yang sesat )”.[Al Bidayah wa An Nihayah, juz 8/217] Inilah cara yang dilakukan oleh Imam Husain bin ‘Ali ra untuk mengoreksi (muhasabah) kepemimpinan Yazid bin Mu’awiyyah.
Tanggapan: Aneh, mengapa antum tidak membawakan juga pengingkaran para shahabat terhadap perbuatan Husain tsb, padahal ibnu Katsir dalam Al Bidayah wan Nihayah menyebutkan shahabat-shahabat yang mengingkari Husain, yaitu Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Abu Sa’id Al Khudri, Jabir bin Abdillah, Abu Waqid Al laitsi (Al Bidayah wan Nihayah 8/163 cet Maktanah Al Ma’arif) juga pengingkaran kibar tabi’in terhadap Husain seperti Sa’id bin Musayyib dan Abu Salamah bin Abdurrahman.. dan bukankah dalam kisah yang dikisahkan oleh ibnu Katsir menyebutkan bahwa Husain sebenarnya tertipu oleh Ahli Kufah yang meminta agar Husain datang kepada mereka..
Adapun perkataan antum bahwa tidak ada seorangpun menyatakan bahwa Al Husain termasuk firqah sesat, itu karena beliau melakukan perbuatan tersebut bukan karena mengikuti hawa nafsu namun karena ijtihad beliau yang salah, berbeda dengan kalian yang berusaha mencari-cari dalil yang sesuai dengan hawa nafsu.. yang seharusnya kewajiban kalian adalah mengikuti para ulama sunnah dalam masalah-masalah besar seperti ini..
Tanggapan Balik:
Tanggapan antum itu jelas menunjukkan bahwa antum tidak konsisten dalam berdalil. Di satu sisi antum mencela mengoreksi penguasa dengan terang2an, tapi, pada saat ana ketengahkan hujjah jaliyyah bagaimana shahabat besar mengoreksi khalifahnya dengan terang-terangan, namun antum malah membela perbuatan mereka dengan alasan ijtihadnya boleh salah ? Namun giliran ikhwan-ikhwan Hizbut Tahrir yang mengoreksi penguasa secara terang-terangan sama persis seperti yang dilakukan oleh shahabat-shahabat besar itu, antum bilangnya berdasarkan hawa nafsu! Padahal, apa yang dilakukan ikhwan-ikhwan Hizbut Tahrir adalah mencontoh perbuatan shahabat dan juga berdasarkan hujjah qawwiyah, bukan berdasarkan hawa nafsu seperti yang antum tuduhkan. Semoga Allah menunjukki antum dan membersihkan hati antum dari sifat-sifat keji seperti itu. . Pengingkaran Ibnu 'Abbas, dan lain-lain terhadap Husein bin Ali bukan karena apa yang dilakukan oleh Husein bin Ali itu berhukum haram –seperti pandangan antum yang mengharamkan muhasabah lil hukkam dengan terang2an)— namun dikarenakan Ibnu Abbas khawatir akan pengkhianatan penduduk Kufah. Seandainya mengoreksi penguasa dengan terang-terangan haram, niscaya Husein bin Ali rahmatullahi wa baarakatuhu 'alaih tidak akan keluar menuju Kufah. Jelas sudah, bahwa mengoreksi penguasa itu hukum asalnya disampaikan dengan terang-terangan!
HTI: • Sebelum Imam Husain bin ‘Ali ra, kaum Muslim juga menyaksikan Ummul Mukminin ‘Aisyah ra yang memimpin kaum Muslim untuk khuruj dari Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. Inilah cara Ummul Mukminin ‘Aisyah ra mengoreksi Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. Hingga akhirnya, meletuslah peperangan yang sangat besar dan terkenal dalam sejarah umat Islam, Perang Jamal.
Tanggapan: Ini juga kesalahan pemahaman antum, karena kepergian Aisyah sebagaimana yang diceritakan oleh Ibnu Katsir adalah untuk meminta agar para pembunuh Utsman di qishash, dan kepergian Aisyah ini telah diisyaratkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kesalahan perbuatannya, ibnu Katsir menuturkan: “mereka (pasukan Aisyah) melewati sebuah perkampungan yang bernama Hau-ab, lalu anjing-anjing di situ menggonggonginya, maka ketika Aisyah mendengar suara anjing itu, beliau bertanya: “Apa nama tempat ini? Mereka berkata: “Hau-ab”. Lalu Aisyah memukulkan salah satu tangannya kepada yang lainnya dan berkata: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raji’un, aku harus kembali”. Mereka berkata: “Mengapa?” Aisyah berkata: “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada istri-istrinya:
أَيَّتُكُنَّ تَنْبَحُ عَلَيْهَا كِلَابُ الْحَوْأَبِ
“Siapakah di antara kalian yang digonggongi oleh anjing-anjing Hau-ab”. (HR Ahmad).Kemudian Aisyah memukul lengan untanya agar duduk, beliau berkata: “Kembalikan aku! Kembalikan aku! Demi Allah ternyata aku yang digonggongi ajing-anjing Hau-ab.. (Al Bidayah wan Nihayah 7/231-232 cet. Maktabah Al Ma’arif).

Tanggapan Balik:
Wahai akhi, itulah yang disebut dengan muhasabah lil hukkam! Jelas bahwa 'Aisyah ra melakukan muhasabah dengan terang-terangan! Meminta agar penguasa menerapkan hukuman qishash atas pembunuh Utsman jelas-jelas merupakan tindakan mengoreksi penguasa. Pasalnya, 'Ali bin Abi Thalib ra menunda pelaksanaannya. Selain itu, jika perbuatan 'Aisyah ra tersebut bukan ditujukan untuk mengoreksi penguasa, niscaya ia tidak akan disertai oleh pasukan perang, hingga akhirnya meletus perang Jamal.
HTI: • Ketika Umar bin Khaththab ra berkhuthbah di hadapan kaum Muslim, setelah beliau diangkat menjadi Amirul Mukminin, beliau berkata, “Barangsiapa di antara kalian melihatku bengkok, maka hendaklah dia meluruskannya”. Seorang laki-laki Arab berdiri dan berkata, “Demi Allah wahai Umar, jika kami melihatmu bengkok, maka kami akan meluruskannya dengan tajamnya pedang kami”.
Tanggapan: sayangnya anda tidak membawakan sanad kisah tersebut, dan menelitinya apakah kisah tersebut shahih atau tidak. Kisah seperti ini kalaupun shahih, tidak bisa dijadikan hujjah, karena perbuatan laki-laki arab itu bertentangan dengan petunjuk Nabi dalam menasehati pemimpin, namun boleh jadi antum berkata: “Tetapi Umar tidak mengingkarinya”. Kita jawab: “Diamnya Umar boleh jadi karena si arab itu lelaki yang bodoh, sedangkan Allah menyuruh kita untuk berpaling dari orang yang bodoh, dan tidak membalasnya dengan kebodohan. Sebagaimana di sebutkan dalam kisah bahwa ‘Uyainah pernah berkata kepada Umar: “Wahai ibnul Khathab! Kamu tidak mau memberi kami banyak dan tidak pula menghukumi dengan adil, maka Umar marah namun diingatkan oleh Al Hurr dengan ayat yang menyuruh untuk berpaling dari orang-orang yang bodoh..(HR Bukhari).
Maka hikayat perbuatan seperti ini disebut dalam ushul fiqih sebagai waqa’iul a’yaan yang tidak bermakna umum.
Tanggapan Balik:
Antum bilang hal ini waqi'ul hayaan dan bertentangan dengan petunjuk Nabi dalam menasehati penguasa? Antum berkesimpulan seperti itu disebabkan karena antum punya pandangan bahwa muhasabah lil hukkam itu harus rahasia karena ada hadits yang menunjukkan. Padahal hadits itu lemah. Seandainya antum tidak berpandangan seperti itu, niscaya antum tidak akan mengetengahkan kesimpulan premature tersebut. Yang benar, hukum asal muhasabah lil hukkam itu dilakukan dengan terang-terangan, dan boleh dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Ketentuan seperti ini didasarkan pada dalil-dalil umum yang berbicara tentang menasehati penguasa. Adapun riwayat Imam Bukhari yang antum ketengahkan itu sama sekali tidak berhubungan dengan haramnya mengoreksi penguasa dengan terang-terangan. Sebab, bolehnya melakukan muhasabah lil hukkam baik dengan terang-terangan maupun sembunyi ditetapkan berdasarkan nash-nash umum. Contohnya adalah; perhatikan hadits dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Nabi bersabda, "Sesungguhnya Allah meridloi kalian tiga hal, dan membenci kepada kalian tiga hal. Allah swt meridloi kalian beribadah kepadaNya semata dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apapun; kalian berpegang teguh dengan tali Allah secara bersama-sama; dan kalian menasehati orang yang mengatur urusan kalian (penguasa). Dan Allah membenci untuk kalian, qiila wa qaala, terlalu banyak bertanya, dan menyia-nyiakan harta".[HR. Imam Bukhari dalam Adab al-Mufrad, dan Imam Muslim], dan masih banyak lagi.

Ana perlu terangkan lagi, bahwa perkataan dan perbuatan shahabat bukanlah dalil syariat. Yang wajib dijadikan dalil syariat adalah al-Quran, Sunnah, Ijma' Shahabat, dan Qiyas. Kisah itu menunjukkan para shahabat memahami bahwa mengoreksi penguasa itu boleh dilakukan secara terang-terangan atau rahasia, berdasarkan nash-nash umum, bukan karena yang lain. Dan kita diperkenankan taqlid kepada mereka dalam masalah hukum syariat yang mereka istinbathkan dari dalil umum. Apa yang dilakukan oleh Umar bin Khaththab ra tentu saja berdasarkan dalil, bukan karena hawa nafsu.
HTI: • Pada saat Umar bin Khaththab ra mengenakan baju dari kain Yaman yang di dapat dari harta ghanimah. Beliau ra kemudian berkhuthbah di hadapan para shahabat dengan baju itu, dan berkata, “Wahai manusia dengarlah dan taatilah…” Salman Al Farisi ra, seorang shahabat mulia berdiri seraya berkata kepadanya, “Kami tidak akan mendengar dan mentaatimu”. Umar berkata, “Mengapa demikian?” Salman menjawab, “Dari mana kamu mendapat pakaian itu, sedangkan kamu hanya mendapat satu kain, sedangkan kamu bertubuh tinggi? Beliau menjawab, “Jangan gesa-gesa, lalu beliau memanggil, “Wahai ‘Abdullah”. Namun tidak seorang pun menjawab. Lalu beliau ra berkata lagi, “Wahai ‘Abdullah bin Umar..”. ‘Abdullah menjawab, “Saya wahai Amirul Mukminin”. Beliau berkata, “Bersumpahlah demi Allah, apakah kain yang aku pakai ini kainmu? Abdullah bin Umar menjawab, “Demi Allah, ya”. Salman berkata, “Sekarang perintahlah kami, maka kami akan mendengar dan taat”. ['Abdul 'Aziz Al Badriy, Al-Islam bain al-'Ulama' wa al-Hukkam Ihitam Putih Wajah Ulama dan Penguasa.terj), hal. 70-71]
Tanggapan: Anda pun tidak membawakan sanadnya untuk dapat diperiksa apakah shahih atau tidak, memang demikian keadaan pengikut hawa nafsu, ketika ia mendapatkan kabar yang sesuai dengan hawa nafsunya, segera diambilnya tanpa melihat apakah kisah itu shahih atau tidak..
Kalaupun kisah itu shahih, tidak dapat dijadikan hujjah, karena perbuatan shahabat itu bila bertentangan dengan dalil, tidak dapat diterima. Terlebih Di sini Salman hanya ingin tatsabbut saja mengenai dua pakaian yang diambil oleh Umar, dan Umar seorang pemimpin yang adil membiarkan Salman berbuat demikian karena ketawadlu’an beliau, dan bukan berarti perbuatan menasehati penguasa secara terang-terangan diperbolehkan, karena kisah ini hanyalah hikayat perbuatan, dan sebagaimana telah disebutkan dalam ushul fiqih bahwa sebatas hikayat perbuatan mengandung banyak kemungkinan, sehingga tidak dapat dijadikan hujjah, lebih-lebih bila bertentangan dengan dalil.
Tanggapan Balik:
Perbuatan shahabat di atas, baik Salman maupun Umar tentu saja tidak bertentangan dengan dalil. Pasalnya ada dalil umum yang menunjukkan bolehnya mengoreksi penguasa baik dengan terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Memang benar, apa yang dilakukan oleh Salman dan Umar bukanlah dalil syariat. Tetapi, perbuatan yang mereka lakukan tentu saja berdasarkan dalil yang mereka pahami, baik dari al-Quran maupun sunnah. Bisa jadi keduanya menyandarkan perbuatannya itu berdasarkan nash-nash umum yang berbicara tentang menasehati penguasa, misalnya hadits yang diriwayatkan dari Abu 'Abdillah Thariq bin Syihab al-Bailiy al-Ahmasy ra, bahwasanya ada seorang laki2 bertanya kepada Nabi saw, "Jihad apa yang paling utama? Nabi menjawab, "Kalimat haq yang disampaikan di hadapan penguasa jahat". [Imam An Nasaaiy, isnadnya shahih. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Baihaqiy]. Imam Ahmad meriwayatkan dari Jabir ra, ".....Nabi bersabda, "Berbai'atlah kalian kepadaku untuk selalu mendengar dan taat baik dalam keadaan lapang maupun malas, berinfaq dalam keadaan susah maupun mudah, dan agar melakukan amar makruf nahi 'anil mungkar, dan kalian kalian selalu berkata karena Allah: Tidak pernah takut celaan manusia [dalam menyampaikan kebenaran]". [Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim]
Bagi orang yang tidak memiliki kemampuan ijtihad, maka ia boleh taqlid kepada ulama yang faqih, seperti Umar dan Salman al-Farisi.
HTI: • Amirul Mukminin Mu’awiyyah berdiri di atas mimbar setelah memotong jatah harta beberapa kaum Muslim, lalu ia berkata, “Dengarlah dan taatilah..”. Lalu, berdirilah Abu Muslim Al Khulani mengkritik tindakannya yang salah, “Kami tidak akan mendengar dan taat wahai Mu’awiyyah!”. Mu’awiyyah berkata, “Mengapa wahai Abu Muslim?”. Abu Muslim menjawab, “Wahai Mu’awiyyah, mengapa engkau memotong jatah itu, padahal jatah itu bukan hasil jerih payahmu dan bukan pula jerih payah ibu bapakmu? Mu’awiyyah marah dan turun dari mimbar seraya berkata kepada hadirin, “Tetaplah kalian di tempat”. Lalu, dia menghilang sebentar dari pandangan mereka, lalu keluar dan dia sudah mandi. Mu’awiyyah berkata, “Sesungguhnya Abu Muslim telah berkata kepadaku dengan perkataan yang membuatku marah. Saya mendengar Rasulullah saw bersabda, “Kemarahan itu termasuk perbuatan setan, dan setan diciptakan dari api yang bisa dipadamkan dengan air. Maka jika salah seorang di antara kalian marah, hendaklah ia mandi”. Sebenarnya saya masuk untuk mandi. Abu Muslim berkata benar bahwa harta itu bukan hasil jerih payahku dan bukan pula jerih payah ayahku, maka ambillah jatah kalian”.[Hadits ini dituturkan oleh Abu Na'im dalam Kitab Al-Khiyah, dan diceritakan kembali oleh Imam Al Ghazali dalam Kitab Al Ihya', juz 7, hal. 70]
Tanggapan: Kisah itu dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Hilyah (2/130) dari jalan Abdul Majid bin Abdul ‘Aziz dari Yasin bin Abdillah bin Urwah dari Abu Muslim Al Kahulani. Dan sanad ini lemah karena Yasin bin Abdullah ini tidak diketahui siapa ia, sedangkan Abdul Majid padanya terdapat kelemahan, Ibnu Hajar berkata: “Shaduq yukhti”. Dan ibnu Hibban berkata: “Mungkar hadits jiddan, suka membalikan kabar dan meriwayat hadits-hadits yang mungkar dari paerawi-perawi masyhur sehingga berhak untuk ditinggalkan”. (Al Majruhin 2/152). Karena kisah ini lemah maka tidak bias dijadikan hujjah.


HTI: • Seorang ulama besar, Syaikh Mundzir bin Sa’id mengkritik sangat keras Khalifah Abdurrahman An Nashir Lidinillah ra yang telah menguras harta pemerintahan untuk mempermegah dan memperindah kota Az Zahra. Ulama besar ini mengkritik sang Khalifah dalam khuthbah Jum’atnya secara terang-terangan di depan Khalifah An Nashir dan dihadiri orang penduduk kota Az Zahra. [Abdul Hamid Al Ubbadi, Min Akhlaq al-'Ulamaa', Majalah Al Azhar, Ramadhan, 1371 H]
• Dalam Kitab Qalaaid Al Jawaahir disebutkan bahwasanya Syaikh Abdul Qadir Al Kailaniy berdiri di atas mimbar untuk mengkritik dan memberikan nasehat kepada Gubernur Yahya bin Sa’id yang terkenal dengan julukan Abnu Mazaahim Adz Dzaalim Al Qadla. Syaikh Abdul Qadir Al Kailaniy berkata, “Semoga orang Islam tidak dipimpin oleh oirang yang paling dzalim; maka apa jawabanmu kelak ketika menghadap Tuhan semesta alam yang paling pengasih? Gubernur itu gemetar dan langsung meninggalkan apa yang dinasehatkan kepadanya”. [Qalaaid Al Jawaahir, hal. 8]
• Sulthan al-’Ulama, Al ‘iz bin Abdus Salam telah mengkritik Raja Ismail yang telah bersekongkol dengan orang-orang Eropa Kristen untuk memerangi Najamuddin bin Ayyub. Ulama besar ini tidak hanya membuat fatwa, tetapi juga mengkritik tindakan Raja Ismail di depan mimbar Jum’at di hadapan penduduk Damaskus. Saat itu Raja Ismail tidak ada di Damaskus. Akibat fatwa dan khuthbahnya yang tegas dan lurus, Al ‘Iuz ‘Abdus Salam dipecat dari jabatannya dan dipenjara di rumahnya. [As Subki, Thabaqat, dan lain-lain]
Tanggapan: Kisah-kisah ini kalaupun benar tidak bisa dijadikan hujah, karena perbuatan ulama bukan dalil, lebih-lebih bila bertentangan dengan dalil. Dalil itu adalah Al Qur’an dan sunnah, terlebih kisah itu masih diragukan, karena kisah tersebut tidak disebutkan dalam kitab-kitab mu’tabar.
HTI: Kisah-kisah di atas menunjukkan bagaimana cara para ulama shalih dan mukhlish menasehati penguasa-penguasanya. Kisah-kisah semacam ini sangat banyak disebut di dalam kitab-kitab tarikh. Mereka tidak segan-segan untuk menasehati para penguasa menyimpang dan dzalim secara terang-terangan, mengkritik kebijakannya di mimbar-mimbar terbuka, maupun fatwa-fatwanya.
Tanggapan: Kisah-kisah seperti itu tidak banyak dilakukan oleh ulama, terlebih ulama salaf terdahulu, justru kebalikannya itulah yang banyak, bila kita baca sejarah para ulama, akan kita dapati mereka adalah orang yang paling melarang membangkang kepada penguasa, seperti kisah yang terjadi pada zaman imam Ahmad bin hanbal rahimahullah, Hanbal mengisahkan bahwa para Fuqoha Baghdad di Zaman kepemimpinan Al Watsiq berkumpul kepada Abu ‘Abdillah (imam Ahmad), mereka berkata,” Sesungguhnya fitnah ini telah menjadi besar dan tersebar (yaitu pemikiran bahwa Al Qur’an itu makhluk dan kesesatan lainnya) dan kami tidak rela dengan kepemimpinan Al Watsiq dan kekuasaannya “.
Imam Ahmad berdialog dengan mereka dalam perkara ini, beliau berkata,” Hendaklah kalian mengingkari dengan hati kalian dan jangan melepaskan diri dari keta’atan, jangan memecah belah kaum muslimin, dan jangan menumpahkan darah kaum muslimin bersama kalian. Lihatlah akibat buruk perbuatan kalian, dan bersabarlah sampai beristirahat orang yang baik dan diistirahatkan dari orang yang jahat “. Beliau berkata lagi,” Perbuatan ini (pemberontakan) tidak benar dan menyelisihi atsar (sunnah) “.[1]
Para fuqaha yang banyak itu sepakat dengan imam Ahmad setelah ditegakkan hujjah oleh imam Ahmad, padahal imam Ahmad disiksa oleh penguasa di zamannya. Coba bandingkan dengan perbuatan firqah HTI, apakah perbuatan mereka seperti yang dilakukan oleh imam Ahmad dan para fuqaha??!
Tanggapan Balik:
Semoga Allah menunjuki antum. Wahai akhiy, perkataan Imam Ahmad di atas sama sekali tidak menunjukkan bahwa beliau mengharamkan menasehati penguasa dengan terang-terangan, atau mengharamkan khuruj diri dari penguasa dalam keadaan tertentu. Sebab, perkataan dengan menggunakan shighat nahyi belum tentu bermakna keharaman. Imam Ahmad juga meriwayatkan hadits-hadits yang berbicara tentang menasehati penguasa secara umum [kalimat 'adl 'inda sulthan jaair), dan beliau juga mengetahui hadits-hadits yang menuturkan wajibnya memisahkan diri dari penguasa-penguasa yang telah terjatuh kepada kekufuran yang nyata (kufran bawahan). Beliau juga memahami kisah-kisah khurujnya para shahabat dan bagaimana tata cara mereka menasehati penguasa. Jadi, kesimpulan yang menyatakan bahwa Imam Ahmad sepaham dengan antum adalah keinginan antum untuk membenarkan pendapat ringkih antum!
Hizbut Tahrir pun menyakini dan membenarkan bahwa memisahkan diri dari Khalifah tanpa alasan yang haq, memecah belah persatuan kaum Muslim, dan membunuh kaum Muslim tanpa alasan yang jelas adalah haram dan harus dijauhi, sebagaimana maqalah Imam Ahmad rahimahullah. Kami juga berpandangan bahwa mentaati Khalifah yang fasiq dan dzalim adalah kewajiban. Bahkan seorang Muslim dilarang memisahkan diri dari Khalifah yang sah, meski dzalim dan fasiq. Namun, jika Khalifah telah menampakkan kekufuran yang nyata maka tidak ada ketaatan kepadanya, bahkan jika memungkinkan harus dikoreksi dengan pedang. Inilah pandangan lurus yang dipegang oleh ikhwan-ikhwan Hizbut Tahrir (rahmatullahi 'alaihim wa baarakatuhu), sebagaimana pandangan Imam Ahmad.
Sedangkan nasehat Imam Ahmad -- yang antum catut untuk membenarkan pandangan antum yang keliru itu--, sebenarnya ditujukan agar kaum Muslim pada saat itu tidak tertimpa resiko yang besar akibat menasehati penguasa yang dzalim dan fasiq, Perkataan beliau ra sama sekali tidak menunjukkan bahwa beliau melarang menasehati penguasa dengan terang-terangan. Pasalnya, beliau meriwayatkan hadits-hadits umum tentang amar makruf dengan tangan, lisan, dan hati.
Dan perlu ana sampaikan, maqalah Imam Ahmad tersebut ditujukan untuk Khalifah yang masih menerapkan sistem Khilafah dan menerapkan syariat Islam, dan sama sekali tidak ditujukan untuk para penguasa sekarang yang jelas-jelas telah mengubah sendi-sendi Islam dan suka bersekongkol dengan penguasa-penguasa kafir. Waqi' al-hadiitsahnya (realitas kejadiaannya) berbeda. Jika realitasnya berbeda berarti antum tidak bisa menganalogkannya dengan penguasa sekarang. Wallahu al-musta'an wahuwa waliyu at-taufiq.
HTI: Lalu, bagaimana bisa dinyatakan bahwa menasehati penguasa haruslah dengan empat mata saja, sementara ulama-ulama yang memiliki ilmu dan ketaqwaannya justru memilih melakukannya dengan terang-terangan dan terbuka?
Tanggapan: Para ulama yang antum ikuti itu tidak jelas kebenaran sanadnya, antum hanya sebatas membeo dan tidak meneliti kebenarannya, namun demikianlah sifat pengikut hawa nafsu.. sementara kisah-kisah ulama yang jelas sesuai dengan sunnah dalam menasehati penguasa, antum tutup-tutupi, hanya untuk mengelabui orang awam.

Tanggapan Balik:
Berkali-kali harus ana sampaikan bahwa hukum asal menasehati penguasa adalah dilakukan dengan terang-terangan, berdasarkan keumuman nash-nash Al-Quran dan Sunnah yang berbicara tentang amar makruf nahi 'anil mungkar. Pendapat ini dipegang oleh para shahabat, dan juga dipahami oleh para ulama mu'tabar, melalui riwayat-riwayat yang mereka tuturkan. Jadi sebuah tuduhan dan kebohongan jka antum menuduh HT mengikuti ulama yang tidak bersanad ilmu! Malah, kami meragukan apa guru-guru antum itu punya sanad ilmu; atau jangan-jangan hanya belajar kitab-kitab doing! Ini terlihat betapa seringnya guru-guru antum memberi fatwa hukum yang justru memperkuat penguasa-penguasa sekarang, dengan cara menukil secara keliru pendapat ulama mu'tabar!
HTI: Kelemahan hadits riwayat Imam Ahmad. Nash-nash qath’iy telah menunjukkan kepada kita bahwa hukum asal nasehat itu harus disampaikan secara terang-terangan, dan tidak boleh sembunyi-sembunyi. Al Quran dan Sunnah telah menyebut masalah ini dengan sangat jelas.
Tanggapan: Qath’iy yang anda kira ternyata lebih lemah dari sarang laba-laba, karena dalil-dalil yang anda bawakan telah kita jelaskan kelemahannya dalam memahaminya..
Tanggapan Balik:
Pendapat antum itulah yang ringkih dan lapuk seperti rumah anai-anai! Dalil-dalil yang menunjukkan bahwa hukum asal mengoreksi penguasa itu secara terang-terangan, berdasarkan nash-nash Quran. Ana tidak menyebutkan semua tapi hanya sebagian kecil saja. Misalnya firman Allah swt
"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik".[TQS Ali Imron (3):110]
"Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana".[TQS At Taubah (9):71]
"Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu", Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)".[TQS An Nahl (16):36]
"Telah dila'nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan Munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu. Kamu melihat kebanyakan dari mereka tolong-menolong dengan orang-orang yang kafir (musyrik). Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka, yaitu kemurkaan Allah kepada mereka; dan mereka akan kekal dalam siksaan. Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada Nabi (Musa) dan kepada apa yang diturunkan kepadanya (Nabi), niscaya mereka tidak akan mengambil orang-orang musyrikin itu menjadi penolong-penolong, tapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasik. .[TQS Al Maidah (5):78-81]
Pastilah antum akan mengatakan bahwa ayat-ayat ini hanya berbicara tentang amar makruf nahi 'anil mungkar dan tidak menerangkan tatacara menasehati penguasa. Ana jawab, wahai akhiy, ayat-ayat di atas adalah ayat umum yang memerintahkan kaum Muslim untuk menyampaikan kebenaran kepada siapa saja tanpa ada batasan, baik penguasa, rakyat, laki-laki maupun wanita. Ayat di atas juga tidak membatasi cara untuk menyampaikan kebenaran itu, baik dengan terang-terangan maupun sembunyi.
Dalam sunnah, ana akan sampaikan beberapa hadits saja –meskipun sebenarnya banyak hadits--,
"Siapa saja melihat kemungkaran hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya, jika tidak mampu dengan lisannya, jika tidak mampu dengan hatinya.."[HR.Imam Muslim, Tirmidziy, Ibnu Majah, dan An Nasaaiy]
"Seutama-utama jihad adalah kalimat haq yang disampaikan di depan penguasa fajir". [HR. Imam Ahmad, dalam Musnad Imam Ahmad]
"Tidaklah seorang Nabi yang Allah swt utus untuk umat sebelumku, kecuali ia memiliki hawariyyun dan shahabat-shahabat yang mengambil sunnahnya dan mengikuti perintahnya. Setelah itu, mereka diganti oleh orang-orang sesudah mereka mengatakan apa yang tidak mereka lakukan, melakukan apa yang tidak diperintahkan kepada mereka. Siapa saja yang jaahadahum (bersungguh-sungguh mencegah mereka) dengan tangannya, maka ia Mukmin. Siapa yang bersungguh-sungguh mencegahnya dengan lisannya, maka ia Mukmin, dan barangsiapa bersungguh-sungguh mencegahnya dengan hatinya, maka ia Mukmin; dan tidak ada lagi iman seberat biji sawipun di balik itu". [HR. Imam Muslim] Imam Ahmad juga meriwayatkan hadits ini dengan syahid makna]
"Kami membai'at Rasulullah saw agar selalu mendengar dan mentaati baik dalam keadaan susah maupun ringan, dalam keadaan senang maupun benci, dan agar kami tidak mencabut kekuasaan dari pemiliknya, kecuali jika kamu melihat kekufuran nyata yang ada bukti bagi kamu di sisi Allah; dan agar kami mengatakan kebenaran di mana pun kami berada, tanpa kami takut celaan dalam menyampaikan kebenaran dari Allah"[HR. Imam Bukhari dan Muslim]
Inilah dalil-dalil jaliy yang menunjukkan bahwa hukum asal mengoreksi penguasa itu disampaikan dengan sungguh-sungguh dan terang-terangan, tanpa takut celaan orang-orang yang mencela.
Keumuman hadits-hadits ini tidak bisa ditakhshish oleh riwayat 'Iyadl bin Ghanm Pasalnya, selain hadits itu dla'if, makna hadits Iyadl bin Ghanm hanya menunjukkan rukhshash dan al-irsyad. Tidak lebih.
Sesudah penjelasan ini, masihkah ada orang yang mengatakan bahwa mengoreksi penguasa itu harus sembunyi-sembunyi?

HTI: Namun, sebagian orang awam menyangka ada riwayat yang mengkhususkan ketentuan ini. Mereka berpendapat bahwa mengoreksi penguasa harus dilakukan dengan empat mata, karena ada dalil yang mengkhususkan. Mereka berdalih dengan hadits yang sumbernya (tsubutnya) masih perlu dikaji secara mendalam. Hadits itu adalah hadits yang riwayatkan oleh Imam Ahmad.
Imam Ahmad menuturkan sebuah hadits dan berkata:

حَدَّثَنَا أَبُو الْمُغِيرَةِ حَدَّثَنَا صَفْوَانُ حَدَّثَنِي شُرَيْحُ بْنُ عُبَيْدٍ الْحَضْرَمِيُّ وَغَيْرُهُ قَالَ جَلَدَ عِيَاضُ بْنُ غَنْمٍ صَاحِبَ دَارِيَا حِينَ فُتِحَتْ فَأَغْلَظَ لَهُ هِشَامُ بْنُ حَكِيمٍ الْقَوْلَ حَتَّىغَضِبَ عِيَاضٌ ثُمَّ مَكَثَ لَيَالِيَ فَأَتَاهُ هِشَامُ بْنُ حَكِيمٍ فَاعْتَذَرَ إِلَيْهِ ثُمَّ قَالَ هِشَامٌ لِعِيَاضٍ أَلَمْ تَسْمَعْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ عَذَابًا أَشَدَّهُمْ عَذَابًا فِي الدُّنْيَا لِلنَّاسِ فَقَالَ عِيَاضُ بْنُ غَنْمٍ يَا هِشَامُ بْنَ حَكِيمٍ قَدْ سَمِعْنَا مَا سَمِعْتَ وَرَأَيْنَا مَا رَأَيْتَ أَوَلَمْ تَسْمَعْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ وَإِنَّكَ يَا هِشَامُ لَأَنْتَ الْجَرِيءُ إِذْ تَجْتَرِئُ عَلَى سُلْطَانِ اللَّهِ فَهَلَّا خَشِيتَ أَنْ يَقْتُلَكَ السُّلْطَانُ فَتَكُونَ قَتِيلَ سُلْطَانِ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى
“Telah meriwayatkan kepada kami Abu Al Mughirah, dan dia berkata, “Telah menuturkan kepada kami Shofwan, dan ia berkata, “Telah meriwayatkan kepadaku Syuraih bin ‘Ubaid al Hadlramiy dan lainnya, dia berkata, “‘Iyadl bin Ghanm mendera penduduk Dariya, ketika berhasil dikalahkan. Hisyam bin Hakim pun mengkritik Iyadl bin Ghanm dengan kasar dan keras, hingga ‘Iyadl marah. Ketika malam datang, Hisyam bin Malik mendatangi ‘Iyadl, dan meminta maaf kepadanya. Lalu Hisyam berkata kepada ‘Iyadl, “Tidakkah engkau mendengar Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya manusia yang mendapat siksa paling keras adalah manusia yang paling keras menyiksa manusia di kehidupan dunia”. ‘Iyadl bin Ghanm berkata, “Ya Hisyam bin Hakim, sungguh, kami mendengar apa yang engkau dengar, dan kami juga menyaksikan apa yang engkau saksikan; tidakkah engkau mendengar Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa hendak menasehati penguasa (orang yang memiliki kekuasaan untuk memerintah), maka janganlah menasehatinya dengan terang-terangan, tetapi ambillah tangannya, lalu menyepilah dengannya. Jika ia menerima nasehat, maka baginya pahala, dan jika tidak, maka ia telah menunaikan apa yang menjadi kewajibannya untuk orang itu. Sesungguhnya, engkau ya Hisyam, kamu sungguh berani, karena engkau berani kepada penguasanya Allah. Lalu, tidakkah engkau takut dibunuh oleh penguasanya Allah, dan engkau menjadi orang yang terbunuh oleh penguasa Allah tabaaraka wa ta’aala”.[HR. Imam Ahmad]
‘Iyadl bin Ghanm adalah Ibnu Zuhair bin Abiy Syadad, Abu Sa’ad al-Fahri. Beliau adalah seorang shahabat yang memiliki keutamaan. Beliau termasuk shahabat yang melakukan bai’at Ridlwan; dan wafat pada tahun 20 H di Syams.
Hisyam bin Hakim bin Hazam bin Khuwailid al-Qurasyiy al-Asdiy adalah shahabat yang memiliki keutamaan, dan beliau adalah putera dari seorang shahabat. Beliau wafat pada awal-awal masa kekhilafahan Mu’awiyyah bin Abi Sofyan. Ada orang yang menduga bahwa beliau meraih mati syahid di Ajnadain. Beliau disebut di dalam Kitab Shahih Bukhari dan Muslim dalam haditsnya Umar tatkala ia mendengarnya membaca surat Al Furqan. Beliau wafat sebelum ayahnya meninggal dunia. Imam Muslim, Abu Dawud, dan An Nasaaiy menuturkan hadits dari beliau, sebagaimana disebutkan dalam Kitab At Taqriib.
Di dalam Kitab Tahdziib al-Kamal, Al Maziy berkata, “Diriwayatkan darinya:…dan ‘Urwah bin Az Zubair…hingga akhir. Adapun Syuraih bin ‘Ubaid al-Hadlramiy al-Hamashiy, dia adalah seorang tabi’in tsiqqah (terpercaya). Riwayatnya dari shahabat secara mursal, sebagaimana disebut dalam Tahdziib al-Kamal, “Mohammad bin ‘Auf ditanya apakah Syuraih bin ‘Ubaid al-Hadlramiy mendengar dari Abu Darda’? Mohammad bin ‘Auf menjawab, “Tidak”. Juga ditanyakan kepada Mohammad bin ‘Auf, apakah dia mendengar dari seorang shahabat Nabi saw? Dia menjawab, “Saya kira tidak. Sebab, ia tidak mengatakan dari riwayatnya, “saya mendengar”. Dan dia adalah tsiqqah (terpercaya)”.
Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Kitab At Taqriib mengatakan, “Dia tsiqqah (terpercaya), dan banyak meriwayatkan hadits secara mursal; karena tadlisnya. Ibnu Abi Hatim di dalam Kitab Al Maraasiil berkata, “Saya mendengar ayahku berkata, “Syuraih bin ‘Ubaid tidak pernah bertemu dengan Abu Umamah, al-Harits bin Harits, dan Miqdam. Ibnu Abi Hatim berkata, “Saya mendengar bapakku berkata, “Syuraih bin ‘Ubaid menuturkan hadits dari Abu Malik Al Asy’ariy secara mursal”.
Jika Syuraih bin ‘Ubaid tidak pernah bertemu dengan Abu Umamah Shadiy bin ‘Ijlaan al-Bahiliy ra yang wafat pada tahun 76 H dan Miqdam al-Ma’diy Karab ra yang wafat pada tahun 87 H, maka bagaimana bisa dinyatakan bahwa Syuraih bin ‘Ubaid bertemu dengan Hisyam bin Hakim yang wafat pada awal-awal pemerintahan Mu’awiyyah, lebih-lebih lagi ‘Iyadl bin Ghanm yang wafat pada tahun 20 Hijrah pada masa ‘Umar bin Khaththab ra?
Selain itu, Syuraih bin ‘Ubaid ra meriwayatkan hadits itu dengan ta’liq (menggugurkan perawi atasnya) dan di dalam hadits itu tidak ada satupun indikasi yang menunjukkan bahwa ia hadir dalam kisah itu, atau mendengar orang yang mengisahkan kisah tersebut. Dengan demikian, hadits di atas harus dihukumi sebagai hadits munqathi’ (terputus), dan tidak layak dijadikan sebagai hujjah.
Demikian pula hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad secara ringkas (mukhtashar) dari Ibnu ‘Abi ‘Ashim di dalam kitab As Sunnah, di mana Imam Ahmad berkata, “Telah meriwayatkan kepada kami ‘Amru bin ‘Utsman, di mana dia berkata,”Telah meriwayatkan kepada kami Baqiyah, dan dia berkata, “Telah meriwayatkan kepada kami Sofwan bin ‘Amru, dari Syuraih bin ‘Ubaid, bahwasanya dia berkata, “‘Yadl bin Ghanam berkata kepada Hisyam bin Hakim, tidakkah engkau mendengar sabda Rasulullah saw yang bersabda, “Barangsiapa hendak menasehati penguasa janganlah ia sampaikan dengan terang-terangan, akan tetapi hendaklah ia ambil tangannya, lalu menyepilah dengannya. Jika ia menerima maka ia akan mendapatkan pahala, dan jika tidak, maka ia telah menunaikan apa yang menjadi kewajibannya”.[HR. Imam Ahmad]
Baqiyyah adalah seorang mudalis. Walaupun Baqiyyah menuturkan hadits ini dengan sharih menurut versi Ibnu Abi ‘Aashim, tetapi, tetap saja tidak bisa menyelamatkan Baqiyyah. Pasalnya, ia adalah perawi yang suka melakukan tadlis dengan tadlis yang buruk (tadlis qabiih) –yakni tadlis taswiyah . Dikhawatirkan dari tadlisnya itu ‘an’anah [(meriwayatkan dengan 'an (dari), 'an (dari)] dari gurunya dari gurunya jika ditarik ke atas. Di dalam Kitab Al Majma’, Imam Al Haitsamiy berkata, “Yang benar, jalur darinya (Syuraih bin ‘Ubaid) hanya berasal dari Hisyam saja. Hadits ini diriwayatkan Imam Ahmad, dan rijalnya tsiqat (terpercaya). Akan tetapi, saya tidak mendapati Syuraih bin ‘Ubaid mendengar hadits ini langsung dari ‘Iyadl dan Hisyam, walaupun dia seorang tabi’un.
Catatan lain, Syuraih bin ‘Ubaid meriwayatkan hadits ini dengan ta’liq (menggugurkan perawi atasnya), dan di dalam hadits ini tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa ia hadir dalam kisah itu, maupun mendengar dari orang yang menceritakan kisah tersebut. Oleh karena itu, hadits ini harus dihukumi sebagai hadits munqathi’; dan tidak layak dijadikan sebagai hujjah.
Adapun dari jalur-jalur lain, misalnya dari jalur Jabir bin Nafir, maka setelah diteliti, ada perawi yang lemah, yakni Mohammad bin Ismail bin ‘Iyasy.
Jika demikian kenyataannya, gugurlah berdalil dengan hadits riwayat Imam Ahmad di atas.
Tanggapan: sayangnya anda tidak menyebutkan jalan lain, yaitu yang dikeluarkan oleh Ath Thabrani dalam Dalam Al Mu’jamul Kabiir: Haddatsana Amru bin Ishaq bin Zuraiq haddatsana abii (H) haddatsana ‘Imarah bin Wutsaimah Al Mishri dan Abdurrahman bin Mu’awiyah Al ‘Utabi keduanya berkata: Haddatsana Ishaq bin Zuraiq, haddatsana ‘Amru bin Al Harits dari Abdullah bin Salim dari Az Zubaidi haddatsna Al Fadl bin fadlalah mengembalikannya kepada ‘Aidz mengembalikannya kepada Jubair bin Nufair bahwa ‘Iyadl bin Ghanam..dst.
Sanad ini walaupun lemah karena Amru bin Al Harits dikatakan oleh Al Hafidz: Maqbul, demikian pula Al Fadl bin Fadlalah, namun jalan ini menguatkan jalan Muhammad bin Isma’il bin Ayyasy, sehingga naik kepada derajat hasan, dan bila digabungkan dengan sanad imam Ahmad : Telah meriwayatkan kepada kami Abu Al Mughirah, dan dia berkata, “Telah menuturkan kepada kami Shofwan, dan ia berkata, “Telah meriwayatkan kepadaku Syuraih bin ‘Ubaid al Hadlramiy dan lainnya, dia berkata, “‘Iyadl bin Ghanm.. dst. Maka naik kepada derajat shahih, adapun permasalahan Syuraih tidak mendengar dari Iyadl, tidak bermudlarat bila ternyata telah diketahui wasithahnya yaitu Jubair bin Nufair.
Tanggapan Balik:
Demikianlah, antum berusaha mati-matian menshahihkan hadits 'Iyadl bin Ghanm dengan cara mencari syahid maupun mutaba'ahnya. Sayang usaha antum tersebut malah menjerumuskan antum untuk mencari-cari dalih, untuk memenuhi keinginan dan hawa nafsu antum., bukan untuk menegakkan hujjah yang lurus. Namun, demi menegakkan sunnah dan kebenaran, ana akan jelaskan kelemahan jalur dari Imam Thabaraniy. Kelemahannya hadits ini terlihat dari kenyataan berikut ini:
Pertama, hadits riwayat Imam Ahmad dari jalur Abu Mughirah, Shofwan, Syuraih bin 'Ubaid telah terbukti kelemahannya, karena Syuraih tidak pernah bertemu dengan Hisyam bin Hakim (lebih-lebih lagi Iyadl bin Ghanm). Dengan demikian, hadits ini dihukumi sebagai hadits munqathi', sehingga gugur sebagai hujjah.
Kedua, adapun tentang Jubair bin Nufair yang antum nobatkan sebagai "wasithah antara Syuraih bin 'Ubaid dengan Iyadl bin Ghanm dan Hisyam bin Hakim, sehingga tampak seolah-olah telah menyambungkan "keterputusan antara Syuraih bin 'Ubaid dengan Iyadl bin Ghanm dan Hisyam bin Hakim, maka perlu antum ketahui bahwa ternyata Jubair bin Nufair pun menuturkan hadits tersebut dengan ta'liq (menggugurkan perawi atasnya). Jubair bin Nufair adalah seorang tabi'un yang terkemuka. Imam Adz Dzahabiy dalam Tadzkiratu al-Huffaadz berkata, ".Beliau (Jubair bin Nufair) adalah seorang ulama terkemuka, haditsnya ada dalam kitab-kitab hadits seluruhnya, kecuali Shahih Bukhari, dan demikian itu karena kelemahannya (layyin al-hadits). Namun, kadang-kadang ia melakukan tadlis dari shahabat-shahabat besar". Atas dasar itu, hadits dari Jubair bin Nufair pun munqathi', dan tidak bisa menyelamatkan keterputusan antara Syuraih bin 'Ubaid dengan 'Iyadl bin Ghanm dan Hisyam bin Hakim. Sebab, Jubair bin Nufair sendiri tidak menyaksikan langsung kejadiannya atau mendengarnya langsung dari orang yang meriwayatkan dari 'Iyad bin Ghanm dan Hisyam bin Hakim. Atas dasar itu, hadits yang antum katakan naik derajatnya itu, tetap tidak bisa selamat dari keterputusan (inqitha'). Dengan demikian, hadits itu harus dihukumi sebagai hadits munqathi' dan tidak layak dijadikan sandaran hujjah.
Adapun hadits dari jalur Mohammad bin 'Ayyasy, maka antum juga harus tahu Mohammad bin 'Ayyasy adalah dla'ifu al-hadits (dla'if haditsnya). Di dalam Kitab Al-Jarh wa al-Ta'diil, Abu Hatim berkata, "Dia tidak mendengar apapun dari bapaknya". Al Hafidz Ibnu Hajar dalam At-Taqriib berkata, "Mereka mencela dirinya karena ia menuturkan dari bapaknya tanpa pernah mendengarnya". Dalam hadits ini tidak boleh dinyatakan bahwa ia dengan sharih menuturkan dari bapaknya (dengan lafadz haddatsanaa); sebab dia adalah dla'if, tidak tsiqqah".
Ketiga, jalur dari Amru bin Ishaq bin Zuraiq haddatsana abii (H) haddatsana ‘Imarah bin Wutsaimah Al Mishri dan Abdurrahman bin Mu’awiyah Al ‘Utabi keduanya berkata: Haddatsana Ishaq bin Zuraiq, haddatsana ‘Amru bin Al Harits dari Abdullah bin Salim dari Az Zubaidi haddatsna Al Fadl bin fadlalah mengembalikannya kepada ‘Aidz mengembalikannya kepada Jubair bin Nufair bahwa ‘Iyadl bin Ghanam..dst.
Ibnu Zuraiq adalah waah. Imam Adz Dzahabiy berkata, "Ibnu Zuraiq adalah waah (lemah)". Ishaq adalah ayah dari Amru, dan tentang dia, Al Hafidz berkata, "Shaduq yahammu katsiira (shaduq tapi banyak lemahnya), dan Mohammad bin 'Aud menyebutkan bahwa dia itu berdusta". Abu Hatim juga berkata tentang dia, "Syaikh la ba'sa bihi, hanya saja mereka mencelanya. Saya mendengar Yahya bin Ma'in memujinya dengan baik". Dalam Tarikh Ibnu 'Asaakir dan juga Tahdzibnya Ibnu Badran, disebutkan bahwa An Nasaaiy berkata, "Ishaq tidak tsiqqah jika meriwayatkan dari 'Amru bin Harits". Sedangkan hadits di atas Ishaq meriwayatkan dari 'Amru bin Harits!!! Sedangkan Amru bin Harits, Ibnu Hibban dalam Tsiqahnya berkata, "Ia adalah mustaqim al-hadits". Namun, Imam Adz Dzahabiy membantahnya dalam Al-Mizan, "Tafarrada bi ar-riwayah 'anhu Ishaq bin Ibrahim bin Zuraiq dan maulanya, yang namanya 'Ulwah, dan dia tidak tidak diketahui keadilannya". Dengan demikian, yang meriwayatkan hadits dari dari Amru bin Harits hanyalah Ishaq dan maulanya Amru bin Harits yang majhul. Sedangkan Ishaq adalah waah (lemah) [lihat di atas]. Sedangkan Amru bin Ishaq bin Zuraiq al-Himshiy termasuk syaikhnya Imam Thabaraniy. Sayangnya tidak ada biografi atas dirinya, alias majhul.
Dengan demikian hadits dari jalur ini jelas-jelas lemah dan banyak 'illatnya, yakni; (1) majhulnya Amru bin Ishaq bin Zuraiq al-Himshiy, syaikhnya Imam Thabaraniy, (2) dla'ifnya Ishaq bin Ibrahim bin Zuraiq yang sangat parah, (3) lemahnya (layyin) 'Amru bin Harits, (3) lemahnya (layyin) al-Fadlil bin Fudlalah, (4) keterputusan (inqitha') antara al-Fadlil dengan Ibnu 'Aidz, (5) terputusnya Ibnu 'Aidz dengan Jubair bin Nufair, (6) terputusnya Jubair bin Nufair dengan semua orang yang meriwayatkan dari 'Iyadl bin Ghanm dan Hisyam bin Hakim radliyallahu 'anhumaa. Dengan demikian, jalur inipun gugur secara menyakinkan.
Adapun komentar Imam Al-Haitsamiy dalam Majma' az Zawaid, "Rijaaluhu tsiqat wa isnaduhu muttashil", maka harus dinyatakan bahwa komentar beliau ini tidak tepat dikarenakan alasan-alasan di atas.
Keempat, permasalahan yang sebenarnya hendak dibuktikan adalah sanad dari Syuraih bin 'Ubaid atau Jubair bin Nufair ra. Dan telah dijelaskan bahwa Syuraih bin 'Ubaid atau Jubair bin Nufair meriwayatkan dengan ta'liq (menggugurkan perawi atasnya). Tidak ada satupun lafadz yang menunjukkan kehadiran keduanya dalam kisah itu, atau mendengar diskusi antara Hisyam bin Hakim dan 'Iyadl bin Ghanm; atau mendengar langsung dari orang yang menyaksikan atau mendengar dari Hisyam bin Hakim dan 'Iyadl bin Ghanm. Oleh karena itu, riwayat tersebut dihukumi munqathi' (terputus).
Semua riwayat dari Jubair bin Nufair dan Syuraih bin 'Ubaid diketahui mursal dari qudama` ash-shahahat (shahabat-shahabat terkemuka), bahkan Syuraih meriwayatkan hadits secara mursal dari seluruh shahabat. Atas dasar itu, semua riwayat yang berasal darinya dihukumi inqitha' (terputus).
Adapun riwayat mu'an'anah dari 'Iyadl bin Ghanm, maka sudah dimaklumi bahwa 'Iyadl bin Ghanm meninggal tahun 20 H pada masa kekhilafahan Umar bin Khaththab ra, dan Jubair bin Nufair tidak pernah mendengar dari 'Iyadl bin Ghanm, sebagaimana disebutkan dalam biografinya di Kitab Tahdziib al-Kamaal karya Al-Maziy, dan at-Tadzkirah karya Husainiy. Selain itu, Jubair bin Nufair juga dikenal meriwayatkan secara mursal dari shahabat-shahabat besar. Dengan demikian, riwayat ini juga terputus (inqitha').
Selain itu, ada cacat lain dari hadits tersebut dari sisi matan. Hadits-hadits lain justru menyakinkan kepada kita bahwa Hisyam bin Hakim tetap mengoreksi 'Iyadl bin Ghanm dengan terang-terangan ketika berada di Himsh. Imam Thabaraniy meriwayatkan sebuah hadits dari 'Urwah bin az-Zubair bahwasanya Hisyam bin Hakim mendapati 'Iyadl bin Ghanm , pada saat itu ia berada di Himsh, menjemur manusia dari al-Nabth di bawah terik matahari, dalam masalah penyerangan jizyah. Hisyam bin Hakim berkata, "Apa ini wahai 'Iyadl bin Ghanm! Saya mendengar Nabi saw bersabda, "Sesungguhnya Allah akan menyiksa orang-orang yang menyiksa manusia di dunia". Hadits ini adalah hasan lidzatihi dikarenakan dikarenakan banyaknya hadits-hadits mutabi'ahnya. Selain itu, riwayat-riwayat lain juga menunjukkan bahwa Hisyam bin Hakim juga mengoreksi dengan terang-terangan, sebagaimana ia mengingkari penguasa Himsh yang tidak disebutkan namanya, atau terhadap ;Umair bin Sa'ad pada saat ia berada di Palestina atau di Himsh. Peristiwa ini terjadi setelah terjadinya diskusi antara dirinya dengan 'Iyadl bin Ghanm pada saat penaklukkan Dariya., Ini bisa diketahui dari kronologi sejarah penaklukkan jazirah Syam. Seandainya peristiwa diskusi antara Hisyam bin Hakim dengan Iyadl bin Ghanm tentang "koreksi sembunyi-sembunyi" merupakan hukum asal mengapa shahabat jalil Hisyam bin Hakim tetap mengoreksi penguasa dengan terang-terangan!?
Walhasil, hadits-hadits yang antum ketengahkan itu seluruhnya gugur baik karena perawinya yang lemah (Mohammad bin 'Iyasy), maupun terputusnya Jubair bin Nufair dengan 'Iyadl bin Ghanm dan Hisyam bin Hakim.
Demikianlah, Allah telah memudahkan kita untuk menunjukkan kelemahan hadits riwayat Imam Ahmad tentang "sirriyat al-nashihah". Oleh karena itu, argumentasi antum telah gugur di hadapan hujjah yang lurus dan benar. Semoga antum tertunjukki dan terentaskan dari kesalahan. Allahummasyhad, qad balaghtu al-haqq. Wallahu al-Haadiy al-Muwaffiq ila Aqwamith Thariiq.
Al Faqir ila Al-Allah Fathiy Syamsuddin Ramadhan An Nawiy.

TANGGAPAN BALIK ATAS TANGGAPAN RAPUH
oleh Syamsuddin Ramadhan pada 24 Juli 2010 pukul 9:12
BANTAHAN TANGGUH ATAS
BANTAHAN RAPUH YANG DIKLAIM TANGGUH
Al Faqir Ila Allah, Fathiy Syamsuddin Ramadhan An Nawiy

Sebuah bantahan terhadap artikel berjudul “Mengoreksi Penguasa Harus Dengan GAYA TUKUL…??”
Judul asli artikel Kritik Atas Pendapat Yang Menyatakan Mengoreksi Penguasa Harus Dengan (Empat Mata) karya tokoh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ustadz Syamsudin Ramadhan An-Nawiy hadahullah

Oleh al Ustadz al Fadhil Abu Yahya Badrussalam, Lc. hafizhahullah

Berkata Syamsuddin Ramadlan (HTI):
Mengoreksi Penguasa Harus Dengan GAYA TUKUL…??
Tanggapan: Tukulkah yang menjadi panutanmu ??
Tanggapan Balik:
Perkataan seperti ini tidak pernah keluar dari seorang ustadz faqih-sholih dan berakhlaqul karimah; tapi, hanya akan keluar dari lisan orang-orang yang hatinya dipenuhi kenistaan dan kekotoran. Ana berdoa dengan sepenuh hati, agar Allah membersihkan hati antum dari semua kenistaan dan kekotoran.
HTI: Perlu kami nyatakan bahwa hukum asal amar makruf nahi mungkar harus dilakukan secara terang-terangan, dan tidak boleh disembunyikan. Ini adalah pendapat mu’tabar dan perilaku generasi salafus sholeh.
Tanggapan: Tetapi justru para ulama salaf menyatakan bahwa hukum asal menasehati adalah dengan rahasia. Ibnu Hibban berkata: “Nasehat wajib kepada manusia seluruhnya.. akan tetapi wajib dengan secara rahasia, karena orang yang menasehati saudaranya secara terang-terangan maka ia telah mencelanya, dan siapa yang menasehatinya secara rahasia, maka ia telah menghiasinya..” (Raudlatul ‘Uqala hal 196).
Imam Asy Syafi’I berkata: “Nasehatilah aku ketika sendirian, dan jauhi nasehat di depan jama’ah. Karena nasehat ditengah manusia adalah salah satu macam mencaci maki yang aku tidak suka mendengarnya.. (Mawa’idz imam Asy Syafi’I 1/23).
Tanggapan Balik:
Pertama, perkataan Ibnu Hibban maupun Asy Syafi’iy bukanlah dalil syariat, dan sama sekali tidak boleh dijadikan dalil syariat. Menjadikan pendapat Ibnu Hibban dan Asy Syafi’iy sebagai dalil syariat sama dengan telah menyepadankan keduanya dengan Asy Syaari’. Kedua, perkataan Al-Hafidz Ibnu Hibban rahimahullah tidak menunjukkan bahwa beliau melarang menasehati penguasa dengan terang2an, yang beliau larang adalah menasehati penguasa yang disertai niat mencela dan menghina.. Begitu pula perkataan Imamul Jalil Imam Syafi'iy rahimahullah juga tidak menunjukkan bahwa beliau melarang menasehati penguasa dengan terang-terangan, tapi itu hanya sikap beliau sendiri yang tidak suka dinasehati dengan terang-terangan di depan umum. Ketiga, ulama-ulama salafush sholeh dari kalangan shahabat telah berijma’ mengenai masyru'nya muhasabah lil hukkam 'alanan (mengoreksi penguasa dengan terang-terangan), bahkan kadang-kadang harus dilakukan dengan khuruj dari penguasa. Ijma’ shahabat telah menunjukkan dengan sangat jelas masalah ini (keharusan mengoreksi penguasa dengan terang-terangan). Misalnya, khurujnya Ummul Mukminin ‘Aisyah ra dan Mu’awiyyah ra terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. Baik shahabat yang mengoreksi dan yang dikoreksi tidak pernah mempersoalkan aktivitas mengoreksi dengan terang-terangan. Pasalnya, Al-Quran dan Sunnah telah menetapkan kewajiban amar makruf kepada mereka baik dengan tangan, lisan, dan hati, dan tidak ada takhshish harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Nash-nash seperti inilah yang harusnya dijadikan sebagai hukum asal, bukan hadits dla'if riwayat Imam Ahmad dari 'Iyadl bin Ghanm..
Ana juga perlu ingatkan bahwa judul tulisan yang ana tulis bukan Mengoreksi Penguasa Harus Dengan GAYA TUKUL…??”. Dengan membuat judul seperti itu, sama artinya akh Abu Yahya telah menyetarakan muhasabah al-hukkam generasi salafush sholeh dari kalangan shahabat –yang telah mengoreksi penguasa dengan terang-terangan— dengan apa yang dilakukan oleh Akh Tukul Arwana. Ghafarallahu lakum.
HTI: Namun, sebagian orang bodoh berpendapat bahwa menasehati seorang penguasa haruslah dengan cara sembunyi-sembunyi (empat mata).
Tanggapan: Sebagian orang bodoh ?? betulkah mereka orang bodoh?? Ya.. menuduh memang mudah.. namun Allah yang maha tahu siapa yang sebenarnya bodoh..

Tanggapan Balik:
Ghafarallahu lakum... Semoga Allah mengampuni antum!
HTI: Menurut mereka, seorang Muslim dilarang menasehati mereka dengan terang-terangan di depan umum, atau mengungkapkan kejahatan dan keburukan mereka di depan umum, karena ada dalil yang mengkhususkan.
Tanggapan: Bila yang dimaksud mereka adalah salafiyun, maka mereka berdasarkan dalil dan perbuatan para shahabat dan para ulama. Adapun dalil, maka berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ
“Barang siapa yang ingin menasehati penguasa dengan suatu perkara, maka janganlah terang-terangan , namun ambillah tangannya dan bersendirianlah dengannya (rahasia), jika ia menerima (itu yang diharapkan) dan jika tidak, maka ia telah melaksanakan tugas”. (HR Ahmad, ibnu Ashim dan lainnya).
Adapun perbuatan shahabat, Anas bin Malik berkata: “Para pembesar kami dari shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang kami, (mereka berkata): “Janganlah kamu mencaci maki umara, jangan pula mencurangi dan memaksiati mereka”.(Al Hujjah fii bayanil Mahajjah 2/435).
Ziyad bin Kusaib Al ‘Adawi berkata: “Aku bersama Abu Bakrah dibawah mimbar ibnu Amir yang sedang berkhutbah dan memakai pakaian yang tipis, maka Abu Bilaal berkata: “Lihatlah kepada pemimpin kita ini, dia memakai pakaian orang fasiq”. Abu Bakrah berkata: “Diam kamu!! Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barang siapa yang menghinakan penguasa di bumi, Allah akan hinakan ia”. (HR At Tirmidzi, Al Bazzaar dan lainnya).
Dikatakan kepada Usamah bin Zaid: “Andai kamu mendatangi fulan (maksudnya Utsman bin Affan) dan mengajaknya bicara”. Usamah berkata: “Sesungguhnya kamu memandang bahwa bila aku mengajaknya bicara, aku harus memperdengarkannya kepada kamu, sesungguhnya aku berbicara dengannya secara rahasia tanpa membuka pintu, dan aku tidak ingin menjadi orang yang pertama kali membukanya”. (HR Bukhari no 3267 dan Muslim no 2989). Dalam riwayat Muslim, Usamah berkata: “Sungguh, aku telah mengajaknya berbicara antara aku dan dia saja..dst”.
Al Qurthubi berkata: “Maksud Usamah adalah bahwa beliau menjauhi berbicara di hadapan manusia, demikianlah yang wajib dalam menegur pembesar dan umara, hendaknya mereka dihormati di hadapan rakyat untuk menjaga kewibawaan mereka, dan menasehatinya secara rahasia, untuk melaksanakan kewajiban menasehati mereka, dan perkataan beliau: ” Sungguh, aku telah mengajaknya berbicara antara aku dan dia saja”. Maksudnya berbicara langsung dengan ucapan yang lemah lembut, sebab yang demikian itu lebih taqwa dari menasehati mereka dengan terang-terangan dan memberontak kepada penguasa, karena amat besar fitnah dan mafsadah yang ditimbulkan akibat menasehati secara terang-terangan”. (Al Mufhim 6/619).
Tanggapan Balik:
Yang dilarang adalah mengoreksi penguasa yang ditujukan atau diniatkan untuk menghina penguasa, bukan mengoreksi penguasa dengan terang-terangan. Jika mengoreksi penguasa dengan terang-terangan diniatkan untuk menjaga umat dari kejahatan penguasa, maka mengoreksi penguasa secara terang-terangan dalam keadaan seperti itu (untuk menjaga umat dari kejahatan dan kedzaliman penguasa) bukanlah sesuatu yang haram, bahkan fardlu. Sebaliknya, jika mengoreksi penguasa, baik dengan sembunyi-sembunyi dan terang-terangan diniatkan untuk menghina penguasa, maka perbuatan itu haram.
Ana perlu tegaskan bahwa perkataan ulama bukanlah dalil syariat. Selain itu, hadits riwayat Imam Ahmad adalah hadits dla'if. Cukuplah bagi kita apa yang dilakukan oleh Nabi saw dan para shahabat yang juga melakukan muhasabah lil hukkam dengan cara terang-terangan. Selain itu, tidak ada satupun ucapan sharih dari ulama-ulama salafush shalih yang menunjukkan bahwa mengoreksi penguasa dengan terang-terangan adalah haram. Larangan yang mereka ucapkan tidak selalu berimplikasi pada hukum haram. Sebab, bentuk kalimat larangan (sighat an-nahyu) tidaklah selalu berimplikasi hukum haram, bisa saja untuk tahdzir, wa'id, taubih, dan lain-lain. Tampaknya hal ini yang antum lupakan, atau sengaja antum sembunyikan. Ghafarallahu lakum.
HTI: Pendapat semacam ini adalah pendapat bathil, dan bertentangan dengan realitas muhasabah al-hukkam yang dilakukan oleh Nabi saw, para shahabat dan generasi-generasi salafus shaleh sesudah mereka.
Tanggapan: Jangan terlalu cepat memvonis saudaraku, karena yang antum fahami itu ternyata bertentangan dengan apa yang difahami oleh para ulama..
Tanggapan Balik:
Ulama yang mana? Sedangkan para shahabat mengoreksi penguasa dengan terang-terangan,, dan telah terjadi ijma' sukutiy atas masalah ini? Ana khawatir yang antum ikuti itu adalah ulama jahat yang ingin membungkam dakwah Islam atas penguasa-penguasa fajir dan dzalim yang telah mengubah sendi-sendi ajaran Islam, dan tidak memerintahkan manusia menegakkan sholat; atau sengaja untuk menjaga para penguasa bughat yang telah menyebabkan hancurnya Khilafah Islamiyyah dan berusaha menghalang-halangi pejuang-pejuang mukhlish yang berusaha menegakkannya kembali.
HTI: Pasalnya, pendapat tersebut (keharusan mengoreksi pennguasa dengan empat mata) bertentangan dengan point-point berikut ini:
a. Perilaku Rasulullah saw dalam mengoreksi pejabat yang diserahi tugas mengatur urusan rakyat (pemerintahan). Beliau saw tidak segan-segan mengumumkan perbuatan buruk yang dilakukan oleh pejabatnya di depan kaum Muslim, dengan tujuan agar pelakunya bertaubat dan agar pejabat-pejabat lain tidak melakukan perbuatan serupa. Imam Bukhari dan Muslim menuturkan sebuah riwayat dari Abu Humaid As Sa’idiy bahwasanya ia berkata:
اسْتَعْمَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا عَلَى صَدَقَاتِ بَنِي سُلَيْمٍ يُدْعَى ابْنَ الْلَّتَبِيَّةِ فَلَمَّا جَاءَ حَاسَبَهُ قَالَ هَذَا مَالُكُمْ وَهَذَا هَدِيَّةٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهَلَّا جَلَسْتَ فِي بَيْتِ أَبِيكَ وَأُمِّكَ حَتَّى تَأْتِيَكَ هَدِيَّتُكَ إِنْ كُنْتَ صَادِقًا ثُمَّ خَطَبَنَا فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّي أَسْتَعْمِلُ الرَّجُلَ مِنْكُمْ عَلَى الْعَمَلِ مِمَّا وَلَّانِي اللَّهُ فَيَأْتِي فَيَقُولُ هَذَا مَالُكُمْ وَهَذَا هَدِيَّةٌ أُهْدِيَتْ لِي أَفَلَا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ حَتَّى تَأْتِيَهُ هَدِيَّتُهُ وَاللَّهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْكُمْ شَيْئًا بِغَيْرِ حَقِّهِ إِلَّا لَقِيَ اللَّهَ يَحْمِلُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَلَأَعْرِفَنَّ أَحَدًا مِنْكُمْ لَقِيَ اللَّهَ يَحْمِلُ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ يَدَهُ حَتَّى رُئِيَ بَيَاضُ إِبْطِهِ يَقُولُ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ بَصْرَ عَيْنِي وَسَمْعَ أُذُنِي
“Rasulullah saw mengangkat seorang laki-laki menjadi amil untuk menarik zakat dari Bani Sulaim. Laki-laki itu dipanggil dengan nama Ibnu Luthbiyyah. Tatkala tugasnya telah usai, ia bergegas menghadap Nabi saw; dan Nabi Mohammad saw menanyakan tugas-tugas yang telah didelegasikan kepadanya. Ibnu Lutbiyah menjawab, ”Bagian ini kuserahkan kepada anda, sedangkan yang ini adalah hadiah yang telah diberikan orang-orang (Bani Sulaim) kepadaku. Rasulullah saw berkata, ”Jika engkau memang jujur, mengapa tidak sebaiknya engkau duduk-duduk di rumah ayah dan ibumu, hingga hadiah itu datang sendiri kepadamu”. Beliau saw pun berdiri, lalu berkhutbah di hadapan khalayak ramai. Setelah memuji dan menyanjung Allah swt, beliau bersabda, ”’Amma ba’du. Aku telah mengangkat seseorang di antara kalian untuk menjadi amil dalam berbagai urusan yang diserahkan kepadaku. Lalu, ia datang dan berkata, ”Bagian ini adalah untukmu, sedangkan bagian ini adalah milikku yang telah dihadiahkan kepadaku”. Apakah tidak sebaiknya ia duduk di rumah ayah dan ibunya, sampai hadiahnya datang sendiri kepadanya, jika ia memang benar-benar jujur? Demi Allah, salah seorang di antara kalian tidak akan memperoleh sesuatu yang bukan haknya, kecuali ia akan menghadap kepada Allah swt dengan membawanya. Ketahuilah, aku benar-benar tahu ada seseorang yang datang menghadap Allah swt dengan membawa onta yang bersuara, atau sapi yang melenguh, atau kambing yang mengembik. Lalu, Nabi saw mengangkat kedua tangannya memohon kepada Allah swt, hingga aku (perawi) melihat putih ketiaknya”. [HR. Imam Bukhari dan Muslim]

Hadits di atas adalah dalil sharih yang menunjukkan bahwasanya Rasulullah saw pernah menasehati salah seorang pejabatnya dengan cara mengungkap keburukannya secara terang-terangan di depan khalayak ramai. Beliau saw tidak hanya menasehati Ibnu Luthbiyyah dengan sembunyi-sembunyi, akan tetapi, membeberkan kejahatannya di depan kaum Muslim. Lantas, bagaimana bisa dinyatakan bahwa menasehati penguasa haruslah dengan sembunyi-sembunyi (empat mata), sedangkan Nabi saw, manusia yang paling mulia akhlaqnya, justru menasehati salah satu pejabatnya (penguasa Islam) dengan terangan-terangan, bahkan diungkap di depan khalayak ramai?
Tanggapan: Itu karena antum kurang memahami hakikat qiyas, karena di sini antum menyamakan apa yang dilakukan oleh Nabi sebagai penguasa kepada pegawainya, dengan menasehati penguasa yang dilakukan oleh rakyatnya.. dan qiyas seperti ini adalah batil karena ia adalah qiyas yang amat jauh berbeda, selain itu qiyas antum ini bertabrakan dengan dalil yang melarang menasehati penguasa secara terang-terangan..
Tanggapan Balik:
Apa yang diucapkan, dikerjakan, dan disetujui Nabi adalah hujjah yang wajib diikuti. Ibnu Luthbiyyah adalah seorang penguasa. Nabi saw dalam hal ini berkedudukan sebagai Nabi sekaligus Rais ad Daulah. Dalam konteks asal, apa yang beliau lakukan adalah hujjah bagi kaum Muslim, baik rakyat maupun penguasa; dan tidak dikhususkan hanya untuk penguasa saja. Memang dalam konteks tertentu apa yang dilakukan Nabi saw hanya boleh ditiru oleh penguasa saja, semisal memotong tangan pencuri, rajam bagi pezina dan lain-lain. Namun, dalam hal mengoreksi penguasa dengan terang-terangan tidak harus dilakukan oleh penguasa yang lebih atas kepada penguasa yang lebih bawah, tapi bisa dilakukan oleh semua orang. Pasalnya, dalil-dalil umum telah menunjukkan masyru'nya mengoreksi penguasa dengan terang-terangan. Dengan demikian kisah koreksi Nabi saw atas Ibnu Luthbiyyah adalah hujjah jaliyah atas masyru'nya mengoreksi penguasa dengan terang-terangan,
HTI : b. Ada perintah dari Nabi saw agar kaum Muslim memberi nasehat kepada para penguasa fajir dan dzalim secara mutlak. Imam Al Hakim dan Ath Thabaraniy menuturkan riwayat dari Jabir ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
سيد الشهداء عند الله يوم القيامة حمزة بن عبد المطلب ورجل قام إلى إمام جائر فأمره ونهاه فقتله
“Pemimpin para syuhada di sisi Allah, kelak di hari Kiamat adalah Hamzah bin ‘Abdul Muthalib, dan seorang laki-laki yang berdiri di depan penguasa dzalim atau fasiq, kemudian ia memerintah dan melarangnya, lalu penguasa itu membunuhnya”. [HR. Imam Al Hakim dan Thabaraniy]
Hadits ini datang dalam bentuk umum. Hadits ini tidak menjelaskan secara rinci tatacara mengoreksi seorang penguasa; apakah harus dengan sembunyi-sembunyi atau harus dengan terang-terangan. Atas dasar itu, seorang Muslim dibolehkan menasehati penguasa dengan terang-terangan atau sembunyi-sembunyi (empat mata). Hadits ini tidak bisa ditakhshih dengan hadits-hadits yang menuturkan tentang muhasabah lil hukkam (mengoreksi penguasa) dengan empat mata. Pasalnya, hadits-hadits yang menuturkan tentang menasehati penguasa dengan empat mata adalah hadits dla’if. (Penjelasannya lihat di point berikutnya).
Tanggapan: Itu karena antum mendla’ifkan hadits yang sebenarnya hasan atau shahih yaitu hadits yang menjelaskan tata cara menasehati penguasa yaitu tidak boleh secara terangan-terangan, karena akibat antum kurang sungguh-sungguh mencari jalan-jalan lainnya yang antum tidak ketahui sebagaimana yang akan diterangkan.. maka nasehat saya jangan tergesa-gesa memvonis.. sebab perbuatan itu sama saja membongkar kebodohan antum sendiri..
TanggapanBalik:
Hadits di atas adalah dalil umum untuk muhasabah lil hukkam, dan tidak ada dalil yang mentakhshishnya. Seandainya riwayat Imam Ahmad itu shahih –seperti pendapat antum, walaupun padahal dla'if--, maka hadits itu juga tidak bisa mentakhshish keumuman hadits yang berbicara tentang mengoreksi penguasa dengan terang-terangan. Sebab, tidak semua kalimat yang berbentuk larangan (di dalam al Quran dan Sunnah) pasti berimplikasi hukum haram. Sighat nahyu bisa saja berimplikasi tahrim, karahah, tahqiir, bayaan al-'aqibah, ad-du'a, al-ya'su, al-irsyad, dan lain-lain, Larangan yang tersebut di dalam hadits Imam Ahmad hanya menunjukkan makna al-irsyad dan rukhshah belaka. Indikasinya adalah kalimat yang disebut dalam hadits tersebut:: (1) frase , "wa illa qad aday al-ladziy 'alaihi lahu" (dan jika tidak, maka dia telah menunaikan apa yang telah diwajibkan kepadanya bagi penguasa itu). Frase ini justru menunjukkan kewajiban mengoreksi penguasa dengan terang-terangan. Maksudnya, jika seseorang tidak mampu mengoreksi penguasa dengan terang-terangan, maka, menasehatinya dengan sembunyi-sembunyi sudah dianggap cukup dan bisa menghapus dosa "berdiam diri terhadap kemaksiyatan yang dilakukan oleh penguasa". Dalam hadits ini tidak ada indikasi yang menunjukkan haramnya mengoreksi penguasa dengan terang-terangan. (2) perkataan 'Iyadl bin Ghanm, "Sesungguhnya, engkau ya Hisyam, kamu sungguh berani, karena engkau berani kepada penguasanya Allah. Lalu, tidakkah engkau takut dibunuh oleh penguasanya Allah, dan engkau menjadi orang yang terbunuh oleh penguasa Allah tabaaraka wa ta’aala", menunjukkan bahwa beliau sedang mengingatkan saudaranya Hisyam bin Hakim tentang bahaya atau resiko yang akan diterimanya jika menasehati penguasa dengan terang-terangan, bukan mengingatkan atas kemaksiyatan yang dilakukan oleh Hisyam bin Hakim. Ini menunjukkan bahwa 'Iyadl bin Ghanm pun tahu bahwa menasehati penguasa dengan sembunyi-sembunyi adalah rukhshah (keringanan), sedangkan yang wajib dan paling asal adalah mengoreksi penguasa dengan terang-terangan.
Walhasil, hukum bolehnya mengoreksi penguasa dengan terang-terangan tidak bisa dikhususkan oleh hadits itu. Sebab, ada kalanya mengoreksi penguasa dengan diam2 itu baik dalam satu kondisi, namun tidak baik untuk kondisi yang lain; begitu juga sebaliknya.
Ana harus nyatakan bahwa semua jalur, termasuk jalur yang antum ketengahkah di bagian akhir bantahan ini juga terbukti lemahnya. Insya Allah, ana akan jelaskan kelemahannya.
MENDUDUKKAN FATWA PERGESERAN ARAH KIBLAT
oleh Syamsuddin Ramadhan pada 24 Juli 2010 pukul 9:08
Kewajiban Menghadap Kibat
Para ulama sepakat bahwasanya musholliy wajib menghadap kiblat ketika tidak ada udzur yang menghalangi dirinya. Imam Syaukani di dalam Kitab Nail al-Authar berkata:

....وَهُوَ يَدُلُّ عَلَى وُجُوبِ الِاسْتِقْبَالِ وَهُوَ إجْمَاعُ الْمُسْلِمِينَ إلَّا فِي حَالَةِ الْعَجْزِ أَوْ فِي الْخَوْفِ عِنْدَ الْتِحَامِ الْقِتَالِ أَوْ فِي صَلَاةِ التَّطَوُّعِ كَمَا سَيَأْتِي . وَقَدْ دَلَّ عَلَى الْوُجُوبِ الْقُرْآنُ وَالسُّنَّةُ الْمُتَوَاتِرَةُ..
"Hadits ini menunjukkan kewajiban menghadap kiblat, dan hal tersebut merupakan kesepakatan kaum Muslim, kecuali dalam keadaan lemah atau dalam keadaan takut saat terjadi peperangan, atau dalam sholat tathawwu' (sunnah), sebagaimana akan dijelaskan berikutnya. Al-Quran dan Sunnah mutawatir telah menunjukkan kewajiban ini ". [Imam Syaukaniy, Nail al-Authar, juz 2/164]
Hanya saja, para ulama berbeda pendapat apakah menghadap kiblat (istiqbaal al-qiblah) termasuk syarat sah sholat, atau hanya kewajiban saja. Mayoritas ulama berpendapat bahwasa menghadap kiblat termasuk syarat sahnya sholat. Imam Nawawiy dalam Kitab Raudlat al-Thaalibin wa 'Umdat al-Muftiin menyatakan:

الباب الثالث في استقبال القبلة. وهو شرط لصحة الفريضة إلا في شدة خوف القتال المباح وسائر وجوه الخوف وشرط لصحة النافلة إلا في شدة الخوف والسفر المباح والعاجز كالمريض
"Bab Ketiga Mengenai Menghadap Kiblat. Menghadap kiblat adalah syarat sah sholat fardlu kecuali dalam keadaan ketakutan yang teramat sangat dalam peperangan yang dibolehkan, dan semua hal yang menyebabkan ketakutan. Menghadap kiblat juga menjadi syarat sah untuk sholat nafilah (sunnah) kecuali dalam keadaan ketakutan yang teramat sangat, perjalanan yang mubah, dan tidak mampu, semacam sakit..."[Imam An Nawawiy, 'Raudlat al-Thaalibiin wa Umdat al-Muftiin, juz 1/76]. Pendapat senada juga disampaikan oleh Imam Ibnu Qudamah dalam Kitab al-Mughniy:

قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ اسْتِقْبَالَ الْقِبْلَةِ شَرْطٌ لِصِحَّةِ الصَّلَاةِ ، وَلَا فَرْقَ بَيْنَ الْفَرِيضَةِ وَالنَّافِلَةِ ؛ لِأَنَّهُ شَرْطٌ لِلصَّلَاةِ ، فَاسْتَوَى فِيهِ الْفَرْضُ وَالنَّفَلُ ، كَالطَّهَارَةِ وَالسِّتَارَةِ ، وَلِأَنَّ قَوْله تَعَالَى : { وَحَيْثُمَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ } عَامٌّ فِيهِمَا جَمِيعًا .
"Kami telah menjelaskan bahwa menghadap kiblat adalah syarat sah sholat. Tidak ada perbedaan antara sholat fardlu dengan sholat nafilah. Sebab, menghadap kiblat itu adalah syarat sholat, dan dalam masalah ini sama antara fardlu dan nafilah; seperti halnya thaharah (suci) dan menutup aurat. Pasalnya, firman Allah swt, "Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya".[TQS Al Baqarah (2):144] berlaku umum baik untuk sholat fardlu maupun nafilah."[Imam Ibnu Qudamah, Al-Mughniy, juz 2/272]
Sedangkan Imam Syaukaniy berpendapat bahwa menghadap kiblat adalah kewajiban, namun bukan syarat sah sholat. Artinya, jika seseorang sholat tidak menghadap kiblat, maka ia berdosa, namun tidak ada kewajiban untuk mengulangi sholatnya . Di dalam Kitab Nail al-Authar beliau berkata:

وَقَالَتْ الْهَادَوِيَّةُ : إنَّ اسْتِقْبَالَ الْقِبْلَةِ مِنْ شَرْطِ صِحَّةِ الصَّلَاةِ ، وَقَدْ عَرَّفْنَاك فِيمَا سَبَقَ أَنَّ الْأَوَامِرَ بِمُجَرَّدِهَا لَا تَصْلُحُ لِلِاسْتِدْلَالِ بِهَا عَلَى الشَّرْطِيَّةِ إلَّا عَلَى الْقَوْلِ بِأَنَّ الْأَمْرَ بِالشَّيْءِ نَهْيٌ عَنْ ضِدِّهِ وَلَكِنْ هَهُنَا مَا يَمْنَعُ مِنْ الشَّرْطِيَّةِ وَهُوَ خَبَرُ السَّرِيَّةِ الَّذِي أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ وَأَحْمَدُ وَالطَّبَرَانِيُّ مِنْ حَدِيثِ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ
"Al-Hadawiyyah berkata: Sesungguhnya menghadap kiblat termasuk syarat sahnya sholat. Sebelumnya kami telah menjelaskan kepada anda bahwasanya sekedar "awaamir" (perintah-perintah) tidak sah digunakan dalil untuk menunjukkan "syarthiyyah" (persyaratan), kecuali ada ucapan yang menunjukkan bahwa perintah untuk mengerjakan sesuatu tersebut merupakan an-nahy (larangan) untuk kebalikannya. Tetapi, dalam kasus ini ada dalil yang mencegah dijadikannya sebagai syarthiyyah, yakni khabarnya As Sariyyah yang dikeluarkan oleh Imam Tirmidziy, Imam Ahmad, dan Imam Ath Thabaraniy dari haditsnya 'Amir bin Rabi'ah ra…"[Imam Asy Syaukaniy, Nail al-Authar, juz 2/164; lihat juga Syaikh Mahmud Abdul Lathif 'Uwaidlah, al-Jaami' li Ahkaam al-Sholah, juz 2/149]

Menentukan Arah Kiblat: Berdasarkan 'Ain Ka'bah Atau Arahnya (Jihah al-Ka'bah)?
Berkaitan dengan penentuan arah kiblat, Imam Ibnu Qudamah di dalam Kitab Al-Mughniy menyatakan:

ثُمَّ إنْ كَانَ مُعَايِنًا لِلْكَعْبَةِ ، فَفَرْضُهُ الصَّلَاةُ إلَى عَيْنِهَا . لَا نَعْلَمُ فِيهِ خِلَافًا. قَالَ ابْنُ عَقِيلٍ ؛ إنْ خَرَجَ بَعْضُهُ عَنْ مُسَامَتَةِ الْكَعْبَةِ لَمْ تَصِحَّ صَلَاتُهُ .وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا : النَّاسُ فِي اسْتِقْبَالِهَا عَلَى أَرْبَعَةِ أَضْرُبٍ : مِنْهُمْ مَنْ يَلْزَمُهُ الْيَقِينُ ، وَهُوَ مَنْ كَانَ مُعَايِنًا لِلْكَعْبَةِ ، أَوْ كَانَ بِمَكَّةَ مِنْ أَهْلِهَا ، أَوْ نَاشِئًا بِهَا مِنْ وَرَاءِ حَائِلٍ مُحْدَثٍ كَالْحِيطَانِ ، فَفَرْضُهُ التَّوَجُّهُ إلَى عَيْنِ الْكَعْبَةِ يَقِينًا .وَهَكَذَا إنْ كَانَ بِمَسْجِدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَنَّهُ مُتَيَقِّنٌ صِحَّةَ قِبْلَتِهِ ، فَإِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُقِرُّ عَلَى الْخَطَأِ ، وَقَدْ رَوَى أُسَامَةُ { أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ ، قِبَلَ الْقِبْلَةِ ، وَقَالَ : هَذِهِ الْقِبْلَةُ } . الثَّانِي : مَنْ فَرْضُهُ الْخَبَرُ ، وَهُوَ مَنْ كَانَ بِمَكَّةَ غَائِبًا عَنْ الْكَعْبَةِ مِنْ غَيْرِ أَهْلِهَا ، وَوَجَدَ مُخْبِرًا يُخْبِرُهُ عَنْ يَقِينٍ أَوْ مُشَاهَدَةٍ ، مِثْلُ أَنْ يَكُونَ مِنْ وَرَاءِ حَائِلٍ ، وَعَلَى الْحَائِلِ مَنْ يُخْبِرُهُ ، أَوْ كَانَ غَرِيبًا نَزَلَ بِمَكَّةَ ، فَأَخْبَرَهُ أَهْلُ الدَّارِ ، وَكَذَلِكَ لَوْ كَانَ فِي مِصْرٍ أَوْ قَرْيَةٍ ، فَفَرْضُهُ التَّوَجُّهُ إلَى مَحَارِيبِهِمْ وَقِبْلَتِهِمْ الْمَنْصُوبَةِ ؛ لِأَنَّ هَذِهِ الْقِبَلَ يَنْصِبُهَا أَهْلُ الْخِبْرَةِ وَالْمَعْرِفَةِ ، فَجَرَى ذَلِكَ مَجْرَى الْخَبَرِ ، فَأَغْنَى عَنْ الِاجْتِهَادِ ، وَإِنْ أَخْبَرَهُ مُخْبِرٌ مِنْ أَهْلِ الْمَعْرِفَةِ بِالْقِبْلَةِ ؛ أَمَّا مِنْ أَهْلِ الْبَلَدِ ، أَوْ مِنْ غَيْرِهِ ، صَارَ إلَى خَبَرِهِ ، وَلَيْسَ لَهُ الِاجْتِهَادُ ، كَمَا يَقْبَلُ الْحَاكِمُ النَّصَّ مِنْ الثِّقَةِ ، وَلَا يَجْتَهِدُ. الثَّالِثُ : مَنْ فَرْضُهُ الِاجْتِهَادُ ، وَهُوَ مَنْ عَدِمَ هَاتَيْنِ الْحَالَتَيْنِ ، وَهُوَ عَالِمٌ بِالْأَدِلَّةِ . الرَّابِعُ : مَنْ فَرْضُهُ التَّقْلِيدُ ، وَهُوَ الْأَعْمَى وَمَنْ لَا اجْتِهَادَ لَهُ ، وَعَدِمَ الْحَالَتَيْنِ ، فَفَرْضُهُ تَقْلِيدُ الْمُجْتَهِدِينَ . وَالْوَاجِبُ عَلَى هَذَيْنِ وَسَائِرِ مَنْ بَعُدَ مِنْ مَكَّةَ طَلَبُ جِهَةِ الْكَعْبَةِ ، دُونَ إصَابَةِ الْعَيْنِ . َالَ أَحْمَدُ : مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ ، فَإِنْ انْحَرَفَ عَنْ الْقِبْلَةِ قَلِيلًا لَمْ يُعِدْ ، وَلَكِنْ يَتَحَرَّى الْوَسَطَ . وَبِهَذَا قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ .
"Bila seseorang melihat Ka'bah, ia wajib sholat menghadap 'ainnya Ka'bah. Kami tidak mengetahui ada khilaf dalam masalah ini. Ibnu 'Uqail berkata, "Jika orang yang melihat Ka'bah tidak sholat menghadap Ka'bah, maka sholatnya tidak sah. Sebagian ulama madzhab kami berpendapat, "Dalam konteks menghadap kiblat, masyarakat itu terbagi menjadi empat macam. Pertama, orang yang yaqin (melihat Ka'bah), yakni orang yang melihat 'ainnya Ka'bah, atau penduduk kota Mekah, atau berada di balik pagar kota Mekah, maka secara menyakinkan ia wajib menghadap ke 'ainnya Ka'bah. Demikian juga orang yang sholat di dalam Masjid Nabi Mohammad saw. Ia pasti yakin akan keshahihan kiblatnya. Sebab, Nabi saw tidak akan menyetujui kesalahan. Usamah meriwayatkan bahwasanya Nabi saw sholat dua raka'at, menghadap kiblat, dan berkata, "Ini adalah kiblat". "Kedua, orang yang diwajibkan menghadap kiblat karena adanya informasi. Dia adalah orang yang berada di Mekah, namun bukan penduduk Mekah, dan tidak bisa melihat Ka'bah. Lalu ia mendapati seseorang yang menginformasikan secara menyakinkan atau memberikan kesaksiannya. Seperti orang yang berada di balik pagar kota Mekah, kemudian ada orang yang memberikan informasi (tentang kiblat) kepadanya; atau orang asing yang sedang berada di Mekah, lalu penduduknya memberikan informasi kepadanya. Begitu juga jika seseorang berada di negara Mesir atau suatu negeri, maka ia wajib menghadap kepada mihrab-mihrab atau kiblat-kiblat yang dtelah ditetapkan oleh penduduk negeri tersebut. Sebab, kiblat-kiblat tersebut telah ditetapkan oleh orang yang ahli dan mengetahui kiblat. Hal ini seperti orang yang memberikan suatu informasi, dan tidak membutuhkan ijtihad. Jika orang yang ahli dalam penetapan kiblat memberikan informasi kiblat kepada seseorang, sama saja apakah orang yang ahli kiblat itu adalah penduduk negeri tersebut atau bukan; maka orang tersebut harus merujuk kepada informasi orang yang ahli tersebut. Dia tidak boleh berijtihad. Hal ini sama persis dengan seorang hakim yang wajib mengambil informasi dari orang yang tsiqqah, dan ia tidak perlu berijtihad. Ketiga: orang yang wajib menghadap kiblat karena ijtihadnya. Dia adalah orang yang tidak berada dalam dua keadaan di atas, namun paham terhadap dalil (petunjuk). Keempat: orang yang taqlid (mengikuti orang lain). Dia adalah orang buta dan orang yang tidak mampu berijtihad, atau tidak berada dalam dua keadaan tersebut; maka kewajiban orang tersebut adalah taqlid kepada para mujtahid. Kewajiban orang yang berada dalam dua keadaan tersebut dan semua orang yang jauh dari kota Mekah adalah mencari arah Ka'bah (jihah al-ka'bah), bukan pada 'ainnya Ka'bah. Imam Ahmad menafsirkan , " Maa baina al-masyriq wa al-maghrib qiblah (arah antara timur dan barat adalah kiblat), maka jika bergeser dari kiblat sedikit, tidak terlalu jauh, maka tidak diperhitungkan. Akan tetapi, ia harus berusaha mencari pertengahannya". Dengan hadits ini pula, Abu Hanifah berpendapat".[Imam Ibnu Qudamah, Al-Mughniy, juz 2/273]
Syaikh Mahmud 'Abdul Lathif 'Uwaidlah , di dalam Kitab Al-Jaami' li Ahkaam al-Sholah, juz 2/52, menyatakan:

لا يجب على المسلم أن يتَّجه إلى عين الكعبة أو مكانها بالذات إلا على المسلم الموجود في المسجد الحرام، أو في بقعة من مكة المكرمة يرى منها بناء الكعبة، ففي هذه الحالة يتوجب عليه أن يتجه إلىعين الكعبة، ولا يجْزئ التوجُّه إلى الجهة الموجودة فيها، لأن الكعبة هي القِبلة وليست جهتها ولا ناحيتها، وأما مَن كان في مكة ولا يرى الكعبة ولكنه يرى المسجد الحرام أو جانباً منه، فإنه يتوجَّه نحو المسجد الحرام ويكفيه ذلك، وأما مَن كان خارج مكة قريباً منها فإنه يتحرى استقبال مكة، وهكذا كلما بعدت المسافة قلَّ التَّشدُّد في تحرِّي العين ليُصبح تحرِّياً للجهة والناحية فحسب
"Tidak wajib atas seorang Muslim menghadap kearah 'ain-nya (bendanya) Ka'bah atau tempat keberadaan Ka'bah, kecuali atas Muslim yang berada di Masjidil Haram atau berada di sekitar kota Mekah Mukarramah yang dari tempat itu ia bisa melihat bangunan Ka'bah. Dalam kondisi semacam ini, diwajibkan atas dirinya menghadap kepada 'ainnya Ka'bah; dan dia tidak boleh menghadap ke arah sisi (jihhah) Ka'bah. Sebab, Ka'bah adalah kiblat, bukan arah Ka'bah maupun sisinya. Adapun orang yang berada di Mekah namun tidak bisa melihat Ka'bah, tetapi bisa melihat Masjid al-Haram atau berada di sisi Masjid al-Haram, maka dia menghadap ke arah Masjid al-Haram, dan ini sudah cukup bagi dirinya. Adapun orang yang berada di luar Mekah tetapi dekat dari Mekah, maka ia mesti berusaha menghadap ke arah Ka'bah. Begitulah seterusnya, ketika jaraknya semakin jauh, semakin kecil pula penekanan untuk mencari 'ain Ka'bah, sehingga ia cukup mencari arah atau sisi Ka'bah saja".[Syaikh Mahmud 'Abdul Lathif al-'Uwaidlah, Kitab Al-Jaami' li Ahkaam al-Sholah, juz 2/52]
Berdasarkan penjelasan di atas dapatlah disimpulkan sebagai berikut:
Pertama, orang yang bisa melihat bangunan Ka'bah, maka ia wajib sholat menghadap ke arah bangunan Ka'bah.
Kedua, bagi orang yang tidak bisa melihat bangunan Ka'bah, karena tempat tinggalnya berjauhan dari kota Mekah, maka cukup bagi dirinya menghadap kepada arah Ka'bah (jihah al-Ka'bah), dan tidak harus menghadap kepada 'ainnya Ka'bah.

Dalil Bagi Orang Yang Jauh Cukup Menghadap Arah Ka'bah (Jihah al-Ka'bah)
Salah satu dalil yang menunjukkan bahwa orang yang jauh dari Ka'bah berkewajiban menghadap ke arah Ka'bah (jihah al-ka'bah), bukan pada bangunan Ka'bah adalah hadits yang dituturkan oleh Imam Ibnu Majah dan Imam Tirmidziy:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ { : مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ } .رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ وَالتِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَهُ

"Dari Abu Hurairah ra dituturkan bahwasanya Nabi saw bersabda, "Antara timur dan barat adalah kiblat". [HR. Imam Ibnu Majah dan Tirmidziy, dan beliau menshahihkan hadits ini].
Imam Syaukani menjelaskan hadits di atas sebagai berikut:

وَالْحَدِيثُ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْفَرْضَ عَلَى مَنْ بَعُدَ عَنْ الْكَعْبَةِ الْجِهَةُ لَا الْعَيْنُ ، وَإِلَيْهِ ذَهَبَ مَالِكٌ وَأَبُوحَنِيفَةَ وَأَحْمَدُ ، وَهُوَ ظَاهِرُ مَا نَقَلَهُ الْمُزَنِيّ عَنْ الشَّافِعِيِّ . وَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ أَيْضًا : إنَّ شَطْرَ الْبَيْتِ وَتِلْقَاءَهُ وَجِهَتَهُ وَاحِدٌ فِي كَلَامِ الْعَرَبِ
"Hadits ini menunjukkan bahwa kewajiban (fardlu) bagi orang yang jauh dari Ka'bah adalah menghadap arah (al-jihah), bukan pada bangunan Ka'bah (al-'ain). Imam Malik, Abu Hanifah, dan Imam Ahmad berpendapat seperti ini". [Imam Syaukaniy, Nail al-Authar, juz 2/168]
Di dalam Kitab Al-Jaami' li Ahkaam al-Sholah, Syaikh Mahmud Abdul Lathif 'Uwaidlah menyatakan:

لا يجب على المسلم أن يتَّجه إلى عين الكعبة أو مكانها بالذات إلا على المسلم الموجود في المسجد الحرام، أو في بقعة من مكة المكرمة يرى منها بناء الكعبة، ففي هذه الحالة يتوجب عليه أن يتجه إلى عين الكعبة، ولا يجْزيء التوجُّه إلى الجهة الموجودة فيها...
"Seorang Muslim tidak wajib menghadap bangunan Ka'bah ('ain al-ka'bah), atau tempat berdirinya Ka'bah, kecuali atas seorang Muslim yang berada di Masjidil Haram, atau berada di sekitar kota Makkah Mukarramah dan bisa melihat bangunan Ka'bah. Dalam keadaan seperti ini, wajib bagi dirinya menghadap bangunan Ka'bah dan tidak boleh menghadap ke sisi (jihah) yang ada pada Ka'bah…."[Syakh Mahmud Abdul Lathif 'Uwaidlah, Al-Jaami' li Ahkaam al-Sholah, juz 2/52]
Imam Ibnu Qudamah dalam Kitab Al-Mughniy berkata:

وَالْوَاجِبُ عَلَى هَذَيْنِ وَسَائِرِ مَنْ بَعُدَ مِنْ مَكَّةَ طَلَبُ جِهَةِ الْكَعْبَةِ ، دُونَ إصَابَةِ الْعَيْنِ . َالَ أَحْمَدُ : مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ ، فَإِنْ انْحَرَفَ عَنْ الْقِبْلَةِ قَلِيلًا لَمْ يُعِدْ ، وَلَكِنْ يَتَحَرَّى الْوَسَطَ . وَبِهَذَا قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ .
"Yang wajib atas orang yang berada dalam dua keadaan ini, dan semua orang yang jauh dari kota Mekah adalah mencari arah Ka'bah (jihah al-ka'bah), bukan pada 'ainnya Ka'bah. Imam Ahmad menafsirkan , " Maa baina al-masyriq wa al-maghrib qiblah (arah antara timur dan barat adalah kiblat), maka jika bergeser dari kiblat sedikit, tidak terlalu jauh, maka ia tidak perlu diperhitungkan. Akan tetapi, ia harus berusaha mencari pertengahannya". Dengan hadits ini pula, Abu Hanifah berpendapat".[Imam Ibnu Qudamah, Al-Mughniy, juz 2/273]

Kesimpulan dan Peringatan
Pertama, orang yang jauh dari kota Mekah tidak diwajibkan menghadap ke arah bangunan Ka'bah, akan tetapi cukup menghadap ke arah sisi Ka'bah.
Kedua, pergeseran sedikit dari arah kiblat tidaklah perlu dipersoalkan. Pasalnya, yang dituntut bukanlah menghadap ke arah bangunan Ka'bah secara persis, akan tetapi menghadap ke arah sisi Ka'bah (jihah al-ka'bah). Adanya pergeseran sedikit tidaklah menjadi masalah, dan sama sekali tidak membatalkan sholat.
Ketiga, fatwa pergeseran kiblat yang dilansir sebagian orang di negeri ini tidak perlu direspon secara berlebihan. Pasalnya, selain pergeserannya masih kecil, ranah ini termasuk ranah khilafiyyah, di mana para ulama mu'tabar telah mendiskusikannya secara panjang lebar, dan mereka berbeda pendapat dalam masalah tersebut. Jika fatwa seperti ini direspon secara berlebihan, dikhawatirkan malah menimbulkan perpecahan, perselisihan, dan permusuhan di tengah-tengah kaum Muslim; serta digunakan dan dimanfaatkan oleh penguasa-penguasa kufur yang dzalim untuk mengalihkan perhatian kaum Muslim dari problem-problem masyarakat yang lebih penting, seperti tidak diterapkannya syariat Islam oleh para penguasa sekuler, serta lahirnya kebijakan-kebijakan dzalim yang semakin menyusahkan rakyat, semacam kebijakan kenaikan TDL yang berakibat pada naiknya harga barang-barang lain. Wallahu al-Musta'an wa Huwa Waliyu at-Taufiq. [Fathiy Syamsuddin Ramadhan An Nawiy, Anggota Lajnah Tsaqafiyyah DPP Hizbut Tahrir]
Top of Form
Jangan Meragukan Perintah Allah!
oleh Syamsuddin Ramadhan pada 8 Juni 2010 pukul 16:57
وَثَلاَثَةٌ لاَ تُسْأَلُ عَنْهُمْ: رَجُلٌ نَازَعَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ رِدَاءَهُ فَإِنَّ رِدَاءَهُ الْكِبْرِيَاءُ وَإِزَارَهُ الْعِزَّةُ، وَرَجُلٌ شَكَّ فِي أَمْرِ اللهِ، وَالْقُنُوْطُ مِنْ رَحْمَةِ اللهِ
"Ada tiga golongan manusia yang tidak akan ditanya di hari Kiamat yaitu: manusia yang mencabut selendang Allah; dan sesungguhnya selendang Allah adalah kesombongan dan kainnya adalah al-'izzah (keperkasaan); manusia yang meragukan perintah Allah; dan manusia yang putus harapan dari rahmat Allah." [HR. Ahmad, Thabrani, Al-Bazar. Al-Haitsami berkata perawinya terpercaya. Al-Bukhari dalam kitab Al-Adab, Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya]
Hadits Keutamaan Mengoreksi Penguasa
oleh Syamsuddin Ramadhan pada 3 Juni 2010 pukul 18:44
وعن جابر بن عبد الله رضى الله عنهما: أن النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم قال لكعب بن عجرة: أعاذك الله من إمارة السفهاء، قال: وما السفهاء؟ قال: "أمراء يكونون بعدي، لا يهتدون بهدي، ولا يستنون بسنتي، فمن صدقهم بكذبهم، وأعانهم على ظلمهم، فأولئك ليسوا مني ولست منهم، ولا يردون على حوضي، ومن لم يصدقهم بكذبهم، ولم يعنهم على ظلمهم، فأولئك مني، وأنا منهم وسيردون على حوضي! ]”..رواه أحمد والبزار [.

Dari Jabir bin ‘Abdullah dituturkan bahwasanya Nabi saw berkata kepada Ka’ab bin ‘Ajrah ra, “Berlindunglah kepada Allah swt dari kepemimpinan yang bodoh? Dia bertana, “Siapa pemimpin bodoh itu? Nabi saw menjawab, “Para pemimpin yang ada setelahku, yang mereka tidak menunjukki dengan petunjukku, dan tidak berjalan di atas sunnahku. Siapa saja yang membenarkan kedustaan mereka, membantu kedzaliman mereka, maka dia bukan termasuk golonganku dan bukan dari golongan mereka; dan dia tidak menginginkan telagaku!..”[HR. Imam Ahmad dan Al Bazar]
Kritik Atas Pendapat Yang Menyatakan Mengoreksi Penguasa Harus Dengan (Empat Mata)
oleh Syamsuddin Ramadhan pada 2 Juni 2010 pukul 19:35
Perlu kami nyatakan bahwa hukum asal amar makruf nahi mungkar harus dilakukan secara terang-terangan, dan tidak boleh disembunyikan. Ini adalah pendapat mu'tabar dan perilaku generasi salafus sholeh. Namun, sebagian orang bodoh berpendapat bahwa menasehati seorang penguasa haruslah dengan cara sembunyi-sembunyi (empat mata). Menurut mereka, seorang Muslim dilarang menasehati mereka dengan terang-terangan di depan umum, atau mengungkapkan kejahatan dan keburukan mereka di depan umum, karena ada dalil yang mengkhususkan. Pendapat semacam ini adalah pendapat bathil, dan bertentangan dengan realitas muhasabah al-hukkam yang dilakukan oleh Nabi saw, para shahabat dan generasi-generasi salafus shaleh sesudah mereka.
Pasalnya, pendapat tersebut (keharusan mengoreksi pennguasa dengan empat mata) bertentangan dengan point-point berikut ini:
a. Perilaku Rasulullah saw dalam mengoreksi pejabat yang diserahi tugas mengatur urusan rakyat (pemerintahan). Beliau saw tidak segan-segan mengumumkan perbuatan buruk yang dilakukan oleh pejabatnya di depan kaum Muslim, dengan tujuan agar pelakunya bertaubat dan agar pejabat-pejabat lain tidak melakukan perbuatan serupa. Imam Bukhari dan Muslim menuturkan sebuah riwayat dari Abu Humaid As Sa'idiy bahwasanya ia berkata:

اسْتَعْمَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا عَلَى صَدَقَاتِ بَنِي سُلَيْمٍ يُدْعَى ابْنَ الْلَّتَبِيَّةِ فَلَمَّا جَاءَ حَاسَبَهُ قَالَ هَذَا مَالُكُمْ وَهَذَا هَدِيَّةٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهَلَّا جَلَسْتَ فِي بَيْتِ أَبِيكَ وَأُمِّكَ حَتَّى تَأْتِيَكَ هَدِيَّتُكَ إِنْ كُنْتَ صَادِقًا ثُمَّ خَطَبَنَا فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّي أَسْتَعْمِلُ الرَّجُلَ مِنْكُمْ عَلَى الْعَمَلِ مِمَّا وَلَّانِي اللَّهُ فَيَأْتِي فَيَقُولُ هَذَا مَالُكُمْ وَهَذَا هَدِيَّةٌ أُهْدِيَتْ لِي أَفَلَا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ حَتَّى تَأْتِيَهُ هَدِيَّتُهُ وَاللَّهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْكُمْ شَيْئًا بِغَيْرِ حَقِّهِ إِلَّا لَقِيَ اللَّهَ يَحْمِلُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَلَأَعْرِفَنَّ أَحَدًا مِنْكُمْ لَقِيَ اللَّهَ يَحْمِلُ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ يَدَهُ حَتَّى رُئِيَ بَيَاضُ إِبْطِهِ يَقُولُ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ بَصْرَ عَيْنِي وَسَمْعَ أُذُنِي
"Rasulullah saw mengangkat seorang laki-laki menjadi amil untuk menarik zakat dari Bani Sulaim. Laki-laki itu dipanggil dengan nama Ibnu Luthbiyyah. Tatkala tugasnya telah usai, ia bergegas menghadap Nabi saw; dan Nabi Mohammad saw menanyakan tugas-tugas yang telah didelegasikan kepadanya. Ibnu Lutbiyah menjawab, ”Bagian ini kuserahkan kepada anda, sedangkan yang ini adalah hadiah yang telah diberikan orang-orang (Bani Sulaim) kepadaku. Rasulullah saw berkata, ”Jika engkau memang jujur, mengapa tidak sebaiknya engkau duduk-duduk di rumah ayah dan ibumu, hingga hadiah itu datang sendiri kepadamu”. Beliau saw pun berdiri, lalu berkhutbah di hadapan khalayak ramai. Setelah memuji dan menyanjung Allah swt, beliau bersabda, ”’Amma ba’du. Aku telah mengangkat seseorang di antara kalian untuk menjadi amil dalam berbagai urusan yang diserahkan kepadaku. Lalu, ia datang dan berkata, ”Bagian ini adalah untukmu, sedangkan bagian ini adalah milikku yang telah dihadiahkan kepadaku”. Apakah tidak sebaiknya ia duduk di rumah ayah dan ibunya, sampai hadiahnya datang sendiri kepadanya, jika ia memang benar-benar jujur? Demi Allah, salah seorang di antara kalian tidak akan memperoleh sesuatu yang bukan haknya, kecuali ia akan menghadap kepada Allah swt dengan membawanya. Ketahuilah, aku benar-benar tahu ada seseorang yang datang menghadap Allah swt dengan membawa onta yang bersuara, atau sapi yang melenguh, atau kambing yang mengembik. Lalu, Nabi saw mengangkat kedua tangannya memohon kepada Allah swt, hingga aku (perawi) melihat putih ketiaknya”. [HR. Imam Bukhari dan Muslim]
Hadits di atas adalah dalil sharih yang menunjukkan bahwasanya Rasulullah saw pernah menasehati salah seorang pejabatnya dengan cara mengungkap keburukannya secara terang-terangan di depan khalayak ramai. Beliau saw tidak hanya menasehati Ibnu Luthbiyyah dengan sembunyi-sembunyi, akan tetapi, membeberkan kejahatannya di depan kaum Muslim. Lantas, bagaimana bisa dinyatakan bahwa menasehati penguasa haruslah dengan sembunyi-sembunyi (empat mata), sedangkan Nabi saw, manusia yang paling mulia akhlaqnya, justru menasehati salah satu pejabatnya (penguasa Islam) dengan terangan-terangan, bahkan diungkap di depan khalayak ramai?
b. Ada perintah dari Nabi saw agar kaum Muslim memberi nasehat kepada para penguasa fajir dan dzalim secara mutlak. Imam Al Hakim dan Ath Thabaraniy menuturkan riwayat dari Jabir ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

سيد الشهداء عند الله يوم القيامة حمزة بن عبد المطلب ورجل قام إلى إمام جائر فأمره ونهاه فقتله
"Pemimpin para syuhada di sisi Allah, kelak di hari Kiamat adalah Hamzah bin 'Abdul Muthalib, dan seorang laki-laki yang berdiri di depan penguasa dzalim atau fasiq, kemudian ia memerintah dan melarangnya, lalu penguasa itu membunuhnya". [HR. Imam Al Hakim dan Thabaraniy]
Hadits ini datang dalam bentuk umum. Hadits ini tidak menjelaskan secara rinci tatacara mengoreksi seorang penguasa; apakah harus dengan sembunyi-sembunyi atau harus dengan terang-terangan. Atas dasar itu, seorang Muslim dibolehkan menasehati penguasa dengan terang-terangan atau sembunyi-sembunyi (empat mata). Hadits ini tidak bisa ditakhshih dengan hadits-hadits yang menuturkan tentang muhasabah lil hukkam (mengoreksi penguasa) dengan empat mata. Pasalnya, hadits-hadits yang menuturkan tentang menasehati penguasa dengan empat mata adalah hadits dla'if. (Penjelasannya lihat di point berikutnya).
c. Ada perintah dari Rasulullah saw untuk mengoreksi (muhasabah) penguasa hingga taraf memerangi penguasa yang melakukan kekufuran yang nyata (kufran bawahan). Nabi saw memerintahkan para shahabat untuk mengoreksi penguasa dengan pedang, jika telah tampak kekufuran yang nyata. Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari 'Ubadah bin Shamit, bahwasanya dia berkata:

دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
"Nabi SAW mengundang kami, lalu kami mengucapkan baiat kepada beliau dalam segala sesuatu yang diwajibkan kepada kami bahwa kami berbaiat kepada beliau untu selalu mendengarkan dan taat [kepada Allah dan Rasul-Nya], baik dalam kesenangan dan kebencian kami, kesulitan dan kemudahan kami dan beliau juga menandaskan kepada kami untuk tidak mencabut suatu urusan dari ahlinya kecuali jika kalian (kita) melihat kekufuran secara nyata [dan] memiliki bukti yang kuat dari Allah."[HR. Imam Bukhari]
Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا
"Akan datang para penguasa, lalu kalian akan mengetahui kemakrufan dan kemungkarannya, maka siapa saja yang membencinya akan bebas (dari dosa), dan siapa saja yang mengingkarinya dia akan selamat, tapi siapa saja yang rela dan mengikutinya (dia akan celaka)". Para shahabat bertanya, "Tidaklah kita perangi mereka?" Beliau bersabda, "Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat" Jawab Rasul.” [HR. Imam Muslim]
Tatkala berkomentar terhadap hadits ini, Imam Nawawi, dalam Syarah Shahih Muslim menyatakan, "Di dalam hadits ini terkandung mukjizat nyata mengenai kejadian yang akan terjadi di masa depan, dan hal ini telah terjadi sebagaimana yang telah dikabarkan oleh Rasulullah saw….Sedangkan makna dari fragmen, ""Tidaklah kita perangi mereka?" Beliau bersabda, "Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat," jawab Rasul; adalah ketidakbolehan memisahkan diri dari para khalifah, jika mereka sekedar melakukan kedzaliman dan kefasikan, dan selama mereka tidak mengubah satupun sendi-sendi dasar Islam."
Hadits di atas menunjukkan bahwa dalam kondisi-kondisi tertentu seorang Muslim wajib mengoreksi penguasa dengan terang-terangan bahkan dengan pedang, jika para penguasanya melakukan kekufuran yang nyata. Hadits-hadits di atas juga menjelaskan bahwa seorang Muslim wajib memisahkan diri dari penguasa-penguasa yang melakukan kekufuran yang nyata. Selain itu, riwayat di atas juga menunjukkan bahwa menasehati penguasa boleh dilakukan dengan pedang, jika penguasa tersebut telah menampakkan kekufuran yang nyata. Lalu, bagaimana bisa dinyatakan bahwa menasehati penguasa harus dilakukan dengan sembunyi-sembunyi (empat mata) dan tidak boleh dilakukan dengan terang-terangan?
d. Realitas muhasabah yang dilakukan oleh para shahabat ra terhadap para penguasa. Apabila kita meneliti secara jernih dan mendalam realitas muhasabah hukam yang dilakukan oleh shahabat ra, dapatlah disimpulkan bahwa mereka melakukan muhasabah dengan berbagai macam cara, tidak dengan satu cara saja. Riwayat-riwayat berikut ini menjelaskan kepada kita bagaimana cara-cara muhasabah yang mereka lakukan.
• Di dalam Kitab Al Bidayah wa An Nihayah, juz 8, hal. 217, disebutkan bahwasanya Imam Al Huda al-Husain bin 'Ali ra, pemimpin pemuda ahlul jannah, memisahkan diri (khuruj) dari penguasa fajir Khalifah Yazid bin Mu'awiyyah. Imam Husain ra dibai'at oleh penduduk Kufah pada tahun 61 H. Beliau ra juga mengutus anak pamannya, Muslim bin 'Aqil ra untuk mengambil bai'at penduduk Kufah untuk dirinya. Dan tidak kurang 18 ribu orang membai'at dirinya. Dan di dalam sejarah, tak seorang pun menyatakan bahwa Imam Husain ra dan penduduk Kufah pada saat itu termasuk firqah (kelompok) yang sesat )".[Al Bidayah wa An Nihayah, juz 8/217] Inilah cara yang dilakukan oleh Imam Husain bin 'Ali ra untuk mengoreksi (muhasabah) kepemimpinan Yazid bin Mu'awiyyah.
• Sebelum Imam Husain bin 'Ali ra, kaum Muslim juga menyaksikan Ummul Mukminin 'Aisyah ra yang memimpin kaum Muslim untuk khuruj dari Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. Inilah cara Ummul Mukminin 'Aisyah ra mengoreksi Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. Hingga akhirnya, meletuslah peperangan yang sangat besar dan terkenal dalam sejarah umat Islam, Perang Jamal.
• Ketika Umar bin Khaththab ra berkhuthbah di hadapan kaum Muslim, setelah beliau diangkat menjadi Amirul Mukminin, beliau berkata, "Barangsiapa di antara kalian melihatku bengkok, maka hendaklah dia meluruskannya". Seorang laki-laki Arab berdiri dan berkata, "Demi Allah wahai Umar, jika kami melihatmu bengkok, maka kami akan meluruskannya dengan tajamnya pedang kami".
• Pada saat Umar bin Khaththab ra mengenakan baju dari kain Yaman yang di dapat dari harta ghanimah. Beliau ra kemudian berkhuthbah di hadapan para shahabat dengan baju itu, dan berkata, "Wahai manusia dengarlah dan taatilah..." Salman Al Farisi ra, seorang shahabat mulia berdiri seraya berkata kepadanya, "Kami tidak akan mendengar dan mentaatimu". Umar berkata, "Mengapa demikian?" Salman menjawab, "Dari mana kamu mendapat pakaian itu, sedangkan kamu hanya mendapat satu kain, sedangkan kamu bertubuh tinggi? Beliau menjawab, "Jangan gesa-gesa, lalu beliau memanggil, "Wahai 'Abdullah". Namun tidak seorang pun menjawab. Lalu beliau ra berkata lagi, "Wahai 'Abdullah bin Umar..". 'Abdullah menjawab, "Saya wahai Amirul Mukminin". Beliau berkata, "Bersumpahlah demi Allah, apakah kain yang aku pakai ini kainmu? Abdullah bin Umar menjawab, "Demi Allah, ya". Salman berkata, "Sekarang perintahlah kami, maka kami akan mendengar dan taat". ['Abdul 'Aziz Al Badriy, Al-Islam bain al-'Ulama' wa al-Hukkam Ihitam Putih Wajah Ulama dan Penguasa.terj), hal. 70-71]
• Amirul Mukminin Mu'awiyyah berdiri di atas mimbar setelah memotong jatah harta beberapa kaum Muslim, lalu ia berkata, "Dengarlah dan taatilah..". Lalu, berdirilah Abu Muslim Al Khulani mengkritik tindakannya yang salah, "Kami tidak akan mendengar dan taat wahai Mu'awiyyah!". Mu'awiyyah berkata, "Mengapa wahai Abu Muslim?". Abu Muslim menjawab, "Wahai Mu'awiyyah, mengapa engkau memotong jatah itu, padahal jatah itu bukan hasil jerih payahmu dan bukan pula jerih payah ibu bapakmu? Mu'awiyyah marah dan turun dari mimbar seraya berkata kepada hadirin, "Tetaplah kalian di tempat". Lalu, dia menghilang sebentar dari pandangan mereka, lalu keluar dan dia sudah mandi. Mu'awiyyah berkata, "Sesungguhnya Abu Muslim telah berkata kepadaku dengan perkataan yang membuatku marah. Saya mendengar Rasulullah saw bersabda, "Kemarahan itu termasuk perbuatan setan, dan setan diciptakan dari api yang bisa dipadamkan dengan air. Maka jika salah seorang di antara kalian marah, hendaklah ia mandi". Sebenarnya saya masuk untuk mandi. Abu Muslim berkata benar bahwa harta itu bukan hasil jerih payahku dan bukan pula jerih payah ayahku, maka ambillah jatah kalian".[Hadits ini dituturkan oleh Abu Na'im dalam Kitab Al-Khiyah, dan diceritakan kembali oleh Imam Al Ghazali dalam Kitab Al Ihya', juz 7, hal. 70]
• Seorang ulama besar, Syaikh Mundzir bin Sa'id mengkritik sangat keras Khalifah Abdurrahman An Nashir Lidinillah ra yang telah menguras harta pemerintahan untuk mempermegah dan memperindah kota Az Zahra. Ulama besar ini mengkritik sang Khalifah dalam khuthbah Jum'atnya secara terang-terangan di depan Khalifah An Nashir dan dihadiri orang penduduk kota Az Zahra. [Abdul Hamid Al Ubbadi, Min Akhlaq al-'Ulamaa', Majalah Al Azhar, Ramadhan, 1371 H]
• Dalam Kitab Qalaaid Al Jawaahir disebutkan bahwasanya Syaikh Abdul Qadir Al Kailaniy berdiri di atas mimbar untuk mengkritik dan memberikan nasehat kepada Gubernur Yahya bin Sa'id yang terkenal dengan julukan Abnu Mazaahim Adz Dzaalim Al Qadla. Syaikh Abdul Qadir Al Kailaniy berkata, "Semoga orang Islam tidak dipimpin oleh oirang yang paling dzalim; maka apa jawabanmu kelak ketika menghadap Tuhan semesta alam yang paling pengasih? Gubernur itu gemetar dan langsung meninggalkan apa yang dinasehatkan kepadanya". [Qalaaid Al Jawaahir, hal. 8]
• Sulthan al-'Ulama, Al 'iz bin Abdus Salam telah mengkritik Raja Ismail yang telah bersekongkol dengan orang-orang Eropa Kristen untuk memerangi Najamuddin bin Ayyub. Ulama besar ini tidak hanya membuat fatwa, tetapi juga mengkritik tindakan Raja Ismail di depan mimbar Jum'at di hadapan penduduk Damaskus. Saat itu Raja Ismail tidak ada di Damaskus. Akibat fatwa dan khuthbahnya yang tegas dan lurus, Al 'Iuz 'Abdus Salam dipecat dari jabatannya dan dipenjara di rumahnya. [As Subki, Thabaqat, dan lain-lain]
Kisah-kisah di atas menunjukkan bagaimana cara para ulama shalih dan mukhlish menasehati penguasa-penguasanya. Kisah-kisah semacam ini sangat banyak disebut di dalam kitab-kitab tarikh. Mereka tidak segan-segan untuk menasehati para penguasa menyimpang dan dzalim secara terang-terangan, mengkritik kebijakannya di mimbar-mimbar terbuka, maupun fatwa-fatwanya.
Lalu, bagaimana bisa dinyatakan bahwa menasehati penguasa haruslah dengan empat mata saja, sementara ulama-ulama yang memiliki ilmu dan ketaqwaannya justru memilih melakukannya dengan terang-terangan dan terbuka?
e. Kelemahan hadits riwayat Imam Ahmad. Nash-nash qath'iy telah menunjukkan kepada kita bahwa hukum asal nasehat itu harus disampaikan secara terang-terangan, dan tidak boleh sembunyi-sembunyi. Al Quran dan Sunnah telah menyebut masalah ini dengan sangat jelas. Namun, sebagian orang awam menyangka ada riwayat yang mengkhususkan ketentuan ini. Mereka berpendapat bahwa mengoreksi penguasa harus dilakukan dengan empat mata, karena ada dalil yang mengkhususkan. Mereka berdalih dengan hadits yang sumbernya (tsubutnya) masih perlu dikaji secara mendalam. Hadits itu adalah hadits yang riwayatkan oleh Imam Ahmad.
Imam Ahmad menuturkan sebuah hadits dan berkata:

حَدَّثَنَا أَبُو الْمُغِيرَةِ حَدَّثَنَا صَفْوَانُ حَدَّثَنِي شُرَيْحُ بْنُ عُبَيْدٍ الْحَضْرَمِيُّ وَغَيْرُهُ قَالَ جَلَدَ عِيَاضُ بْنُ غَنْمٍ صَاحِبَ دَارِيَا حِينَ فُتِحَتْ فَأَغْلَظَ لَهُ هِشَامُ بْنُ حَكِيمٍ الْقَوْلَ حَتَّىغَضِبَ عِيَاضٌ ثُمَّ مَكَثَ لَيَالِيَ فَأَتَاهُ هِشَامُ بْنُ حَكِيمٍ فَاعْتَذَرَ إِلَيْهِ ثُمَّ قَالَ هِشَامٌ لِعِيَاضٍ أَلَمْ تَسْمَعْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ عَذَابًا أَشَدَّهُمْ عَذَابًا فِي الدُّنْيَا لِلنَّاسِ فَقَالَ عِيَاضُ بْنُ غَنْمٍ يَا هِشَامُ بْنَ حَكِيمٍ قَدْ سَمِعْنَا مَا سَمِعْتَ وَرَأَيْنَا مَا رَأَيْتَ أَوَلَمْ تَسْمَعْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ وَإِنَّكَ يَا هِشَامُ لَأَنْتَ الْجَرِيءُ إِذْ تَجْتَرِئُ عَلَى سُلْطَانِ اللَّهِ فَهَلَّا خَشِيتَ أَنْ يَقْتُلَكَ السُّلْطَانُ فَتَكُونَ قَتِيلَ سُلْطَانِ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى

"Telah meriwayatkan kepada kami Abu Al Mughirah, dan dia berkata, "Telah menuturkan kepada kami Shofwan, dan ia berkata, "Telah meriwayatkan kepadaku Syuraih bin 'Ubaid al Hadlramiy dan lainnya, dia berkata, "'Iyadl bin Ghanm mendera penduduk Dariya, ketika berhasil dikalahkan. Hisyam bin Hakim pun mengkritik Iyadl bin Ghanm dengan kasar dan keras, hingga 'Iyadl marah. Ketika malam datang, Hisyam bin Malik mendatangi 'Iyadl, dan meminta maaf kepadanya. Lalu Hisyam berkata kepada 'Iyadl, "Tidakkah engkau mendengar Nabi saw bersabda, "Sesungguhnya manusia yang mendapat siksa paling keras adalah manusia yang paling keras menyiksa manusia di kehidupan dunia". 'Iyadl bin Ghanm berkata, "Ya Hisyam bin Hakim, sungguh, kami mendengar apa yang engkau dengar, dan kami juga menyaksikan apa yang engkau saksikan; tidakkah engkau mendengar Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa hendak menasehati penguasa (orang yang memiliki kekuasaan untuk memerintah), maka janganlah menasehatinya dengan terang-terangan, tetapi ambillah tangannya, lalu menyepilah dengannya. Jika ia menerima nasehat, maka baginya pahala, dan jika tidak, maka ia telah menunaikan apa yang menjadi kewajibannya untuk orang itu. Sesungguhnya, engkau ya Hisyam, kamu sungguh berani, karena engkau berani kepada penguasanya Allah. Lalu, tidakkah engkau takut dibunuh oleh penguasanya Allah, dan engkau menjadi orang yang terbunuh oleh penguasa Allah tabaaraka wa ta'aala".[HR. Imam Ahmad]
'Iyadl bin Ghanm adalah Ibnu Zuhair bin Abiy Syadad, Abu Sa'ad al-Fahri. Beliau adalah seorang shahabat yang memiliki keutamaan. Beliau termasuk shahabat yang melakukan bai'at Ridlwan; dan wafat pada tahun 20 H di Syams.
Hisyam bin Hakim bin Hazam bin Khuwailid al-Qurasyiy al-Asdiy adalah shahabat yang memiliki keutamaan, dan beliau adalah putera dari seorang shahabat. Beliau wafat pada awal-awal masa kekhilafahan Mu'awiyyah bin Abi Sofyan. Ada orang yang menduga bahwa beliau meraih mati syahid di Ajnadain. Beliau disebut di dalam Kitab Shahih Bukhari dan Muslim dalam haditsnya Umar tatkala ia mendengarnya membaca surat Al Furqan. Beliau wafat sebelum ayahnya meninggal dunia. Imam Muslim, Abu Dawud, dan An Nasaaiy menuturkan hadits dari beliau, sebagaimana disebutkan dalam Kitab At Taqriib.
Di dalam Kitab Tahdziib al-Kamal, Al Maziy berkata, "Diriwayatkan darinya:...dan 'Urwah bin Az Zubair...hingga akhir. Adapun Syuraih bin 'Ubaid al-Hadlramiy al-Hamashiy, dia adalah seorang tabi'in tsiqqah (terpercaya). Riwayatnya dari shahabat secara mursal, sebagaimana disebut dalam Tahdziib al-Kamal, "Mohammad bin 'Auf ditanya apakah Syuraih bin 'Ubaid al-Hadlramiy mendengar dari Abu Darda'? Mohammad bin 'Auf menjawab, "Tidak". Juga ditanyakan kepada Mohammad bin 'Auf, apakah dia mendengar dari seorang shahabat Nabi saw? Dia menjawab, "Saya kira tidak. Sebab, ia tidak mengatakan dari riwayatnya, "saya mendengar". Dan dia adalah tsiqqah (terpercaya)".
Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Kitab At Taqriib mengatakan, "Dia tsiqqah (terpercaya), dan banyak meriwayatkan hadits secara mursal; karena tadlisnya. Ibnu Abi Hatim di dalam Kitab Al Maraasiil berkata, "Saya mendengar ayahku berkata, "Syuraih bin 'Ubaid tidak pernah bertemu dengan Abu Umamah, al-Harits bin Harits, dan Miqdam. Ibnu Abi Hatim berkata, "Saya mendengar bapakku berkata, "Syuraih bin 'Ubaid menuturkan hadits dari Abu Malik Al Asy'ariy secara mursal".
Jika Syuraih bin 'Ubaid tidak pernah bertemu dengan Abu Umamah Shadiy bin 'Ijlaan al-Bahiliy ra yang wafat pada tahun 76 H dan Miqdam al-Ma'diy Karab ra yang wafat pada tahun 87 H, maka bagaimana bisa dinyatakan bahwa Syuraih bin 'Ubaid bertemu dengan Hisyam bin Hakim yang wafat pada awal-awal pemerintahan Mu'awiyyah, lebih-lebih lagi 'Iyadl bin Ghanm yang wafat pada tahun 20 Hijrah pada masa 'Umar bin Khaththab ra?
Selain itu, Syuraih bin 'Ubaid ra meriwayatkan hadits itu dengan ta'liq (menggugurkan perawi atasnya) dan di dalam hadits itu tidak ada satupun indikasi yang menunjukkan bahwa ia hadir dalam kisah itu, atau mendengar orang yang mengisahkan kisah tersebut. Dengan demikian, hadits di atas harus dihukumi sebagai hadits munqathi' (terputus), dan tidak layak dijadikan sebagai hujjah.
Demikian pula hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad secara ringkas (mukhtashar) dari Ibnu 'Abi 'Ashim di dalam kitab As Sunnah, di mana Imam Ahmad berkata, "Telah meriwayatkan kepada kami 'Amru bin 'Utsman, di mana dia berkata,"Telah meriwayatkan kepada kami Baqiyah, dan dia berkata, "Telah meriwayatkan kepada kami Sofwan bin 'Amru, dari Syuraih bin 'Ubaid, bahwasanya dia berkata, "'Yadl bin Ghanam berkata kepada Hisyam bin Hakim, tidakkah engkau mendengar sabda Rasulullah saw yang bersabda, "Barangsiapa hendak menasehati penguasa janganlah ia sampaikan dengan terang-terangan, akan tetapi hendaklah ia ambil tangannya, lalu menyepilah dengannya. Jika ia menerima maka ia akan mendapatkan pahala, dan jika tidak, maka ia telah menunaikan apa yang menjadi kewajibannya".[HR. Imam Ahmad]
Baqiyyah adalah seorang mudalis. Walaupun Baqiyyah menuturkan hadits ini dengan sharih menurut versi Ibnu Abi 'Aashim, tetapi, tetap saja tidak bisa menyelamatkan Baqiyyah. Pasalnya, ia adalah perawi yang suka melakukan tadlis dengan tadlis yang buruk (tadlis qabiih) –yakni tadlis taswiyah . Dikhawatirkan dari tadlisnya itu 'an'anah [(meriwayatkan dengan 'an (dari), 'an (dari)] dari gurunya dari gurunya jika ditarik ke atas. Di dalam Kitab Al Majma', Imam Al Haitsamiy berkata, "Yang benar, jalur darinya (Syuraih bin 'Ubaid) hanya berasal dari Hisyam saja. Hadits ini diriwayatkan Imam Ahmad, dan rijalnya tsiqat (terpercaya). Akan tetapi, saya tidak mendapati Syuraih bin 'Ubaid mendengar hadits ini langsung dari 'Iyadl dan Hisyam, walaupun dia seorang tabi'un.
Catatan lain, Syuraih bin 'Ubaid meriwayatkan hadits ini dengan ta'liq (menggugurkan perawi atasnya), dan di dalam hadits ini tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa ia hadir dalam kisah itu, maupun mendengar dari orang yang menceritakan kisah tersebut. Oleh karena itu, hadits ini harus dihukumi sebagai hadits munqathi'; dan tidak layak dijadikan sebagai hujjah.
Adapun dari jalur-jalur lain, misalnya dari jalur Jabir bin Nafir, maka setelah diteliti, ada perawi yang lemah, yakni Mohammad bin Ismail bin 'Iyasy.
Jika demikian kenyataannya, gugurlah berdalil dengan hadits riwayat Imam Ahmad di atas.
Hadits Mengoreksi Penguasa
oleh Syamsuddin Ramadhan pada 2 Juni 2010 pukul 19:16
في مجمع الزوائد عن معاذ بن جبل رضي الله عنه قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه و على آله وسلم يقول: "سيكون عليكم أمراء يقضون لأنفسهم ما لا يقضون لكم، فإذا عصيتموهم قتلوكم، و إن أطعتموهم أضلوكم". قالوا: يا رسول الله، كيف نصنع ؟ قال: "كما صنع أصحاب عيسى بن مريم، نشروا بالمناشير، وحملوا على الخشب، موت في طاعة الله خير من حياة في معصية الله".
Dalam Kitab Majma’ Az-Zawaid dituturkan sebuah hadits dari Mu’adz bin Jabal, bahwasanya ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah saw bersabda, “Kelak akan kalian jumpai para pemimpin yang memutuskan untuk dirinya tidak seperti yang mereka putuskan untuk kalian. Jika kamu membangkang mereka, mereka akan membunuh kalian, dan jika kalian mentaati mereka, mereka akan menyesatkan kalian”. Para shahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apa yang harus kami lakukan? Nabi saw menjawab, “Seperti yang dilakukan oleh pengikut Nabi Isa bin Maryam, mereka digergaji dengan gergaji, dan digantung (disalib) di atas kayu. Mati dalam taat kepada Allah lebih baik daripada mati dalam maksiyat kepada Allah swt”.
Membongkar Kebohongan Majalah Sabili
oleh Syamsuddin Ramadhan pada 11 Mei 2010 pukul 20:35
MEMBONGKAR KEBOHONGAN MAJALAH SABILI



Baru-baru ini, Majalah Islam Sabili No 21 TH XVII 13 Mei 2010/28 Jumadil Awal 1431 H, hal.50-57 menurunkan sebuah tulisan panjang lebar yang ditulis oleh Lutfi A Tamimi, dengan judul Menguak Hizb at-Tahrir. Tulisan ini tidak hanya menyesatkan umat Islam Indonesia, akan tetapi juga sarat dengan kebohongan, fitnah, dan tendensi-tendensi culas untuk menikam Gerakan Islam Hizbut Tahrir. Tidak hanya itu saja, tulisan ini juga mengesampingkan prinsip-prinsip syar'iy dan ilmiah yang dijunjung tinggi oleh kaum Mukmin yang berakal. Pasalnya, tulisan Lutfi A Tamimi banyak merujuk buku al-Mausu'ah al-Muyassarah fi al-Adyaan wa al-Madzaahib al-Mu'ashirah yang dikeluarkan oleh An Nadwah al-'Alaamiyah li asy-Syabaab al-Islaamiy (WAMY), dan tidak merujuk kepada sumber-sumber primer Hizbut Tahrir. Celakanya lagi, ia sama sekali tidak berusaha melakukan tabayyun (cross check) kepada Hizbut Tahrir. Padahal, buku keluaran WAMY itu juga tidak merujuk kepada sumber-sumbr primer Hizbut Tahrir, tetapi merujuk pada buku lain karya Shadiq Amin yang berjudul al-Da’wah al-Islamiyyah Faridlah Syar’iyyah wa Dlarurah Basyariyyah. Buku karya Shadiq Amin ini pun dipenuhi dengan fitnah dan kedustaan. Bahkan, berdasarkan pengakuan pengarangnya sendiri, buku tersebut ditulis karena tekanan pemerintah Yordania. Jika demikian kenyataannya, berarti Lutfiy A Tamimi telah membuat sebuah tulisan tidak dengan referensi primer maupun sekunder, akan tetapi berdasarkan referensi tersier. Lalu, bagaimana sebuah tulisan yang cacat secara referensial ini bisa dimuat dalam Majalah Sabili yang notabene majalah Islam?
Untuk itu, agar kaum Muslim Indonesia tidak tersesat oleh fitnah dan kedustaan buku yang dikeluarkan WAMY, kami akan mengurai secara terperinci point-point penting dalam buku tersebut, agar tersingkap mana yang benar dan mana yang bathil.

I. KEBOHONGAN DENGAN MENGATASNAMAKAN HIZBUT TAHRIR

a. Syaikh 'Abdul Qadim Zallum Menulis Buku Hakadza Hudimat al-Khilafah? (Majalah Sabili, hal. 52)
Dengan pembacaan yang teliti, siapa saja akan dengan mudah menyaksikan kebohongan demi kebohongan dalam tulisan Lutfi At-Tamimi. Pada halaman 52, dia menyatakan, "Dia ('Abdul Qadim Zallum) menulis buku Hakadza Hudimat al-Khilafah". Statement ini benar-benar menunjukkan betapa awamnya ia terhadap tokoh-tokoh Hizbut Tahrir, dan betapa mudahnya ia berbohong dan berdusta. Perlu diketahui, Syaikh 'Abdul Qadim Zallum rahimahullah tidak pernah mengarang Kitab dengan judul "Hakadza Hudimat al-Khilafah"; tetapi berjudul "Kaifa Hudimat al-Khilafah".
Dia juga menyatakan pada halaman 52, "Tokoh Hizbut Tahrir lainnya adalah Abdurrahman Al Maliki dari Suriah, salah satu tokoh dewan pimpinan partai dan penulis buku Al-Uqubat". Lagi-lagi Lutfiy berbohong. Pasalnya, 'Abdurrahman Al Maliki bukanlah tokoh dewan pimpinan partai dan penulis buku Al Uqubat. 'Abdurahman Al-Maliki sendiri tidak pernah mengarang buku yang berjudul Al Uqubat. Salah satu buku yang pernah beliau karang berjudul Nidzam al-'Uqubat, bukan Al-'Uqubat.

b. Hizbut Tahrir Menentukan Batas Perjuangannya 13 Tahun? (Majalah Sabili, hal. 54)
Lutfi A Tamimi kembali melakukan kebohongan dengan menyatakan, "Dalam garis perjuangannya, Hizb at-Tahrir menentukan batas waktu 13 tahun sejak didirikannya. Artinya, Hizb at-Tahrir sudah harus mencapai tampuk pemerintahan selambat-lambatnya 13 tahun. Kemudian batas waktu itu diperpanjang sampai tiga dasawarsa karena pertimbangan kondisi dan karena adanya tekanan yang bertubi-tubi." Statement ini tidak pernah diungkap dalam kitab-kitab mutabannat, nasyrah, ta'mim, maupun kutaib yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir. Dalam konteks penegakkan Khilafah dan pengangkatan seorang Khalifah, Hizbut Tahrir justru berpendapat bahwa tenggat waktu yang ditetapkan syariat adalah 3 hari 2 malam. Artinya, kaum Muslim dilarang tidak memiliki seorang Khalifah lebih dari 3 hari 2 malam. Ketentuan seperti ini ditetapkan berdasarkan ijma' para shahabat. Ketika Umar bin Khaththab ra tertikam, beliau memberi batas waktu 3 hari kepada dewan syura yang dipimpin oleh 'Abdurrahman bin 'Auf untuk mengangkat seorang khalifah. Umar juga berwasiat kepada dewan syura, jika lebih dari 3 hari mereka tidak bisa mengangkat seorang khalifah dari mereka, maka anggota yang menolak akan dibunuh. Untuk melaksanakan wasiat itu, Umar bin Khaththab memerintahkan 50 orang pemuda yang dipersenjatai dengan pedang".[Ajhizah Daulah al-Khilafah fi al-Hukm wa al-Idaarah, hal. 53]

c. Hizbut Tahrir Melalaikan Aspek Rohani? (Majalah Sabili, hal.54)
Belum selesai berdusta, Lutfi A Tamimi kembali berbohong dengan mengatasnamakan Hizbut Tahrir. Pada halaman 54, dia menulis, "Hizb at-Tahrir melalaikan aspek ruhani. Ruhani dipandang hanya sebagai ide. Hizb at-Tahrir berpendapat, di dalam diri manusia tidak ada gejolak ruhani dan kecerdasan jasadi. Di dalam diri manusia hanya ada kebutuhan dan insting yang harus dipenuhi....". Pernyataan semacam ini tidak pernah ditemukan dalam kitab-kitab mutabannat Hizbut Tahrir. Pandangan Hizbut Tahrir terhadap ruh, telah dijelaskan panjang lebar dalam Kitab Mafaahim Hizb al-Tahrir. Hizbut Tahrir berpandangan bahwa ruh itu memiliki makna ganda. Ruh bisa bermakna nyawa (sirrul hayah/rahasia hidup manusia) yang menghidupkan kesadaran dan organ manusia. Ruh juga bisa bermakna idrak shillah billah (kesadaran akan hubungan dengan Allah swt). Hizbut Tahrir juga mengenalkan istilah ruuhiyyah dan naahiyah ar-ruhiyyah. [Lebih jelasnya bisa dibaca Kitab Mafaahim Hizb al-Tahrir]
Selain berbohong, Lutfi juga tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan aspek rohani tersebut? Apakah rohani yang dipahami masyarakat awam (jiwa), atau keyakinan dan akhlaq? Jangan-jangan dia tidak memahami apa yang ditulisnya sendiri, hanya untuk membuat kedustaan atas nama Hizbut Tahrir.
Jika yang dimaksud aspek ruhani adalah kesadaran akan hubungan dengan Allah, bagaimana bisa dinyatakan Hizbut Tahrir mengabaikan aspek ruhani? Di dalam kitab-kitab pembinaannya, Hizbut Tahrir selalu menekankan kepada anggotanya untuk berpegang teguh dengan aqidah Islamiyyah, dan selalu menampilkan perilaku yang berakhlaqul karimah. Hizbut Tahrir mengeluarkan banyak kitab mutabannat yang menekankan kewajiban dan pentingnya terikat dengan ‘aqidah dan syariat Islam; misalnya Asy Syakhshiyyah al-Islaamiyyah, juz 1, Kitab Nidzaam al-Islaam, Mafaahim Hizbut Tahrir, dan lain sebagainya. Bahkan, di tengah-tengah maraknya gerakan dan partai Islam bermusyarakah dengan pemerintahan sekuler dan berasyik masyuk dengan demokrasi, Hizbut Tahrir justru terbukti tetap istiqamah menjaga ‘aqidah dan ketaatannya kepada Allah swt, tidak bermusyarakah dengan pemerintahan kufur, dan tetap lantang menolak paham demokrasi-sekuler yang kufur. Tidak hanya itu saja, ketika partai-partai yang berlabel Islam berlomba-lomba merekrut orang-orang kafir menjadi anggotanya, Hizbut Tahrir tetap konsisten melarang orang kafir menjadi anggotanya. Lalu, bagaimana bisa dinyatakan bahwa Hizbut Tahrir abai dalam aspek ruhani?

d. Hizbut Tahrir Melarang Anggotanya Percaya Kepada Siksa Kubur dan Munculnya Dajjal (Majalah Sabili, hal; 54]
Pada halaman 54, Lutfi A Tamimi kembali mengulang-ulang kedustaannya dengan menyatakan, "Hizb at-Tahrir melarang anggotanya percaya kepada siksa kubur dan munculnya Dajjal. Menurut mereka, orang yang memercayainya dipandang sebagai pendosa.". Pernyataan ini merupakan kedustaan sekian kali yang dilakukan oleh Lutfiy A Tamimi. Pasalnya, tidak ada satu pun kitab, ta’mim, maupun nasyrah yang menyatakan hal itu. Dalam masalah-masalah ‘aqidah, pandangan Hizbut Tahrir sejalan dengan pandangan para ulama dari kalangan shahabat, tabi’un, tabi’ut tabi’iin, dan ulama-ulama mu’tabar lainnya, yakni, ‘aqidah harus dibangun di atas dalil qath’iy, baik tsubut maupun dilalahnya. Dalil yang memenuhi syarat ini adalah al-Quran dan hadits mutawatir yang dilalahnya qath’iy. Sedangkan hadits ahad, Hizbut Tahrir –seperti halnya pendapat mayoritas kaum Muslim dari kalangan shahabat dan ulama salafush shalih— berpandangan bahwa hadits ahad wajib diamalkan (wujubul ‘amal), dan tidak menghasilkan keyakinan (al-‘ilm), alias hanya menghasilkan dzann belaka. Apa yang dipegang oleh Hizbut Tahrir sama persis seperti yang dijelaskan oleh Imam Nawawiy dalam Muqaddimah Syarah Shahih Muslim:

وَأَمَّا خَبَر الْوَاحِد : فَهُوَ مَا لَمْ يُوجَد فِيهِ شُرُوطُ الْمُتَوَاتِرِ سَوَاء كَانَ الرَّاوِي لَهُ وَاحِدًا أَوْ أَكْثَرَ . وَاخْتُلِفَ فِي حُكْمِهِ ؛ فَاَلَّذِي عَلَيْهِ جَمَاهِير الْمُسْلِمِينَ مِنْ الصَّحَابَة وَالتَّابِعِينَ ، فَمَنْ بَعْدَهُمْ مِنْ الْمُحَدِّثِينَ وَالْفُقَهَاءِ وَأَصْحَابِ الْأُصُولِ : أَنَّ خَبَر الْوَاحِد الثِّقَةِ حُجَّةٌ مِنْ حُجَجِ الشَّرْعِ يَلْزَمُ الْعَمَلُ بِهَا ، وَيُفِيدُ الظَّنَّ وَلَا يُفِيدُ الْعِلْمَ ، وَأَنَّ وُجُوب الْعَمَل بِهِ عَرَفْنَاهُ بِالشَّرْعِ لَا بِالْعَقْلِ... وَذَهَبَ بَعْضُ الْمُحَدِّثِينَ إِلَى أَنَّ الْآحَادَ الَّتِي فِي صَحِيح الْبُخَارِيّ أَوْ صَحِيح مُسْلِم تُفِيدُ الْعِلْمَ دُونَ غَيْرِهَا مِنْ الْآحَاد . وَقَدْ قَدَّمْنَا هَذَا الْقَوْل وَإِبْطَاله فِي الْفُصُول وَهَذِهِ الْأَقَاوِيل كُلّهَا سِوَى قَوْلِ الْجُمْهُور بَاطِلَةٌ ، وَإِبْطَالُ مَنْ قَالَ لَا حُجَّةَ فِيهِ ظَاهِرٌ ْ .. وَأَمَّا مَنْ قَالَ يُوجِبُ الْعِلْمَ : فَهُوَ مُكَابِرٌ لِلْحَسَنِ . وَكَيْفَ يَحْصُلُ الْعِلْمُ وَاحْتِمَالُ الْغَلَطِ وَالْوَهْمِ وَالْكَذِبِ وَغَيْرِ ذَلِكَ ، مُتَطَرِّقٌ إِلَيْهِ ؟ وَاَللَّه أَعْلَمُ .

"Adapun khabar ahad, ia adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat mutawatir, sama saja apakah karena perawinya satu atau lebih. Masih diperselisihkan hukum hadits ahad. Pendapat yang dipegang oleh mayoritas kaum Muslim dari kalangan shahabat dan tabi'iin, dan kalangan ahli hadits, fukaha, dan ulama ushul yang dating setelah para shahabat dan tabi'un adalah: khabar ahad (hadits ahad) yang tsiqqah adalah hujjah syar'iy yang wajib diamalkan, dan khabar ahad hanya menghasilkan dzann, tidak menghasilkan ilmu (keyakinan). Wajibnya mengamalkan hadits ahad, kita ketahui berdasarkan syariat, bukan karena akal....Sebagian ahli hadits berpendapat bahwa hadits-hadits ahad yang terdapat di dalam Shahih Bukhari dan Muslim menghasilkan ilmu (keyakinan), berbeda dengan hadits-hadits ahad lainnya. Pada penjelasan sebelumnya kami telah menjelaskan kesalahan pendapat ini secara rinci. Semua pendapat selain pendapat jumhur adalah bathil. Kebathilan orang yang berpendapat tanpa hujjah dalam masalah ini telah tampak jelas....Adapun orang yang berpendapat bahwa hadits ahad menghasilkan keyakinan, sesungguhnya orang itu terlalu berbaik sangka. Bagaimana bisa dinyatakan hadits ahad menghasilkan keyakinan (ilmu), sedangkan hadits ahad masih mungkin mengandung ghalath, wahm, dan kadzb? Wallahu a'lam bish shawab". [Imam An Nawawiy, Syarah Shahih Muslim]
Hizbut Tahrir tidak pernah menolak hadits ahad yang shahih, baik yang berkaitan dengan syariat (amal) maupun keyakinan (‘aqidah). Hadits ahad yang berbicara masalah amal (syariat) waijib diamalkan. Sedangkan hadits ahad yang berbicara tentang keyakinan atau ‘aqidah, maka cukup dibenarkan (tashdiq). Sebab, hadits ahad itu tidak menghasilkan keyakinan (tashdiq al-jaazim), akan tetapi dzann belaka (tashdiq).
Berkenaan dengan siksa kubur, Hizbut Tahrir tidak pernah menyinggung masalah ini secara terperinci di dalam kitab-kitab mutabannat. Hizbut Tahrir juga tidak pernah mengeluarkan instruksi kepada anggotanya untuk tidak memercayai siksa kubur dan kemunculan Dajjal. Yang benar, Hizbut Tahrir meminta kepada anggotanya untuk menerima semua hadits shahih dan melarang anggota mengingkari atau menolak hadits-hadits shahih (baik mutawatir maupun ahad).

e. Tokoh-Tokoh Hizbut Tahrir Mengabaikan Amar Ma'ruf Nahi 'Anil Mungkar?
Lutfi al-Kadzdzab kembali mengulang-ulang kebohongannya dengan menyatakan, "Tokoh-tokoh Hizb al-Tahrir memandang tidak perlu adanya usaha amar ma'ruf dan nahi munkar. Menurut mereka, usaha tersebut pada saat ini merupakan salah satu kendala tahapan pergerakan. Sebab, kewajiban amar makruf nahi munkar merupakah salah satu tugas negara Islam jika telah berdiri".
Sekali lagi, ini adalah kebohongan yang dilakukan oleh Lutfi A Tamimi. Pasalnya, tidak ada satupun statemen --baik yang dinyatakan dalam buku mutabannat, nasyrah, kutaib, ta'mim, maupun komentar-komentar lisan dari tokoh-tokoh Hizbut Tahrir-- yang menyatakan bahwa anggota Hizbut Tahrir harus mengabaikan atau melalaikan aktivitas amar makruf nahi mungkar.
Di dalam Kitab Manhaj Hizbut Tahrir fi at-Taghyiir disebutkan dengan sangat jelas sebagai berikut:




















"Amar makruf nahi munkar termasuk perkara yang diwajibkan Allah swt atas kaum Muslim. Sebab, Allah swt berfirman, "Wal takun minkum ummah yad'uuna ila al-khair wa ya'muruuna bi al-ma'ruf wa yanhauna 'an al-mungkar". [QS. Ali Imron (3):104]
Amar makruf nahi mungkar adalah kewajiban bagi kaum Muslim dalam setiap kondisi. Sama saja apakah Daulah Khilafah telah berdiri maupun belum. Sama saja apakah hukum Islam sudah diterapkan di pemerintahan dan masyarakat, atau belum.
Amar makruf nahi mungkar telah ada di masa Rasululla saw dan khulafaur rasyidin, dan orang-orang setelah mereka. Amar makruf nahi mungkar tetaplah fardlu bagi kaum Muslim hingga akhir jaman.
Akan tetapi, amar makruf nahi 'anil mungkar bukanlah thariqah untuk menegakkan khilafah dan mengembalikan Islam dalam kehidupan negara dan masyarakat, walaupun ia merupakan bagian dari aktivitas "melangsungkan kehidupan Islam" karena di dalamnya ada aktivitas mengoreksi penguasa, yakni menyeru penguasa untuk mengerjakan yang makruf dan meninggalkan yang mungkar. Akan tetapi, aktivitas melangsungkan kehidupan Islam berbeda dengan amar makruf nahi 'anil mungkar....".[Manhaj Hizbut Tahrir fi al-Taghyiir, hal. 8]
Dari uraian yang tersebut dalam Kitab Manhaj Hizbut Tahrir fi al-Taghyiir jelaslah, bahwa tidak ada satupun statement dari Hizbut Tahrir yang menunjukkan pengabaian dirinya terhadap aktivitas amar ma'ruf nahi 'anil mungkar. Realitas perjuangan Hizbut Tahrir di berbagai belahan dunia justru menunjukkan kenyataan sebaliknya. Di berbagai negara, banyak syabab Hizbut Tahrir ditangkap, dibunuh, dan diintimidasi oleh para penguasa dzalim dan fasiq, karena keberanian mereka dalam mengoreksi penguasa dan menyingkap persekongkolan jahat dengan negara-negara kafir imperialis.
Lutfi A Tamimi juga menyebutkan peristiwa penangkapan, penyiksaan, serta kesulitan-kesulitan yang dihadapi syabab Hizbut Tahrir di berbagai belahan dunia akibat keberanian para syabab Hizbut Tahrir dalam menegakkan amar makruf nahi 'anil mungkar. [Lihat statement Lutfi saat menjelaskan sepak terjang Syabab Hizbut Tahrir di Banglades [Majalah Sabili, hal. 57] Lalu, bagaimana dia bisa menyatakan tokoh-tokoh Hizbut Tahrir mengabaikan amar makruf nahi 'anil mungkar?

f. Cita-cita Utama Hizbut Tahrir Adalah Merebut Kekuasaan?
Pada halaman 55, Lutfi A Tamimi menyatakan, "..Tergambar bahwa cita-cita utama Hizb at-Tahrir adalah merebut kekuasaan". Ungkapan adalah kebohongan Lutfi A Tamimi untuk yang ke sekian kali. Cita-cita utama Hizbut Tahrir sebagaimana disebut dalam Kitab Hizbut Tahrir adalah sebagai berikut:



"Tujuan Hizbut Tahrir. Yaitu, melangsungkan kembali kehidupan Islam, mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia". Tujuan ini bermakna mengembalikan kaum Muslim kepada kehidupan Islamiy di dalam Daarul Islam dan masyarakat Islam. Dimana, seluruh urusan kehidupan di dalam masyarakat berjalan sesuai dengan hukum-hukum, dan sudut pandang masyarakat adalah halal dan haram di bawah naungan Daulah Islamiyyah, yakni Daulah Khilafah' di mana di dalamnya kaum Muslim mengangkat seorang Khalifah yang dibaiat atas dasar pendengaran dan ketataan, untuk berhukum dengan Kitabullah dan sunnah RasulNya, dan untuk mengemban Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad".[Hizbut Tahrir, hal.6]

g. Hizbut Tahrir Membolehkan Orang Kafir Menjadi Anggotanya (Majalah Sabili, hal. 55]
Pada halaman 55, Lutfi A Tamimi menyatakan, "Orang kafir diperbolehkan menjadi anggota Hizb at-Tahrir". Pernyataan di atas adalah dusta yang nyata. Pasalnya, Hizbut Tahrir sejak didirikan pada tahun 1953 tidak pernah mengubah pendiriannya. Sejak berdirinya, Hizbut Tahrir melarang orang-orang kafir menjadi anggota Hizbut Tahrir. Hizbut Tahrir hanya beranggotan kaum Muslim saja. Di dalam Kitab Ta'rif (Mengenal Hizbut Tahrir (terj)) dalam bab Keanggotaan Hizbut Tahrir, " Hizbut Tahrir menerima keanggotaan setiap orang Islam, baik laki-laki maupun wanita, tanpa memperhatikan lagi apakah mereka keturunan Arab atau bukan, berkulit putih ataupun hitam. Hizbut Tahrir adalah sebuah partai untuk seluruh kaum muslimin dan menyerukan kepada ummat untuk mengemban dakwah Islam serta mengambil dan menetapkan seluruh aturan-aturannya, tanpa memandang lagi ras-ras kebangsaan; warna kulit maupun madzhab-madzhab mereka..."[Mengenal Hizbut Tahrir, Dan Strategi Dakwah Hizbut Tahrir, hal.27, 2008, Pustaka Thariqul Izzah, Bogor]
Pendapat Hizbut Tahrir di atas disandarkan pada firman Allah swt;

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”. [TQS Ali Imron (3):104]
Imam Ibnu Katsir menyatakan;

والمقصود من هذه الآية أن تكون فرْقَة من الأمَّة متصدية لهذا الشأن، وإن كان ذلك واجبا على كل فرد من الأمة بحسبه، كما ثبت في صحيح مسلم عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَده، فَإنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أضْعَفُ الإيمَانِ". وفي رواية: "وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنَ الإيمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ"
“Maksud ayat ini adalah, hendaknya ada kelompok (firqah) dari umat ini (umat Islam) yang siap sedia menjalankan tugas tersebut (dakwah menuju Islam dan amar makruf nahi ‘anil mungkar), walaupun (dakwah menuju Islam dan amar makruf nahi ‘anil mungkar) juga kewajiban setiap individu umat ini; sebagaimana telah ditetapkan di dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah ra, bahwasanya ia berkata, “Rasulullah saw bersabda, “

"مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَده، فَإنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أضْعَفُ الإيمَانِ". وفي رواية: "وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنَ الإيمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ" .
“Siapa saja diantara kalian yang menyaksikan kemungkaran, hendaknya ia ubah dengan tangannya. Jika ia tidak mampu (mengubah dengan tangan) hendaknya dengan lisannya. Dan jika ia tidak mampu (mengubah dengan lisannya), hendaknya dengan hatinya”. Di dalam riwayat lain dituturkan, ”Setelah itu tidak ada keimanan seberat biji gandum pun”.[HR. Imam Muslim dari Abu Musa al-Asy’ariy]
Di dalam Tafsir al-Thabariy disebutkan, ”Abu Ja’far menyatakan, ”..yakni adanya jamaa’ah (kelompok) yang menyeru manusia menuju kebaikan, yakni Islam dan syariat Islam yang telah disyariatkan Allah atas hambaNya; dan melakukan amar ma’ruf nahi ’anil mungkar; yakni memerintahkan manusia untuk mengikuti Nabi Mohammad saw, dan agamanya yang berasal dari sisi Allah swt; dan mencegah kemungkaran; yakni mereka mencegah dari ingkar kepada Allah, serta (mencegah) mendustakan Nabi Mohammad saw dan ajaran yang dibawanya dari sisi Allah....”
Imam Ali Al-Shabuniy menyatakan, ”Maksudnya, hendaknya dirikanlah kelompok (thaaifah) dari kalian (umat Islam) untuk berdakwah menuju Allah, dan untuk mengajak kepada setiap kebajikan dan mencegah dari setiap kemungkaran”.
Ayat di atas menunjukkan dengan sangat jelas bahwa, Allah swt telah memerintahkan kaum Muslim untuk mendirikan jama’ah, thaifah, hizb, atau kelompok dari kalangan kaum Muslim yang bertugas menyeru kepada Islam dan melakukan amar makruf nahi ’anil mungkar. Frase ”minkum” pada ayat di atas merujuk kepada kaum Muslim, bukan merujuk kepada non Muslim. Semua ini menunjukkan bahwa ”jama’ah” tersebut harus beranggotakan orang-orang Muslim, bukan orang-orang kafir. Selain itu, frase "wa ulaaika humul muflihuun" (mereka adalah orang-orang yang beruntung), semakin menyakinkan bahwa gerakan Islam tidak boleh beranggotakan orang kafir. Pasalnya, orang kafir tidak berhak mendapat gelar "muflihuun".

h. Hizbut Tahrir Membolehkan Kaum Muslim Mencium Wanita Asing [Majalah Sabili, hal.55]
Di halaman 55, Lutfi A Tamimi menyatakan, "Boleh berciuman dengan wanita asing (bukan isteri), baik disertai nafsu atau tidak". Statement di atas jelas-jelas kebohongan yang ditikamkan kepada Hizbut Tahrir. Pasalnya, Hizbut Tahrir mengharamkan kaum Muslim mencium wanita ajnabiyyah, atau pun sebaliknya. Keharaman mencium wanita ajnabiyyah atau sebaliknya, disebutkan dengan jelas dalam Kitab al-Nidzaam al-Ijtimaa’iy fi al-Islaam, ed.IV (Mu'tamadah), hal.53:

وهذا بخلاف القبلة, فقبلة الرجل لامرأة أجنبية يريدها, فقبلة المرأة لرجل أجنبي تريدها هي قبلة محرمة, لانها من مقدمات الزنا, ومن شأن مثل هذه القبلة أن تكون من مقدمات الزنا عادة, ولو كانت من غير شهوة, و لو لم يصل إلى الزنا,
“Ini berbeda dengan ciuman, ciuman seorang laki-laki terhadap wanita asing yang diinginkannya, atau sebaliknya, adalah ciuman yang diharamkan. Sebab ciuman semacam ini termasuk pembukaan dari zina. Pasalnya, ciuman pada umumnya adalah pembukaan menuju aktivitas zina, meskipun dilakukan tanpa syahwat atau tidak mengantarkan kepada zina".

i. Hizbut Tahrir Melarang Anggotanya Percaya Kepada Siksa Kubur dan Munculnya Dajjal (Majalah Sabili, hal; 54]
Pada halaman 54, Lutfi A Tamimi mengatakan, "Hizb at-Tahrir melarang anggotanya percaya kepada siksa kubur dan munculnya Dajjal". Pernyataan ini merupakan kedustaan sekian kali yang dilakukan oleh Lutfiy A Tamimi. Pasalnya, tidak ada satu pun kitab, ta’mim, maupun nasyrah yang menyatakan hal itu. Dalam masalah-masalah ‘aqidah, pandangan Hizbut Tahrir sejalan dengan pandangan para ulama dari kalangan shahabat, tabi’un, tabi’ut tabi’iin, dan ulama-ulama mu’tabar lainnya, yakni, ‘aqidah harus dibangun di atas dalil qath’iy, baik tsubut maupun dilalahnya. Dalil yang memenuhi syarat ini adalah al-Quran dan hadits mutawatir yang dilalahnya qath’iy. Sedangkan hadits ahad, Hizbut Tahrir –seperti halnya pendapat mayoritas kaum Muslim dari kalangan shahabat dan ulama salafush shalih— berpandangan bahwa hadits ahad wajib diamalkan (wujubul ‘amal), dan tidak menghasilkan keyakinan (al-‘ilm), alias hanya menghasilkan dzann belaka. Apa yang dipegang oleh Hizbut Tahrir sama persis seperti yang dijelaskan oleh Imam Nawawiy dalam Muqaddimah Syarah Shahih Muslim:

وَأَمَّا خَبَر الْوَاحِد : فَهُوَ مَا لَمْ يُوجَد فِيهِ شُرُوطُ الْمُتَوَاتِرِ سَوَاء كَانَ الرَّاوِي لَهُ وَاحِدًا أَوْ أَكْثَرَ . وَاخْتُلِفَ فِي حُكْمِهِ ؛ فَاَلَّذِي عَلَيْهِ جَمَاهِير الْمُسْلِمِينَ مِنْ الصَّحَابَة وَالتَّابِعِينَ ، فَمَنْ بَعْدَهُمْ مِنْ الْمُحَدِّثِينَ وَالْفُقَهَاءِ وَأَصْحَابِ الْأُصُولِ : أَنَّ خَبَر الْوَاحِد الثِّقَةِ حُجَّةٌ مِنْ حُجَجِ الشَّرْعِ يَلْزَمُ الْعَمَلُ بِهَا ، وَيُفِيدُ الظَّنَّ وَلَا يُفِيدُ الْعِلْمَ ، وَأَنَّ وُجُوب الْعَمَل بِهِ عَرَفْنَاهُ بِالشَّرْعِ لَا بِالْعَقْلِ... وَذَهَبَ بَعْضُ الْمُحَدِّثِينَ إِلَى أَنَّ الْآحَادَ الَّتِي فِي صَحِيح الْبُخَارِيّ أَوْ صَحِيح مُسْلِم تُفِيدُ الْعِلْمَ دُونَ غَيْرِهَا مِنْ الْآحَاد . وَقَدْ قَدَّمْنَا هَذَا الْقَوْل وَإِبْطَاله فِي الْفُصُول وَهَذِهِ الْأَقَاوِيل كُلّهَا سِوَى قَوْلِ الْجُمْهُور بَاطِلَةٌ ، وَإِبْطَالُ مَنْ قَالَ لَا حُجَّةَ فِيهِ ظَاهِرٌ ْ .. وَأَمَّا مَنْ قَالَ يُوجِبُ الْعِلْمَ : فَهُوَ مُكَابِرٌ لِلْحَسَنِ . وَكَيْفَ يَحْصُلُ الْعِلْمُ وَاحْتِمَالُ الْغَلَطِ وَالْوَهْمِ وَالْكَذِبِ وَغَيْرِ ذَلِكَ ، مُتَطَرِّقٌ إِلَيْهِ ؟ وَاَللَّه أَعْلَمُ .

"Adapun khabar ahad, ia adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat mutawatir, sama saja apakah karena perawinya satu atau lebih. Masih diperselisihkan hukum hadits ahad. Pendapat yang dipegang oleh mayoritas kaum Muslim dari kalangan shahabat dan tabi'iin, dan kalangan ahli hadits, fukaha, dan ulama ushul yang dating setelah para shahabat dan tabi'un adalah: khabar ahad (hadits ahad) yang tsiqqah adalah hujjah syar'iy yang wajib diamalkan, dan khabar ahad hanya menghasilkan dzann, tidak menghasilkan ilmu (keyakinan). Wajibnya mengamalkan hadits ahad, kita ketahui berdasarkan syariat, bukan karena akal....Sebagian ahli hadits berpendapat bahwa hadits-hadits ahad yang terdapat di dalam Shahih Bukhari dan Muslim menghasilkan ilmu (keyakinan), berbeda dengan hadits-hadits ahad lainnya. Pada penjelasan sebelumnya kami telah menjelaskan kesalahan pendapat ini secara rinci. Semua pendapat selain pendapat jumhur adalah bathil. Kebathilan orang yang berpendapat tanpa hujjah dalam masalah ini telah tampak jelas....Adapun orang yang berpendapat bahwa hadits ahad menghasilkan keyakinan, sesungguhnya orang itu terlalu berbaik sangka. Bagaimana bisa dinyatakan hadits ahad menghasilkan keyakinan (ilmu), sedangkan hadits ahad masih mungkin mengandung ghalath, wahm, dan kadzb? Wallahu a'lam bish shawab". [Imam An Nawawiy, Syarah Shahih Muslim]
Hizbut Tahrir tidak pernah menolak hadits ahad yang shahih, baik yang berkaitan dengan syariat (amal) maupun keyakinan (‘aqidah). Hadits ahad yang berbicara masalah amal (syariat) waijib diamalkan. Sedangkan hadits ahad yang berbicara tentang keyakinan atau ‘aqidah, maka cukup dibenarkan (tashdiq). Sebab, hadits ahad itu tidak menghasilkan keyakinan (tashdiq al-jaazim), akan tetapi dzann belaka (tashdiq).

j. Hizbut Tahrir Membolehkan Anggotanya Memandang Gambar-gambar Porno (Majalah Sabili, hal.55)
Pada halaman 55, Lutfi A Tamimi menyatakan (mengutip buku keluaran WAMY), "Boleh memandang gambar-gambar porno". Statement ini merupakan kebohongan dia yang ke sekian kali. Pasalnya, statement seperti ini tidak pernah tercantum dalam kitab-kitab mutabannat, nasyrah, ta'mim, qarar, maupun kutaib. Lalu, dari mana dia bisa menyatakan bahwa Hizbut Tahrir membolehkan anggotanya melihat gambar porno? Selain itu, Al-Aalim al-'Allam Syaikh Atha' Abu Rusytah, Ami Hizb ke 3, dalam tulisannya telah mengharamkan kaum Muslim melihat gambar porno. Pasalnya, melihat gambar porno adalah wasilah menuju tindak keharaman. [Lihat Website Hizbut Tahrir Pusat].
Inilah fakta-fakta yang menunjukkan kebohongan Lutfi A Tamimi dan Majalah Sabili. Sebenarnya, kebohongan-kebohongan Lutfi A Tamimi dan Majalah Sabili tidak hanya berjumlah 10, akan tetapi lebih itu. Namun, cukuplah 10 kebohongan bagi kita untuk menolak apa yang ditulis oleh Lutfi A Tamimi. Pasalnya, berita atau riwayat pembohong wajib untuk ditolak!

II. KETIDAKJUJURAN SABILI
Pada dasarnya, tulisan berjudul "Menguak Hizb at-Tahrir" adalah refleksi ketidakjujuran Majalah Sabili dalam menyampaikan informasi kepada kaum Muslim. Tidak hanya itu saja, dimuatnya tulisan "Menguak Hizb at-Tahrir", juga menunjukkan bahwa Majalah Sabili telah mengabaikan prinsip syariat dan ilmiah yang dijunjung tinggi oleh kaum Muslim. Pasalnya, artikel panjang yang ditulis oleh Lutfi A Tamimi hanya merujuk kepada buku berjudul al-Mausu'ah al-muyassarah fi al-Adyaan wa al-Madzaahib al-Mu'ashirah yang dikeluarkan oleh An Nadwah al-'Alaamiyah li asy-Syabaab al-Islaamiy (WAMY), dan sama sekali tidak merujuk kepada sumber-sumber primer Hizbut Tahrir. Padahal, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, buku al-Mausu'ah al-muyassarah fi al-Adyaan wa al-Madzaahib al-Mu'ashirah juga tidak merujuk kepada sumber-sumber primer Hizbut Tahrir, akan tetapi merujuk kepada buku karya Shadiq Amin yang berjudul al-Da’wah al-Islaamiyyah Faridlah Syar’iyyah wa Dlarurah Basyariyyah. Buku karya Shadiq Amin ini pun juga tidak merujuk kepada sumber primer Hizbut Tahrir, sehingga tidak layak dijadikan sebagai referensi untuk memahami jatidiri Hizbut Tahrir. Bahkan, buku tersebut dipenuhi kedustaan dan kebohongan dengan mengatasnamakan Hizbut Tahrir. Jika referensi utama buku terbitan WAMY, yakni buku al-Da’wah al-Islaamiyyah Faridlah Syar’iyyah wa Dlarurah Basyariyyah karya Shadiq Amin cacat secara ilmiah, lebih-lebih lagi tulisan-tulisan yang merujuk kepadanya.
Tidak hanya menyebarkan kebohongan dan kedustaan saja, Majalah Sabili bahkan berusaha menutup-menutupi kebohongannya dengan memuat wawancara dengan juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia, Al-Faadlil Ust. Ismail Yusanto, yang telah mereka ubah (edit). Misalnya, dalam wawancara itu ditulis, "Apa pendapat Anda tentang buku Gerakan Pemikiran Keagamaan terbitan WAMY? Lalu jawaban al-Faadlil Ust Ismail Yusanto ditulis, "Sebenarnya bagus untuk pengetahuan masyarakat umum. Hanya sekarang ini banyak sekali buku-buku tentang pergerakan Islam yang tidak sesuai dengan pergerakan yang sesungguhnya. Mereka tidak melakukan tabayun dan konfirmasi pada pihak yang bersangkutan..". Jawaban ini ditulis sedemikian rupa oleh Majalah Sabili untuk mengesankan bahwa buku terbitan WAMY itu bagus dan layak dibaca oleh masyarakat umum. Padahal, Al Faadlil Ust. Ismail Yusanto tidak pernah menyatakan seperti itu, bahkan, beliau sama sekali tidak pernah menyatakan bahwa buku terbitan WAMY itu bagus dan layak dibaca oleh masyarakat umum. Pasalnya, beliau sendiri juga memahami bahwa buku WAMY itu adalah buku yang dipenuhi dengan kebohongan dan fitnah. Jika tidak untuk menutupi kebohongan dan niat jahat mereka, mengapa Majalah Sabili menulis perkataan Jubir HTI seperti itu?

III. IKHTILAF YANG DIKESANKAN SEBUAH KESESATAN
Tidak cukup hanya berdusta dan berbohong saja, Majalah Sabili juga mengangkat pendapat-pendapat Hizbut Tahrir yang dikesankan sebagai pendapat sesat dan menyimpang. Padahal, pendapat-pendapat tersebut adalah pendapat Islamiy yang sebenarnya masih dijadikan perdebatan oleh ulama-ulama mu'tabar. Anehnya, pendapat-pendapat tersebut dikesankan sebagai pendapat aneh dan menyimpang dari Islam.
Pada hal 56 Majalah Sabili, misalnya, disebutkan,"Seorang laki-laki dan perempuan yang menikah dengan salah seorang muhrimnya harus dipenjara selama 10 tahun". Statement ini berasal dari kitab Kitab Nidzam al-'Uquubat karya Dr. Abdurrahman Al Maliki, namun, redaksinya tidak lengkap. Yang disebutkan di dalam kitab Nidzam al-‘Uqubat adalah sebagai berikut, “Siapapun yang menikah (bukan berzina) dengan salah seorang mahram yang abadi, seperti ibu dan saudara perempuan, dipenjara 10 tahun.”
Dr ‘Abdurrahman al-Malikiy berpendapat bahwa orang yang menikahi mahram abadinya tidak boleh dikenai had zina, sebab masih ada syubhat akad yang menghalalkan farji seseorang, meskipun akad nikah itu fasid. Pendapat seperti ini juga dipegang oleh ulama Hanafiyyah. ‘Abdul Qadir al-Audah dalam kitabnya (al-Tasyrii’ al-Janaaiy al-Islaamiy, juz II, hal. 363), menyatakan“,Akan tetapi Abu Hanifah sendiri berpendapat, orang yang menikahi ibunya, anak perempuannya, bibi, (mahram abadi), kemudian menyetubuhinya, maka untuk kasus ini tidak dikenai had zina, meskipun mereka mengaku mengetahui hal itu adalah tindakan haram. Untuk kasus semacam ini cukup dikenai hukuman ta’zir. “ Ia melanjutkan, “Imam Abu Hanifah tidak menjatuhkan had untuk kasus semacam ini karena ada syubhat.” Atas dasar itu, pendapat Dr. ‘Abdurrahman al-Malikiy bukanlah pendapat yang menyimpang. Bahkan pendapat ini merupakan pendapat tangguh yang dipegang oleh Imam Abu Hanifah.
Perlu diketahui juga bahwa Kitab Nidzam al-'Uqubat karya Dr. Abdurrahman Al Baghdadiy bukanlah Kitab Mutabannat, sehingga tidak bisa mewakili pendapat Hizbut Tahrir dalam masalah ini.
Di halaman 56 juga dinyatakan bahwa Hizbut Tahrir berpandangan bahwa negara Islam diperbolehkan menyerahkan jizyah (upeti) kepada negara kafir. Redaksi lengkapnya adalah, "Negara Islam diperbolehkan membayar jizyah (upeti) kepada negara kafir". Seperti halnya kasus menikah dengan mahram abadi, statemen ini juga tidak lengkap. Yang benar, Hizbut Tahrir berpendapat bahwa dalam keadaan darurat Daulah Islam boleh meminta damai dengan kaum kafir dengan menyerahkan sejumlah harta kepada mereka. Pendapat ini juga dikesankan seolah-olah menyimpang dari Islam. Padahal, para fukaha empat madzhab telah membahas masalah ini dalam kitab-kitab mereka, dan mayoritas mereka membolehkan menyerahkan harta kepada negara kafir dalam keadaan darurat.
Di dalam Kitab Badaai' ash Shanaai' (Kitab Fikih Madzhab Hanafi) disebutkan:

وَلَا بَأْسَ أَنْ يَطْلُبَ الْمُسْلِمُونَ الصُّلْحَ مِنْ الْكَفَرَةِ وَيُعْطُوا عَلَى ذَلِكَ مَالًا إذَا اُضْطُرُّوا إلَيْهِ ؛ لِقَوْلِهِ - سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى - { وَإِنْ جَنَحُوا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا }
"Tidak mengapa kaum Muslim meminta perjanjian damai dari orang kafir yang untuk itu, kaum Muslim harus menyerahkan sejumlah harta, jika keadaannya darurat", berdasarkan firman "Wa in janahuu lis salmi fajnah lahaa". [Badaai' ash Shanaai' fi Tartiib Asy-Syaraai', juz 15, hal. 316]
Di dalam Kitab Qawaaniin al-Ahkaam asy-Syar'iyyah (Kitab Fikih Madzhab Malikiy) disebutkan:

أن من شروط جواز الصلح مع الكفار _خلوه عن شروط فاسد, و مثلوا للشروط الفاسد, بنحو: بذل مال لهم فى غير خوف. و يجوز مع الخوف
"Sesungguhnya, di antara syarat bolehnya melakukan perjanjian damai dengan orang-orang kafir –adalah kosong dari syarat-syarat fasid, dan mereka mencontohkan syarat-syarat fasid ini, adalah menyerahkan harta kepada mereka tidak dalam keadaan takut (darurat). Dan boleh menyerahkan harta jika dalam keadaan takut".[Qawaaniin Al-Ahkaam Asy-Syar'iyyah, hal. 175]
Pendapat senada juga dikemukakan ulama kalangan Madzhab Syafi'iy dan Hanbaliy. Lalu, mengapa Majalah Sabili mengesankan bahwa pendapat itu adalah pendapat sesat dan menyimpang dari Islam? Sedangkan realitasnya, pendapat ini adalah pendapat para fukaha mu'tabar?

KHATIMAH
Demikianlah, kami telah menjelaskan kebohongan-kebohongan dan upaya-upaya penyesatan yang terdapat dalam artikel "Menguak Hizb at-Tahrir yang dimuat dalam Majalah Sabili, No 21 TH XVII 13 Mei 2010/28 Jumadil Awal 1431 H, hal.50-57.
Semoga risalah ini mampu menyingkap mana yang benar dan mana yang bathil, sekaligus mengembalikan pihak-pihak yang memfitnah maupun yang terfitnah oleh tulisan Lutfi A Tamimi untuk kembali kepada pangkuan kebenaran dan cahaya persaudaraan karena Allah.
Umat Islam juga wajib berhati-hati terhadap majalah-majalah yang digunakan sebagai alat untuk memecah belah dan menyebarkan fitnah di kalangan kaum Muslim. Tidak hanya itu saja, kaum Muslim haram membuat, membeli, menjualkan, atau menyebarkan Majalah yang dipenuhi kebohongan, fitnah, dan tendensi culas. Wallahu al-Musta’an wa huwa Waliyu at-Taufiq. [SR]
Top of Form
Bottom of Form
Bottom of Form
Bottom of Form

Bottom of Form
Bottom of Form

Related Posts by Categories

1 komentar:

  1. Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kelompok ini perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu

    BalasHapus