Penetapan
Awal dan Akhir Ramadhan Menurut Syari’ah Islam
Masjid As-Sa’adah Cikarang, 19 Sya’ban 1433 H.
Pemateri : Abu Hanifah
Sebagai bulan yang penuh
barakah, rahmat, dan ampunan, bulan Ramadhan selalu dinantikan kehadirannya
oleh umat Islam. Namun sayangnya, momentum penting itu hampir selalu diwarnai
perbedaan di antara umat Islam dalam mengawali dan mengakhirinya. Patut
dicatat, problem tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga dunia
Islam pada umumnya. Bagaimana kita menyikapi perbedaan tersebut ?
Sabab Pelaksanaan Shaum
Ramadhan adalah : Ru’yah Hilal
Telah maklum bahwa puasa Ramadhan merupakan
ibadah yang wajib ditunaikan setiap mukallaf. Allah Swt berfirman:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ
هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ
مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah)
bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa
di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah
ia berpuasa pada bulan itu (QS al-Baqarah [2]: 183-185).
Imam Ahmad meriwayatkan dalam kitab
Musnad-nya, melalui jalur Qois bin Thalq
dan bapaknya ra, dari Nabi Saw, bahwa Rasuulullah shallallahu ’alaihi wa sallam
bersabda :
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ جَعَلَ هَذِهِ الْأَهِلَّةَ
مَوَاقِيتَ لِلنَّاسِ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ
غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَتِمُّوا الْعِدَّةَ
” Sesungguhnya Allah
’Azza wa Jalla telah menjadikan (menetapkan) hilal (bulan sabit) sebagai awal
waktu bagi manusia , berpuasalah karena
melihat (awal bulan ramadhan), dan
berbukalah karena melihat (awal bulan syawal) ,
jika tertutup mendung (awan) maka sempurnakan bilangan (bulan Sya’ban
menjadi 30 hari). (HR.Ahmad : 15702)
Rasulullah saw bersabda:
بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا
إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ
وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ
Islam dibangun atas lima perkara: kesaksian
bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan
shalat, membayar zakat, haji, dan berpuasa Ramadhan (HR al-Bukhari no. 7; Muslim no. 21;
al-Nasa’i no. 4915; Ahmad no. 4567, dari Ibnu Umar ra ).
Berdasarkan ayat dan Hadits ini, serta
dalil-dalil lainnya, puasa Ramadhan merupakan suatu ibadah yang wajib
ditunaikan. Sebagaimana ibadah lainnya, syara’ tidak hanya menjelaskan status
hukumnya – bahwa puasa Ramadhan adalah fardhu ‘ain –, tetapi juga,.. secara
gamblang dan rinci syara’ telah menjelaskan tentang tata cara pelaksanaannya,
baik berkenaan dengan as-sabab, al-syarth, al-mâni’, al-shihah wa al-buthlân,
dan al-‘azhîmah wa al-rukhshah-nya.
Berkenaan dengan ”sabab”
(sebab dilaksanakannya suatu hukum) puasa Ramadhan, syara’ menjelaskan bahwa ru’yah
al-hilâl merupakan sabab dimulai dan diakhirinya puasa Ramadhan. Apabila
bulan tidak bisa diru’yah, maka puasa dilakukan setelah istikmâl (30 hari ) bulan
Sya’ban. Ketetapan ini didasarkan banyak dalil. Beberapa di antaranya adalah
Hadits-hadits berikut , . . dari Abu Hurairah dari Nabi Saw :
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ
غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ
Berpuasalah kalian karena
melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal). Apabila
pandangan kalian tersamar (terhalang), maka sempurnakanlah hitungan bulan
Sya’ban menjadi 30 hari (HR. Bukhari no. 1776 ).
إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ
فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
Apabila kamu melihatnya
(hila)l, maka berpuasalah; dan apabila kamu melihatnya, maka berbukalah. Jika
ada mendung menutupi kalian, maka hitunglah (HR al-Bukhari no.
1767 dari Abu Hurairah)
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ
غُمِّيَ عَلَيْكُمْ الشَّهْرُ فَعُدُّوا ثَلَاثِينَ
Berpuasalah kalian karena
melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal). Apabila
pandangan kalian terhalang mendung, maka hitunglah tiga puluh bulan hari (HR Muslim no.1810,
dari Abu Hurairah ra.)
لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا
حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
Janganlah kalian puasa
hingga melihat hilal, jangan pula kalian berbuka hingga melihatnya, jika kalian
terhalangi awan, maka sempurnakanlah hitungannya menjadi tiga puluh hari (HR. Bukhari no. 1773, Muslim
no. 1795, al-Nasai no. 2093; dari Abdullah bin Umar ra.).
لاَ
تُقَدِّمُوا الشَّهْرَ بِصِيَامِ يَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ
شَيْءٌ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ وَلاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ ثُمَّ صُومُوا
حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ حَالَ دُونَهُ غَمَامَةٌ فَأَتِمُّوا الْعِدَّةَ
ثَلاَثِينَ ثُمَّ أَفْطِرُوا وَالشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ
Janganlah kalian
mendahului bulan Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari kecuali seseorang di
antara kalian yang biasa berpuasa padanya. Dan janganlah kalian berpuasa sampai
melihatnya (hilal Syawal). Jika ia (hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah
bilangan tiga puluh hari kemudian berbukalah (Iedul Fithri) dan satu bulan itu
29 hari. (HR.
Abu Dawud no. 1982, al-Nasa’i 1/302, al-Tirmidzi 1/133, al-Hakim 1/425, dari
Ibnu Abbas dan di shahih kan sanadnya oleh al-Hakim dan disetujui oleh
al-Dzahabi.)
إِنَّمَا الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ فَلَا تَصُومُوا
حَتَّى تَرَوْهُ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ
فَاقْدِرُوا لَهُ
Sesungguhnya bulan itu
ada dua puluh sembilah hari, maka janganlah kalian berpuasa hingga melihatnya.
Dan janganlah kalian berbuka hingga melihatnya. Apabila mendung menutupi
kalian, maka perkirakanlah.” (HR. Muslim 1797, HR Ahmad no. 4258, al-Darimi no. 1743,
al-Daruquthni no. 2192, dari Ibnu Umar ra).
Berdasarkan Hadits-hadits tersebut, para
fuqaha berkesimpulan bahwa penetapan awal dan akhir Ramadhan didasarkan kepada ru’yah
al-hilâl. Imam al-Nawawi menyatakan, “Tidak wajib berpuasa
Ramadhan kecuali dengan melihat hilal. Apabila mereka tertutup mendung, maka
mereka wajib menyempurnakan Sya’ban (menjadi tiga puluh hari), kemudian mereka
berpuasa. [al-Nawawi, al-Majmû’ Syarh
al-Muhadzdzab, 6/269]
Ali al-Shabuni berkata, “Bulan
Ramadhan ditetapkan dengan ru’yah hilal, meskipun berasal dari seroang yang
adil atau dengan menyempurnakan hitungan Sya’ban menjadi tiga puluh hari; dan
tidak dianggap dengan hisab dan astronomi; berdasarkan sabda Rasulullah saw.
‘Shumû li ru’yatihi wa afthirû li ru’yatihi…”.[Ali al-Shabuni,
Rawâi’ al-Bayân, 1/210]
Menurut pendapat Jumhur,
kesaksian ru’yah hilal Ramadhan dapat diterima dari seorang saksi Muslim yang
adil. Ketetapan itu didasarkan oleh
beberapa Hadits Nabi saw , Dari Ibnu Umar ra:
تَرَاءَى
النَّاسُ الْهِلَالَ فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَنِّي رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ
Orang-orang melihat hilal, kemudian saya
sampaikan Rasulullah saw, “Sesungguhnya saya melihatnya (hilal). Kemudian
beliau berpuasa dan memrintahkan orang-orang untuk berpuasa (HR Abu Dawud no. 1995; al-Darimi no, 1744; dan al-Daruquthni
no. 2170).
Dalam Hadits ini, Rasulullah saw berpuasa
dan memerintahkan umat Islam untuk berpuasa berdasarkan kesaksian Ibnu Umar ra.
. . . - Itu artinya, kesaksian seorang
Muslim dalam ru’yah hilah dapat diterima. Juga dalam hadits ke dua :
Dari Ibnu Abbas bahwa:
جَاءَ
أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي
رَأَيْتُ الْهِلَالَ قَالَ أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَتَشْهَدُ
أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ يَا بِلَالُ أَذِّنْ فِي
النَّاسِ أَنْ يَصُومُوا غَدًا
Telah datang seorang Arab Badui kepada Nabi
Muhammad saw kemudian berkata, “Sungguh saya telah melihat hilal¤. Rasulullah
bertanya, “Apakah anda bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah dan bersaksi
bahwa sesungguhnya Muhammad adalah Rasulullah?” Orang tersebut menjawab, “Ya”.
Lalu Rasulullah bersabda, “Wahai Bilal, umumkan kepada manusia (khalayak) agar
mereka berpuasa besok.” (HR Imam yang lima, disahihkan oleh Khuzaimah & Ibnu Hiban).
Dalam Hadits tersebut dikisahkan, Rasulullah
saw tidak langsung menerima kesaksian seseorang tentang ru’yah. Beliau baru mau
menerima kesaksian ru’yah orang itu setelah diketahui bahwa dia adalah seorang
Muslim. Andaikan status Muslim tidak menjadi syarat diterimanya kesaksian
ru’yah Ramadhan, maka Rasulullah saw tidak perlu melontarkan pertanyaan yang
mempertanyakan keislamannya. Rasuulullah Saw
juga tidak memandang status social si arab badui tersebut ,.. apakah dia berpendidikan ?
ataukah orang biasa ? sebab, dhohir hadits
tersebut, Nabi Saw hanya menanyakan ke-islaman
orang badui tersebut.
Tidak Terikat dengan
Mathla’
Persoalan berikutnya
adalah mathla’ (tempat lahirnya bulan). Sebagian ulama Syafi’iyyah berpendapat,
jika satu kawasan melihat bulan, maka daerah dengan radius 24 farsakh dari
pusat ru’yah bisa mengikuti hasil ru’yat daerah tersebut. Sedangkan daerah di
luar radius itu boleh melakukan ru’yah sendiri, dan tidak harus mengikuti hasil
ru’yat daerah lain.
Pendapat tersebut disandarkan kepada Hadits
yang diriwayatkan dari Kuraib:
أَنَّ
أُمَّ الْفَضْلِ بَعَثَتْهُ إلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ فَقَالَ : فَقَدِمْتُ
الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ رَمَضَانُ وَأَنَا
بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلَالَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ قَدِمْتُ
الْمَدِينَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ ،
ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلَالَ فَقَالَ : مَتَى رَأَيْتُمْ الْهِلَالَ ؟ فَقُلْتُ :
رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ، فَقَالَ : أَنْتَ رَأَيْتَهُ ؟ فَقُلْتُ :
نَعَمْ ، وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ ، فَقَالَ : لَكِنَّا
رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلَا نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلَاثِينَ
أَوْ نَرَاهُ ، فَقُلْتُ : أَلَا تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ ؟
فَقَالَ : لَا ، هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
Bahwa Ummul Fadl telah mengutusnya untuk
menemui Muawiyyah di Syam. Kuraib berkata, “Aku memasuki Syam lalu
menyelesaikan urusan Ummul Fadhl. Ternyata bulan Ramadhan tiba sedangkan aku
masih berada di Syam. Aku melihat hilal pada malam Jumat. Setelah itu aku memasuki
kota Madinah pada akhir bulan Ramadhan. Ibnu ‘Abbas lalu bertanya kepadaku dan
menyebut persoalan hilal’. Dia bertanya, ‘Kapan kalian melihat hilal?’ Aku
menjawab, ‘Kami melihatnya pada malam Jum’at.’ Dia bertanya lagi, ‘Apakah kamu
sendiri melihatnya?’ Aku jawab lagi, ‘Ya, dan orang-orang juga melihatnya. Lalu
mereka berpuasa, begitu pula Muawiyyah.’ Dia berkata lagi, ‘Tapi kami (di
Madinah) melihatnya pada malam Sabtu. Maka kami terus berpuasa hingga kami
menyempurnakan bilangan tiga puluh hari atau hingga kami melihatnya.’ Aku lalu
bertanya, ‘Tidak cukupkah kita berpedoman pada ru’yat dan puasa Muawiyyah?’ Dia
menjawab, ‘Tidak, (sebab) demikianlah Rasulullah Saw telah memerintahkan kepada
kami’. ( HR. Muslim no. 1819;
Abu Dawud no. 1985; al-Tirmidzi 629; al-Nasa’i no. 2084; Ahmad no. 2653).
Inilah Hadits yang diriwayatkan Kuraib ra,
yang dijadikan sebagai dalil oleh
sebagian ulama / tokoh, KEBOLEHAN perbedaan awal dan akhir Ramadhan karena
perbedaan mathla’ . (lokasi wilayah tempat rukyat hilal).
Marilah kita kaji lebih
teliti, sesungguhnya pendapat ini mengandung sejumlah kelemahan. Di antaranya:
Pertama, dalam Hadits ini
terdapat syubhat (keragu-raguan), apakah Hadits ini tergolong Hadits marfû’
atau mawqûf. Ditilik dari segi lafazhnya, perkataan Ibnu ‘Abbas, “Hakadzâ
amaranâ Rasûlullâh saw” (demikianlah Rasulullah saw memerintahkan kepada
kami), seolah-olah menunjukkan sebagai Hadits marfû’. Namun jika dikaitkan
dengan munculnya perkataan itu, kesimpulan sebagai Hadits marfu’ perlu
dipertanyakan. Antara lain :
Jika dicermati, perkataan
“Lâ, hakadzâ amaranâ Rasûlullâh saw” merupakan jawaban Ibnu Abbas atas
pertanyaan Kuraib dalam merespon suatu peristiwa yang terjadi pada masa beliau.
Yakni terjadinya perbedaan antara penduduk Madinah dan penduduk Syam dalam
mengawali puasa. Penduduk Syam melihat hilal pada malam Jumat, sementara
penduduk Madinah melihatnya pada malam Sabtu. Ketika kejadian itu ditanyakan
kepada Ibnu Abbas, mengapa penduduk Madinah tidak mengikuti ru’yah penduduk
Syam saja, kemudian keluarlah jawaban Ibnu Abbas tersebut.
Bertolak dari kisah
tersebut, maka ke-marfu’-an Hadits ini perlu dipertanyakan:
(i),“Apakah peristiwa
serupa (Nabi bersama para shahabat pernah berbeda awal dan akhir Ramadhan ?) sehingga
keputusan Beliau saw , seperti keputusan Ibnu Abbas ?”
(ii), “Ataukah itu
merupakan ijtihad Ibnu Abbas ra, tatkala tidak mendengar berita telah hilal,
dari penduduk Syam , di mana (Mu’awiyah) dan kaum muslimin di Syam telah
melihat hilal pada Kamis malam Jum’at,..
maka Ibnu Abbas meng-istikmal-kan
,.. (dan / atau) merukyat pada Jum’at malam Sabtu.
Sehingga terjadilah
perbedaan antara Syam dan Madinah.
Di sinilah letak syubhat
Hadits ini, apakah tergoloh marfû’ atau mawqûf. Agar lebih jelas, kita bisa
membandingkan Hadits ini dengan Hadits lain yang tidak mengandung syubhat, yang
sama-sama menggunakan ungkapan “amaranâ Rasûlullâh saw”. Hadits dari Ibnu Umar
yang berkata:
أَمَرَنَا
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ أَنْ
تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ
Rasulullah saw memerintahkan kami dalam zakat
fithri agar ditunaikan sebelum keluarnya orang-orang untuk shalat (HR Abu Dawud).
Hadits ini adalah Hadits
marfû’ (tanpa mengandung subhat). Sebab, Hadits ini berisi sebuah ketentuan hukum
atas suatu perbuatan. Berbeda halnya dengan Hadits Ibnu Abbas di atas, yang
berisi jawaban beliau mengenai suatu kasus yang terjadi (hanya) pada masa
beliau (sementara para sahabat besar telah tiada). Tampak bahwa perkataan Ibnu
Abbas tersebut merupakan ijtihad beliau dalam menyikapi kejadian yang terjadi
pada saat itu. Kesimpulan demikian juga disampaikan oleh sebagian ulama,
seperti pernyataan imam asy-Syaukani
yang menggolongkan Hadist ini sebagai ijtihad Ibnu Abbas.
وَعَدَمُ عَمَلِ ابْنِ عَبَّاسٍ بِرُؤْيَةِ أَهْلِ الشَّامِ
مَعَ عَدَمِ الْبُعْدِ الَّذِي يُمْكِنُ مَعَهُ الِاخْتِلَافُ فِي عَمَلٍ
بِالِاجْتِهَادِ وَلَيْسَ بِحُجَّةٍ
[asy-Syaukani,
kitab Nayl al-Awthâr, 7/25]
Sebagai sebuah ijtihad,
kaum Muslim diperbolehkan untuk taklid kepada ijtihad Ibnu Abbas. Namun jika
untuk dijadikan sebagai dalil syara’, yang darinya digali hukum-hukum syara’,
jelas tidak diperbolehkan. Sebab, sahabat bukanlah orang yang ma’shum.
Ijtihadnya tidak termasuk dalam dalil syara’.
Sementara kita telah sepakati bahwa : [Dalil syara yang mu’tabar
adalah al-Kitab, al-Sunnah, Ijma’ Sahabat, dan Qiyas.]
Kedua, jika dalam Hadits ini
kaum Muslim diizinkan untuk mengikuti ru’yah di masing-masing daerahnya,
pertanyaan yang muncul adalah: “Berapa jarak minimal antara satu daerah
dengan daerah lainnya yang mereka diperbolehkan berbeda?” “Jika dalam Hadits
ini jarak antara Madinah dengan Syam diperbolehkan bagi penduduknya untuk
berbeda mengawali dan mengakhiri puasa, bagaimana jika jaraknya lebih dekat?”
Hadits ini juga tidak memberikan jawabannya. Oleh karena itu, para ulama yang
mengamalkan Hadits Kuraib ini pun berbeda pendapat mengenai jarak minimalnya.
Ada yang menyatakan, jarak yang
diperbolehkan berbeda puasa itu adalah perbedaan mathla’. Ini ditegaskan oleh
ulama Iraq dan dibenarkan oleh al-Nawawi dalam al-Rawdhah dan Syarh
al-Muhadzdzab. Ada pula yang menggunakan ukuran jarak mengqashar shalat. Hal
ini ditegaskan Imam al-Baghawi dan dibenarkan oleh al-Rafi’i dalam al-Shaghîr
dan al-Nawawi dalam Syarh al-Muslim. Lainnya mendasarkan pada perbedaan iklim.
Dan sebagainya. Patut dicatat, semua batasan jarak itu tidak ada yang
didasarkan pada nash yang sharih.
Bertolak dari dua alasan itu, maka Hadits
Kuraib tidak bisa dijadikan sebagai dalil bagi absahnya perbedaan penetapan
awal dan akhir puasa berdasarkan perbedaan mathla’. Dalam penetapan awal dan
akhir puasa akan lebih tepat jika menggunakan dalil-dalil Hadits yang jelas
marfu’ kepada Nabi saw. Imam al-Amidi mengatakan, “Hadits yang telah disepakati
ke-marfu’-annya lebih dikuatkan daripada hadits yang masih diperselisihkan
ke-marfu’-annya. Hadits yang dituturkan dengan lafadz asli dari Rasulullah Saw
lebih dikuatkan daripada hadits yang diriwayatkan bil makna.”[al-Amidi, al-Amidi,
al-Ihkâm fi Ushûl al-Ahkâm, 1/329]
Berkait dengan Hadits dari Ibnu Abbas,
terdapat Hadits yang diriwayatkan oleh beliau sendiri yang tidak diragukan
ke-marfu’-annya, seperti Hadits:
عَنْ
ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لَا تَصُومُوا قَبْلَ رَمَضَانَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ
فَإِنْ حَالَتْ دُونَهُ غَيَايَةٌ فَأَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ يَوْمًا
Dari Ibnu ‘Abbas ra yang
berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Janganlah kalian berpuasa sebelum
Ramadhan. Berpuasalah karena melihatnya dan berkulah karena melihatnya. Jika ia
(hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari.” (HR al-Tirmidzi no. 624;
Ibnu Hibban no. 2301)
Juga Hadits-hadits lainnya yang tidak
diragukan ke-marfu’-annya. Dalam Hadits-Hadits itu kaum Muslim diperintahkan
untuk berpuasa dan berbuka karena adanya ru’yah hilal. Semua perintah dalam
Hadits tersebut berbentuk umum. Hal itu terlihat seruan Hadits-Hadits itu yang
menggunakan kata shûmû dan afthirû (dhamîr jamâ’ah, berupa wâwu al-jamâ’ah).
Pihak yang diseru oleh Hadits tersebut adalah seluruh kaum Muslim. Karena
berbentuk umum, maka seruan hadits ini berlaku umum untuk seluruh kaum Muslim,
tanpa ada perbedaan antara orang Syam dengan orang Hijaz, antara orang
Indonesia dengan orang Irak, orang Mesir dengan Pakistan.
Demikian juga, kata li ru’yatihi (karena
melihatnya). Kata ru’yah adalah ism al-jins. Ketika ism al-jins itu
di-mudhaf-kan, termasuk kepada dhamîr (kata ganti), maka kata itu termasuk
dalam shighah umum, [al-Amidi, al-Amidi, al-Ihkâm fi Ushûl al-Ahkâm, 1/329] yang memberikan makna
ru’yah siapa saja. Itu berarti, apabila sudah ada yang melihat hilal, siapa pun
dia asalkan Muslim yang adil, maka kesaksian itu mewajibkan kepada yang lain
untuk berpuasa dan berbuka. Terlihatnya hilal Ramadhan atau hilal Syawal oleh
seorang Muslim di mana pun ia berada, maka ru’yah itu mewajibkan kepada seluruh
kaum Muslim untuk berpuasa dan berbuka, tanpa terkecuali. Tidak peduli apakah
ia tinggal di negeri yang dekat atau negeri yang jauh dari tempat terjadinya
ru’yah.
Imam al-Shan’ani berkata, “Makna dari
sabda Nabi Saw ”shumuu li ru’yatihi” =:
مَا يَثْبُتُ بِهِ الْحُكْمُ الشَّرْعِيُّ مِنْ إخْبَارِ
الْوَاحِدِ الْعَدْلِ أَوْ الِاثْنَيْنِ عَلَى خِلَافٍ فِي ذَلِكَ فَمَعْنَى إذَا
رَأَيْتُمُوهُ أَيْ إذَا وُجِدَتْ فِيمَا بَيْنَكُمْ الرُّؤْيَةُ ، فَيَدُلُّ
هَذَا عَلَى أَنَّ رُؤْيَةَ بَلَدٍ رُؤْيَةٌ لِجَمِيعِ أَهْلِ الْبِلَادِ
فَيَلْزَمُ الْحُكْمُ .
”apa yang telah
disebutkan di dalam hukum syara’ (di atas) adanya khobar wahid (berita rukyat dari 1 orang) yang adil
atau 2 orang , maknanya adalah ” jika kalian telah melihat hilal , dengan kata
lain; jika didapati hilal (awal bulan) oleh di antara kalian,.. hal ini
menunjukkan bahwa, rukyatnya satu negeri berlaku atas semua negeri, dan hukumnya
wajib.” [Al-Shan’ani, Subul al-Salâm,jld.3 hal. 299,
al-Maktabah asy-Syaamilah).
Pemahaman tersebut juga dikuatkan oleh
beberapa Hadits yang menunjukkan tidak berlakunya perbedaan mathla’. Diriwayatkan dari
sekelompok sahabat Anshor , Berita hilal
terlambat sampai kepada Nabi Saw:
غُمَّ
عَلَيْنَا هِلَالُ شَوَّالٍ فَأَصْبَحْنَا صِيَامًا فَجَاءَ رَكْبٌ مِنْ آخِرِ
النَّهَارِ فَشَهِدُوا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَنَّهُمْ رَأَوْا الْهِلَالَ بِالْأَمْسِ فَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُفْطِرُوا مِنْ يَوْمِهِمْ وَأَنْ يَخْرُجُوا
لِعِيدِهِمْ مِنْ الْغَدِ
Hilal bulan Syawal tertutup oleh mendung bagi
kami, sehingga kami tetap berpuasa pada
keesokan harinya. Menjelang sore hari datanglah beberapa musafir
dari Mekkah ke Madinah. Mereka memberikan kesaksian di hadapan Nabi saw bahwa
mereka telah melihat hilal kemarin (sore). Maka Rasulullah saw memerintahkan
mereka (kaum Muslim) untuk segera berbuka dan melaksanakan sholat ‘Ied pada
keesokan harinya (HR. Ahmad nomor : 19675 , Ibnu Majjah
nomor : 1643 , dishahihkan oleh Ibnu
Mundir dan Ibnu Hazm). (dishohihkan syeikh Nashiruddin al-Albaniy , dalam
kitabnya Mukhtashor Irwa’ al-Gholil , nomor : 634 )
Hadits ini menunjukkan
bahwa Rasulullah saw memerintahkan kaum Muslim untuk membatalkan puasa setelah
mendengar informasi ru’yah hilal bulan Syawal dari beberapa orang yang berada
di luar Madinah al-Munawarah. Peristiwa itu terjadi ketika ada serombongan
orang dari luar Madinah yang memberitakan bahwa mereka telah melihat hilal
Syawal di suatu tempat di luar Madinah al-Munawarah sehari sebelum mereka
sampai di Madinah. Dari
Ibnu ‘Abbas:
جَاءَ
أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي
رَأَيْتُ الْهِلَالَ قَالَ الْحَسَنُ فِي حَدِيثِهِ يَعْنِي رَمَضَانَ فَقَالَ
أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ نَعَمْ قَالَ أَتَشْهَدُ أَنَّ
مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ يَا بِلَالُ أَذِّنْ فِي النَّاسِ
فَلْيَصُومُوا غَدًا
“Datang seorang Badui ke Rasulullah SAW seraya
berkata: Sesungguhnya aku telah melihat hilal. (Hasan, perawi hadits
menjelaskan bahwa hilal yang dimaksud orang Badui itu adalah hilal Ramadhan).
Rasulullah SAW bersabda, “Apakah kamu bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah?”
Dia berkata, “Benar.” Beliau meneruskan pertanyaannya seraya berkata, “Apakah
kau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah?” Dia berkata, “Ya benar.” Kemudian
Rasulullah bersabda, “Wahai Bilal umumkan kepada orang-orang untuk berpuasa
besok.”
(HR Abu Daud and
al-Tirmidzi, disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban).(didho’if kan oleh syeikh al-Baniy, dalam kitabnya Shohih
wa dho’if sunan Abu Dawud , juz 5 / 340 )
Dalam Hadits tersebut, Rasulullah saw tidak
menanyakan asal si saksi, apakah dia melihatnya di daerah mathla’ yang sama
dengan beliau atau berjauhan. Akan tetapi beliau langsung memerintahkan kaum
Muslim untuk berpuasa ketika orang yang melakukan ru’yah itu adalah seorang
Muslim.
Bertolak dari beberapa argumentasi
tersebut, maka pendapat yang rajih adalah pendapat yang tidak mengakui absahnya
perbedaan mathla’. Pendapat ini pula yang dipilih oleh jumhur ulama, yakni dari
kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah. Mereka tidak menganggap adanya
perbedaan penentuan awal dan akhir puasa karena perbedaam mathla’.[al-Shabuni, Rawâi’
al-Bayân, 1/210] Ketiga madzhab (Abu Hanifah, Maliki, Ahmad) itu
berpendapat bahwa awal Ramadhan ditetapkan berdasarkan ru’yah, tanpa
mempertimbangkan perbedaan mathla’.
Sayyid Sabiq menyatakan, “Menurut jumhur,
tidak dianggap adanya perbedaan mathla’ (ikhtilâf al-mathâli’). Oleh karena itu
kapan saja penduduk suatu negeri melihat hilal, maka wajib atas seluruh negeri
berpuasa karena sabda Rasulullah saw, ”Puasalah kalian karena melihat hilal
dan berbukalah karena melihatnya.” Seruan ini bersifat umum mencakup seluruh
ummat. Jadi siapa saja di antara mereka yang melihat hilal; di tempat mana pun,
maka ru’yah itu berlaku bagi mereka semuanya.”[Sayyid Sabiq, Fiqh al-
Sunnah, 1/368.]
Abdurahman al-Jaziri menuturkan, “Apabila
ru’yah hilal telah terbukti di salah satu negeri, maka negeri-negeri yang lain
juga wajib berpuasa. Dari segi pembuktiannya tidak ada perbedaan lagi antara
negeri yang dekat dengan yang jauh apabila (berita) ru’yah hilal itu memang
telah sampai kepada mereka dengan cara (terpercaya) yang mewajibkan puasa.
Tidak diperhatikan lagi di sini adanya perbedaan mathla’ hilal secara mutlak.
Demikianlah pendapat tiga imam madzhab (Abu Hanifah, Malik, Ahmad).
Para pengikut madzhab Syafi’i berpendapat
lain. Mereka mengatakan, ‘Apabila ru’yah hilal di suatu daerah telah terbukti,
maka atas dasar pembuktian ini, penduduk yang terdekat di sekitar daerah tersebut
wajib berpuasa. Ukuran kedekatan di antara dua daerah dihitung menurut kesamaan
mathla’, yaitu jarak keduanya kurang dari 24 farsakh. Adapun penduduk daerah
yang jauh, maka mereka tidak wajib berpuasa dengan ru’yah ini, kerana terdapat
perbedaan mathla’.”[al-Jaziri, al-Fiqh ‘alâ al-Madzhâhib al-Arba’ah, 1/550].
Namun sementara itu imam Syafi’i
rahimahullah menyatakan :
•
الأم - (ج 2 / ص 103) كتاب
الصيام الصغير
•
(قال الشافعي) رحمه الله تعالى :فإن لم تر العامة هلال شهر رمضان
ورآه رجل عدل رأيت أن أقبله للاثر والاحتياط
•
وقال:
أصوم يوما من شعبان أحب إلي من أن أفطر يوما من رمضان.
•
(قال الشافعي) ولا أقبل على رؤية هلال الفطر إلا
شاهدين عدلين وأكثر فإن صام الناس بشهادة واحدة أو اثنين أكملوا العدة ثلاثين إلا
أن يروا الهلال أو تقوم بينة برؤيته فيفطروا وإن غم الشهران معا فصاموا ثلاثين
فجاءتهم بينة بأن شعبان رئى قبل صومهم بيوم قضوا يوما لانهم تركوا يوما من رمضان
وإن غما فجاءتهم البينة بأنهم صاموا يوم الفطر أفطروا أي ساعة جاءتهم البينة فإن
جاءتهم البينة قبل الزوال صلوا صلاة العيد وإن كان بعد الزوال لم يصلوا صلاة العيد
(lihat kitab al-‘umm, Imam asy-Syafi’i : bab
ash-shiyamu shaghiir)
Al-Qurthubi menyatakan,:
قلت: وأما مذهب مالك رحمه الله في هذه المسألة فروى ابن وهب
وابن القاسم عنه في المجموعة أن أهل البصرة إذا رأوا هلال رمضان ثم بلغ ذلك إلى
أهل الكوفة والمدينة واليمن أنه يلزمهم الصيام أو القضاء إن فات الاداء.
Aku nyatakan: “Menurut madzhab Malik
rahimahullah dalam masalah ini –diriwayatkan oleh Ibnu Wahab dan Ibnu
al-Qasim (dalam al-Majmu’ah) – apabila penduduk kota Basrah (Irak)
melihat hilal Ramadhan, lalu berita itu sampai ke Kufah, Madinah, dan Yaman,
maka wajib atas kaum Muslimin, berpuasa berdasarkan ru’yah tersebut. Atau
melakukan qadha puasa jika berita itu datangnya terlambat.” [al-Qurthuby, al-Jâmi’ li
Ahkâm al-Qur’ân, 2/296.]
Tentang pendapat pengikut madzhab Hanafi,
Imam Hashfaky menyatakan,:
(واختلاف المطالع) ورؤيته
نهارا قبل الزوال وبعده (غير معتبر )
“Bahwasanya perbedaan mathla’ tidak dapat
dijadikan pegangan. Begitu juga melihat bulan sabit di siang hari, sebelum
dhuhur, atau sesudahnya,.
(فيلزم أهل المشرق برؤية أهل المغرب) إذا ثبت عندهم رؤية
أولئك بطريق موجب كما مر
Dalam soal ini, penduduk
di wilayah Timur (benua Asia) harus mengikuti (ru’yat kaum Muslimin) yang ada
di Barat (Timur Tengah), jika ru’yat mereka dapat diterima (syah) menurut
Syara’ “[al-Hashfaky,“al-Durral-Mukhtâr
wa Radd al-Muhtâr”, juz : 2/ 432 – 433 ]
Tak jauh berbeda, menurut Madzhab Hanbali,
apabila ru’yat telah terbukti, di suatu tempat yang jauh atau dekat, maka
seluruh kaum Muslimin harus ikut melakukan puasa Ramadhan.[Mughni al-Muhtâj,
2/223-224]
Sebagian pengikut Madzhab Maliki, seperti
Ibnu al Majisyun, menambahkan syarat, ru’yat itu harus diterima oleh seorang khalifah.
وَقَالَ اِبْن الْمَاجِشُون : لَا يُلْزِمُهُمْ
بِالشَّهَادَةِ إِلَّا لِأَهْلِ الْبَلَدِ الَّذِي ثَبَتَتْ فِيهِ الشَّهَادَةُ
إِلَّا أَنْ يَثْبُتَ عِنْدَ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ فَيُلْزَمُ النَّاسَ
كُلَّهُمْ لِأَنَّ الْبِلَادَ فِي حَقِّهِ كَالْبَلَدِ الْوَاحِدِ إِذْ حُكْمُهُ
نَافِذ فِي الْجَمِيعِ
“Tidak wajib atas mereka penduduk
suatu negeri mengikuti rakyat negeri lain, kecuali hal itu telah terbukti
diterima oleh al-imâm al-a’dham (khalifah). Setelah itu, seluruh kaum Muslimin wajib
berpuasa. Sebab, seluruh negeri bagaikan satu negeri. Dan keputusan khalifah
berlaku bagi seluruh kaum Muslim” [Fathul Barri , al-Hafidz ibnu hajar
al-Atsqolani, juz 6 hal. 149] [al-Syaukani, Nayl al- Authar, 2/ 218.],
Ibnu Taimiyah dalam Majmû’ al-Fatawa
berkata,:
وَاَلَّذِينَ قَالُوا : لَا تَكُونُ رُؤْيَةً لِجَمِيعِهَا
كَأَكْثَرِ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ مِنْهُمْ مَنْ حَدَّدَ ذَلِكَ بِمَسَافَةِ
الْقَصْرِ وَمِنْهُمْ مَنْ حَدَّدَ ذَلِكَ بِمَا تَخْتَلِفُ فِيهِ الْمَطَالِعُ :
كَالْحِجَازِ مَعَ الشَّامِ وَالْعِرَاقِ مَعَ خُرَاسَانَ وَكِلَاهُمَا ضَعِيفٌ ؛
فَإِنَّ مَسَافَةَ الْقَصْرِ لَا تَعَلُّقَ لَهَا بِالْهِلَالِ . وَأَمَّا
الْأَقَالِيمُ فَمَا حَدَّدَ ذَلِكَ
“Orang-orang yang menyatakan bahwa ru’yah
tidak digunakan bagi semuanya (negeri-negeri yang lain) seperti kebanyakan
pengikut-pengikut madzhab Syafi’i; dan di antara mereka ada yang membatasi
dengan jarak qashar shalat, ada yang membatasi dengan perbedaan mathla’ seperti
Hijaz dengan Syam, Iraq dengan Khurasan”, sesungguhnya kedua-duanya lemah (dha’if)
karena jarak qashar shalat tidak berkaitan dengan hilal…Apabila seseorang
menyaksikan pada malam ke 30 bulan Sya’ban di suatu tempat, dekat maupun jauh,
maka ia wajib berpuasa. Demikian juga kalau ia menyaksikan hilal pada waktu
siang menjelang maghrib maka ia harus imsak (berpuasa) untuk waktu yang
tersisa, sama saja baik satu iklim atau banyak iklim.” [Ibnu Taimiyah, Majmu’
al-Fatawa, juz 6 / 62 )
Jelaslah, menurut pendapat yang rajih dan
dipilih jumhur ulama’, jika penduduk negeri-negeri Timur (benua Asia) jauh
melihat bulan sabit Ramadhan, maka ru’yah wajib diikuti oleh kaum Muslimin yang
berada di negeri-negeri belahan Barat (Timur Tengah), tanpa kecuali. Siapapun
dari kalangan kaum muslimin yang berhasil melakukan ru’yatuh hilal maka ru’yah
tersebut merupakan hujjah (berlaku) bagi orang yang tidak melihatnya. Kesaksian
seorang muslim di suatu negeri tidak lebih utama dari kesaksian seorang muslim
di negeri yang lain.
Akibat Nasionalisme dan
Garis Batas Nation State
Patut digarisbawahi, perbedaan awal dan
akhir puasa yang terjadi di negeri-negeri Islam sekarang ini bukan disebabkan
oleh perbedaan mathla’ sebagaimana dibahas oleh para ulama dahulu. Pasalnya,
pembahasan ikhtilâf al-mathâli’ (perbedaan mathla’) oleh fuqaha’ dahulu
berkaitan dengan tempat terbit bulan. Sehingga yang diperhatikan adalah jarak
satu daerah dengan daerah lainnya. Apabila suatu daerah itu berada pada jarak
tertentu dengan daerah lainnya, maka penduduk dua daerah itu tidak harus
berpuasa dan berbuka puasa. Sama sekali tidak dikaitkan dengan batas begara.
Berbeda halnya dengan saat ini. Perbedaan
mengawali dan mengakhiri Ramadhan diakibatkan oleh pembagian dan batas-batas
wilayah negeri-negeri Islam. Di setiap negeri Islam terdapat institusi
pemerintah yang memiliki otoritas untuk menentukan itsbât (penetapan) awal dan
akhir Ramadhan. Biasanya, sidang itsbât tersebut hanya mendengarkan kesaksian
ru’yah hilal orang-orang yang berada dalam wilayah negeri tersebut. Apabila di
negeri itu tidak ada seorang pun yang memberikan kesaksiannya tentang ru’yah
hilal, maka langsung digenapkan, tanpa menunggu terlebih dahulu apakah di
negeri-negeri lainnya –bahkan yang berada di sebelahnya sekalipun– terdapat
kesaksian dari warganya yang telah melihat hilal atau belum. Hasil keputusan
tersebut lalu diumumkan di seluruh negeri masing-masing. Akibatnya, terjadilah
perbedaan dalam mengawali dan mengakhiri puasa Ramadhan antara negeri-negeri
muslim.
Kaum Muslim di Riau tidak berpuasa bersama
dengan kaum Muslim di Kuala Lumpur. Padahal perbedaan waktu antara kedua kota
itu tidak sampai satu jam. Padahal, pada saat yang sama kaum Muslim di Acah
bisa berpuasa bersama dengan kaum Muslim di Papua. Tentu saja ini sesuatu yang
amat janggal. Penentuan awal dan akhir Ramadhan berkait erat dengan peredaran
dan perputaran bumi, bulan, dan matahari. Sama sekali tidak ada kaitannya
dengan batas negara yang dibuat manusia dan bisa berubah-ubah. Jelaslah,
perbedaan awal dan akhir puasa yang saat ini terjadi lebih disebabkan oleh
batas khayal yang dibuat oleh negara-negara kafir setelah
runtuhnya Daulah Khilafah Islamiyyah. Garis batas negara bangsa itu pula yang
mengkoyak-koyak kesatuan Muslim dalam naungan satu khilafah menjadi lebih dari
lima puluh enam negara-negara kecil.
Khatimah
Perbedaan awal dan akhir
puasa di negeri-negeri Islam hanya merupakan salah satu potret keadaan kaum
Muslim. Kendati mereka satu ummat, namun secara kongkrit umat Islam
terpecah-pecah. Di samping masih mengeramnya paham nasionalisme yang
direalisasikan dalam bentuk nation state di negeri-negeri Islam, keberadaan
khilafah sebagai pemersatu ummat Islam hingga sekarang belum berdiri (setelah
khilafah Islamiyyah terakhir di Turki diruntuhkan oleh kaum kuffar 3 Maret
1924, atau 86 tahun silam). Ketiadaan khilafah inilah yang menjadikan kaum
muslimin berpecah-pecah menjadi lebih dari lima puluh negara kecil-kecil, yang
masing-masing sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri.
Karena itu, solusi
mendasar yang benar untuk menyelesaikan semua problematika kaum muslimin
tersebut sesungguhnya ada di tangan mereka. Yaitu, melakukan upaya dengan
sungguh-sungguh bersama dengan para pejuang yang mukhlish untuk melangsungkan
kembali kehidupan Islam dengan mengembalikan keberadaan Daulah Khilafah,
mengangkat seorang khalifah untuk menyatukan negeri-negeri mereka dan
menerapkan syariْat Allah atas mereka.
Sehingga kaum muslimin bersama khalifah, dapat mengemban risalah Islam dengan
jihad kepada seluruh ummat manusia. Dengan demikian kalimat-kalimat orang kafir
menjadi rendah dan hina. Dan sebaliknya, kalimat-kalimat Allah Swt menjadi
tinggi dan mulia. Kaum muslimin hidup dengan terhormat dan mulia di dunia,
mendapatkan ridha Allah Swt dan mendapatkan pahalanya di akhirat nanti. Allah Swt berfirman:
وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ
وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ
وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Dan katakanlah bekerjalah kamu, maka Allah dan
Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman akan melihat pekerjaanmu itu dan kamu
akan dikembalikan kepada (Allah Swt) yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata
lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan (QS al-Taubah [9]: 105).
Wallohu a’lam bi sh-showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar