Sejarah Hitam Dibalik 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional
Oleh :Abu Fadwa
Tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan
Nasional didasarkan atas peristiwa berdirinya Boedi Oetomo. Sedangkan
para tokoh BO (Boedi Oetomo) adalah pengikut Theosofi (sebuah
perkumpulan kebatinan yang berlandaskan pada tradisi Kabbalah Yahudi),
anggota Freemasonry dan Melecehkan Islam.
Sistem pendidikan yang dianut dalam BO
(Boedi Oetomo) sendiri adalah adopsi pendidikan Barat. BO sendiri sangat
kooperatif dengan pemerintah Kolonial, hal ini karena para pemimpinya
digaji oleh pemerintah Belanda.
Dalam rapat-rapat perkumpulan, Boedi
Oetomo menggunakan bahasa Belanda, bukan bahasa Indonesia. “Tidak pernah
sekalipun rapat Boedi Oetomo membahas tentang kesadaran berbangsa dan
bernegara yang merdeka.
BO tidak memiliki andil sedikit pun unuk
perjuangan kemerdekan, karena mereka para pegawai negeri yang digaji
Belanda untuk mempertahankan penjajahan yang dilakukan tuannya atas
Indonesia. Dan BO tidak pula turut serta mengantarkan bangsa ini ke
pintu gerbang kemedekaan, karena telah bubar pada tahun 1935.
· Sebuah majalah yang
diterbitkan oleh kelompok Theosofi bernama Majalah Pewarta Theosofie
Boeat Indonesia Tahun 1930 menyebut Candi Borobudur sebagai “Baitullah
di Tanah Java”. Theosofi menganggap, antara ke Baitullah di Makkah dan
Baitullah di Tanah Java sama saja nilainya. Majalah Bangoen yang dikelola oleh aktivis Theosofi, Siti Soemandari, juga pernah memuat pelecehan terhadap istri-istri Rasulullah dan syariat poligami. Selain itu, sebuah surat kabar bernama Djawi Hisworo yang
dikelola oleh para penganut kebatinan Theosofi juga melakukan pelecehan
terhadap pribadi Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam. Pada 8 dan
11 Januari 1918, Djawi Hisworo yang dipimpin oleh Marthodarshono memuat
artikel yang menyebut Nabi Muhammad sebagai pemabuk dan pemadat.
· “Suara Umum”, sebuah
media massa milik Boedi Oetomo di bawah asuhan Dr. Soetomo terbitan
Surabaya, dikutip oleh A. Hassan di dalam Majalah “Al-Lisan” terdapat
tulisan yang antara lain berbunyi, “Digul lebih utama daripada Makkah”, “Buanglah Ka’bah dan jadikanlah Demak itu Kamu Punya Kiblat!” (Al-Lisan nomor 24, 1938).
Tanggal 20 Mei Negara
Republik Indonesia memperingatinya sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
Namun sebenarnya penentuan tanggal ini meninggalkan permasalahan yang
besar dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam menegakkan
kemerdekaannya. Tidak banyak diungkap secara lebih lengkap dalam
buku-buku pendidikan sejarah di sekolah bahwa sebenarnya penentuan
tanggal 20 Mei yang didasarkan atas peristiwa berdirinya Boedi Oetomo
meninggalkan banyak masalah, khususnya bagi umat Islam di Indonesia.
Permasalahan itu antara lain :
Boedi Oetomo adalah organisasi yang
bersifat Jawa-Madura sentris, sama sekali bukan organisasi yang bersifat
kebangsaan. Tujuan Boedi Oetomo didirikan adalah untuk menggalang
kerjasama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara
harmonis. Sistem pendidikan yang dianut dalam BO sendiri adalah adopsi
pendidikan Barat. BO sendiri sangat kooperatif dengan pemerintah
Kolonial, hal ini karena para pemimpinya digaji oleh pemerintah Belanda.
KH Firdaus AN (Mantan Majelis Syuro Syarikat Islam) mengungkapkan “…Boedi Oetomo adalah organsasi sempit, lokal dan etnis, dimana hanya orang Jawa dan Madura elit yang boleh menjadi anggotanya.
Orang betawi saja tidak boleh menjadi anggotanya”. Selain itu dalam
rapat-rapat perkumpulan, Boedi Oetomo menggunakan bahasa Belanda, bukan
bahasa Indonesia. “Tidak pernah sekalipun rapat Boedi Oetomo membahas
tentang kesadaran berbangsa dan bernegara yang merdeka. Mereka ini hanya
membahas bagaimana memperbaiki taraf hidup orang-orang Jawa dan Madura
di bawah pemerintahan Ratu Belanda, memperbaiki nasib golongannya
sendiri”. KH Firdaus AN juga mengatakan “BO tidak memiliki andil
sedikit pun unuk perjuangan kemerdekan, karena mereka para pegawai
negeri yang digaji Belanda untuk mempertahankan penjajahan yang
dilakukan tuannya atas Indonesia. Dan BO tidak pula turut serta mengantarkan bangsa ini ke pintu gerbang kemedekaan, karena telah bubar pada tahun 1935.”
Asvi Marwan Adam, sejarawan LIPI menilai penetapan tanggal lahir BO sebagai Hari Kebangkitan Nasional tidak layak.
Hal ini karena BO tidak bisa disebut sebagai pelopor kebangkitan
nasional. Menurutnya, BO bersifat kedaerahan sempit. “Hanya meliputi
Jawa dan Madura saja”. Boedi Oetomo yang oleh banyak orang dipercaya
sebagai simbol kebangkitan nasional, pada dasarnya merupakan lembaga
yang mengutamakan kebudayaan dan pendidikan, dan jarang memainkan peran
politik yang aktif. Padahal politik adalah pilar utama sebuah
kebangkitan.
Hal yang sama juga dikemukakan oleh
peneliti Robert van Niels yang mengatakan, “Tanggal berdirinya Budi
Utomo sering disebut sebagai Hari Pergerakan Nasional atau Kebangkitan
Nasional. Keduanya keliru, karena Budi Utomo hanya memajukan satu kelompok saja.
Sedangkan kebangkitan Indonesia sudah dari dulu terjadi…Orang-orang
Budi Utomo sangat erat dengan cara berpikir barat. Bagi dunia luar,
organisasi Budi Utomo menunjukkan wajah barat. ”
***
Para tokoh BO adalah pengikut Theosofi, anggota Freemasonry dan Melecehkan Islam
Penggagas organisasi BO, dr Wahidin Soediro Hoesodo adalah anggota Theosofi, sebuah perkumpulan kebatinan yang berlandaskan pada tradisi Kabbalah Yahudi yang didirikan oleh Helena Petrovna Blavatsky. Theosofi-Freemason
tidak mempercayai adanya ritual doa kepada Sang Maha Pencipta. Mereka
juga tak mempercayai adanya surga dan neraka. Anggota
Theosofi yang mengaku muslim, membuat penafsiran ajaran Islam dengan
pemahaman yang menyimpang. Theosofi tidak percaya dengan doa, dan tidak
melakukan doa. Theosofi mempercayai “doa kemauan” yang ditujukan kepada
Bapak di sorga dalam artian esoteris, yaitu Tuhan yang tidak ada sangkut
pautnya dengan bayangan manusia, atau Tuhan yang menjadi intisari
ilahiah yang dimiliki semua agama. Berdoa, kata Blavatsky mengandung dua
unsur negatif: Pertama, membunuh sifat percaya diri manusia yang ada
dalam diri manusia sendiri. Kedua, mengembangkan sifat mementingkan diri
sendiri. Sebuah majalah yang diterbitkan oleh kelompok Theosofi bernama
Majalah Pewarta Theosofie Boeat Indonesia Tahun 1930 menyebut Candi
Borobudur sebagai “Baitullah di Tanah Java”. Theosofi menganggap, antara
ke Baitullah di Makkah dan Baitullah di Tanah Java sama saja nilainya. Majalah Bangoenyang dikelola oleh aktivis Theosofi, Siti Soemandari, juga pernah memuat pelecehan terhadap istri-istri Rasulullah dan syariat poligami. Selain itu, sebuah surat kabar bernama Djawi Hisworo yang
dikelola oleh para penganut kebatinan Theosofi juga melakukan pelecehan
terhadap pribadi Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam. Pada 8 dan
11 Januari 1918, Djawi Hisworo yang dipimpin oleh Marthodarshono memuat
artikel yang menyebut Nabi Muhammad sebagai pemabuk dan pemadat.
Penghinaan ini yang kemudian
memunculkan Tentara Kanjeng Nabi Muhammad di bawah pimpinan HOS
Cokroaminoto dimana salah satu anggotanya adalah KH Ahmad Dahlan pendiri
Muhammadiyah.
Tokoh utama BO adalah Dokter
Soetomo. Dalam buku “Kenang-kenangan Dokter Soetomo” yang dihimpun oleh
Paul W van der Veur, disebutkan bahwa Soetomo pernah mengatakan bahwa
pemancaran zat Tuhan, “Itulah sebenarnya keyakinan saya. Itulah
keyakinan yang mengalir bersama darah dalam segala urat tubuh saya.
Sungguh, sesuai-sesuai benar.” (hal. 30). Soetomo juga mengatakan, “Aku dan Dia satu dalam hakikat,
yakni penjelmaan Tuhan. Aku penjelmaan Tuhan yang sadar…” (hal.31). Ini
menunjukkan Dokter Soetomo seorang penganut paham sesat “Manunggaling
Kawula Gusti” buatan Syech Siti Jenar. Dokter Soetomo juga seorang
penganut Theosofi, sebagaimana pengikut aliran theosofi lainnya, maka
dia tidak melakukan shalat lima waktu selayaknya umat
Islam lainnya, melainkan melakukan semedi, meditasi, yoga, dan
sebagainya. “Soetomo lebih mementingkan “semedi” untuk mendapat
ketenangan hidup, ketimbang sholat. Dengan rasa bangga, saat berpidato
dalam Kongres Partai Indonesia Raya (Parindra) pada 1937, Soetomo
mengatakan,”Kita harus mengambil contoh dari bangsa-bangsa
Jahudi, jang menghidupkan kembali bahasa Ibrani. Sedang bangsa Turki dan
Tsjech kembali menghormati bangsanya sendiri.”
Tokoh Boedi Oetomo lainnya, dr Tjipto Mangoenkoesomo, juga dengan sinis meminta agar bangsa ini mewaspadai bahaya “Pan-Islamisme”, yaitu bahaya persatuan Islam
yang membentang di berbagai belahan dunia, dengan sistem dan
pemerintahan Islam di bawah khilafah Islamiyah. Pada 1928, Tjipto
Mangoenkoesoemo menulis surat kepada Soekarno yang isinya mengingatkan
kaum muda untuk berhati-hati akan bahaya Pan-Islamisme yang menjadi
agenda tersembunyi Haji Agus Salim dan HOS Tjokroaminoto.
Goenawan Mangoenkoesoemo, juga
melontarkan pernyataan yang melecehkan Islam. Adik dari dr. Tjipto
Mangoekoesomo ini mengatakan, “Dalam banyak hal, agama Islam bahkan
kurang akrab dan kurang ramah hingga sering nampak bermusuhan dengan
tabiat kebiasaan kita. Pertama-tama ini terbukti dari larangan untuk
menyalin Qur’an ke dalam bahasa Jawa. Rakyat Jawa biasa sekali mungkin
memandang itu biasa. Tetapi seorang nasionalis yang berpikir, merasakan
hal itu sebagai hinaan yang sangat rendah. Apakah bahasa kita yang indah
itu kurang patut, terlalu profan untuk menyampaikan pesan Nabi?”
Dalam buku yang sama, masih dengan nada melecehkan, Goenawan menulis, “Jika kita berlutut dan bersembahyang, maka bahasa yang boleh dipakai adalah bahasanya bangsa Arab…” ”Bagaimanapun
tinggi nilai kebudayaan Islam, ternyata kebudayaan itu tidak mampu
menembus hati rakyat. Bapak penghulu boleh saja supaya kita mengucap
syahadat: “Hanya ada satu Allah dan Muhammad-lah
Nabi-Nya”, tetapi dia tidak akan bisa berbuat apa-apa bila cara hidup
kita, jalan pikiran kita, masih tetap seperti sewaktu kekuasaan
Majapahit dihancurkan secara kasar oleh Demak.”
Salah satu pimpinan BO yaitu Dr. Radjiman Wediodiningrat dengan bangga mengatakan, bakat dan kemampuan
orang Jawa yang ada pada para aktivis Boedi Oetomo lebih unggul
ketimbang ajaran Islam yang dianut oleh para aktivis Sarekat Islam.
Pada kongres Boedi Oetomo tahun 1917, ketika umat Islam yang aktif di
Boedi Oetomo meminta agar organisasi ini memperhatikan aspirasi umat
Islam, Radjiman dengan tegas menolaknya. Radjiman mengatakan, “Sama
sekali tidak bisa dipastikan bahwa orang Jawa di Jawa Tengah
sungguh-sungguh dan sepenuhnya menganut agama Islam.” Radjiman yang
merupakan ketua BO 1914-1915 adalah anggota Freemasonry dan perhimpunan
Theosofi. Beberapa pimpinan BO adalah anggota Freemasonry antara lain :
Raden T. Tirtokusumo (Ketua BO pertama), Bupati Karanganyar kemudian
Pangeran Aryo Notodirodjo dari Keraton Paku Alam (Ketua BO yang kedua).
Tokoh yang lain bernama Noto
Soeroto, salah seorang tokoh Boedi Oetomo, di dalam satu pidatonya
tentang Gedachten van Kartini alsrichtsnoer voor de Indische Vereninging
berkata: “Agama islam merupakan batu karang yang sangat
berbahaya…sebab itu soal agama harus disingkirkan, agar perahu kita
tidak karam dalam gelombang kesulitan.”
Ada fakta lain yang lebih
mencengangkan, dalam sebuah artikel di “Suara Umum”, sebuah media massa
milik Boedi Oetomo di bawah asuhan Dr. Soetomo terbitan Surabaya,
dikutip oleh A. Hassan di dalam Majalah “Al-Lisan” terdapat tulisan yang
antara lain berbunyi,“Digul lebih utama daripada Makkah”, “Buanglah ka’bah dan jadikanlah Demak itu Kamu Punya Kiblat!” (Al-Lisan nomor 24, 1938).
Kenapa bukan tanggal 16 Oktober sebagai Hari Kebangkitan Nasional ?
Tanggal 16 Oktober 1905 adalah
tanggal berdirinya Sarekat Islam. SI merupakan kawah candradimuka
berbagai pemikir Indonesia kelas dunia. Sebutlah H.O.S Tjokroaminoto,
Agus Salim, Soekarno sampai dengan Tan Malaka, Muso dan Semaun.
Tokoh-tokoh ini memiliki andil besar dalam kemerdekaan bangsa Indonesia.
SI tidak membatasi keanggotaannya hanya untuk masyarakat Jawa dan Madura
saja. Hal ini terlihat pada susunan para pemimpinnya, Haji Samanhudi
dan HOS Tjokroaminoto berasal dari Jawa Tengah dan Timur, Agus Salim dan
Abdoel Moeis dari Sumater Barat, dan AM. Sangaji dari Maluku. Tujuan SI
adalah membangun persaudaraan, persahabatan dan tolong-menolong di
antara muslim dan mengembangkan perekonomian rakyat. Keanggotaan SI
terbuka untuk semua lapisan masyarakat muslim. Walaupun organisasi ini
berlabel agama, dimana selain kaum muslimin tidak boleh menjadi anggota,
bukan berarti SI tidak peka terhadap perbedaan. Alasan menggunakan
label Islam, karena hanya itulah harta yang tersisa, selebihnya telah
dirampas Belanda. SI berhasil membuka 181 cabang di seluruh Indonesia.
Jumlah anggota kurang lebih 700.000 orang. Tahun 1919 melonjak drastis
hingga mencapai 2 juta orang. Sebuah angka yang fantastis kala itu. Jika
dibandingkan dengan BO pada masa keemasannya saja hanya beranggotan tak
lebih dari 10.000 orang. Sejarawan Fred R. von der Mehden (1957: 34)
dengan tegas mengatakan bahwa SI-lah organisasi politik nasional pertama
di Indonesia.
Pada Kongres Mubaligh Islam
Indonesia di Medan (1956), umat Islam mengusulkan kepada pemerintah
untuk menjadikan tanggal berdirinya SDI sebagai Harkitnas berdasarkan
karakter dan arah perjuangan SDI. Namun sangat disayangkan, seruan ini
tidak didengar pemerintah, bahkan sampai saat ini. Pelurusan sejarah
mengenai kebangkitan Indonesia nampaknya perlu dilakukan, sangat
disayangkan kalau peran umat terbesar di negeri ini dihilangkan begitu
saja. (Dikumpulkan dari berbagai sumber).
Terkait:
Harkitnas dan Boedi Oetomo dalam Bayang-bayang Freemason dan Theosofi
Oleh: Artawijaya*
Setiap tanggal 20 Mei pemerintah memperingati Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas), mengacu pada organisasi Boedi Oetomo (BO) yang didirikan pada 20 Mei 1908. Anehnya, kedekatan BO dengan organisasi Freemason tak pernah diungkap sejarah. Ada apa?
Het Jong Javaasche Verbond Boedi Oetomo
atau Ikatan Pemuda Jawa Boedi Oetomo didirikan di Gedung STOVIA (School
tot Opleiding voor Inlandsche Artsen), Batavia, pada 20 Mei 1908. Tahun
berdirinya BO sama dengan tahun munculnya Gerakan Turki Muda (Young Turk
Moment). Gerakan Turki Muda (Young Turk Movement) yang dipimpin oleh
Mustafa Kemal At-Taturk juga mengadakan revolusi kebangkitan nasional.
Gerakan ini berhasil menumbangkan kekhilafahan Islam, dan mengganti
hukum Islam menjadi hukum sekular. Aktivis Turki Muda banyak didominasi
oleh para sekularis. Bahkan, At-Taturk sendiri adalah anggota jaringan
Freemason yang sangat anti dengan syariat Islam.
Mengenai Gerakan Revolusi Turki Muda, pendiri Boedi Oetomo yang juga anggota Theosofi, dr Soetomo mengatakan, "Perkembangan yang terjadi di Turki adalah petunjuk jelas bahwa "cita-cita Pan-Islamisme" telah digantikan oleh nasionalisme." Soetomo adalah tokoh Boedi Oetomo yang banyak melontarkan pelecehan terhadap Islam dan mengagumi gerakan kebangsaan yang terjadi di Turki.
Mengenai Gerakan Revolusi Turki Muda, pendiri Boedi Oetomo yang juga anggota Theosofi, dr Soetomo mengatakan, "Perkembangan yang terjadi di Turki adalah petunjuk jelas bahwa "cita-cita Pan-Islamisme" telah digantikan oleh nasionalisme." Soetomo adalah tokoh Boedi Oetomo yang banyak melontarkan pelecehan terhadap Islam dan mengagumi gerakan kebangsaan yang terjadi di Turki.
Nama Boedi Oetomo diambil dari bahasa
Sanskerta, "Bodhi" atau "Buddhi" yang berarti keterbukaan jiwa, pikiran,
kesadaran, akal, dan daya untuk membentuk dan menjunjung konsepsi
ide-ide umum. Sedangkan Oetomo berasal dari kata "Uttama" yang berarti
tingkat kebajikan utama. Jadi, BO bisa disebut sebagai organisasi yang
mengedepankan keterbukaan akal sebagai tingkat kebajikan utama. Mereka
menyebut "budi" sebagai puncak kegiatan moral manusia dan mengendalikan
akal dan watak seseorang.
....Soetomo adalah tokoh Boedi Oetomo yang banyak melontarkan pelecehan terhadap Islam....
Boedi Oetomo adalah organisasi yang
kental dengan nilai-nilai kebatinan. Para aktivisnya mengaku ingin
menyatukan antara kultur dan tradisi Jawa dengan pendidikan Barat. BO
ingin memadukan antara modernisasi Barat dan mistis Timur. Ki
Wiropoestoko, anggota BO Surakarta mengatakan, "Berdirinya Boedi Oetomo
semata-mata merupakan hasil elit Jawa yang telah memperoleh pendidikan
barat. "Sementara sejarawan Robert van Niels, penulis bukunya Munculnya
Elit Modern Indonesia menyebut BO sebagai organisasi yang mengikuti
garis-garis barat. Ia juga menyebut BO dan Jong Java sebagai organisasi
yang bersifat Theosofis dan agnostik.
Penggagas organisasi BO, dr Wahidin
Soediro Hoesodo adalah anggota Theosofi, sebuah perkumpulan kebatinan
yang berlandaskan pada tradisi Kabbalah Yahudi yang didirikan oleh
Helena Petrovna Blavatsky. Selain Theosofi, para ketua dan aktivis BO
juga masuk sebagai anggota Freemason. Anehnya, tentang kedekatan
organisasi ini dengan kelompok Theosofi dan Freemason tak pernah
diungkap dalam buku-buku sejarah di sekolah.
Penulis buku Api Sejarah, sejarawan
Ahmad Mansur Suryangera menyebut BO sebagai organisasi yang lebih
mencerminkan gerakan kejawen yang anti Islam, ketimbang organisasi yang
mengusung nasionalisme. Sejarawan yang banyak mengoreksi
penyimpangan-penyimpangan sejarah di Indonesia ini juga menyebut BO
sebagai organisasi yang bersifat kedaerahan. Tapi sayang, dalam Api
Sejarah Mansur Suryanegara tak mengungkap hubungan antara BO dengan
organisasi Freemason di Hindia Belanda. Padahal, dokumen-dokumen sejarah
yang mengungkap soal ini begitu banyak.
Dr. Th Stevens penulis buku
Vrijmetselarij en Samenlaving in Nederlands Indie en Indonesie 1764-1962
(Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia
1764-1962) menyebutkan bahwa Freemasonry memperoleh aktualitas yang
besar dengan munculnya gerakan nasionalis modern di Jawa. Kata pengantar
buku ini menyebutkan dengan jelas, bahwa Freemason menjalin hubungan
dengan satu organisasi politik Indonesia pertama "Budi Utomo" (Lihat,
hal. XVIII dan hal. 331)
Raden Adipati Surjo sebagai anggota
Freemason, berharap pemimpin muda dari gerakan nasional, seperti Boedi
Oetomo dapat dicapai dengan asas-asas Masonik (doktrin-doktrin
Freemason, pen). Tak heran, jika Freemason yang mempunyai hubungan erat
dan BO, memiliki peran yang cukup signifikan dalam gerak nasionalisme di
negeri ini. Mereka menginginkan nasionalisme yang muncul adalah
nasionalisme yang berlandaskan humanisme, suatu paham yang menjadi
doktrin tertinggi Freemason. Paham humanisme menempatkan manusia sebagai
makhluk "superior" yang berhak dan bebas menentukan kehendak, termasuk
membuat aturan hukum sendiri.
....Mereka menginginkan nasionalisme yang berlandaskan humanisme, suatu paham yang menjadi doktrin tertinggi Freemason....
Freemason atau dalam bahasa Belanda
disebut Vrijmetselarij, pada masa lalu dikenal oleh masyarakat Jawa
dengan sebutan "Golongan Kemasonan". Para Yahudi Belanda yang aktif
dalam organisasi ini begitu gencar mempropagandakan doktrin-doktrin
Freemason terhadap elit-elit di Jawa, khususnya kalangan kraton. Buku
Gedenkboek van de Vrijmetselaren in Nederlandsche Oost Indie 1767-1917
(Buku Kenang-Kenangan Freemasonry di Hindia Belanda 1767-1917) yang
diterbitkan oleh tiga loge besar; Loge de Ster in het Oosten (Batavia),
Loge La Constante et Fidale (Semarang), dan Loge de Vriendschap
(Surabaya) memuat tulisan yang mengajak masyarakat Jawa memahami hakekat
organisasi Freemason atau Kemasonan. Bahkan, pemimpin tertinggi
Freemason di Hindia Belanda pada 1914-1917, Andre de La Porte, membuat
sebuah artikel berjudul "De Javaasche Beweging in het Teeken van de
Vrijmetselarij" (Kebangkitan Jawa dalam Gerak Freemason).
FAKTA-FAKTA KEDEKATAN BOEDI OETOMO DENGAN FREEMASON
Pertama, Kedekatan BO dengan Freemason
terlihat pada masa-masa awal BO didirikan. Kongres pertama BO yang
berlangsung pada 3-4 Oktober 1908 di Jogjakarta awalnya ingin
dilaksanakan di Loge milik Freemason. Namun, karena loge tersebut telah
lebih dulu dipakai untuk acara pameran lukisan, kongres BO yang
rencananya diadakan di loge tersebut urung dilaksanakan. "Adapoen roemah
jang patut akan tempat kongres itu sebetoelnya logegebouw (bangunan
loge Freemasonry, pen) orang Banjak di Djokja menamakan dia "roemah
setan", akan tetapi sajang pada waktu itoe roemah soedah diizinkan
kepada seorang toean, akan diadakan tentoonstelling (pameran)
gambar-gambar..." demikian seperti dikutip dari buku Pitut Soeharto dan
Drs A Zainoel Ihsan, "Cahaya Di Kegelapan: Capita Selecta Kedua Boedi
Oetomo dan Sarekat Islam. "
Kedua, Kedekatan BO dengan organisasi
Freemason dan Theosofi juga bisa dilihat setahun setelah berdirinya
organisasi tersebut. Buku Soembangsih Gedenkboek Boedi Oetomo 1908-1918
yang diterbitkan di Amsterdam, Belanda, untuk mengenang 10 tahun
berdirinya BO, memuat laporan bahwa pada 16 Januari 1909, di Loge de
Ster in het Oosten (Loji Bintang Timur), Batavia, ratusan anggota BO
berkumpul untuk mendengarkan pidato umum dari Dirk van Hinloopen
Labberton, orang Belanda yang disebut oleh aktivis BO sebagai "Bapak
Kebatinan" yang kemudian menjadi Ketua Nederlandsche Indische
Theosofische Vereeniging (Theosofi Cabang Hindia Belanda).
....Pada 16 Januari 1909, ratusan anggota Boedi Oetomo berkumpul untuk mendengarkan pidato Dirk van Hinloopen Labberton, Ketua Theosofi Cabang Hindia Belanda..
Dalam pidato berjudul "Theosofische in
Verband met Boedi Oetomo" (Theosofi dalam Kaitannya dengan Boedi
Oetomo), Labberton bicara tentang masalah agama, tujuan Theosofi, dan
hubungannya dengan hari depan bangsa Jawa. Labberton mampu membuat para
anggota BO untuk tertarik masuk sebagai anggota organisasi kebatinan
Yahudi tersebut. Labberton pada waktu itu adalah anggota Komisi Bacaan
Rakyat (Volks Bibliotheek) yang mempengaruhi berdirinya BO. Labberton
menyebut berdirinya BO sebagai "kesadaran moral".
Mengapa acara ceramah umum (openbare)
tersebut diadakan di loge Freemason? Karena antara Freemason dan
Theosofi tak jauh beda. Pada masa lalu, anggota Freemason juga aktif di
Theosofi, begitupun sebaliknya. Yang cukup mengejutkan, seolah sudah ada
yang merencanakan, lokasi tempat diadakannya ceramah umum Labberton
yang dulu bernama Vrijmetselarijweg (Jalan Freemasonry), saat ini
berganti nama menjadi Jalan Budi Utomo.
Selain Labberton, tokoh lain yang dekat
dengan Boedi Oetomo adalah Godard Arend Hazeau, Penasihat Urusan Pribumi
Pemerintah Hindia Belanda. Hazeau datang ke Indonesia dengan bekerja
sebagai guru Willem III Grammar School dan asisten Snouck Hurgronye. Hal
yang menjadi perhatian Hazeau adalah pendidikan yang netral atau bahkan
bercorak Kristen untuk para murid Islam. Selain itu, Hazeau juga banyak
memberikan masukan terhadap pemerintah kolonial terkait bagaimana
pemerintah bersikap terhadap organisasi pergerakan nasional yang
bercorak Islam, seperti Sarekat Islam, dan organisasi Islam lainnya yang
dipandang fanatik dan ekstrem. Sikap berbeda ditunjukkan Hazeau
terhadap Boedi Oetomo, yang banyak mendapat perhatian lebih, karena
kesamaannya dalam memandang pergerakan Islam.
Ketiga, Bukti lain mengenai kedekatan BO
dengan Freemason bisa dilihat dari kiprah Paku Alam V, yang merupakan
anggota Freemason, yang banyak membantu terselenggaranya kongres Boedi
Oetomo di Surakarta. Kongres yang pernah diadakan di loge milik
Freemason banyak dihadiri oleh para aktivis kebangsaan yang juga anggota
Freemason. Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI),
Abdurachman Surjomihadrjo, dalam Kata Pengantar buku "Bangkitnya
Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918", karya peneliti Jepang,
Akira Nagazumi, mengatakan, "Paku Alam memberikan pengaruh pada
terselenggaranya kongres-kongres Boedi Oetomo, khususnya mereka yang ada
hubungannya dengan gerakan Mason (Freemasonry). " Penjelasan serupa
juga ditulis Abdurrachman Surjomihardjo dalam buku "Budi Utomo Cabang
Betawi" yang menyebut Paku Alam VII mengizinkan Loge Mataram dijadikan
tempat kongres BO kedua.
Keempat, Fakta sejarah lainnya mengenai
kedekatan BO dengan Freemason dan Theosofi adalah pertemuan akbar yang
dilakukan dalam rangka memperingati 10 tahun berdirinya Boedi Oetomo
pada 20 Mei 1918. Acara peringatan tersebut diadakan di Belanda, di
sebuah loge milik Theosofi. Mereka yang berkumpul dalam perayaan
tersebut selain para aktivis Freemason Belanda, juga dihadiri oleh
tokoh-tokoh nasionalis-Jawa seperti Ki Hadjar Dewantara dan Goenawan
Mangoenkoesoemo. Surat Kabar Oedaya pada 1923 memuat foto para aktifis
BO dan Theosofi dengan tulisan "Masyarakat Indonesia Memperingati 10
Tahun Boedi Oetomo di rumah (loge, red) Theosofi, Mei 1918 di Negeri
Belanda. "
Kelima, Kedekatan BO dengan Freemason
juga bisa dilihat dalam paper berjudul The Freemason in Boedi Oetomo
yang ditulis oleh C. G van Wering pada 1979. ven Wering menulis tentang
elit power atau intelektual dari kalangan priayai Jawa, yang kebanyakan
aktifis BO, sekaligus anggota Freemason. Tulisan van Wering ini dikutip
dalam buku buku biografi Dr Radjiman Wediodiningrat berjudul "DR. K. R. T
Radjiman Wediodiningrat Perjalanan Seorang Putra Bangsa 1879-1952. "
PARA KETUA BOEDI OETOMO ADALAH ANGGOTA FREEMASON
Ketua BO yang sangat kental dengan
pemikiran Freemason dan Theosofi adalah Radjiman Wediodiningrat.
Radjiman menjadi ketua BO pada periode 1914-1915. Ia masuk menjadi
anggota Freemason pada 1913, selain juga aktif dalam perkumpulan
Theosofi. Radjiman adalah orang pribumi yang mendapat kehormatan dari
Freemason Hindia Belanda dengan dimuatnya artikel karyanya berjudul "Een
Broderketen Volks (Persaudaraan Rakyat)" dalam buku "Kenang-Kenangan
Freemason di Hindia Belanda 1767-1917". Tentu, jika bukan bagian dari
orang-orang penting dalam jaringan Freemasonry, tulisan Radjiman tak
mungkin dimasukkan dalam buku yang menjadi bukti sejarah keberadaan para
Mason di Hindia Belanda ini.
Radjiman adalah seorang Mason yang
menjadi salah satu the founding fathers negeri ini, tokoh yang pernah
memimpin jalannya sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI). Dalam catatan sejarah, persidangan yang dipimpin
Radjiman ini tercatat sebagai awal dari lahirnya dasar negara Indonesia,
Pancasila, setelah sebelumnya masing-masing kelompok berdebat dan
mengajukan usulan soal asas negara. Tokoh-tokoh Islam seperti M Natsir
mengajukan Islam sebagai dasar negara, sedangkan tokoh-tokoh
nasionalis-sekular mengajukan ideologi Pancasila.
Para ketua BO lainnya juga adalah
anggota Freemasonry, seperti R. A Tirtokoesoemo, ketua BO pertama
(1908-1911) yang juga pernah menjadi bupati Karang Anyar, Pangeran Ario
Notodirodjo (Ketua BO kedua tahun 1911-1914), dan R. M. A Soerjosoeparto
alias Mangkunegara VII (Ketua BO keempat tahun 1915-1916). RM
Tirtokoesoemo dan Pengeran Ario Notodirodjo adalah anggota Freemasonry
Loge Mataram Yogyakarta. Ketua BO selanjutnya, meski tak menjadi anggota
Freemason, tetapi menjadi anggota Theosofi, seperti M Ng Dwijo Sewojo
(1916), dan R. M. A Woerjaningrat (1916-1921).
....Boedi Oetomo makin tidak berpihak kepada umat Islam. Karena itu, masa-masa yang genting dari organisasi ini selalu meminggirkan aspirasi umat Islam....
Dalam perjalanan sejarahnya kemudian, BO
makin terlihat tidak berpihak kepada umat Islam. Karena itu, masa-masa
yang genting dari organisasi ini adalah ketika berhadapan dengan umat
Islam yang merasa keberadaan dengan sikap BO yang selalu meminggirkan
aspirasi umat Islam. Karena itu, di beberapa daerah yang menjadi basis
umat Islam seperti Batavia, Boedi Oetomo sulit untuk mendapatkan
pengaruh.
Upaya untuk mengajak BO agar berpihak
pada umat Islam bukan tak pernah dilakukan. Mohammad Tohir, seorang
anggota organisasi ini bahkan pernah mengusulkan kepada BO untuk
membantu masjid-masjid agar bisa meraih simpati umat Islam. Namun,
usulan ini ditolak dan organisasi ini tetap pada pendiriannya yang
"netral agama". Usaha untuk menarik simpati umat Islam ini ditentang
oleh Radjiman Wediodiningrat.
Tokoh BO lainnya, Tjipto
Mangoenkoesoemo, juga begitu sinis dalam memandang Pan-Islamisme. Pada
tahun 1928, Tjipto berkirim surat kepada Soekarno yang isinya
mengingatkan kaum muda untuk berhati-hati akan bahaya Pan-Islamisme yang
menjadi agenda tersembunyi H. Agus Salim dan HOS Tjokroaminoto. Tjipto
khawatir, para aktivis Islam yang disebut akan mengusung Pan-Islamisme
itu bisa menguasai Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Jika
mereka berhasil masuk ke dalam PPKI, Tjipto mengatakan, cita-cita
gerakan kebangsaan akan hancur.
MELURUSKAN KEKELIRUAN HARKITNAS
Sejarah memang ditentukan oleh mereka
yang berkuasa. Jika pada masa lalu, kelompok nasionalis-sekular yang
berada dalam pengaruh Freemason dan Theosofi, didukung oleh elit-elit
kolonial, berhasil menentukan siapa aktor dan tokoh dalam panggung
sejarah di negeri ini, maka sudah saatnya ketika umat Islam memiliki
akses ke jantung kekuasaan, mempunyai ikhtiar untuk meluruskan sejarah
yang penuh selubung dan distorsi ini. Fakta sejarah harus diungkap
dengan tinta emas berlapis kejujuran, bukan dengan tinta hitam yang
sarat kepentingan.
Jika BO didirikan pada 1908, maka jauh
sebelum itu, tanggal 16 Oktober 1905 sudah berdiri Sarekat Dagang Islam
(SDI) di Surakarta yang didirikan oleh Haji Samanhoedi. SDI jelas
mempunyai arah perjuangan memajukan ekonomi pribumi dan melawan hegemoni
asing. SDI bercorak Islam dan nasionalis, tidak tersekat-sekat dalam
kedaerahan yang sempit. SDI yang kemudian pada 10 September 1912 menjadi
Sarekat Islam (SI), meletakkan dasar perjuangannya atas tiga prinsip
dasar, yaitu: Pertama, asas agama Islam sebagai dasar perjuangan. Kedua,
asas kerakyatan sebagai dasar himpunan organisasi. Ketiga, asas sosial
ekonomi sebagai usaha untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang
umumnya berada dalam taraf kemiskinan dan kemelaratan.
Mengenai alasan menjadikan Islam sebagai
asas gerakan, baik H. Samanhoedi ataupun para tokoh Sarekat Islam
lainnya, beralasan agar ruh Islam menyatu dalam setiap langkah
pergerakan. Selain itu, hal ini juga untuk menunjukkan sikap kepada
Belanda, yang berupaya menjauhkan Islam dari politik. (Lihat: M.A. Gani,
Cita Dasar dan Pola Perjuangan Syarikat Islam, hal. 15)
SDI yang kemudian menjadi SI lebih jelas
mengedepankan kepentingan Islam-nasional-pribumi dan tidak dibentuk
oleh kepentingan kolonial. Bahkan, SI jelas-jelas menolak segala
pelecehan terhadap Islam yang ketika itu marak dilakukan oleh kelompok
Boedi Oetomo. Karena itu, menjadikan BO sebagai organisasi yang
melandasi kebangkitan nasional adalah sebuah distorsi sejarah, bahkan
bisa disebut sebagai "de-islamisasi" fakta sejarah.
Usaha untuk menjadikan sejarah
berdirinya SDI sebagai Harkitnas pernah diusulkan oleh umat Islam. Pada
Kongres Mubaligh Islam Indonesia di Medan tahun 1956, umat Islam
mengusulkan kepada pemerintah untuk menjadikan tanggal berdirinya SDI
sebagai Harkitnas berdasarkan karakter dan arah perjuangan SDI. Sayang,
usulan itu sampai saat ini belum jadi kenyataan.
....Tanggal berdirinya Budi Utomo sebagai Hari Kebangkitan Nasional adalah keliru, karena Budi Utomo hanya memajukan satu kelompok saja....
Kritik terhadap dijadikannya BO sebagai
landasan kebangkitan nasional tak hanya datang dari umat Islam. Peneliti
Robert van Niels juga mengatakan, "Tanggal berdirinya Budi Utomo sering
disebut sebagai Hari Pergerakan Nasional atau Kebangkitan Nasional.
Keduanya keliru, karena Budi Utomo hanya memajukan satu kelompok saja.
Sedangkan kebangkitan Indonesia sudah dari dulu terjadi...Orang-orang
Budi Utomo sangat erat dengan cara berpikir barat. Bagi dunia luar,
organisasi Budi Utomo menunjukan wajah barat. " (Robert van Niels,
Munculnya Elit Modern Indonesia, hal. 82-83).
Tulisan ini adalah ikhtiar untuk
mengungkap sejarah dengan fakta-fakta yang terang dan apa adanya.
Fakta-fakta sejarah ini, mungkin pada masa lalu tertutup selubung
kekuasaan yang mempunyai kepentingan untuk memutus mata rantai peran
umat Islam dalam pentas nasional di negeri ini. Upaya memarginalkan
peran umat Islam dalam kiprah pergerakan nasional berujung pada
"de-islamisasi fakta sejarah". Ironisnya, sampai hari ini umat Islam
masih memahami sejarah dalam kaca mata buram penguasa! [voa-islam.com]
*Penulis buku "Jaringan Yahudi Internasional di Nusantara" dan "Gerakan Theosofi di Indonesia", Pustaka Al-Kautsar, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar