Medvedev menyampaikan hal itu pada pertemuan dengan para pejabat militer Rusia, dan menambahkan bahwa ini bukan berarti Moskow akan menghentikan dialog dengan Washington.
“Pada tahun 2017-2018 kita harus sepenuhnya siap dengan persenjataan lengkap,” kata Medvedev Selasa (20/3).
Ditambahkannya bahwa dana belanja sektor pertahanan Rusia diperkirakan akan meningkat 2,8 persen dari produk domestik bruto pada tahun 2018.
Moskow menyarankan pembagian kontrol sistem rudal dan menegaskan bahwa tujuan dari perisai NATO itu adalah untuk mengepung Rusia. Meski demikian, Washington menolak usulan pembagian kontrol perisai rudal itu dengan pihak ketiga.
Sebagai imbalannya, Rusia mengancam akan mengarahkan rudal generasi baru pada sasaran militer Eropa dan menempatkan rudal-rudal pencegat.
Pasukan multinasional NATO yang dipimpin oleh Amerika Serikat itu, mengklaim bahwa sistem rudalnya bertujuan mencegat segala kemungkinan serangan dari negara ‘nakal’ di kawasan. Sistem perisai rudal tersebut akan dilanjutkan meski ada kekhawatiran Rusia.
Namun, Moskow mengharapkan adanya jaminan hukum bahwa sistem tersebut tidak menarget Rusia.
Rencana tersebut disampaikan Panglima Kesatuan Rudal Strategis Rusia (Strategic Missile Forces/SMF) Letnan Jenderal Sergei Karakayev di Moskwa, Jumat (16/12/2011) waktu setempat.
"Keputusan sudah dibuat untuk menciptakan jenis rudal berat yang diluncurkan dari silo dan akan memiliki kemampuan yang lebih canggih untuk menembus, secara hipotetis, sistem pertahanan rudal AS," tutur Karakayev, yang mengatakan, tahun depan pihaknya akan menguji coba sedikitnya 11 ICBM.
ICBM baru ini akan menggantikan ICBM lama andalan Rusia selama ini, yakni rudal Voyevoda R-36M2, yang oleh NATO diberi nama sandi rudal "Satan" (setan). R-36M2 mampu membawa hingga 10 hulu ledak nuklir dengan jarak jelajah maksimum 11.000 kilometer.
Hubungan Rusia dan AS akhir-akhir ini kurang mesra sejak AS dan NATO ngotot membangun sistem perisai rudal di Eropa. Rusia merasa terancam dengan sistem pertahanan tersebut, sementara AS dan NATO bersikeras sistem tersebut tidak ditujukan kepada Rusia, tetapi untuk menangkis serangan rudal balistik dari "negara-negara nakal" semacam Iran.
Menurut Karakayev, Iran belum memiliki teknologi ataupun potensi industri untuk membuat rudal-rudal balistik. Meski ada beberapa laporan media bahwa Iran telah menguji coba ICBM, SMF meragukan rudal-rudal Iran itu memiliki jarak jelajah efektif hingga ke Eropa.
Jenderal bintang tiga ini menambahkan, rudal-rudal lama Rusia yang masih menggunakan bahan bakar padat mungkin akan kesulitan menembus sistem perisai rudal terbaru AS. Roket berbahan bakar padat memiliki kelemahan, yakni sekali bahan bakar dinyalakan, seluruh cadangan bahan bakar akan terbakar habis tanpa bisa dihentikan.
Namun, dengan bahan bakar cair, pasokan bahan bakar yang dibakar bisa diatur menggunakan sistem pipa dan katup sehingga tenaga dorongan roket bisa diubah-ubah, yang artinya roket akan memiliki kemampuan manuver yang lebih baik.
Kelebihan ini masih ditambah dengan rencana Rusia menerapkan sistem kontrol rudal balistik generasi keempat (4G) mulai tahun depan. Sistem kontrol baru ini akan disebar di seluruh pos komando, tempat peluncuran tetap, hingga fasilitas peluncur mobil.
Karakayev mengatakan, sistem kontrol generasi baru ini dirancang khusus untuk memastikan kendali yang lebih canggih bagi rudal-rudal nuklir generasi baru milik Rusia. (Sumber: RIA Novosti)
Terkait ketegangan yang semakin memanas antara Israel dan Iran, dan menjurus terjadinya kofrontasi militer antar dua kekuatan besar itu, Ruasi dan China menghimbau semua pihak untuk bisa menah diri. Dua negara tersebut mengkwatirkan dampak buruk yang akan terjadi jika Israel jadi menyerang Iran.
Minggu ini, Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) menerbitkan sebuah laporan yang memberatkan yang menyatakan ada “bukti kuat” Iran secara diam-diam membangun gudang hulu ledak nuklir. Laporan terbaru itu menunjukkan, Iran bahkan bisa menjadi “negara nuklir” dalam beberapa bulan.
Perkembangan program senjata nuklir Iran itu akan meningkatkan kemungkinan AS melakukan tindakan pre-emptive terhadap Iran. Pekan lalu, sebelum laporan IAEA muncul, para pejabat penting Israel dilaporkan sedang mengupayakan meloloskan rencana serangan militer ke Iran. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dilaporkan sedang melakukan agitasi untuk melakukan serangan udara terhadap fasilitas-fasilitas nuklir Iran.
Namun, Iran mengancam akan membalas setiap serangan dengan memblokade Selat Hormuz sehingga akan memotong 40 persen dari pasokan minyak dunia.
Menteri Lar Negeri Rusia Sergei Lavrov, Senin (7/11/2011), menjadi orang terakhir yang mengecam setiap rencana aksi militer terhadap Iran. Ia mengatakan, hal itu akan menjadi “kesalahan yang sangat serius dengan konsekuensi tak terduga.” Lavrov menambahkan, “Satu-satunya jalan untuk menghilangkan kekhawatiran adalah menciptakan setiap kondisi yang memungkinkan “untuk melanjutkan pembicaraan antara Iran dan enam kekuatan dunia yang terhenti sejak Desember lalu”.
China juga menyatakan keprihatinannya tentang rencana serangan militer terhadap Iran. Namun, China mendesak Teheran untuk tidak konfrontatif dengan IAEA.
Moskwa dan Beijing telah mengisyaratkan kekhawatiran bahwa laporan tersebut akan menyudutkan Iran dan meredupkan setiap kesempatan diplomasi untuk menyelesaikan sengketa itu yang berpotensi memicu konflik lebih luas di Timur Tengah. “Rusia pada khususnya telah melakukan lobi cukup intensif,” kata seorang diplomat senior Barat.
Presiden Israel Shimon Peres telah menyatakan tekad untuk melancarkan serangan militer terhadap Iran. “Kemungkinan sebuah serangan militer terhadap Iran sekarang semakin dekat untuk dilaksanakan ketimbang penerapan opsi diplomatik,” katanya akhir pekan lalu.
“Saya memperkirakan badan-badan intelijen semua negara sedang melihat jam berdentang, memperingatkan para pemimpin bahwa tidak banyak waktu yang tersisa,” ujar Peres.
Calon presiden AS dari Partai Republik, Rick Perry, pekan lalu juga bersuara mendukung serangan udara Israel terhadap Iran. Gubernur Texas itu mengatakan, ia akan mendukung Israel dalam hal itu jika ada bukti bahwa Teheran semakin dekat memiliki senjata nuklir.
“Serangan ini akan menjadi kesalahan yang serius dan akan menimbulkan konsekuensi yang tak dapat diperkirakan,” ujar Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov, seperti dikutip AFP, Senin (7/11/2011).
“Intervensi militer hanya akan menjatuhkan korban jiwa yang berasal dari warga sipil dan menambah penderitaan warga. Militer tidak akan pernah menjadi solusi untuk mengatasi masalah nuklir Iran,” tambahnya.
Pernyataan Lavrov muncul dalam menanggapi rencana serangan Israel terhadap Iran. Presiden Israel Shimon Peres bahkan mengatakan, serangan Israel ke Iran tak lama lagi akan dimulai.
Rusia sebelumnya sudah mendesak Iran agar meningkatkan transparansinya dalam program nuklirnya. Lavrov juga mengingatkan akan bahaya yang terjadi di Afghanistan setelah adanya intervensi militer.
Selain Rusia, Amerika Serikat (AS) pun juga tidak mendukung adanya intervensi militer yang dilakukan oleh Israel terhadap Iran. Menurut AS, sanksi sudah terlihat cukup untuk membuat Iran jera akan program nuklirnya.
Meski demikian, Iran juga tampak menantang serangan dari Israel. Mereka bahkan menyatakan kesigapannya dalam menghadapi serangan dari Israel.
Hal itu dikemukakan Rogozin dalam wawancaranya dengan koran Izvestia terbitan Rusia Jumat (5/8), bahwa NATO tengah mempersiapkan target jangka panjang untuk menyerang Iran. Pejabat Rusia itu menambahkan bahwa pasukan aliansi itu berniat mengubah pemerintahan di Iran yang pendapatnya tidak sejalan dengan dunia Barat.
“Tali simpul sekitar Iran terus menguat. Rencana militer anti-Iran itu tengah disusun. Dan kami sangat mengkhawatirkan eskalasi perang dalam skala luas di kawasan besar ini,” tutur Rogozin.
Lebih lanjut diplomat Rusia itu menjelaskan bahwa Suriah dan Yaman akan menjadi tahap terakhir strategi NATO sebelum melancarkan serangan ke Iran.
Perkembangan terbaru ini mengemuka di saat para pengamat masalah Israel memprediksikan kemungkinan serangan rezim Zionis terhadap instalasi nuklir Iran untuk mengalihkan perhatian masyarakat dunia dalam mendukung deklarasi kemerdekaan Palestina di PBB.
Bulan lalu, mantan agen Dinas Rahasia Amerika (CIA) Robert Baer mengatakan, bahwa serangan tersebut nyaris pasti dilancarkan Israel pada bulan September menjelang voting di sidang Majelis Umum PBB soal deklarasi kemerdekaan Palestina.(IRIB/MZ)
Pada hari Selasa, 13 Mei lalu Kantor Berita Rusia Ria Novosti dengan bersandarkan pada ucapan Massimo Panizza, Jurubicara Komite Militer NATO yang menyatakan bahwa kesepakatan di bidang pengukuhan dan perluasan kerjasama bersama Moskow dan NATO akan segera ditandatangani. Kesepakatan ini hasil dari enam ribu kata kunci dan butir-butir terkait kerjasama politik dan militer kedua pihak yang ditandatangani oleh Kepala Gabungan Militer Rusia, Nicolay Makarov dan Admiral Giampaolo Di Paola, Ketua Komite Militer NATO. Ini merupakan titik perubahan baru dalam hubungan NATO-Rusia yang telah dimulai sejak Januari tahun ini.
Satu dari kesepakatan pertama Rusia dan NATO adalah untuk pertama kalinya armada kapal perang Rusia yang berada di Laut Hitam diperbolehkan ikut dalam manuver internasional NATO di tahun 2011. Sekaitan dengan hal ini, unit khusus kapal penyelamat Rusia di Laut Hitam telah bertolak ke Spanyol pada 10 Mei untuk mengikuti manuver internasional tim penyelamat NATO. Langkah ini telah mencairkan kebekuan yang terjadi selama ini antara negara-negara anggota NATO dan Rusia. Namun kemajuan hubungan ini kembali menemui jalan buntu ketika di akhir pertemuan Dewan Rusia-NATO di Brussel, Di Paola mengkonfirmasikan masih adanya masalah yang dalam perundingan Rusia dan negara-negara anggota NATO. Masalah lama terkait penempatan sistem perisai rudal di Eropa. Karena penempatan sistem pertahanan ini tanpa mengindahkan pandangan Moskow bahkan merugikan kemampuan pertahanan dan keamanan Rusia.
Sementara para pejabat Amerika masih saja mencari-cari alasan untuk memberikan jaminan kepada Moskow terkait sistem perisai rudal. Hal ini menyisakan friksi yang dalam antara Rusia dan NATO. Mencermati kenyataan ini, yang menjadi pertanyaan adalah apa tujuan di balik upaya Rusia untuk tetap melakukan perundingan dengan NATO?
Terlebih lagi NATO pada hakikatnya merupakan ancaman bagi Rusia, bahkan pasca Perang Dingin. Perluasan NATO ke timur dan kawasan yang menjadi “halaman belakang” Rusia identik dengan meluasnya ancaman keamanan bagi Moskow. Bila menelisik doktrin militer Rusia tahun 2010, masalah yang dihadapi Moskow menjadi jelas mengingat penempatan perisai rudal dan perluasan NATO merupakan ancaman keamanan dan militer bagi Rusia.
Semakin dekatnya sikap Rusia dan NATO di sejumlah bidang seperti yang ditunjukkan dalam perundingan Brussel membuktikan sebagian negara anggota organisasi pertahanan ini punya masalah keamanan baru. Selain Cina, Korea Utara dan Belarusia yang menjadi sekutu Rusia, Republik Islam Iran lewat sejumlah ancaman keamanan bersama berada bersama Rusia. Guna menarik perhatian Moskow, Barat tidak kekurangan akal dengan mendefisinikan bahaya baru dari Tehran dan Pyongyang, bukan Moskow. Rusia juga disebutkan tidak ingin menalikan nasib ancaman keamanannya dengan negara-negara seperti Iran dan Korea Utara. Namun jelas bahwa keberadaan musuh bersama membuat negara-negara ini berusaha mencegah pengaruh NATO dan Amerika ke Timur.(irib)
“Kami tidak menambah sesuatu ke dalam daftar itu (daftar kerjasama militer), namun dalam segala hal, kami tidak akan punya kerjasama militer lebih dengan Iran,” kata Wakil Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Ryabkov seperti dilaporkan Press TV hari ini (Kamis,23/9).
“Namun ada bentuk-bentuk lain kerjasama militer yang masih diperbolehkan,” tambahnya kepada wartawan di New York tanpa menjelaskan lebih lanjut jenis kerjasama yang dimaksud.
Presiden Rusia Dmitry Medvedev, Rabu (22/9) menandatangani sebuah dekrit larangan pengiriman sistem pertahanan rudal canggih S-300 kepada Iran.
Menyusul pembatalan itu, Iran mengumumkan tekad mereka untuk membangun sistem pertahanan rudal dalam negeri yang mirip dengan sistem pertahanan rudal Rusia.
Sesuai dengan kontrak yang ditandatangani pada tahun 2005, Rusia berkewajiban menyerahkan sedikitnya lima unit sistem pertahanan udara S-300 ke Iran. Tehran telah berkali-kali mengkritik Moskow atas penundaan penyerahan pesanan Iran tersebut.
Sistem pertahanan udara itu dikenal di Barat dengan sebutan SA-20. Sistem rudal itu mampu menghalau dan menembak sasaran pada jarak 120 km. Kemampuan lain sistem pertahanan rudal tersebut adalah menghalau 100 target secara bersamaan.
Sementara itu Amerika Serikat menyambut keputusan presiden Rusia untuk melarang pengiriman sistem rudal pertahanan udara S-300 dan senjata-senjata lainnya ke Iran, kata seorang pejabat Gedung Putih.
Jurubicara Dewan Keamanan Nasional AS, Mike Hammer menyambut baik langkah tersebut sebagai “pelaksanaan yang taat dan tegas atas resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 1929,” sebagaimana dikutip dari RIA Novosti. (Irib.ir)
Fars News (8/2) mengutip laporan Dow Jones menyebutkan, para pengamat energi memperingatkan bahwa jika Selat Hormuz ditutup oleh Iran, maka seluruh jalur alternatif tidak akan dapat menutupi kekurangan suplai minyak dunia dan hal ini akan mengacaukan kondisi pasar energi.
Pada 1 Juli mendatang, Uni Eropa akan menerapkan sanksi anti-sektor minyak Iran dan di lain pihak Tehran juga mengancam akan menutup Selat Hormuz jika sanksi itu diberlakukan. Padahal lebih dari 17 juta barel atau 20 persen ekspor minyak dari Teluk Persia menuju pasar dunia melintasi Selat Hormuz.
Peter Sand, analis senior perkapalan di The Baltic and International Maritime Council mengatakan, penggunaan jalur alternatif selain Selat Hormuz akan meningkatkan biaya pengiriman dan akan berdampak pada harga minyak dunia. Kuwait, Iran, Irak, Qatar, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab, mengekspor minyak mentah mereka melalui Selat Hormuz.
Berdasarkan statistik Kantor Informasi Energi Amerika, hingga 10 bulan tahun 2011, lebih dari 70 juta ton meter kubik gas cair (LNG) diekspor melalui Selat Hormuz. Dapat dibangun saluran pipa alternatif yang dapat mengekspor 4,5 hingga 5 juta barel minyak per harinya. Akan tetapi jumlah pasar minyak dunia masih akan kekurangan 13 juta barel per hari
“Jika embargo atas minyak Iran diberlakukan atau pergerakan militer mendekati Selat Hormuz, maka harga minyak diperkirakan melambung ke kisaran 150 sampai 160 dolar AS per barel,”kata anggota dewan Korporasi Perminyakan Kuwait Ali al-Hajeri kepada harian Al-Seyassah, Senin (6/2).
Hajeri menyatakan bahwa harga saat ini antara 100-105 dolar AS per barel wajar dan dapat diterima oleh para produsen dan konsumen, dan mengatakan setiap harga naik akan menambah beban ekonomi global.
Saat ini Uni Eropa dan AS ngotot akan menerapkan embargo impor minyak Iran, sementara Tehran tetap teguh dan bahkan mengancam akan melakukan tindakan balasan dengan menutup selat Hormuz, -jalur perairan strategis untuk ekspor minyak negara-negara Teluk-. Bahkan parlemen Iran mempertimbangkan rencana untuk menghentikan ekspor minyak ke negara-negara Uni Eropa, lapor stasiun TV Chanel6 Iran.
“Majlis (parlemen) perwakilan berupaya untuk menyetujui rencana itu, dan semua negara Eropa yang telah memberlakukan sanksi terhadap Iran tidak akan dapat membeli bahkan setetespun minyak dari Iran,” kata Nasser Soudani, anggota Majlis Komisi Energi Iran.
Harga minyak di mana lebih rendah di perdagangan Asia pada Senin karena kekhawatiran seputar krisis utang yang belum terpecahkan di Yunani menambah kekhawatiran masalah terganggunya pasokan di Timur Tengah dan Afrika.[Islam Times/on/ant/Chanel6]
Dalam sebuah artikel yang dipublikasikan Eurasiareview, Konstantin Garibov mengatakan beberapa negara anggota Uni Eropa serta Turki, Jepang, Cina, Korea Selatan dan India meminta untuk dibebaskan dari sanksi minyak Iran.
"Pekan lalu India dan Turki menolak mematuhi embargo mengenai impor minyak mentah Iran, hanya beberapa hari setelah Cina mengemukakan pernyataan serupa," kata Garivon.
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri India mengatakan, New Delhi akan terus mengimpor minyak dari Tehran, dan tidak perlu mengindahkan kebijakan Washington yang mencari dukungan terhadap sanksi AS pada sektor minyak Iran. "Kami telah menerima sanksi-sanksi yang diberlakukan oleh PBB. Sanksi lain tidak berlaku untuk setiap negara," kata Ranjan Mathai.
New Delhi menilai sanksi baru AS atas sektor minyak Iran sebagai sesuatu yang tidak mengikat. India memenuhi sekitar tiga perempat dari kebutuhan minyak mentahnya melalui impor, dan Iran menjadi pemasok terbesar kedua setelah Arab Saudi.
Sikap senada dikemukakan Tokyo. Menlu Jepang, Koichiro Gemba, mengatakan, "Ada bahaya yang akan merusak perekonomian global, jika kita menghentikan impor minyak mentah Iran."
Sementara itu, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Korea Selatan mengungkapkan kesulitan besar yang dihadapi Seoul untuk mencari pemasok baru menggantikan minyak mentah Iran. Statemen ini mengemuka di tengah meningkatnya tekanan Washington terhadap Korsel terkait penerapan sanksi AS baru terhadap Tehran.
Cho Byung-jae mengkhawatirkan meroketnya harga minyak dunia akibat sanksi minyak Iran. Pada tahun 2011, Korea Selatan memenuhi 10 persen kebutuhan pasokan minyak mentahnya dari Iran
Harga minyak mentah Brent naik 1,85 dolar pada Jumat (24/2) mencapai 125,47 dolar per barel, yang merupakan angka tertinggi sejak 29 April 2011. Minyak mentah AS untuk penyerahan bulan April meningkat 1,94 dolar menjadi 109,77 dolar per barel, dan merupakan penutupan harga tertinggi sejak 3 Mei.
Dan Flynn dari PFGBest Research di Chicago mengatakan, kenaikan itu diakiibatkan oleh laporan IAEA menyangkut program nuklir Iran.
Laporan IAEA itu dirilis Jumat (24/2) dan mengklaim bahwa “IAEA masih memiliki keprihatinan serius tentang kemungkinan aspek militer dalam program nuklir Iran.”
Di lain pihak, Duta Besar Iran untuk IAEA, Ali Asghar Soltaniyeh, laporan terbaru IAEA itu membenarkan status damai program nuklir Tehran.
Kenaikan harga minyak dipicu ketika Iran pekan lalu mengancam akan memutus ekspor minyaknya ke enam negara anggota Uni Eropa jika mereka menolak menandatangani jangka kontrak jangka panjang dengan Tehran.
Pada 19 Februari, Kementerian Perminyakan Iran mengumumkan bahwa mereka telah mengurangi ekspor minyaknya ke perusahaan Inggris dan Perancis.
Presiden AS Barack Obama menilai kenaikan harga bahan bakar itu adalah akibat dari tensi dengan Iran. Harga bensin AS telah melonjak hampir 9 sen pada Ahad lalu (19/2) menjadi 3,61 dolar per galon.
Amerika Serikat, Israel dan beberapa sekutunya menuding Tehran mengejar tujuan militer dalam program nuklirnya, dan menggunakan alasan itu untuk menjatuhkan empat putaran sanksi di Dewan Keamanan PBB, serta sanksi sepihak anti-Iran.
Iranmembantah tuduhan itu dengan alasan bahwa sebagai penandatangan Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT) dan anggota IAEA, berhak mendayagunakan teknologi nuklir untuk tujuan damai. (IRIB Indonesia/MZ)
Rusia mengatakan larangan penjualan sistem rudal dan pesawat ke Iran tidak berarti penghentian kerjasama militer antara Moskow dan Tehran.
“Kami tidak menambah sesuatu ke dalam daftar itu (daftar kerjasama militer), namun dalam segala hal, kami tidak akan punya kerjasama militer lebih dengan Iran,” kata Wakil Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Ryabkov seperti dilaporkan Press TV hari ini (Kamis,23/9).
“Namun ada bentuk-bentuk lain kerjasama militer yang masih diperbolehkan,” tambahnya kepada wartawan di New York tanpa menjelaskan lebih lanjut jenis kerjasama yang dimaksud.
Presiden Rusia Dmitry Medvedev, Rabu (22/9) menandatangani sebuah dekrit larangan pengiriman sistem pertahanan rudal canggih S-300 kepada Iran.
Menyusul pembatalan itu, Iran mengumumkan tekad mereka untuk membangun sistem pertahanan rudal dalam negeri yang mirip dengan sistem pertahanan rudal Rusia.
Sesuai dengan kontrak yang ditandatangani pada tahun 2005, Rusia berkewajiban menyerahkan sedikitnya lima unit sistem pertahanan udara S-300 ke Iran. Tehran telah berkali-kali mengkritik Moskow atas penundaan penyerahan pesanan Iran tersebut.
Sistem pertahanan udara itu dikenal di Barat dengan sebutan SA-20. Sistem rudal itu mampu menghalau dan menembak sasaran pada jarak 120 km. Kemampuan lain sistem pertahanan rudal tersebut adalah menghalau 100 target secara bersamaan.
Sementara itu Amerika Serikat menyambut keputusan presiden Rusia untuk melarang pengiriman sistem rudal pertahanan udara S-300 dan senjata-senjata lainnya ke Iran, kata seorang pejabat Gedung Putih.
Jurubicara Dewan Keamanan Nasional AS, Mike Hammer menyambut baik langkah tersebut sebagai “pelaksanaan yang taat dan tegas atas resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 1929,” sebagaimana dikutip dari RIA Novosti. (Irib.ir)
USS Enterprise (CVN-65), adalah kapal induk raksasa pengangkut pesawat bertenaga nuklir pertama di dunia dan kapal Amerika Serikat ke-8 yang menggunakan nama USS Enterprise. Kapal yang dijuluki “Big E.” Enterprise tersebut sudah meninggalkan pangkalannya di Norfolk, Virginia A.S, Minggu (10/03) untuk misi tujuh bulan.
Dengan panjang hampir menyamai dua lapangan sepak bola, kapal seperti katinting raksasa yang kemana-mana mengangkut elemen-elemen operasi khusus; berbagai matra pasukan khusus dan alat-alat perang siap diterjunkan dalam perang konvensional dan asimetris dalam hitungan jam.
Diberitakan, kapal induk tersebut tengah di siagakan jika terjadi konflik militer dengan Iran, media AS melaporkan.
“USS Enterprise senantiasa siaga dan mampu seperti yang pernah terjadi selama 50 tahun,” kata Kapten William C. Hamilton, komandan kapal, dalam sebuah pernyataan.
Dilaporkan, lebih dari 50 tahun karirnya, USS Enterprise telah terlibat dalam berbagai misi, mulai Krisis Rudal Kuba pada Oktober 1962, Perang Vietnam awal 1970-an, serangan ke Iran pada 1988, serangan pertama ke Afganistan pasca skandal 11 September 2001, Operation Iraqi Freedom di Irak, 2003-2004.
Kapal induk USS Enterprise akan bergabung dengan dua kapal kelas destroyer AS lainnya di Teluk Persia pada akhir Maret.[Islam Times/on/Press TV]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar