“Demokrasi sistem kufur. Haram mengambilnya, menerapkannya, dan mempropagandakannya!” tegas Syeikh Abdul Qadim Zallum dalam berbagai kesempatan dakwah maupun dalam bukunya dengan judul yang sama yakni Ad Dimuqrathiyah Nizham Kufr: Yahrumu Akhdzuha aw Tathbiquha aw Ad Da’watu Ilaiha. Syeikh Zallum adalah ulama yang faqih fid din. Ketegasannya dalam membedakan yang hak dan batil tampak jelas dalam perilakunya, ceramahnya serta kitab-kitab yang ditulisnya. Di samping sebagai aktivis dakwah, peraih ijazah al alamiyah (setingkat program doktoral atau S3 saat ini) di bidang al qadha (peradilan) di Universitas Al Azhar Kairo, ia pun dikenal sebagai seorang mujtahid. Berbagai ijtihadnya dalam masalah kloning, transplantasi organ tubuh dan masalah dunia kedokteran lainnya ia himpun dalam kitabnya yang berjudul Hukm Asy Syar’ fî Al Istinsâkh wa Naql Al A’dhâ’ wa Umûr Ukhrâ. Ulama yang sangat tegas menentang hegemoni sistem kufur kapitalisme Barat dan sistem kufur komunisme timur ini merupakan amir (pimpinan) kedua partai Islam ideologis internasional Hizbut Tahrir, sejak 1977-2003. Ia berjuang melanjutkan estafet kepemimpinan sang pendiri dan ideolog HT Al Allamah Syeikh Taqiyuddin An Nabhani, untuk melanjutkan kembali kehidupan Islam dalam naungan khilafah. Penjaga Al Ibrahimi Pemilik nama lengkap Al ’Alim Al Kabîr Syeikh Abdul Qadim bin Yusuf bin Abdul Qadim bin Yunus bin Ibrahim Zallum ini lahir pada1924 (1342 H) di Kota Al Khalil, Palestina. Ia berasal dari keluarga yang dikenal luas dan terkenal keberagamaannya.
Ayahnya adalah seorang hafidz Alquran dan guru pada masa Khilafah Utsmaniyah. Paman ayahnya, yaitu Syeikh Abdul Ghafar Yunus Zallum adalah mufti Al Khalil pada masa Khilafah Utsmaniyah. Keluarga Zallum termasuk keluarga yang memelihara dan mengurus Masjid Al Ibrahimi Al Khalil. Mereka termasuk keluarga yang memelihara peninggalan Nabi Yaqub as. Keluarga Zallum adalah orang-orang yang menjunjung ilmu di atas mimbar-mimbar pada hari Jumat (menjadi khathib Jumat) dan hari-hari raya. Mereka adalah orang-orang yang mengusung ilmu di berbagai musim dan perayaan.
Khilafah Utsmaniyah selalu mendistribusikan tugas mengurus Masjid Al Ibrahimi kepada keluarga-keluarga terkenal di Al Khalil. Adalah suatu kehormatan dan kemuliaan bagi keluarga-keluarga itu mendapat tugas mengurus Masjid Al Ibrahimi Al Khalil. Zallum kecil tumbuh dan berkembang di kota kelahirannya sampai usia lima belas tahun. Kemudian ayahnya menyekolahkannya ke Universitas Al Azhar, Kairo hingga memperoleh ijazah al alamiyah di bidang peradilan pada tahun 1949. Sebelum berdirinya negara ilegal Israel, Syeikh Zallum beraktivitas menghimpun para pemuda dan kembali dari Mesir untuk berjihad di Palestina. Namun, ketika ia kembali, ‘perdamaian’ telah diumumkan dan perang pun telah ‘berhenti’. Karenanya, ia tidak berkesempatan berjihad di Palestina meski ia telah bertekad untuk itu. Ia dicintai oleh rekan-rekan sejawatnya di Universitas al-Azhar. Mereka menjulukinya Al Mâlik, karena ia sangat menonjol dalam kemampuan menyerap dan menyampaikan kembali materi perkuliahan. Ia pun kembali ke Al Khalil pada tahun 1949 M, ia menjadi guru di Madrasah Bait Al Lahim dan Madrasah Usamah bin Munqidz.
Perjumpaan dengan Hizb Pada 1952, ketika berziarah ke Al Quds Syeikh Zallum berjumpa dengan Syeikh Taqiyuddin An Nabhani. Kemudian terlibat diskusi panjang lebar terkait upaya membangkitkan kembali umat yang terpuruk paska keruntuhan Khilafah Utsmani pada 1924. Ia pun menerima ajakan Syeikh An Nabhani untuk melakukan kajian serta berdiskusi seputar kebangkitan tersebut. Ia pun menerima kristalisasi konsep serta metode perjuangan Syeikh An Nabhani yang secara resmi dibuat pada 1953, yakni Hizbut Tahrir. Ia aktif dan loyal terhadap HT sehingga pada 1956 dipercaya menjadi anggota qiyâdah (kepengurusan pusat). Untuk membangkitkan kembali kesadaran masyarakat akan wajibnya bersatu dalam naungan khilafah, Syeikh Zallum membuka kajian untuk umum yang dilaksanakan sebelum dan setelah shalat Jumat di Masjid Al Ibrahimi Al Khalil. Namun karena sikap penentangannya yang kuat terhadap sistem kufur yang diterapkan di Yordania dan dunia Islam lainnya, ia pun ditangkap dan dijebloskan ke penjara beberapa tahun sebagai tahanan politik di penjara Al Jafar Ash Shahrawi. Penjara Al Jafar Ash Shahrawi adalah penjara di padang pasir yang berada di Al Jafar, suatu desa yang berbatasan dengan Desa Ma’an di bagian selatan Yordania.
Selepasnya dari penjara, dakwahnya semakin gencar. Bahkan ia menjadi tangan kanan Syeikh An Nabhani untuk menjalankan tugas-tugas besar, yang mengharuskannya berkeliling ke berbagai negara. Ia tidak ragu sedikit pun menerima tugas itu. Ia lebih mengedepankan dakwah daripada keluarga, anak-anak, dan kenikmatan-kenikmatan dunia yang berlimpah. Sehingga, bila hari ini ia berada di Turki, besok di Irak, besoknya di Mesir, kemudian di Lebanon, Yordania dan di tempat-tempat lain. Kapan saja Syeikh An Nabhani memintanya, maka Syeikh Zallum selalu berada di sisi amir dan siap melaksanakan tugas dakwahnya dengan penuh amanah. Maka, ketika Syeikh An Nabhani kembali ke rahmatullah pada 1977, ia terpilih untuk mengemban amanah sesudahnya. Ia mengemban amanah ini dan menjalankannya dari satu dataran tinggi ke dataran tinggi yang lain. Ia lantang berdakwah. Medan dakwah pun semakin meluas hingga mencapai kaum Muslim di Asia Tengah dan Asia Tenggara. Bahkan gaung dakwah bergema di Eropa dan benua lainnya. Syeikh Zallum terus mengemban dakwah dan kepemimpinan Hizb hingga mencapai usia lebih dari delapan puluh tahun. Saat ajalnya dirasa sudah dekat, ia mengundurkan diri dari kepemimpinan Hizb dan menyaksikan pemilihan amir Hizb yang baru. Ia mengundurkan diri dari kepemimpinan Hizb pada hari Senin 17 Maret 2003 (14 Muharram 1424 H). Lalu sekitar empat puluh hari setelah itu, Al ’Alim Al Kabîr Syeikh Abdul Qadim Zallum rahimahullâh wafat di Beirut pada malam Selasa 29 April 2003 (29 April 2003). Rumah duka diselenggarakan di Diwan (rumah induk) Abu Gharbiyah Asy Syarawi di Al Khalil. Saat itu Kota Al Khalil belum menyaksikan pemandangan serupa saat masyarakat dari berbagai kota dan desa mengirimkan utusan, para penyair, para pembicara dan orang-orang yang berlomba-lomba mengirimkan kalimat dalam bentuk syair dan prosa untuk ikut serta menyampaikan bela sungkawa. Dering telepon berbunyi susul-menyusul menyampaikan kepada semua yang hadir kalimat duka dan bergabung dalam bela sungkawa dari Sudan, Kuwait, berbagai penjuru Eropa, Indonesia, Amerika, Yordania, Mesir dan dari berbagai penjuru dunia lainnya. Hal yang sama juga terjadi di rumah duka yang diselenggarakan di Amman dan tempat lainnya. Ia rahimahullâh senantiasa menyampaikan dan berjalan di dalam kebenaran, tidak takut sedikitpun di jalan Allah terhadap celaan orang-orang yang suka mencela. Ia terus beraktivitas tanpa kenal lelah dan tidak pernah bersikap lemah di jalan dakwah. Ia dikenal tawadlu’, berakhlak mulia, memiliki hubungan yang damai dan sejuk terhadap selain mahram. Ia dikenal lemah lembut dan mulia. Ia juga dikenal banyak melakukan qiyâm al layl dan sering menangis saat sedang membaca ayat-ayat Allah SWT di samping kesabaran dan kekuatan di jalan dakwah. Ia hidup terasing dan dikejar-kejar oleh orang-orang zalim hingga Allah SWT mewafatkannya. Namun dalam kondisi seperti itu, ia tetap menyempatkan diri menulis hingga lebih dari 10 kitab sebagai kontribusinya di dunia fikih, dakwah maupun kerangka berpikir politik. Semoga Allah merahmatinya dengan rahmat-Nya Yang Mahaluas.[] joy/berbagai sumber
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar