Ahmadinejad: Dunia Membutuhkan Tatanan Baru
MediaUmat- Presiden Mahmoud Ahmadinejad mengatakan bahwa dunia membutuhkan suatu tatanan baru, dia menambahkan bahwa Amerika Serikat yang merupakan "lambang liberalisme" sedang dalam kemunduran.
"Sangat jelas bahwa setiap sistem yang bergantung pada kekuatan militer akan runtuh," Ahmadinejad mengatakan dalam sebuah pidato di pusat kota Syiraz pada hari Rabu.
"AS sepenuhnya bergantung pada kekuatan militer dan sanksi," kata Ahmadinejad seperti yang dikutip IRNA.
"Ini menunjukkan bahwa AS sedang dalam kemunduran," tambahnya.
Presiden Iran mencatat bahwa setelah runtuhnya liberalisme, dunia akan memerlukan suatu tatanan baru.
source: http://www.mediaumat.com/content/view/1064/1/
MediaUmat- Presiden Mahmoud Ahmadinejad mengatakan bahwa dunia membutuhkan suatu tatanan baru, dia menambahkan bahwa Amerika Serikat yang merupakan "lambang liberalisme" sedang dalam kemunduran.
"Sangat jelas bahwa setiap sistem yang bergantung pada kekuatan militer akan runtuh," Ahmadinejad mengatakan dalam sebuah pidato di pusat kota Syiraz pada hari Rabu.
"AS sepenuhnya bergantung pada kekuatan militer dan sanksi," kata Ahmadinejad seperti yang dikutip IRNA.
"Ini menunjukkan bahwa AS sedang dalam kemunduran," tambahnya.
Presiden Iran mencatat bahwa setelah runtuhnya liberalisme, dunia akan memerlukan suatu tatanan baru.
source: http://www.mediaumat.com/content/view/1064/1/
Hukum dan Dunia Politik / Re:Galeri meretas jalan menuju tegaknya khilafah
besides, islam masih bisa berkembang kok tanpa khilafah. considering that there're only 4+1 true chaliphs. umar bin abd aziz was the last. i don't count the rest as chaliphs.Alhamdulillah, kalau dalam aspek ibadah ranah individu, sudah bisa dilaksanakan, akan tetapi dalam ranah umum, belum bisa tegak tuh akhi, seperti riba, kepemilikan ekonomi yang melanggar syariat, tanya kenapa?
untuk mewujudkan mimpi khilafah islam, saya menilai lebih baik dakwah untuk memperbaiki akhlak dulu. menanamkan kesadaran untuk menerapkan syariat islam dlm setiap aspek kehidupan. jgn menunggu khilafah tegak dulu, yg kecil aja dulu, terapkan syariat islam di republik indonesia.
sistem yang diterapkan di hampir seluruh dunia [termasuk dunia Islam adalah sistem yang menerapkan Ideologi Sekularisme Kapitalisme.
Insya Allah HT bergerak dalam rangka membangun suatu sistem yang akan menerapkan Ideologi Islam seutuhnya, itulah yang dinamakan sistem khilafah.
Khilafah ini, yang akan menyatukan umat Islam di seluruh dunia, dan menyebarluaskan Ideologi Islam ke seluruh penjuru dunia. saat ini terjadi, akan tercipta perubahan mendasar peradaban umat manusia, inilah yang dinamakan tatanan dunia yang baru, sama seperti kegemilangan peradaban Islam masa lalu, yang saat itu Ideologi Islam, menjadi pemimpin peradaban-nya.
3
Fiqih, Akhlaq, & Ahkamul Islam / Re:HUKUM MENGUCAP : MERY CHRISTMAS..MERY CHRISTMAS .. selamat natal (continued)
« pada: 26 Desember 2009, 23:02:43 »وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَاماً
Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.
(QS al-Furqan [25]: 72)
Menurut sebagian besar mufassir, makna kata al-zur (kepalsuan) di sini adalah syirik. Ibnu Katsir dalam tafsirnya Tafsir al-Qur'an al-'Azhim menyitir pendapat beberapa mufassir seperti Abu 'Aliyah, Thawus, Muhammad bin Sirrin, al-Dhahhak, al-Rabi' bin Anas, dan lainnya, memaknai al-zur di sini adalah hari raya kaum Musyrik.
Melibatkan diri di dalam perayaan hari raya orang-orang kafir, adalah banyak bentuknya, mencakup perbuatan; mengucapkan selamat, hadir di jalan-jalan untuk menyaksikan atau melihat perayaan orang kafir, mengirim kartu selamat, dan lain sebagainya.
[mengulang.com]
4
Hukum dan Dunia Politik / Re:Haram Berdiam Diri Dari Menegakkan Khilafah Dengan Alasan Menunggu Imam Mahdi
« pada: 31 Oktober 2009, 18:50:26 »itulah pemahaman dangkal anda...kok jadi begini?
saya rasa saya tdk perlu memperpanjang.banyak diantara peserta threat ini, tdk berpikir spt yg anda persepsikan
banyak yg memperjuangkan terbentuknya negara islam, dengan metoda yg TIDAK VULGAR spt HTI, NII dan mungkin yg lain.
banyak yg beranggapan, pun klo masalah khilafah itu br pd masa imam mahdi, apa salahnya menampilkan nilai2 Islam di tengah masyarakat, bhkn dlm bentuk yg lebih fleksibel, bisa kerajaan, bisa negara persatuan, bisa yang lain. Toh, jk tdk dlm bentuk khilafahpun, asal hukumnya bersumber dr AL Qur'an dan Sunnah, apanya yg haram?
Tetapi, jika itu tidak dihargai dan klo HARUS dlm DIVULGARKAN dlm bentuk PERNYATAAN, dll
silahkan saja berjuang sendiri...
maksud-nya thread ini, saya gunakan untuk membantah pendapat yang mengatakan bahwa Khilafah tidak akan pernah tegak sebelum datangnya Imam Mahdi, itu aja kok.
[sebab berdasarkan pengalaman saya gabung di board hukpol, pendapat semacam ini sangat banyak]
Posting Digabung: 31 Oktober 2009, 18:57:42
Baru ngeh bahwa wajar klo pembahasan hadits ahad menjadi salah satu komoditas utama dalam pertentangan ini, karena ternyata dampaknya sangat besar terhadap pilihan kerangka perjuangan. Walaupun sebenarnya tinggal dikembalikan bahwa status hukum penegakannya tidak pernah berubah: wajib.yup, benar akhi.
kewajiban menegakkan khilafah bukanlah berdasarkan hadits yang tidak termasuk hadits mutawatir yang ada diatas.
[seperti kita ketahui kewajiban itu berdasarkan nash Qur'an, Sunnah, maupun Ijmak sahabat]
5
Hukum dan Dunia Politik / Re:Haram Berdiam Diri Dari Menegakkan Khilafah Dengan Alasan Menunggu Imam Mahdi
« pada: 30 Oktober 2009, 15:52:06 »bukannya masalah pentingnya pendirian negara berbasis Islam, tdk ada yg mempermasalahkan?masalahnya adalah ada pada bagian ini:
adapun thariq perjuangannya... saya kira tidak ada kewajiban untuk harus bersama HT
termasuk pernyataan niat unt mendirikan negara Islam juga tidak perlu zahir sbmn tabiat HT
jadi ..... apa masalahnya?
Tidak sedikit di antara kaum Muslim—khususnya mereka yang masih kental dengan kehidupan beragama—yang menyakini bahwa Khilafah akan kembali tegak. Dan Khilafah yang akan tegak kembali itu adalah Khilafah 'ala minhaji an-nubuwah, Khilafah yang sesuai dengan metode kenabian, yang mereka maksudkan dengan itu adalah Khilafah Rasyidah. Namun, aku tidak melihat mereka itu melakukan aktivitas untuk menegakkan Khilafah ini. Apabila mereka ditanya tentang alasan mengapa mereka berdiam diri (tidak melakukan) aktivitas menegakkan Khilafah, maka mereka menjawab bahwa Imam Mahdi-lah kelak yang akan menegakkannya. Dan sebelum datangnya Imam Mahdi, Khilafah tidak akan pernah tegak. Oleh karena itu, tidak perlu menyeru mereka untuk beraktivitas menegakkan Khilafah.
jika anda cukup lama di board hukpol, pasti anda akan banyak menemui pendapat seperti ini.
jadi saya berniat, thread ini bisa memberi edukasi yang baik, insya Allah.
6
Hukum dan Dunia Politik / Re:Haram Berdiam Diri Dari Menegakkan Khilafah Dengan Alasan Menunggu Imam Mahdi
« pada: 29 Oktober 2009, 18:40:33 »emangnye ade gituh nyang dakwahnye nyuarain tegaknye khilafah selaen HT...??HT tidak mengajak kepada kelompok karena HT bukan sektarian tetapi HT merupakan partai Islam, sehingga selalu mengajak umat untuk bersama-sama HT, baik menjadi anggota HT atau tidak, berjuang kembali untuk melanjutkan kehidupan Islam dalam bingkai Khilafah.
7
Hukum dan Dunia Politik / Re:Haram Berdiam Diri Dari Menegakkan Khilafah Dengan Alasan Menunggu Imam Mahdi
« pada: 29 Oktober 2009, 13:22:51 »Ada tulisan bagus:akhi, untuk masalah kewajiban menegakkan khilafah adalah suatu perkara yang qath'i [pasti]
http://www.scribd.com/doc/5308552/Khilafah-Islamiyah-dalam-persepsi-manhaj-salaf-
Al-'Allamah Abu Zakaria an-Nawawi, dari kalangan ulama mazhab Syafii, mengatakan, "Para imam mazhab telah bersepakat, bahwa kaum Muslim wajib mengangkat seorang khalifah." [Imam an-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, XII/205].
bisa antum tunjukkan satu saja ulama yang menafikkan kewajiban ini?
akhi yudocun, aja berkali-kali bilang bahwa hukumnya wajib menegakkan khilafah, dengan mengutip pendapat Imam al-Mawardi [bisa antum tanya sama beliau]
Posting Digabung: 29 Oktober 2009, 13:25:27
Ya, saya baca diawal tulisan tersebut sudah digambarkan bahwa: Tidak mungkin khilafah akan tegak melalui tangan orang-orang beraqidah xxxxxx sebagaimana kelompok yyy dan zzz.saya tidak pernah bilang, bahwa kewajiban menegakkan khilafah adalah kewajiban kelompok tertentu, tapi adalah kewajiban semua muslim, jadi mari kita bersama-sama memperjuangkan-nya.
Jadi meskipun ada kelompok yang sering meneriakkan khilafah, tapi kalau aqidahnya sesat seperti kelompok zzz, maka tidaklah mungkin khilafah tegak melalui kelompok zzz tsb.
8
Hukum dan Dunia Politik / Re:Haram Berdiam Diri Dari Menegakkan Khilafah Dengan Alasan Menunggu Imam Mahdi
« pada: 29 Oktober 2009, 13:04:44 » Maqalah Ulama-Ulama Sunni Tentang Wajibnya Nashbul Khalifah
1. Hukum Nashbul khalifah adalah Fardhu Kifayah
Pada point pertama ini kami kompilasikan sebagian maqalah para ulama’ Mu’tabar dari berbagai madzhab, terutama madzhab Syafi’I yang merupakan madzhab kebanyakan kaum Muslimin di Indonesia, tentang wajibnya imamah atau khilafah. Tentu pernyataan mereka tersebut adalah merupakan hasil istimbath mereka dari dalil-dalil syara’, baik apakah mereka menjelaskan hal tersebut maupun tidak.
Syeikh Al-Islam Al-imam Al-hafidz Abu Zakaria An-nawawi berkata2:
الفصل الثاني في وجوب الإمامة وبيان طرقها لا بد للأمة من إمام يقيم الدين وينصر السنة وينتصف للمظلومين ويستوفي الحقوق ويضعها مواضعها. قلت تولي الإمامة فرض كفاية …
…pasal kedua tentang wajibnya imamah serta penjelasan metode (mewujudkan) nya. Adalah suatu keharusan bagi umat adanya imam yang menegakkan agama dan yang menolong sunnah serta yang memberikan hak bagi orang yang didzalimi serta menunaikan hak dan menempatkan hal tersebut pada tempatnya. Saya nyatakan bahwa mengurus (untuk mewujudkan) imamah itu adalah fardhu kifayah.
Al-allamah Asy-syeikh Muhammad Asy-syarbini Al-khatib menjelaskan3:
فَقَالَ [ فَصْلٌ ] فِي شُرُوطِ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ وَبَيَانِ انْعِقَادِ طُرُقِ الْإِمَامَةِ .وَهِيَ فَرْضُ كِفَايَةٍ كَالْقَضَاءِ ، إذْ لَا بُدَّ لِلْأُمَّةِ مِنْ إمَامٍ يُقِيمُ الدِّينَ وَيَنْصُرُ السُّنَّةَ وَيُنْصِفُ الْمَظْلُومَ مِنْ الظَّالِمِ وَيَسْتَوْفِي الْحُقُوقَ وَيَضَعُهَا مَوَاضِعَهَا ، وَقَدَّمَا فِي الشَّرْحِ وَالرَّوْضَةِ الْكَلَامَ عَلَى الْإِمَامَةِ عَلَى أَحْكَامِ الْبُغَاةِ …
…maka (pengarang) berkata (pasal) tentang syarat-syarat imam yang agung serta penjelasan metode-metode in’iqadnya imamah. Mewujudkan imamah yang agung itu adalah fardhu kifayah sebagaimana peradilan.
Syeikh Al-Islam Imam Al-hafidz Abu Yahya Zakaria Al-anshari dalam kitab Fathul Wahab bi Syarhi Minhajith Thullab berkata44
Syaikhul Islam Imam Al-hafidz Abu Yahya Zakaria Al-anshri, Fathul Wahab bi Syarhi Minhajith Thullab, juz 2 hal 268:
(فصل) في شروط الامام الاعظم، وفي بيان طرق انعقاد الامامة، وهي فرض كفاية كالقضاء (شرط الامام كونه أهلا للقضاء) بأن يكون مسلما حرا مكلفا عدلا ذكرا مجتهدا ذا رآى وسمع وبصر ونطق لما يأتي في باب القضاء وفي عبارتي زيادة العدل (قرشيا) لخبر النسائي الائمة من قريش فإن فقد فكناني، ثم رجل من بني إسماعيل ثم عجمي على ما في التهذيب أو جر همي على ما في التتمة، ثم رجل من بني إسحاق (شجاعا) ليغزو بنفسه، ويعالج الجيوش ويقوي على فتح البلاد ويحمي البيضة، وتعتبر سلامته من نقص يمنع استيفاء الحركة وسرعة النهوض، كما دخل في الشجاعة …
…(Pasal) tentang syarat-syarat imam yang agung serta penjelasan metode in’iqad imamah. Mewujudkan imamah itu adalah fardhu kifayah sebagaimana peradilan (salah satu syarat menjadi imam adalah kavabel untuk peradilan). Maka hendaknya imam yang agung tersebut adalah muslim, merdeka, mukallaf, adil, laki-laki, mujtahid, memiliki visi, mendengar, melihat dan bisa bicara. Berdasar pada apa yang ada pada bab tentang peradilan dan pada ungkapan saya dengan penambahan adil adalah (dari kabilah Quraisy) berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh An Nasa’I: “bahwa para Imam itu dari golongan Quraisy”. Apabila tidak ada golongan Quraisy maka dari Kinanah, kemudian pria dari keturunan Ismail lalu orang asing (selain orang Arab) berdasarkan apa yang ada pada (kitab) At-tahdzib atau Jurhumi berdasarkan apa yang terdapat dalam (kitab) At-tatimmah. Kemudian pria dari keturunan Ishaq. Selanjutnya (pemberani) agar (berani) berperang dengan diri sendiri, mengatur pasukan serta memperkuat (pasukan) untuk menaklukkan negeri serta melindungi kemurnian (Islam). Juga termasuk (sebagian dari syarat imamah) adalah bebas dari kekurangan yang akan menghalangi kesempurnaan serta cekatannya gerakan sebagaimana hal tersebut merupakan bagian dari keberanian …
Ketika Imam Fakhruddin Ar-razi, penulis kitab Manaqib Asy-syafi’i, menjelaskan firman-Nya Ta’ala pada Surah Al-maidah ayat 38, beliau menegaskan5:
…احتج المتكلمون بهذه الآية في أنه يجب على الأمة أن ينصبوا لأنفسهم إماماً معيناً والدليل عليه أنه تعالى أوجب بهذه الآية إقامة الحد على السراق والزناة ، فلا بدّ من شخص يكون مخاطباً بهذا الخطاب ، وأجمعت الأمة على أنه ليس لآحاد الرعية إقامة الحدود على الجناة ، بل أجمعوا على أنه لا يجوز إقامة الحدود على الأحرار الجناة إلا للإمام ، فلما كان هذا التكليف تكليفاً جازماً ولا يمكن الخروج عن عهدة هذا التكليف إلا عند وجود الإمام ، وما لا يتأتى الواجب إلا به ، وكان مقدوراً للمكلف ، فهو واجب ، فلزم القطع بوجوب نصب الإمام حينئذٍ
… para Mutakallimin berhujjah dengan ayat ini bahwa wajib atas umat untuk mengangkat seorang imam yang spesifik untuk mereka. Dalilnya adalah bahwa Dia Ta’ala mewajibkan di dalam ayat ini untuk menegakkan had atas pencuri dan pelaku zina. Maka adalah merupakan keharusan adanya seseorang yang melaksanakan seruan tersebut. Sungguh umat telah sepakat bahwa tidak seorangpun dari rakyat yang boleh menegakkan had atas pelaku criminal tersebut. Bahkan mereka telah sepakat bahwa tidak boleh (haram) menegakkan had atas orang yang merdeka pelaku criminal kecuali oleh imam. Karena itu ketika taklif tersebut sifatnya pasti (jazim) dan tidak mungkin keluar dari ikatan taklif ini kecuali dengan adanya imam, dan ketika kewajiban itu tidak tertunaikan kecuali dengan sesuatu, dan itu masih dalam batas kemampuan mukallaf maka (adanya) imam adalah wajib. Maka adalah suatu yang pasti qath’inya atas wajibnya mengangkat imam, seketika itu pula…
Imam Abul Qasim An-naisaburi Asy-syafi’i berkata6:
… أجمعت الأمة على أن المخاطب بقوله { فاجلدوا } هو الإمام حتى احتجوا به على وجوب نصب الإمام فإن ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب.
…umat telah sepakat bahwa yang menjadi obyek khitab (”maka jilidlah”) adalah imam. Dengan demikian mereka berhujjah atas wajibnya mengangkat imam. Sebab, apabila suatu kewajiban itu tidak sempurna tanpa adanya sesuatu tersebut maka ada sesuatu tersebut menjadi wajib pula.
Al-allamah Asy-syeikh Abdul Hamid Asy-syarwani menyatakan7:
قوله: (هي فرض كفاية) إذ لا بد للامة من إمام يقيم الدين وينصر السنة وينصف المظلوم من الظالم ويستوفي الحقوق ويضعها موضعها…
…perkataannya: (mewujudkan imamah itu adalah fardhu kifayah) karena adalah merupakan keharusan bagi umat adanya imam untuk menegakkan agama dan menolong sunnah serta memberikan hak orang yang didzalimi dari orang yang dzalim serta menunaikan hak-hak dan menempatkan hak-hak tersebut pada tempatnya…
Dalam kitab Hasyiyata Qalyubi wa Umairah dinyatakan8:
فَصْلٌ فِي شُرُوطِ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ وَمَا مَعَهُ وَالْإِمَامَةُ فَرْضُ كِفَايَةٍ كَالْقَضَاءِ فَيَجْرِي فِيهَا مَا فِيهِ مِنْ جَوَازِ الْقَبُولِ وَعَدَمِهِ .
…pasal tentang syarat-syarat imam yang agung dan hal-hal yang menyertainya. Imamah itu adalah fardhu kifayah sebagaimana peradilan maka berlaku di dalam imamah tersebut apa yang berlaku untuk peradilan baik dalam kebolehan menerima maupun tidaknya..
Al-allamah Asy-syeikh Sulaiman bin Umar bin Muhammad Al-bajairimi berkata9:
…فِي شُرُوطِ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ وَفِي بَيَانِ طُرُقِ انْعِقَادِ الْإِمَامَةِ وَهِيَ فَرْضُ كِفَايَةٍ . كَالْقَضَاءِ فَشُرِطَ لِإِمَامٍ كَوْنُهُ أَهْلًا لِلْقَضَاءِ قُرَشِيًّا لِخَبَرِ : { الْأَئِمَّةُ مِنْ قُرَيْشٍ } شُجَاعًا لِيَغْزُوَ بِنَفْسِهِ وَتُعْتَبَرُ سَلَامَتُهُ مِنْ نَقْصٍ يَمْنَعُ اسْتِيفَاءَ الْحَرَكَةِ وَسُرْعَةَ النُّهُوضِ كَمَا دَخَلَ فِي الشَّجَاعَة…
…tentang syarat-syarat imam yang agung serta penjelasan metode-metode sahnya in’iqad imamah. Dan mewujudkan imamah tersebut adalah fardhu kifayah sebagaimana peradilan. Maka disyaratkan untuk imam itu hendaknya layak untuk peradilan (menjadi hakim). (syarat) Quraisy, karena berdasarkan hadits: “bahwa para imam itu adalah dari Quraisy”. (syarat) Berani, agar berani berperang secara langsung. Begitu pula (dengan syarat) bebasnya dari kekurangan yang menghalangi kesempurnaan dan kegesitan gerakan dia sebagaimana masuknya keberanian sebagai salah satu syarat imamah…
Imam Al-hafidz Abu Muhammad Ali bin Hazm Al-andalusi Adz-dzahiri mendokumentasikan ijma’ Ulama’ bahwa (keberadaan) Imamah itu fardhu10:
… واتفقوا أن الامامة فرض وانه لا بد من امام حاشا النجدات وأراهم قد حادوا الاجماع وقد تقدمهم واتفقوا انه لا يجوز أن يكون على المسلمين في وقت واحد في جميع الدنيا امامان لا متفقان ولا مفترقان ولا في مكانين ولا في مكان واحد …
…Meraka (para ulama’) sepakat bahwa imamah itu fardhu dan adanya Imam itu merupakan suatu keharusan, kecuali An-najdat. Pendapat mereka sungguh telah menyalahi ijma’ dan telah lewat pembahasan (tentang) mereka. Mereka (para ulama’) sepakat bahwa tidak boleh pada satu waktu di seluruh dunia adanya dua imam bagi kaum Muslimin baik mereka sepakat atau tidak, baik mereka berada di satu tempat atau di dua tempat…
Berkata Imam ‘Alauddin Al-kasani Al-hanafi11:
… وَلِأَنَّ نَصْبَ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ فَرْضٌ ، بِلَا خِلَافٍ بَيْنَ أَهْلِ الْحَقِّ ، وَلَا عِبْرَةَ - بِخِلَافِ بَعْضِ الْقَدَرِيَّةِ - ؛ لِإِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ عَلَى ذَلِكَ ، وَلِمِسَاسِ الْحَاجَةِ إلَيْهِ ؛ لِتَقَيُّدِ الْأَحْكَامِ ، وَإِنْصَافِ الْمَظْلُومِ مِنْ الظَّالِمِ ، وَقَطْعِ الْمُنَازَعَاتِ الَّتِي هِيَ مَادَّةُ الْفَسَادِ ، وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ الْمَصَالِحِ الَّتِي لَا تَقُومُ إلَّا بِإِمَامٍ ، …
…dan karena sesungguhnya mengangkat imam yang agung itu adalah fardhu. (ini) tidak ada perbedaan pendapat diantara ahlul haq. Dan tidak diperhatikan—perbedaan dengan sebagian Qadariyyah—karena ijma’ shahabat ra atas hal tersebut, serta urgensitas kebutuhan terhadap imam yang agung tersebut. Untuk keteritakan terhadap hukum. Untuk menyelematkan orang yang didzalimi dari orang yang dzalim. Untuk memutuskan perselisihan yang merupakan obyek yang menimbulkan kerusakan, dan kemaslahatan-kemaslahatn yang lain yang memang tidak akan tegak kecuali dengan adanya imam…
Imam Al-hafidz Abul Fida’ Ismail ibn Katsir ketika menjelaskan firman Allah surah Al Baqarah ayat 30 beliau berkata12:
…وقد استدل القرطبي وغيره بهذه الآية على وجوب نصب الخليفة ليفصل بين الناس فيما يختلفون فيه، ويقطع تنازعهم، وينتصر لمظلومهم من ظالمهم، ويقيم الحدود، ويزجر عن تعاطي الفواحش، إلى غير ذلك من الأمور المهمة التي لا يمكن إقامتها إلا بالإمام، وما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب.
…dan sungguh Al Qurthubi dan yang lain berdalil berdasarkan ayat ini atas wajibnya mengangkat khalifah untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi diantara manusia, memutuskan pertentangan mereka, menolong atas yang didzalimi dari yang mengdzalimi, menegakkan had-had, dan menganyahkan kerusakan dsb. yang merupakan hal-hal penting yang memang tidak memungkinkan untuk menagakkan hal tersebut kecuali dengan imam, dan ãÇ áÇíÊã ÇáæÇÌÈ ÇáÇ Èå Ýåæ æÇÌÈ ( apabila suatu kewajiban tidak akan sempurna kecuali dengan suatu tersebut maka sesuatu tersebut menjadi wajib pula).
Imam Al-qurthubi ketika menafsirkan Surah Al-baqarah ayat 30 berkata13:
… هذه الآية أصل في نصب إمام وخليفة يسمع له ويطاع، لتجتمع به الكلمة، وتنفذ به أحكام الخليفة. ولا خلاف في وجوب ذلك بين الامة ولا بين الائمة إلا ما روي عن الاصم …
ثم قال القرطبي: فلو كان فرض الامامة غير واجب لا في قريش ولا في غيرهم لما ساغت هذه المناظرة والمحاورة عليها، ولقال قائل: إنها ليست بواجبة لا في قريش ولا في غيرهم، فما لتنازعكم وجه ولا فائدة في أمر ليس بواجب …
وقال, اي القرطبي, وإذا كان كذلك ثبت أنها واجبة من جهة الشرع لا من جهة العقل، وهذا واضح.
…ayat ini pokok (yang menegaskan) bahwa mengangkat imam dan khalifah untuk didengar dan dita’ati, untuk menyatukan pendapat serta melaksanakan, melalui khalifah, hukum-hukum tentang khalifah. Tidak ada perbadaan tentang wajibnya hal tersebut diantara umat, tidak pula diantara para imam kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-asham …
Beliau berkata: …Maka kalau seandainya keharusan adanya imam itu tidak wajib baik untuk golongan Quraisy maupun untuk yang lain lalu mengapa terjadi diskusi dan perdebatan tentang Imamah. Maka sungguh orang akan berkata: bahwa sesungguhnya imamah itu bukanlah suatu yang diwajibkan baik untuk golongan Quraisy maupun yang lain, lalu untuk apa kalian semua berselisih untuk suatu hal yang tidak ada faedahnya atas suatu hal yang tidak wajib.
Kemudian beliau menegaskan: …Dengan demikian maka (telah) menjadi ketetapan bahwa imamah itu wajib berdasarkan syara’ bukan akal. Dan ini jelas sekali.
Imam Umar bin Ali bin Adil Al-hambali Ad-dimasyqi, yang dikenal dengan Ibnu Adil, ketika menjelaskan firman Allah Ta’ala surah Al-baqarah ayat 30 berkata14:
…وقال « ابن الخطيب » : الخليفة : اسم يصلح للواحد والجمع كما يصلح للذكر والأنثى … ثم قال: هذه الآية دليلٌ على وجوب نصب إمام وخليفة يسمع له ويُطَاع ، لتجتمع به الكلمة ، وتنفذ به أحكام الخليفة ، ولا خلاف في وجوب ذلك بَيْنَ الأئمة إلاّ ما روي عن الأصَمّ ، وأتباعه …
… dan berkata Ibn Al-khatib khalifah itu isim yang cocok baik untuk tunggal maupun plural sebagaimana cocoknya untuk laki-laki dan wanita. Kemudian beliau berkata: ….ayat ini adalah dalil wajibnya mengangkat Imam dan khalifah untuk didengar dan dita’ati, untuk menyatukan pendapat, serta untuk melaksanakan hukum-hukum tentang khalifah. Tidak ada perbedaan tentang wajibnya hal tersebut diantara para imam kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-asham dan orang yang mengikuti dia…
Berkata Imam Abu al-hasan Al-mirdawi Al-hambali dalam kitab Al-inshaf15:
…بَابُ قِتَالِ أَهْلِ الْبَغْيِ فَائِدَتَانِ إحْدَاهُمَا : نَصْبُ الْإِمَامِ : فَرْضُ كِفَايَةٍ . قَالَ فِي الْفُرُوعِ : فَرْضُ كِفَايَةٍ عَلَى الْأَصَحِّ . فَمَنْ ثَبَتَتْ إمَامَتُهُ بِإِجْمَاعٍ ، أَوْ بِنَصٍّ ، أَوْ بِاجْتِهَادٍ ، أَوْ بِنَصِّ مَنْ قَبْلَهُ عَلَيْهِ .
…bab memerangi orang yang Bughat, terdapat dua faedah. Pertama, mengangkat imam itu adalah fardhu kifayah. Dia berkata di dalam al-furu’: fardhu kifayahlah yang paling tepat….
Imam Al-bahuti Al-hanafi berkata16:
…( نَصْبُ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ ) عَلَى الْمُسْلِمِينَ ( فَرْضُ كِفَايَةٍ ) لِأَنَّ بِالنَّاسِ حَاجَةٌ إلَى ذَلِكَ لِحِمَايَةِ الْبَيْضَةِ وَالذَّبِّ عَنْ الْحَوْزَةِ وَإِقَامَةِ الْحُدُودِ وَاسْتِيفَاءِ الْحُقُوقِ وَالْأَمْرِ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيِ عَنْ الْمُنْكَر…
…(mengangkat Imam yang agung itu) atas kaum Muslimin (adalah fardhu kifayah). Karena manusia membutuhkan hal tersebut untuk menjaga kemurnian (agama), menjaga konsistensi (agama), penegakan had, penunaian hak serta amar ma’ruf dan nahi munkar….
Dalam kitab Hasyiyyatul Jumal disebutkan17:
…فِي شُرُوطِ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ ، وَفِي بَيَانِ طُرُقِ انْعِقَادِ الْإِمَامَةِ وَهِيَ فَرْضُ كِفَايَةٍ كَالْقَضَاءِ ( شَرْطُ الْإِمَامِ كَوْنُهُ أَهْلًا لِلْقَضَاءِ ) بِأَنْ يَكُونَ مُسْلِمًا حُرًّا مُكَلَّفًا عَدْلًا ذَكَرًا مُجْتَهِدًا ذَا رَأَى وَسَمْعٍ وَبَصَرٍ وَنُطْقٍ لِمَا يَأْتِي فِي بَابِ الْقَضَاءِ…
…tentang syarat Imam yang agung dan tentang penjelasan metode in’iqad imamah. Mewujudkan imamah itu adalah fardhu kifayah sebagaimana peradilan. (syarat Imam adalah yang layak untuk peradilan). Maka hendaknya dia muslim, merdeka, mukallaf, adil, laki-laki, mujtahid, cerdas, mendengar, melihat dan bisa bicara, sebagaimana yang terdapat dalam pembahasan pada bab tentang peradilan…
Sedangkan dalam kitab Mathalibu Ulin Nuha fii Syarhi Ghayatil Muntaha dinyatakan18:
…( وَنَصْبُ الْإِمَامِ فَرْضُ كِفَايَةٍ ) ؛ لِأَنَّ بِالنَّاسِ حَاجَةً لِذَلِكَ لِحِمَايَةِ الْبَيْضَةِ ، وَالذَّبِّ عَنْ الْحَوْزَةِ ، وَإِقَامَةِ الْحُدُودِ ، وَابْتِغَاءِ الْحُقُوقِ ، وَالْأَمْرِ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيِ عَنْ الْمُنْكَرِ ، وَيُخَاطَبُ بِذَلِكَ طَائِفَتَانِ : أَحَدُهُمَا : أَهْلُ الِاجْتِهَادِ حَتَّى يَخْتَارُوا. الثَّانِيَةُ : مَنْ تُوجَدُ فِيهِمْ شَرَائِطُ الْإِمَامَةِ حَتَّى يَنْتَصِبَ لَهَا أَحَدُهُمْ : أَمَّا أَهْلُ الِاخْتِيَارِ فَيُعْتَبَرُ فِيهِمْ الْعَدَالَةُ وَالْعِلْمُ الْمُوَصِّلُ إلَى مَعْرِفَةِ مَنْ يَسْتَحِقُّ الْإِمَامَةَ وَالرَّأْيُ وَالتَّدْبِيرُ الْمُؤَدِّي إلَى اخْتِيَارِ مَنْ هُوَ لِلْإِمَامَةِ أَصْلَحُ .
…(dan mengangkat imam itu adalah fardhu kifayah) karena manusia memang membutuhkan hal tersebut untuk menjaga kemurnian (agama), memelihara konsitensi (agama), menegakkan had, menunaikan hak-hak, dan amar makruf serta nahi munkar.
Berkata shahibu Al-husun Al-hamidiyyah, Syeikh Sayyid Husain Afandi19:
اعلم انه يجب على المسلمين شرعا نصب امام يقوم باقامة الحدود وسد الثغور وتجهيز الجيش …
“ketahuilah bahwa mengangkat Imam yang yang menegakkan had, memelihara perbatasan (negara), menyiapkan pasukan, … secara syar’i adalah wajib”.
Khulashatul qaul, dapat kita simpulkan bahwa para Ulama’ Mu’tabar dari berbagai madzhab diatas menegaskan bahwa hukum nasbu al-Imam atau al-Khalifah adalah wajib. Kifayah atau ain? Adalah Imam al-Hafidz an-Nawawi, antara lain, yang menjelaskan bahwa kwajiban tersebut masuk kategori fardhu kifayah.
2. Pelaksaan fardhu kifayah.
Suatu hal yang ma’lum bahwa fardhu itu ada dua macam. Fardhu kifayah dan fardhu ain. Sebagai kwajiban sebenarnya fardhu kifayah maupun fardhu ain sama, sama-sama fardhu, meski dari sisi pelaksanaannya berbeda. Imam Saifuddin al-Amidi dalam kitab al-Ihkam fii Ushul al-Ahkam menegaskan20:
المسألة الثانية لا فرق عند أصحابنا بين واجب العين، والواجب على الكفاية من جهة الوجوب، لشمول حد الواجب لهما
” masalah yang ke dua. Tidak ada perbedaan (menurut ashab kita) antara wajib ain dan wajib kifayah. Dari sisi kwajiban. Karena inklusinya batas kwajiban untuk keduanya”.
Untuk batasan kesempurnaan pelaksanaan fardhu kifayah Imam Asy-syirazi, dalam kitab Al-luma’ fii Ushul Al-fiqh, menjelaskan21:
فصل إذا ورد الخطاب بلفظ العموم دخل فيه كل من صلح له الخطاب ولا يسقط ذلك الفعل عن بعضهم بفعل البعض إلا فيما ورد الشرع به وقررة تعالى أنه فرض كفاية كالجهاد وتكفين الميت والصلاة عليه ودفنه فإنه إذا أقام به من يقع به الكفاية سقط عن الباقين …
” Fashal. Apabila terdapat khitab dengan lafadz umum maka masuk di dalamnya siapa saja yang kitab tersebut visible baginya dan perbuatan tersebut tidak gugur atas sebagian karena perbuatan sebagian (yang lain), kecuali atas apabila syara’ datang di dalamnya, dan Allah menetapkan bahwa khitab tersebut adalah fardhu kifayah. Seperti jihad, mengkafani jenazah, menshalatkan dan menguburkannya. Maka apabila kwajiban tersebut telah selesai ditunaikan (disini Imam sy-Syirazi menggunakan kata “aqaama”, bukan “qaama”; dalam bahasa arab kata “aqaama” artinya adalah “ja’alahu yaqumu”22) oleh siapa saja yang mampu, gugurlah (kwajiban) tersebut atas yang lain …”.
Artinya, menurut Imam Asy-syirazi, apabila fardhu kifayah itu jika belum selesai ditunaikan maka kwajiban tersebut masih tetap dibebankan diatas pundak seluruh mukallaf yang menjadi obyek khitab taklif.
Syeikhul Islam Imam al-Hafidz an-Nawawi, dalam kitab Al-majmu’ Syarh Al-muhadz-dzab menjelaskan23:
… وغسل الميت فرض كفاية باجماع المسلمين ومعني فرض الكفاية انه إذا فعله من فيه كفاية سقط الحرج عن الباقين وان تركوه كلهم اثموا كلهم واعلم ان غسل الميت وتكفينه والصلاة عليه ودفنه فروض كفاية بلا خلاف
“dan memandikan jenazah itu adalah fardhu kifayah berdasarkan ijma’ kaum Muslimin. Makna fardhu kifayah adalah apabila siapa saja yang pada dirinya ada kifayah (kecukupan untuk melaksanakan kwajiban tsb) telah melaksanakan maka akan menggugurkan beban atas yang lain. Namun apabila mereka semua meninggalkan kwajiban tersebut, mereka semua berdosa. Ketahuilah bahwa memandikan mayyit, mengkafaninya, menshalatinya serta menguburkannya adalah fardhu kifayah, tidak ada perbedaan pendapat (dalam hal ini)”.
Disini Imam An-nawawi menegaskan, apabila fardhu tersebut telah dikerjakan oleh siapa saja yang memiliki “kifayah” maka beban (kwajiban) tersebut gugur atas yang lain. Tapi, jika semua meninggalkan kwajiban tersebut, semuanya berdosa.
Al-allamah Asy-syeikh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-malibari menegaskan24:
باب الجهاد. (هو فرض كفاية كل عام) ولو مرة إذا كان الكفار ببلادهم، ويتعين إذا دخلوا بلادنا كما يأتي: وحكم فرض الكفاية أنه إذا فعله من فيهم كفاية سقط الحرج عنه وعن الباقين. ويأثم كل من لا عذر له من المسلمين إن تركوه وإن جهلوا.
“Bab Jihad. (jihad itu adalah fardhu kifayah setiap tahun) meski satu kali, apabila orang-orang kafir berada di negeri mereka, dan menjadi fardhu ‘ain apabila mereka (menyerang) masuk di negeri kita, sebagaimana yang akan datang (pembaha-sannya); dan hukum fardhu kifayah itu adalah apabila fardhu kifayah tersebut telah dikerjakan oleh siapa saja yang memiliki “kifayah” maka akan gugurlah beban atas orang tersebut dan juga bagi yang lain. Dan berdosa atas setiap orang yang tidak udzur baginya dari kaum Muslimin apabila mereka meninggalkannya meski mereka bodoh”
Disini Shahibu Fathil Mu’in menegaskan kembali apa yang dijelaskan oleh Imam An-nawawi. Beliau menambahkan catatan bahwa kaum Muslimin yang tidak ada udzur, tapi meninggalkan kwajiban tersebut berdosa.
Masih tentang fardhu kifayah, Syeikh Imam Nawawi al-Bantani al-Jawi dalam kitab Nihayah Az-zain menjelaskan hal yang senada dengan yang dijelaskan oleh Imam An-nawawi. Namun beliau menambahkan bahwa yang melaksanakan kwajiban tersebut bisa jadi bukan orang yang terkena kwajiban. Beliau berkata25:
باب الجهاد أي القتال في سبيل الله هو فرض كفاية كل عام إذا كان الكفار ببلادهم وأقله مرة في كل سنة فإذا زاد فهو أفضل ما لم تدع حاجة إلى أكثر من مرة وإلا وجب لبعض طلب الجهاد بأحد أمرين إما بدخول الإمام أو نائبه دارهم بالجيش لقتالهم وإما بتشحين الثغور أي أطراف بلادنا بمكافئين لهم لو قصدونا مع إحكام الحصون والخنادق وتقليد ذلك للأمراء المؤتمنين المشهورين بالشجاعة والنصح للمسلمين وحكم فرض الكفاية أنه إذا فعله من فيهم كفاية وإن لم يكونوا من أهل فرضه كصبيان وإناث ومجانين سقط الحرج عنه إن كان من أهله وعن الباقين رخصة وتخفيفا عليهم بفرض العين أفضل بفرض الكفاية كما قاله الرملي وفروض الكفاية كثيرة
“Kitab Jihad. Maksudnya adalah (jihad) di jalan Allah. Jihad itu adalah fardhu kifayah untuk setiap tahun, apabila orang-orang kafir berada di negeri mereka. Paling sedikit satu kali dalam satu tahun, tapi apabila lebih tentu lebih utama, selama tidak ada kebutuhan lebih dari satu kali. Jika jihad tidak dilakukan maka wajib atas sebagian (kaum Muslimin) untuk mengajak jihad, dengan salah satu dari dua cara. Dengan masuknya Imam atau wakilnya ke negeri mereka (orang-orang kafir) dengan tentara untuk memerangi mereka atau dengan memanaskan (situasi) perbatasan atau sudut-sudut (wilayah) negeri kita orang-orang yang kapabel untuk mereka, jika seandainya mereka, orang-orang kafir tersebut, bermaksud (menyerang) kita dengan adanya benteng atau parit dan dibawah kendali para pemimpin yang tidak diragukan yang masyhur dengan keberanian dan nasehatnya atas kaum Muslimin. Hukum jihad itu fardhu kifayah, karena apabila siapa saja yang memiliki kafa’ah mengerjakannya meski bukan yang termasuk yang diwajibkan seperti anak kecil, para wanita atau bahkan sukarelawan maka gugurlah beban (kwajiban) tersebut dari yang diwajibkan. Sedangkan yang lain mendapat rukhshah serta keringanan. Fardhu ‘ain itu lebih utama dibanding fardhu kifayah, sebagaimana yang dinyatakan oleh (Imam) Ar-ramli. Fardhu kifayah itu banyak …”
Alhasil, jika kita rangkum penjelasan para ulama’ diatas, fardhu kifayah itu meski tidak harus semua kaum Muslimin yang mukallaf wajib melaksanakan layaknya fardhu ‘ain tapi kwajiban tersebut harus dilaksanakan oleh jumlah yang memiliki “kifayah”. Itu pertama. Kedua, kwajiban tersebut dianggap terlaksana secara sempurna apabila telah sempurna ditunaikan. Contoh kwajiban merawat jenazah seorang Muslim yang dibebankan pada suatu komunitas. Kwajiban yang sifatnya fardhu kifayah tersebut dikategorikan selesai dilaksanakan apabila jenazah tersebut telah selesai dimandikan, dikafani, dishalatkan dan dikuburkan. Ketiga, bagi yang meninggalkan fardhu kifayah tanpa udzur berdosa, dan pelaksanaan fardhu kifayah itu tidak menutup kemungkinan dilaksanakan oleh yang diwajibkan.
Nashbul khalifah, berdasarkan ibarah para ulama’ diatas, adalah fardhu kifayah. Selama kwajiban tersebut belum ditunaikan secara sempurna maka kwajiban tersebut, tetap dibebankan diatas pundak seluruh mukallaf dari kaum Muslimin, dan meninggalkan kwajiban yang masuk kategori fardhu kifayah tanpa udzur adalah dosa.
3. Allah SWT tidak akan mentaklifkan sesuatu melebihi isthitha’ah hamba-Nya
Setelah kita simpulkan bahwa nashbul khalifah adalah fardhu kifayah atas kaum Muslimin, pembahasan berikutnya adalah isthitha’ah. Adalah suatu yang ma’ruf bahwa isthitha’ah kaum Muslimin itu berbeda satu dengan yang lain; pemahaman, tenaga maupun harta. Keberagaman ini kadang kala dijadikan hujjah oleh sebagian kaum Muslimin untuk menyatakan bahwa kaum Muslimin sekarang ini tidak mampu melaksanakan kwajiban tersebut. Benarkah?
Pengertian isthitha’ah (kemampuan). Allah Tabaraka wa Ta’ala ber-firman:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا (البقرة :286)
Imam al-Hafidz Abu Al-fida’ Ismail Ibn Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-Adzim menjelaskan26:
وقوله “لا يكلف الله نفسا إلا وسعها” أي لا يكلَّف أحد فوق طاقته …
” … dan firman-Nya “
لا يكلف الله نفسا إلا وسعها
adalah bahwa tidak dibebankan pada seseorang melebihi kemampuannya”.
Imam al-Qurthubi dalam Tafsirnya, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, men-jelaskan secara panjang lebar sebagai berikut27:
التكليف هو الأمر بما يشق عليه وتكلفت الأمر تجشمته; حكاه الجوهري. والوسع: الطاقة والجدة. وهذا خبر جزم. نص الله تعالى على أنه لا يكلف العباد من وقت نزول الآية عبادة من أعمال القلب أو الجوارح إلا وهي في وسع المكلف وفي مقتضى إدراكه وبنيته; وبهذا انكشفت الكربة عن المسلمين في تأولهم أمر الخواطر.
“Taklif itu adalah perintah untuk hal-hal yang memberatkan padanya dan (ungkapan) suatu perintah itu membebani artinya bahwa perkara tersebut telah membebaninya. Itulah yang dikemukakan oleh al-Jauhari. Sedangkan al-wus’u adalah kemampuan dan kesungguhan. Ini adalah informasi yang sifatnya pasti. Allah Ta’ala menegaskan bahwa Allah tidak mentaklifkan hamba sejak turunnya ayat tersebut dengan ibadah baik yang merupakan aktifitas hati atau anggota tubuh kecuali dalam batas kemampuan seorang mukallaf dan dalam lingkup pengetahuan serta niatnya. Dengan ayat ini terangkatlah kesusahan atas kaum Muslimin dalam menjelaskan hal-hal yang membahayakan”.
Imam al-Baidhawi, dalam kitab tafsirnya, menjelaskan28:
{ لاَ يُكَلّفُ الله نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا } إلا ما تسعه قدرتها فضلاً ورحمةً ، أو ما دون مدى طاقتها بحيث يتسع فيه طوقها ويتيسر عليها كقوله تعالى : { يُرِيدُ الله بِكُمُ اليسر وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ العسر } وهو يدل على عدم وقوع التكليف بالمحال …
لاَ يُكَلّفُ الله نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا
Kecuali apa yang dalam cakupan kemampuannya, sebagai bentuk keutamaan dan merupakan rahmat (Allah), atau dengan pengertian lain apa yang tidak melebihi jangkauan kemampuannya, dalam arti bahwa taklif tersebut dalam lingkup kemampuan manusia serta memudahkannya, sebagaimana firman Allah:
يُرِيدُ الله بِكُمُ اليسر وَلاَ يُرِيدُ ب
1. Hukum Nashbul khalifah adalah Fardhu Kifayah
Pada point pertama ini kami kompilasikan sebagian maqalah para ulama’ Mu’tabar dari berbagai madzhab, terutama madzhab Syafi’I yang merupakan madzhab kebanyakan kaum Muslimin di Indonesia, tentang wajibnya imamah atau khilafah. Tentu pernyataan mereka tersebut adalah merupakan hasil istimbath mereka dari dalil-dalil syara’, baik apakah mereka menjelaskan hal tersebut maupun tidak.
Syeikh Al-Islam Al-imam Al-hafidz Abu Zakaria An-nawawi berkata2:
الفصل الثاني في وجوب الإمامة وبيان طرقها لا بد للأمة من إمام يقيم الدين وينصر السنة وينتصف للمظلومين ويستوفي الحقوق ويضعها مواضعها. قلت تولي الإمامة فرض كفاية …
…pasal kedua tentang wajibnya imamah serta penjelasan metode (mewujudkan) nya. Adalah suatu keharusan bagi umat adanya imam yang menegakkan agama dan yang menolong sunnah serta yang memberikan hak bagi orang yang didzalimi serta menunaikan hak dan menempatkan hal tersebut pada tempatnya. Saya nyatakan bahwa mengurus (untuk mewujudkan) imamah itu adalah fardhu kifayah.
Al-allamah Asy-syeikh Muhammad Asy-syarbini Al-khatib menjelaskan3:
فَقَالَ [ فَصْلٌ ] فِي شُرُوطِ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ وَبَيَانِ انْعِقَادِ طُرُقِ الْإِمَامَةِ .وَهِيَ فَرْضُ كِفَايَةٍ كَالْقَضَاءِ ، إذْ لَا بُدَّ لِلْأُمَّةِ مِنْ إمَامٍ يُقِيمُ الدِّينَ وَيَنْصُرُ السُّنَّةَ وَيُنْصِفُ الْمَظْلُومَ مِنْ الظَّالِمِ وَيَسْتَوْفِي الْحُقُوقَ وَيَضَعُهَا مَوَاضِعَهَا ، وَقَدَّمَا فِي الشَّرْحِ وَالرَّوْضَةِ الْكَلَامَ عَلَى الْإِمَامَةِ عَلَى أَحْكَامِ الْبُغَاةِ …
…maka (pengarang) berkata (pasal) tentang syarat-syarat imam yang agung serta penjelasan metode-metode in’iqadnya imamah. Mewujudkan imamah yang agung itu adalah fardhu kifayah sebagaimana peradilan.
Syeikh Al-Islam Imam Al-hafidz Abu Yahya Zakaria Al-anshari dalam kitab Fathul Wahab bi Syarhi Minhajith Thullab berkata44
Syaikhul Islam Imam Al-hafidz Abu Yahya Zakaria Al-anshri, Fathul Wahab bi Syarhi Minhajith Thullab, juz 2 hal 268:
(فصل) في شروط الامام الاعظم، وفي بيان طرق انعقاد الامامة، وهي فرض كفاية كالقضاء (شرط الامام كونه أهلا للقضاء) بأن يكون مسلما حرا مكلفا عدلا ذكرا مجتهدا ذا رآى وسمع وبصر ونطق لما يأتي في باب القضاء وفي عبارتي زيادة العدل (قرشيا) لخبر النسائي الائمة من قريش فإن فقد فكناني، ثم رجل من بني إسماعيل ثم عجمي على ما في التهذيب أو جر همي على ما في التتمة، ثم رجل من بني إسحاق (شجاعا) ليغزو بنفسه، ويعالج الجيوش ويقوي على فتح البلاد ويحمي البيضة، وتعتبر سلامته من نقص يمنع استيفاء الحركة وسرعة النهوض، كما دخل في الشجاعة …
…(Pasal) tentang syarat-syarat imam yang agung serta penjelasan metode in’iqad imamah. Mewujudkan imamah itu adalah fardhu kifayah sebagaimana peradilan (salah satu syarat menjadi imam adalah kavabel untuk peradilan). Maka hendaknya imam yang agung tersebut adalah muslim, merdeka, mukallaf, adil, laki-laki, mujtahid, memiliki visi, mendengar, melihat dan bisa bicara. Berdasar pada apa yang ada pada bab tentang peradilan dan pada ungkapan saya dengan penambahan adil adalah (dari kabilah Quraisy) berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh An Nasa’I: “bahwa para Imam itu dari golongan Quraisy”. Apabila tidak ada golongan Quraisy maka dari Kinanah, kemudian pria dari keturunan Ismail lalu orang asing (selain orang Arab) berdasarkan apa yang ada pada (kitab) At-tahdzib atau Jurhumi berdasarkan apa yang terdapat dalam (kitab) At-tatimmah. Kemudian pria dari keturunan Ishaq. Selanjutnya (pemberani) agar (berani) berperang dengan diri sendiri, mengatur pasukan serta memperkuat (pasukan) untuk menaklukkan negeri serta melindungi kemurnian (Islam). Juga termasuk (sebagian dari syarat imamah) adalah bebas dari kekurangan yang akan menghalangi kesempurnaan serta cekatannya gerakan sebagaimana hal tersebut merupakan bagian dari keberanian …
Ketika Imam Fakhruddin Ar-razi, penulis kitab Manaqib Asy-syafi’i, menjelaskan firman-Nya Ta’ala pada Surah Al-maidah ayat 38, beliau menegaskan5:
…احتج المتكلمون بهذه الآية في أنه يجب على الأمة أن ينصبوا لأنفسهم إماماً معيناً والدليل عليه أنه تعالى أوجب بهذه الآية إقامة الحد على السراق والزناة ، فلا بدّ من شخص يكون مخاطباً بهذا الخطاب ، وأجمعت الأمة على أنه ليس لآحاد الرعية إقامة الحدود على الجناة ، بل أجمعوا على أنه لا يجوز إقامة الحدود على الأحرار الجناة إلا للإمام ، فلما كان هذا التكليف تكليفاً جازماً ولا يمكن الخروج عن عهدة هذا التكليف إلا عند وجود الإمام ، وما لا يتأتى الواجب إلا به ، وكان مقدوراً للمكلف ، فهو واجب ، فلزم القطع بوجوب نصب الإمام حينئذٍ
… para Mutakallimin berhujjah dengan ayat ini bahwa wajib atas umat untuk mengangkat seorang imam yang spesifik untuk mereka. Dalilnya adalah bahwa Dia Ta’ala mewajibkan di dalam ayat ini untuk menegakkan had atas pencuri dan pelaku zina. Maka adalah merupakan keharusan adanya seseorang yang melaksanakan seruan tersebut. Sungguh umat telah sepakat bahwa tidak seorangpun dari rakyat yang boleh menegakkan had atas pelaku criminal tersebut. Bahkan mereka telah sepakat bahwa tidak boleh (haram) menegakkan had atas orang yang merdeka pelaku criminal kecuali oleh imam. Karena itu ketika taklif tersebut sifatnya pasti (jazim) dan tidak mungkin keluar dari ikatan taklif ini kecuali dengan adanya imam, dan ketika kewajiban itu tidak tertunaikan kecuali dengan sesuatu, dan itu masih dalam batas kemampuan mukallaf maka (adanya) imam adalah wajib. Maka adalah suatu yang pasti qath’inya atas wajibnya mengangkat imam, seketika itu pula…
Imam Abul Qasim An-naisaburi Asy-syafi’i berkata6:
… أجمعت الأمة على أن المخاطب بقوله { فاجلدوا } هو الإمام حتى احتجوا به على وجوب نصب الإمام فإن ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب.
…umat telah sepakat bahwa yang menjadi obyek khitab (”maka jilidlah”) adalah imam. Dengan demikian mereka berhujjah atas wajibnya mengangkat imam. Sebab, apabila suatu kewajiban itu tidak sempurna tanpa adanya sesuatu tersebut maka ada sesuatu tersebut menjadi wajib pula.
Al-allamah Asy-syeikh Abdul Hamid Asy-syarwani menyatakan7:
قوله: (هي فرض كفاية) إذ لا بد للامة من إمام يقيم الدين وينصر السنة وينصف المظلوم من الظالم ويستوفي الحقوق ويضعها موضعها…
…perkataannya: (mewujudkan imamah itu adalah fardhu kifayah) karena adalah merupakan keharusan bagi umat adanya imam untuk menegakkan agama dan menolong sunnah serta memberikan hak orang yang didzalimi dari orang yang dzalim serta menunaikan hak-hak dan menempatkan hak-hak tersebut pada tempatnya…
Dalam kitab Hasyiyata Qalyubi wa Umairah dinyatakan8:
فَصْلٌ فِي شُرُوطِ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ وَمَا مَعَهُ وَالْإِمَامَةُ فَرْضُ كِفَايَةٍ كَالْقَضَاءِ فَيَجْرِي فِيهَا مَا فِيهِ مِنْ جَوَازِ الْقَبُولِ وَعَدَمِهِ .
…pasal tentang syarat-syarat imam yang agung dan hal-hal yang menyertainya. Imamah itu adalah fardhu kifayah sebagaimana peradilan maka berlaku di dalam imamah tersebut apa yang berlaku untuk peradilan baik dalam kebolehan menerima maupun tidaknya..
Al-allamah Asy-syeikh Sulaiman bin Umar bin Muhammad Al-bajairimi berkata9:
…فِي شُرُوطِ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ وَفِي بَيَانِ طُرُقِ انْعِقَادِ الْإِمَامَةِ وَهِيَ فَرْضُ كِفَايَةٍ . كَالْقَضَاءِ فَشُرِطَ لِإِمَامٍ كَوْنُهُ أَهْلًا لِلْقَضَاءِ قُرَشِيًّا لِخَبَرِ : { الْأَئِمَّةُ مِنْ قُرَيْشٍ } شُجَاعًا لِيَغْزُوَ بِنَفْسِهِ وَتُعْتَبَرُ سَلَامَتُهُ مِنْ نَقْصٍ يَمْنَعُ اسْتِيفَاءَ الْحَرَكَةِ وَسُرْعَةَ النُّهُوضِ كَمَا دَخَلَ فِي الشَّجَاعَة…
…tentang syarat-syarat imam yang agung serta penjelasan metode-metode sahnya in’iqad imamah. Dan mewujudkan imamah tersebut adalah fardhu kifayah sebagaimana peradilan. Maka disyaratkan untuk imam itu hendaknya layak untuk peradilan (menjadi hakim). (syarat) Quraisy, karena berdasarkan hadits: “bahwa para imam itu adalah dari Quraisy”. (syarat) Berani, agar berani berperang secara langsung. Begitu pula (dengan syarat) bebasnya dari kekurangan yang menghalangi kesempurnaan dan kegesitan gerakan dia sebagaimana masuknya keberanian sebagai salah satu syarat imamah…
Imam Al-hafidz Abu Muhammad Ali bin Hazm Al-andalusi Adz-dzahiri mendokumentasikan ijma’ Ulama’ bahwa (keberadaan) Imamah itu fardhu10:
… واتفقوا أن الامامة فرض وانه لا بد من امام حاشا النجدات وأراهم قد حادوا الاجماع وقد تقدمهم واتفقوا انه لا يجوز أن يكون على المسلمين في وقت واحد في جميع الدنيا امامان لا متفقان ولا مفترقان ولا في مكانين ولا في مكان واحد …
…Meraka (para ulama’) sepakat bahwa imamah itu fardhu dan adanya Imam itu merupakan suatu keharusan, kecuali An-najdat. Pendapat mereka sungguh telah menyalahi ijma’ dan telah lewat pembahasan (tentang) mereka. Mereka (para ulama’) sepakat bahwa tidak boleh pada satu waktu di seluruh dunia adanya dua imam bagi kaum Muslimin baik mereka sepakat atau tidak, baik mereka berada di satu tempat atau di dua tempat…
Berkata Imam ‘Alauddin Al-kasani Al-hanafi11:
… وَلِأَنَّ نَصْبَ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ فَرْضٌ ، بِلَا خِلَافٍ بَيْنَ أَهْلِ الْحَقِّ ، وَلَا عِبْرَةَ - بِخِلَافِ بَعْضِ الْقَدَرِيَّةِ - ؛ لِإِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ عَلَى ذَلِكَ ، وَلِمِسَاسِ الْحَاجَةِ إلَيْهِ ؛ لِتَقَيُّدِ الْأَحْكَامِ ، وَإِنْصَافِ الْمَظْلُومِ مِنْ الظَّالِمِ ، وَقَطْعِ الْمُنَازَعَاتِ الَّتِي هِيَ مَادَّةُ الْفَسَادِ ، وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ الْمَصَالِحِ الَّتِي لَا تَقُومُ إلَّا بِإِمَامٍ ، …
…dan karena sesungguhnya mengangkat imam yang agung itu adalah fardhu. (ini) tidak ada perbedaan pendapat diantara ahlul haq. Dan tidak diperhatikan—perbedaan dengan sebagian Qadariyyah—karena ijma’ shahabat ra atas hal tersebut, serta urgensitas kebutuhan terhadap imam yang agung tersebut. Untuk keteritakan terhadap hukum. Untuk menyelematkan orang yang didzalimi dari orang yang dzalim. Untuk memutuskan perselisihan yang merupakan obyek yang menimbulkan kerusakan, dan kemaslahatan-kemaslahatn yang lain yang memang tidak akan tegak kecuali dengan adanya imam…
Imam Al-hafidz Abul Fida’ Ismail ibn Katsir ketika menjelaskan firman Allah surah Al Baqarah ayat 30 beliau berkata12:
…وقد استدل القرطبي وغيره بهذه الآية على وجوب نصب الخليفة ليفصل بين الناس فيما يختلفون فيه، ويقطع تنازعهم، وينتصر لمظلومهم من ظالمهم، ويقيم الحدود، ويزجر عن تعاطي الفواحش، إلى غير ذلك من الأمور المهمة التي لا يمكن إقامتها إلا بالإمام، وما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب.
…dan sungguh Al Qurthubi dan yang lain berdalil berdasarkan ayat ini atas wajibnya mengangkat khalifah untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi diantara manusia, memutuskan pertentangan mereka, menolong atas yang didzalimi dari yang mengdzalimi, menegakkan had-had, dan menganyahkan kerusakan dsb. yang merupakan hal-hal penting yang memang tidak memungkinkan untuk menagakkan hal tersebut kecuali dengan imam, dan ãÇ áÇíÊã ÇáæÇÌÈ ÇáÇ Èå Ýåæ æÇÌÈ ( apabila suatu kewajiban tidak akan sempurna kecuali dengan suatu tersebut maka sesuatu tersebut menjadi wajib pula).
Imam Al-qurthubi ketika menafsirkan Surah Al-baqarah ayat 30 berkata13:
… هذه الآية أصل في نصب إمام وخليفة يسمع له ويطاع، لتجتمع به الكلمة، وتنفذ به أحكام الخليفة. ولا خلاف في وجوب ذلك بين الامة ولا بين الائمة إلا ما روي عن الاصم …
ثم قال القرطبي: فلو كان فرض الامامة غير واجب لا في قريش ولا في غيرهم لما ساغت هذه المناظرة والمحاورة عليها، ولقال قائل: إنها ليست بواجبة لا في قريش ولا في غيرهم، فما لتنازعكم وجه ولا فائدة في أمر ليس بواجب …
وقال, اي القرطبي, وإذا كان كذلك ثبت أنها واجبة من جهة الشرع لا من جهة العقل، وهذا واضح.
…ayat ini pokok (yang menegaskan) bahwa mengangkat imam dan khalifah untuk didengar dan dita’ati, untuk menyatukan pendapat serta melaksanakan, melalui khalifah, hukum-hukum tentang khalifah. Tidak ada perbadaan tentang wajibnya hal tersebut diantara umat, tidak pula diantara para imam kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-asham …
Beliau berkata: …Maka kalau seandainya keharusan adanya imam itu tidak wajib baik untuk golongan Quraisy maupun untuk yang lain lalu mengapa terjadi diskusi dan perdebatan tentang Imamah. Maka sungguh orang akan berkata: bahwa sesungguhnya imamah itu bukanlah suatu yang diwajibkan baik untuk golongan Quraisy maupun yang lain, lalu untuk apa kalian semua berselisih untuk suatu hal yang tidak ada faedahnya atas suatu hal yang tidak wajib.
Kemudian beliau menegaskan: …Dengan demikian maka (telah) menjadi ketetapan bahwa imamah itu wajib berdasarkan syara’ bukan akal. Dan ini jelas sekali.
Imam Umar bin Ali bin Adil Al-hambali Ad-dimasyqi, yang dikenal dengan Ibnu Adil, ketika menjelaskan firman Allah Ta’ala surah Al-baqarah ayat 30 berkata14:
…وقال « ابن الخطيب » : الخليفة : اسم يصلح للواحد والجمع كما يصلح للذكر والأنثى … ثم قال: هذه الآية دليلٌ على وجوب نصب إمام وخليفة يسمع له ويُطَاع ، لتجتمع به الكلمة ، وتنفذ به أحكام الخليفة ، ولا خلاف في وجوب ذلك بَيْنَ الأئمة إلاّ ما روي عن الأصَمّ ، وأتباعه …
… dan berkata Ibn Al-khatib khalifah itu isim yang cocok baik untuk tunggal maupun plural sebagaimana cocoknya untuk laki-laki dan wanita. Kemudian beliau berkata: ….ayat ini adalah dalil wajibnya mengangkat Imam dan khalifah untuk didengar dan dita’ati, untuk menyatukan pendapat, serta untuk melaksanakan hukum-hukum tentang khalifah. Tidak ada perbedaan tentang wajibnya hal tersebut diantara para imam kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-asham dan orang yang mengikuti dia…
Berkata Imam Abu al-hasan Al-mirdawi Al-hambali dalam kitab Al-inshaf15:
…بَابُ قِتَالِ أَهْلِ الْبَغْيِ فَائِدَتَانِ إحْدَاهُمَا : نَصْبُ الْإِمَامِ : فَرْضُ كِفَايَةٍ . قَالَ فِي الْفُرُوعِ : فَرْضُ كِفَايَةٍ عَلَى الْأَصَحِّ . فَمَنْ ثَبَتَتْ إمَامَتُهُ بِإِجْمَاعٍ ، أَوْ بِنَصٍّ ، أَوْ بِاجْتِهَادٍ ، أَوْ بِنَصِّ مَنْ قَبْلَهُ عَلَيْهِ .
…bab memerangi orang yang Bughat, terdapat dua faedah. Pertama, mengangkat imam itu adalah fardhu kifayah. Dia berkata di dalam al-furu’: fardhu kifayahlah yang paling tepat….
Imam Al-bahuti Al-hanafi berkata16:
…( نَصْبُ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ ) عَلَى الْمُسْلِمِينَ ( فَرْضُ كِفَايَةٍ ) لِأَنَّ بِالنَّاسِ حَاجَةٌ إلَى ذَلِكَ لِحِمَايَةِ الْبَيْضَةِ وَالذَّبِّ عَنْ الْحَوْزَةِ وَإِقَامَةِ الْحُدُودِ وَاسْتِيفَاءِ الْحُقُوقِ وَالْأَمْرِ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيِ عَنْ الْمُنْكَر…
…(mengangkat Imam yang agung itu) atas kaum Muslimin (adalah fardhu kifayah). Karena manusia membutuhkan hal tersebut untuk menjaga kemurnian (agama), menjaga konsistensi (agama), penegakan had, penunaian hak serta amar ma’ruf dan nahi munkar….
Dalam kitab Hasyiyyatul Jumal disebutkan17:
…فِي شُرُوطِ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ ، وَفِي بَيَانِ طُرُقِ انْعِقَادِ الْإِمَامَةِ وَهِيَ فَرْضُ كِفَايَةٍ كَالْقَضَاءِ ( شَرْطُ الْإِمَامِ كَوْنُهُ أَهْلًا لِلْقَضَاءِ ) بِأَنْ يَكُونَ مُسْلِمًا حُرًّا مُكَلَّفًا عَدْلًا ذَكَرًا مُجْتَهِدًا ذَا رَأَى وَسَمْعٍ وَبَصَرٍ وَنُطْقٍ لِمَا يَأْتِي فِي بَابِ الْقَضَاءِ…
…tentang syarat Imam yang agung dan tentang penjelasan metode in’iqad imamah. Mewujudkan imamah itu adalah fardhu kifayah sebagaimana peradilan. (syarat Imam adalah yang layak untuk peradilan). Maka hendaknya dia muslim, merdeka, mukallaf, adil, laki-laki, mujtahid, cerdas, mendengar, melihat dan bisa bicara, sebagaimana yang terdapat dalam pembahasan pada bab tentang peradilan…
Sedangkan dalam kitab Mathalibu Ulin Nuha fii Syarhi Ghayatil Muntaha dinyatakan18:
…( وَنَصْبُ الْإِمَامِ فَرْضُ كِفَايَةٍ ) ؛ لِأَنَّ بِالنَّاسِ حَاجَةً لِذَلِكَ لِحِمَايَةِ الْبَيْضَةِ ، وَالذَّبِّ عَنْ الْحَوْزَةِ ، وَإِقَامَةِ الْحُدُودِ ، وَابْتِغَاءِ الْحُقُوقِ ، وَالْأَمْرِ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيِ عَنْ الْمُنْكَرِ ، وَيُخَاطَبُ بِذَلِكَ طَائِفَتَانِ : أَحَدُهُمَا : أَهْلُ الِاجْتِهَادِ حَتَّى يَخْتَارُوا. الثَّانِيَةُ : مَنْ تُوجَدُ فِيهِمْ شَرَائِطُ الْإِمَامَةِ حَتَّى يَنْتَصِبَ لَهَا أَحَدُهُمْ : أَمَّا أَهْلُ الِاخْتِيَارِ فَيُعْتَبَرُ فِيهِمْ الْعَدَالَةُ وَالْعِلْمُ الْمُوَصِّلُ إلَى مَعْرِفَةِ مَنْ يَسْتَحِقُّ الْإِمَامَةَ وَالرَّأْيُ وَالتَّدْبِيرُ الْمُؤَدِّي إلَى اخْتِيَارِ مَنْ هُوَ لِلْإِمَامَةِ أَصْلَحُ .
…(dan mengangkat imam itu adalah fardhu kifayah) karena manusia memang membutuhkan hal tersebut untuk menjaga kemurnian (agama), memelihara konsitensi (agama), menegakkan had, menunaikan hak-hak, dan amar makruf serta nahi munkar.
Berkata shahibu Al-husun Al-hamidiyyah, Syeikh Sayyid Husain Afandi19:
اعلم انه يجب على المسلمين شرعا نصب امام يقوم باقامة الحدود وسد الثغور وتجهيز الجيش …
“ketahuilah bahwa mengangkat Imam yang yang menegakkan had, memelihara perbatasan (negara), menyiapkan pasukan, … secara syar’i adalah wajib”.
Khulashatul qaul, dapat kita simpulkan bahwa para Ulama’ Mu’tabar dari berbagai madzhab diatas menegaskan bahwa hukum nasbu al-Imam atau al-Khalifah adalah wajib. Kifayah atau ain? Adalah Imam al-Hafidz an-Nawawi, antara lain, yang menjelaskan bahwa kwajiban tersebut masuk kategori fardhu kifayah.
2. Pelaksaan fardhu kifayah.
Suatu hal yang ma’lum bahwa fardhu itu ada dua macam. Fardhu kifayah dan fardhu ain. Sebagai kwajiban sebenarnya fardhu kifayah maupun fardhu ain sama, sama-sama fardhu, meski dari sisi pelaksanaannya berbeda. Imam Saifuddin al-Amidi dalam kitab al-Ihkam fii Ushul al-Ahkam menegaskan20:
المسألة الثانية لا فرق عند أصحابنا بين واجب العين، والواجب على الكفاية من جهة الوجوب، لشمول حد الواجب لهما
” masalah yang ke dua. Tidak ada perbedaan (menurut ashab kita) antara wajib ain dan wajib kifayah. Dari sisi kwajiban. Karena inklusinya batas kwajiban untuk keduanya”.
Untuk batasan kesempurnaan pelaksanaan fardhu kifayah Imam Asy-syirazi, dalam kitab Al-luma’ fii Ushul Al-fiqh, menjelaskan21:
فصل إذا ورد الخطاب بلفظ العموم دخل فيه كل من صلح له الخطاب ولا يسقط ذلك الفعل عن بعضهم بفعل البعض إلا فيما ورد الشرع به وقررة تعالى أنه فرض كفاية كالجهاد وتكفين الميت والصلاة عليه ودفنه فإنه إذا أقام به من يقع به الكفاية سقط عن الباقين …
” Fashal. Apabila terdapat khitab dengan lafadz umum maka masuk di dalamnya siapa saja yang kitab tersebut visible baginya dan perbuatan tersebut tidak gugur atas sebagian karena perbuatan sebagian (yang lain), kecuali atas apabila syara’ datang di dalamnya, dan Allah menetapkan bahwa khitab tersebut adalah fardhu kifayah. Seperti jihad, mengkafani jenazah, menshalatkan dan menguburkannya. Maka apabila kwajiban tersebut telah selesai ditunaikan (disini Imam sy-Syirazi menggunakan kata “aqaama”, bukan “qaama”; dalam bahasa arab kata “aqaama” artinya adalah “ja’alahu yaqumu”22) oleh siapa saja yang mampu, gugurlah (kwajiban) tersebut atas yang lain …”.
Artinya, menurut Imam Asy-syirazi, apabila fardhu kifayah itu jika belum selesai ditunaikan maka kwajiban tersebut masih tetap dibebankan diatas pundak seluruh mukallaf yang menjadi obyek khitab taklif.
Syeikhul Islam Imam al-Hafidz an-Nawawi, dalam kitab Al-majmu’ Syarh Al-muhadz-dzab menjelaskan23:
… وغسل الميت فرض كفاية باجماع المسلمين ومعني فرض الكفاية انه إذا فعله من فيه كفاية سقط الحرج عن الباقين وان تركوه كلهم اثموا كلهم واعلم ان غسل الميت وتكفينه والصلاة عليه ودفنه فروض كفاية بلا خلاف
“dan memandikan jenazah itu adalah fardhu kifayah berdasarkan ijma’ kaum Muslimin. Makna fardhu kifayah adalah apabila siapa saja yang pada dirinya ada kifayah (kecukupan untuk melaksanakan kwajiban tsb) telah melaksanakan maka akan menggugurkan beban atas yang lain. Namun apabila mereka semua meninggalkan kwajiban tersebut, mereka semua berdosa. Ketahuilah bahwa memandikan mayyit, mengkafaninya, menshalatinya serta menguburkannya adalah fardhu kifayah, tidak ada perbedaan pendapat (dalam hal ini)”.
Disini Imam An-nawawi menegaskan, apabila fardhu tersebut telah dikerjakan oleh siapa saja yang memiliki “kifayah” maka beban (kwajiban) tersebut gugur atas yang lain. Tapi, jika semua meninggalkan kwajiban tersebut, semuanya berdosa.
Al-allamah Asy-syeikh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-malibari menegaskan24:
باب الجهاد. (هو فرض كفاية كل عام) ولو مرة إذا كان الكفار ببلادهم، ويتعين إذا دخلوا بلادنا كما يأتي: وحكم فرض الكفاية أنه إذا فعله من فيهم كفاية سقط الحرج عنه وعن الباقين. ويأثم كل من لا عذر له من المسلمين إن تركوه وإن جهلوا.
“Bab Jihad. (jihad itu adalah fardhu kifayah setiap tahun) meski satu kali, apabila orang-orang kafir berada di negeri mereka, dan menjadi fardhu ‘ain apabila mereka (menyerang) masuk di negeri kita, sebagaimana yang akan datang (pembaha-sannya); dan hukum fardhu kifayah itu adalah apabila fardhu kifayah tersebut telah dikerjakan oleh siapa saja yang memiliki “kifayah” maka akan gugurlah beban atas orang tersebut dan juga bagi yang lain. Dan berdosa atas setiap orang yang tidak udzur baginya dari kaum Muslimin apabila mereka meninggalkannya meski mereka bodoh”
Disini Shahibu Fathil Mu’in menegaskan kembali apa yang dijelaskan oleh Imam An-nawawi. Beliau menambahkan catatan bahwa kaum Muslimin yang tidak ada udzur, tapi meninggalkan kwajiban tersebut berdosa.
Masih tentang fardhu kifayah, Syeikh Imam Nawawi al-Bantani al-Jawi dalam kitab Nihayah Az-zain menjelaskan hal yang senada dengan yang dijelaskan oleh Imam An-nawawi. Namun beliau menambahkan bahwa yang melaksanakan kwajiban tersebut bisa jadi bukan orang yang terkena kwajiban. Beliau berkata25:
باب الجهاد أي القتال في سبيل الله هو فرض كفاية كل عام إذا كان الكفار ببلادهم وأقله مرة في كل سنة فإذا زاد فهو أفضل ما لم تدع حاجة إلى أكثر من مرة وإلا وجب لبعض طلب الجهاد بأحد أمرين إما بدخول الإمام أو نائبه دارهم بالجيش لقتالهم وإما بتشحين الثغور أي أطراف بلادنا بمكافئين لهم لو قصدونا مع إحكام الحصون والخنادق وتقليد ذلك للأمراء المؤتمنين المشهورين بالشجاعة والنصح للمسلمين وحكم فرض الكفاية أنه إذا فعله من فيهم كفاية وإن لم يكونوا من أهل فرضه كصبيان وإناث ومجانين سقط الحرج عنه إن كان من أهله وعن الباقين رخصة وتخفيفا عليهم بفرض العين أفضل بفرض الكفاية كما قاله الرملي وفروض الكفاية كثيرة
“Kitab Jihad. Maksudnya adalah (jihad) di jalan Allah. Jihad itu adalah fardhu kifayah untuk setiap tahun, apabila orang-orang kafir berada di negeri mereka. Paling sedikit satu kali dalam satu tahun, tapi apabila lebih tentu lebih utama, selama tidak ada kebutuhan lebih dari satu kali. Jika jihad tidak dilakukan maka wajib atas sebagian (kaum Muslimin) untuk mengajak jihad, dengan salah satu dari dua cara. Dengan masuknya Imam atau wakilnya ke negeri mereka (orang-orang kafir) dengan tentara untuk memerangi mereka atau dengan memanaskan (situasi) perbatasan atau sudut-sudut (wilayah) negeri kita orang-orang yang kapabel untuk mereka, jika seandainya mereka, orang-orang kafir tersebut, bermaksud (menyerang) kita dengan adanya benteng atau parit dan dibawah kendali para pemimpin yang tidak diragukan yang masyhur dengan keberanian dan nasehatnya atas kaum Muslimin. Hukum jihad itu fardhu kifayah, karena apabila siapa saja yang memiliki kafa’ah mengerjakannya meski bukan yang termasuk yang diwajibkan seperti anak kecil, para wanita atau bahkan sukarelawan maka gugurlah beban (kwajiban) tersebut dari yang diwajibkan. Sedangkan yang lain mendapat rukhshah serta keringanan. Fardhu ‘ain itu lebih utama dibanding fardhu kifayah, sebagaimana yang dinyatakan oleh (Imam) Ar-ramli. Fardhu kifayah itu banyak …”
Alhasil, jika kita rangkum penjelasan para ulama’ diatas, fardhu kifayah itu meski tidak harus semua kaum Muslimin yang mukallaf wajib melaksanakan layaknya fardhu ‘ain tapi kwajiban tersebut harus dilaksanakan oleh jumlah yang memiliki “kifayah”. Itu pertama. Kedua, kwajiban tersebut dianggap terlaksana secara sempurna apabila telah sempurna ditunaikan. Contoh kwajiban merawat jenazah seorang Muslim yang dibebankan pada suatu komunitas. Kwajiban yang sifatnya fardhu kifayah tersebut dikategorikan selesai dilaksanakan apabila jenazah tersebut telah selesai dimandikan, dikafani, dishalatkan dan dikuburkan. Ketiga, bagi yang meninggalkan fardhu kifayah tanpa udzur berdosa, dan pelaksanaan fardhu kifayah itu tidak menutup kemungkinan dilaksanakan oleh yang diwajibkan.
Nashbul khalifah, berdasarkan ibarah para ulama’ diatas, adalah fardhu kifayah. Selama kwajiban tersebut belum ditunaikan secara sempurna maka kwajiban tersebut, tetap dibebankan diatas pundak seluruh mukallaf dari kaum Muslimin, dan meninggalkan kwajiban yang masuk kategori fardhu kifayah tanpa udzur adalah dosa.
3. Allah SWT tidak akan mentaklifkan sesuatu melebihi isthitha’ah hamba-Nya
Setelah kita simpulkan bahwa nashbul khalifah adalah fardhu kifayah atas kaum Muslimin, pembahasan berikutnya adalah isthitha’ah. Adalah suatu yang ma’ruf bahwa isthitha’ah kaum Muslimin itu berbeda satu dengan yang lain; pemahaman, tenaga maupun harta. Keberagaman ini kadang kala dijadikan hujjah oleh sebagian kaum Muslimin untuk menyatakan bahwa kaum Muslimin sekarang ini tidak mampu melaksanakan kwajiban tersebut. Benarkah?
Pengertian isthitha’ah (kemampuan). Allah Tabaraka wa Ta’ala ber-firman:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا (البقرة :286)
Imam al-Hafidz Abu Al-fida’ Ismail Ibn Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-Adzim menjelaskan26:
وقوله “لا يكلف الله نفسا إلا وسعها” أي لا يكلَّف أحد فوق طاقته …
” … dan firman-Nya “
لا يكلف الله نفسا إلا وسعها
adalah bahwa tidak dibebankan pada seseorang melebihi kemampuannya”.
Imam al-Qurthubi dalam Tafsirnya, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, men-jelaskan secara panjang lebar sebagai berikut27:
التكليف هو الأمر بما يشق عليه وتكلفت الأمر تجشمته; حكاه الجوهري. والوسع: الطاقة والجدة. وهذا خبر جزم. نص الله تعالى على أنه لا يكلف العباد من وقت نزول الآية عبادة من أعمال القلب أو الجوارح إلا وهي في وسع المكلف وفي مقتضى إدراكه وبنيته; وبهذا انكشفت الكربة عن المسلمين في تأولهم أمر الخواطر.
“Taklif itu adalah perintah untuk hal-hal yang memberatkan padanya dan (ungkapan) suatu perintah itu membebani artinya bahwa perkara tersebut telah membebaninya. Itulah yang dikemukakan oleh al-Jauhari. Sedangkan al-wus’u adalah kemampuan dan kesungguhan. Ini adalah informasi yang sifatnya pasti. Allah Ta’ala menegaskan bahwa Allah tidak mentaklifkan hamba sejak turunnya ayat tersebut dengan ibadah baik yang merupakan aktifitas hati atau anggota tubuh kecuali dalam batas kemampuan seorang mukallaf dan dalam lingkup pengetahuan serta niatnya. Dengan ayat ini terangkatlah kesusahan atas kaum Muslimin dalam menjelaskan hal-hal yang membahayakan”.
Imam al-Baidhawi, dalam kitab tafsirnya, menjelaskan28:
{ لاَ يُكَلّفُ الله نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا } إلا ما تسعه قدرتها فضلاً ورحمةً ، أو ما دون مدى طاقتها بحيث يتسع فيه طوقها ويتيسر عليها كقوله تعالى : { يُرِيدُ الله بِكُمُ اليسر وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ العسر } وهو يدل على عدم وقوع التكليف بالمحال …
لاَ يُكَلّفُ الله نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا
Kecuali apa yang dalam cakupan kemampuannya, sebagai bentuk keutamaan dan merupakan rahmat (Allah), atau dengan pengertian lain apa yang tidak melebihi jangkauan kemampuannya, dalam arti bahwa taklif tersebut dalam lingkup kemampuan manusia serta memudahkannya, sebagaimana firman Allah:
يُرِيدُ الله بِكُمُ اليسر وَلاَ يُرِيدُ ب
9
Hukum dan Dunia Politik / Re:Haram Berdiam Diri Dari Menegakkan Khilafah Dengan Alasan Menunggu Imam Mahdi
« pada: 29 Oktober 2009, 12:50:24 »maksutnya berdiam diri disini apa bro?maksudnya berdiam diri, dengan alasan menunggu Imam Mahdi, akhi.
menegakkan khilafah hukum-nya fardhu kifayah.
Posting Digabung: 29 Oktober 2009, 12:53:03
fardhu kifayah
(1) fardhu kifayah itu meski tidak harus semua kaum Muslimin yang mukallaf wajib melaksanakan layaknya fardhu 'ain tapi kewajiban tersebut harus dilaksanakan oleh jumlah yang memiliki "kifayah".
(2) kewajiban tersebut dianggap terlaksana secara sempurna apabila telah sempurna ditunaikan. Contoh kewajiban merawat jenazah seorang Muslim yang dibebankan pada suatu komunitas. Kewajiban yang sifatnya fardhu kifayah tersebut dikategorikan selesai dilaksanakan apabila jenazah tersebut telah selesai dimandikan, dikafani, dishalatkan dan dikuburkan.
(3) bagi yang meninggalkan fardhu kifayah tanpa udzur berdosa, dan pelaksanaan fardhu kifayah itu tidak menutup kemungkinan dilaksanakan oleh yang diwajibkan.
10
Hukum dan Dunia Politik / Haram Berdiam Diri Dari Menegakkan Khilafah Dengan Alasan Menunggu Imam Mahdi
« pada: 29 Oktober 2009, 12:41:15 » Haram Berdiam Diri Dari Menegakkan Khilafah Dengan Alasan Menunggu Imam Mahdi
Dalam kitab “Masâil Fiqhiyyah Mukhtârah”, cetakan kedua (2008), karya Syaikh Abu Iyas Mahmud Abdul Lathif bin Mahmud (Uwaidhah), terdapat jawaban atas pertanyaan seputar Imam Mahdi dan aktivitas untuk menegakkan Khilafah. Mengingat pentingnya masalah ini, maka tulisan ini kami persembahkan kepada para pengunjung situs agar semua dapat mengambil faedah darinya, in sya’ Allah, jika Allah SWT berkehendak.
Pertanyaannya: Tidak sedikit di antara kaum Muslim—khususnya mereka yang masih kental dengan kehidupan beragama—yang menyakini bahwa Khilafah akan kembali tegak. Dan Khilafah yang akan tegak kembali itu adalah Khilafah ‘ala minhaji an-nubuwah, Khilafah yang sesuai dengan metode kenabian, yang mereka maksudkan dengan itu adalah Khilafah Rasyidah. Namun, aku tidak melihat mereka itu melakukan aktivitas untuk menegakkan Khilafah ini. Apabila mereka ditanya tentang alasan mengapa mereka berdiam diri (tidak melakukan) aktivitas menegakkan Khilafah, maka mereka menjawab bahwa Imam Mahdi-lah kelak yang akan menegakkannya. Dan sebelum datangnya Imam Mahdi, Khilafah tidak akan pernah tegak. Oleh karena itu, tidak perlu menyeru mereka untuk beraktivitas menegakkan Khilafah. Sehingga, pertanyaannya: Apakah Khilafah akan tegak secara nyata; dan apakah Imam Mahdi yang akan menegakkannya?
Jawab: Sesungguhnya pernyataan bahwa Khilafah akan tegak adalah pernyataan yang benar, yang ditunjukkan oleh banyak sekali hadits dari Nabi SAW, dan hadits-hadits itu semuanya shahih atau hasan. Mengingat, hadits-hadits itu tidak ada yang mutawatir, maka masalah ini tidak boleh dijadikan sebagai sebuah keyakinan. Sehingga, pernyataan bahwa kaum Muslim meyakini bahwa Khilafah akan tegak adalah pernyataan yang tidak benar. Sebab, keyakinan itu harus dibangun berdasarkan ayat Al-Qur’an atau hadits mutawatir. Sementara berdirinya Khilafah terdapat dalam hadits-hadits shahih dan hasan, bukan hadits mutawatir. Sehingga, tidak boleh menjadikan berdirinya kembali Khilafah sebagai sebuah keyakinan. Namun, kami membenarkan akan berdirinya kembali Khilafah dengan pembenaran yang tidak pasti; kami katakan bahwa Khilafah akan tegak kembali dengan izin Allah. Berikut ini hadits-hadits terkait masalah tersebut:
Pertama. Dari Sauban radhiyallahu ‘anhu berkata: Bersabda Rasulullah SAW:
إِنَّ اللهَ زَوَى لِي اْلأَرْضَ فَرَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبَهَا وَإِنَّ أُمَّتِي سَيَبْلُغُ مُلْكُهَا مَا زُوِيَ لِي مِنْهَا
“Sesungguhnya Allah telah mengumpulkan (memperlihatkan) bumi kepadaku. Sehingga, aku melihat bumi mulai dari ujung Timur hingga ujung Barat. Dan umatku, kekuasaannya akan meliputi bumi yang telah dikumpulkan (diperlihatkan) kepadaku….” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi)
Sabda beliau, “umatku, kekuasaannya akan meliputi bumi yang telah dikumpulkan (diperlihatkan) kepadaku” belum terrealisasikan hingga sekarang. Sebab, kaum Muslim belum pernah menguasai bumi mulai ujung Timur hingga ujung Barat hingga sekarang. Dan ini akan terjadi di masa yang akan datang. Sehingga ini menjadi isyarat akan berdirinya negara bagi kaum Muslim yang akan menaklukkan bumi mulai dari ujung Timur bumi hingga ujung Baratnya.
Kedua. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ’anhu berkata: Aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda:
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمْ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
”Jika kalian telah berjual-beli dengan cara ’înah (penjualan secara kredit dengan tambahan harga); dan kalian telah mengambil ekor sapi, lalu kalian (lebih) suka bertani, hingga kalian meninggalkan jihad, maka (ketika itu) Allah menimpakan kepada kalian kehinaan, Allah tidak akan mecabutnya sampai kalian kembali ke agama kalian.” (HR. Abu Dawud)
Sabda beliau, ”sampai kalian kembali ke agama kalian” artinya adalah sampai kalian kembali melaksanakan ajaran agama, dan menerapkannya untuk semua urusan kehidupan kalian. Dengan demikian, hadits ini merupakan bisyârah (kabar gembira) dari Rasulullah SAW bahwa kaum Muslim akan kembali lagi menerapkan agamanya secara kâffah, menyeluruh, setelah sebelumnya mereka meninggalkannya.
Ketiga. Dari Abu Qabil yang berkata: Kami berada di sisi Abdullah bin Amr bin Al-Ash radhiyallahu ’anhu. Lalu, ia ditanya tentang manakah di antara dua kota yang akan ditaklukkan pertama, Konstantinopel atau Roma. Kemudian ia mengambil kotak yang ada hiasannya, ia mengeluarkan surat dari katak tersebut, ia berkata: Abdullah Berkata, ”Pada saat kami sedang menulis di sisi Rasulullah SAW, tiba-tiba Rasulullah SAW ditanya, manakah di antara dua kota yang akan ditaklukkan pertama, Konstantinopel atau Roma. Rasulullah SAW bersabda:
مَدِينَةُ هِرَقْلَ تُفْتَحُ أَوَّلاً يَعْنِي قُسْطَنْطِينِيَّةَ
”Kota Heraklius yang akan ditaklukkan pertama—yakni Konstantinopel.” (HR. Ahmad)
Ketika Rasulullah SAW ditanya tentang penaklukkan dua kota, Konstantinopel dan Rumiyah—yaitu Roma ibu kota Italia—beliau tidak menafikan (membantah) penaklukkan Roma. Namun beliau hanya mengatakan bahwa Konstantinopel akan ditaklukkan pertama. Ini menunjukkan bahwa Roma akan ditaklukkan setelahnya. Sementara hingga saat ini, Roma belum ditaklukkan oleh kaum Muslim. Dengan demikian, hadits ini merupakan bisyârah (kabar gembira), bahwa kaum Muslim akan menaklukkan ibu kota Italia tersebut. Dan tidak terbayangkan bahwa kaum Muslim akan menaklukkannya sebelum kembalinya Khilafah yang menghidupkan kembali jihad di jalan Allah dan penaklukkan kota (melakukan futuhat).
Keempat. Dari Nu’man bin Basyir, dari Hudzaifah radhiyallahu ’anhu berkata: Rasulullah SAW bersabda:
تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ
“Akan ada fase kenabian di tengah-tengah kalian. Dengan kehendak Allah, ia akan tetap ada, kemudian Dia akan mengakhirinya, jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Kemudian akan ada fase Khilafah berdasarkan metode kenabian. Dengan kehendak Allah, ia akan tetap ada, kemudian Dia akan mengakhirinya, jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Kemudia akan ada fase penguasa yang zalim. Dengan kehendak Allah, ia akan tetap ada, kemudian Dia akan mengakhirinya, jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Lalu akan ada fase penguasa diktator. Dengan kehendak Allah, ia akan tetap ada, kemudian Dia akan mengakhirinya, jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Selanjutnya akan datang kembali Khilafah berdasarkan metode kenabian. Kemudian belia SAW diam.” (HR. Ahmad dan Ath-Thabarani)
Hadits ini menjelaskan bahwa Khilafah akan tegak kembali setelah fase penguasa yang zalim (mulkan ’adhan), dan fase penguasa diktator (mulkan jabariyan). Dan Khilafah yang akan tegak itu adalah Khilafah ‘ala minhaji an-nubuwah, Khilafah yang sesuai dengan metode kenabian, yakni Khilafah yang menilai dirinya seperti Khilafah pada masa Khulafaur Rasyidin. Sehingga dengan izin Allah, Khilafah yang akan tegak adalah Khilafah Rasyidah. Inilah jawaban untuk pertanyaan masalah pertama. Sedangkan jawaban untuk pertanyaan masalah kedua adalah sebagai berikut:
Sesungguhnya, sekalipun hadits-hadits an-nabawiyah asy-syarîfah menyebutkan bahwa Al-Mahdi akan menegakkan Khilafah, maka hal ini tidak menunjukkan bahwa kaum Muslim wajin menunggu Al-Mahdi sampai Al-Mahdi mendirikan Khilafah untuk mereka. Apa yang diwajibkan atas mereka tetap wajib, yaitu menegakkan Khilafah. Menegakkan Khilafah di samping wajib atas Al-Mahdi, wajib pula atas kaum Muslim selain dia. Sehingga, mereka yang masih kental dengan kehidupan beragama, seperti yang digambarkannya, tidak punya hujjah (alasan) yang dapat mereka jadikan dasar untuk berdiam diri, tidak beraktivitas untuk menegakkan Khilafah, hanya dengan mengajukan pernyataan bahwa Al-Mahdi yang akan menegakkan Khilafah, sebagaimana hal itu tampak dengan jelas. Oleh karena itu, mereka yang masih beragama, namun berdiam diri, tidak beraktivitas menegakkan Khilafah, maka mereka berdosa, akibat sikapnya yang berdiam diri, tidak berbuat apa-apa, dan Allah juga akan meminta pertanggungjawaban mereka atas sikap diamnya ini. Konsekwensinya, jika mereka mati sebelum tegaknya Khilafah, maka ia mati seperti matinya kaum jahiliyah (mati dalam keadaan berdosa). Sebab, ada riwayat dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ’anhu yang berkata: Aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللَّهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا حُجَّةَ لَهُ وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Siapa saja yang melepaskan ketaatan, maka ia akan bertemu Allah pada hari kiamat tanpa memiliki hujjah. Dan siapa saja yang meninggal sedang di pundaknya tidak ada baiat, maka ia mati seperti mati jahiliyah (dalam keadaan berdosa).” (HR. Muslim).
Sementara itu, orang yang selamat dari mati jahiliyah adalah orang-orang yang beraktivitas menegakkan Khilafah. Oleh karena itu, wahai orang-orang yang masih beragama waspadalah agar jangan sampai kalian mati jahiliyah, yang tentu kalian tidak menginginkannya. Ini yang pertama.
Kedua, sesungguhnya hadits-hadits an-nabawiyah asy-syarîfah tidak secara mutlak menyebutkan bahwa Al-Mahdi yang akan menegakkan Khilafah, karena banyak sekali hadits yang meriwayatkannya. Sedangkan, masing-masing hadits yang disebutkan semuanya menunjukkan bahwa Al-Mahdi adalah seorang Khalifah yang baik dan memerintah dengan adil. Misalnya sabda Rasulullah SAW:
الْمَهْدِيُّ مِنِّي أَجْلَى الْجَبْهَةِ أَقْنَى اْلأَنْفِ يَمَْلأُ اْلأَرْضَ قِسْطًا وَعَدْلاً كَمَا مُلِئَتْ جَوْرًا وَظُلْمًا يَمْلِكُ سَبْعَ سِنِينَ
“Al-Mahdi itu dari keturunanku, wajahnya tampan, dan hidungnya mancung. Ia akan memenuhi bumi dengan kebaikan dan keadilan. Dimana sebelumnya, bumi dipenuhi dengan kekejaman dan ketidak adilan. Dan ia berkuasa selama tujuh tahun.” (HR. Abu Dawud)
Sehingga, dalam hal ini, nama nash yang mereka jadikan dalil bahwa Al-Mahdi yang akan menegakkan Khilafah? Justru kami memiliki nash yang menolak pemahaman bahwa Al-Mahdi yang akan menegakkan Khilafah. Dan nash ini menjelaskan bahwa Al-Mahdi akan menjadi Khalifah setelah meninggalnya Khalifah sebelumnya. Sehingga, ini menegaskan bahwa Khilafah akan tegak sebelum Al-Mahdi menjadi Khalifah. Al-Mahdi adalah Khalifah yang menggantikan Khalifah sebelumnya dalam daulah Khilafah Rasyidah yang—tidak lama lagi—akan datang (berdiri) dengan izin Allah. Sekali lagi, ini menegaskan bahwa Al-Mahdi bukan orang yang menegakkan Khilafah. Dengan begitu, gugurlah hujjah (alasan) mereka untuk berdiam diri, tidak beraktivitas, dan hanya menunggu Al-Mahdi, yang menurut klaim mereka bahwa Al-Mahdi inilah yang akan menegakkan Khilafah untuk mereka.
Diriwayatkan bahwa Ummu Salamah radhiyallahu ’anha berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:
يَكُونُ اخْتِلافٌ عِنْدَ مَوْتِ خَلِيْفَةٍ فَيَخْرُجُ رَجُلٌ مِنْ بَنِي هَاشِمٍ فَيٌّاتِي مَكَّةَ، فَيَسْتَخْرِجُهُ النَّاسُ مِنْ بَيْتِهِ بَيْنَ الرُّكْنِ وَالمَقَامِ، فَيُجَهَّزُ إليهِ جَيْش مِنَ الشَّامِ حَتَّى إذَا كَانُوا بالبَيْدَاءِ خُسِفَ بِهِمْ، فَيَأتِيْهِ عَصَائِبُ العِرَاقِ وأبْدَالُ الشَّامِ: ويَنْشئا رَجُلٌ بالشَّامِ أَخْوالُهُ مِنْ كَلْبٍ، فَيُجَهَّزُ إليهِ جَيْش، فَيَهْزِمُهُمُ الله، فَتَكُونُ الدَّائِرَةُ عَلَيْهِمْ، فَذَلِكَ يَوْمُ كَلْبٍ، الخَائِبُ مَنْ خَابَ مِنْ غَنِيْمَةِ كَلْبٍ، فَيَسْتَفْتِحُ الكُنُوزَ، وَيَقْسِمُ أَلامْوَالَ وَيُلْقِي إلاسْلاَمُ بِجَرَانِهِ ِإلى أَلارْضِ، فَيَعِيْشُونَ بِذَلِكَ سَبْعَ سِنينَ أو قال: تِسْعَ.
“Terjadi perselisihan ketika meninggalnya seorang Khalifah. Kemudian, seorang dari Bani Hasyim (Al-Mahdi) keluar pergi ke Makkah. Masyarakat membawanya (Al-Mahdi) keluar rumah menuju antara ar-rukn (hajar aswad) dan al-maqâm (maqam Ibrahim ‘alaihissalam). Sementara, dari Syam telah disiapkan pasukan untuk menyerangnya, namun ketika mereka berada di al-Baida’ (sebuah tempat antara Makkah dan Madinah), mereka semua ditenggelamkan (oleh Allah). (Melihat karamahnya itu), beberapa kelompok dari Irak, dan para wali (Abdal) dari Syam mendatanginya (untuk berbaiat). Seseorang di Syam yang ibunya dari Bani Kalb, menyiapkan pasukan untuk menyerangnya, kemudian Allah-pun mengalahkan mereka, sehingga bencana pun menimpa mereka, maka hari itu merupakan hari kekalahan bagi Bani Kalb. Bahkan, orang yang menyesal adalah orang yang tidak berhasil mendapatkan ghanimah (harta rampasan perang) Bani Kalb. Kemudian, ia (Al-Mahdi) membuka berbagai harta simpanan, membagi-bagi harta, menyampaikan (mendakwahkan) Islam ke wilayah-wilayah sekitarnya. Masyarakat hidup bersama (Al-Mahdi) itu selama tujuh tahun, atau sembilan tahun.” (HR. Ath-Thabarani dalam Al-Ausath, Al-Haitsami menyebutnya dalam Majma’uz Zawâij, ia berkata “semuanya rawinya adalah para rawi yang shahih).
Hadits ini disepakati oleh para rawi hadits dan pensyarahnya bahwa Khalifah yang dimaksud dalam hadits ini adalah Al-Mahdi (Imam Mahdi). Hadits ini merupakan nash yang sharîh (gamblang) bahwa Khalifah (Imam Mahdi) ini datang menggantikan Khalifah sebelumnya, “Terjadi perselisihan ketika meninggalnya seorang Khalifah. Kemudian, seorang dari….” Dengan demikian, Imam Mahdi bukan orang yang akan menegakkan Khilafah, dan ia juga bukan Khalifah pertama dalam negara Khilafah Rasyidah—yang tidak lama lagi—akan tegak dengan izin Allah. Sehingga yang tersisa di depan setiap orang Muslim adalah kekhawatiran dan ketakutan dari mati jahiliyah, mati dalam keadaan berdosa. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain, selain bangkit dengan penuh semangat beraktivitas untuk menegakkan kembali Khilafah, dan mengangkat seorang Khalifah. Wallahu a’lam bish-shawab.(www. http://www.al-aqsa.org)
Dalam kitab “Masâil Fiqhiyyah Mukhtârah”, cetakan kedua (2008), karya Syaikh Abu Iyas Mahmud Abdul Lathif bin Mahmud (Uwaidhah), terdapat jawaban atas pertanyaan seputar Imam Mahdi dan aktivitas untuk menegakkan Khilafah. Mengingat pentingnya masalah ini, maka tulisan ini kami persembahkan kepada para pengunjung situs agar semua dapat mengambil faedah darinya, in sya’ Allah, jika Allah SWT berkehendak.
Pertanyaannya: Tidak sedikit di antara kaum Muslim—khususnya mereka yang masih kental dengan kehidupan beragama—yang menyakini bahwa Khilafah akan kembali tegak. Dan Khilafah yang akan tegak kembali itu adalah Khilafah ‘ala minhaji an-nubuwah, Khilafah yang sesuai dengan metode kenabian, yang mereka maksudkan dengan itu adalah Khilafah Rasyidah. Namun, aku tidak melihat mereka itu melakukan aktivitas untuk menegakkan Khilafah ini. Apabila mereka ditanya tentang alasan mengapa mereka berdiam diri (tidak melakukan) aktivitas menegakkan Khilafah, maka mereka menjawab bahwa Imam Mahdi-lah kelak yang akan menegakkannya. Dan sebelum datangnya Imam Mahdi, Khilafah tidak akan pernah tegak. Oleh karena itu, tidak perlu menyeru mereka untuk beraktivitas menegakkan Khilafah. Sehingga, pertanyaannya: Apakah Khilafah akan tegak secara nyata; dan apakah Imam Mahdi yang akan menegakkannya?
Jawab: Sesungguhnya pernyataan bahwa Khilafah akan tegak adalah pernyataan yang benar, yang ditunjukkan oleh banyak sekali hadits dari Nabi SAW, dan hadits-hadits itu semuanya shahih atau hasan. Mengingat, hadits-hadits itu tidak ada yang mutawatir, maka masalah ini tidak boleh dijadikan sebagai sebuah keyakinan. Sehingga, pernyataan bahwa kaum Muslim meyakini bahwa Khilafah akan tegak adalah pernyataan yang tidak benar. Sebab, keyakinan itu harus dibangun berdasarkan ayat Al-Qur’an atau hadits mutawatir. Sementara berdirinya Khilafah terdapat dalam hadits-hadits shahih dan hasan, bukan hadits mutawatir. Sehingga, tidak boleh menjadikan berdirinya kembali Khilafah sebagai sebuah keyakinan. Namun, kami membenarkan akan berdirinya kembali Khilafah dengan pembenaran yang tidak pasti; kami katakan bahwa Khilafah akan tegak kembali dengan izin Allah. Berikut ini hadits-hadits terkait masalah tersebut:
Pertama. Dari Sauban radhiyallahu ‘anhu berkata: Bersabda Rasulullah SAW:
إِنَّ اللهَ زَوَى لِي اْلأَرْضَ فَرَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبَهَا وَإِنَّ أُمَّتِي سَيَبْلُغُ مُلْكُهَا مَا زُوِيَ لِي مِنْهَا
“Sesungguhnya Allah telah mengumpulkan (memperlihatkan) bumi kepadaku. Sehingga, aku melihat bumi mulai dari ujung Timur hingga ujung Barat. Dan umatku, kekuasaannya akan meliputi bumi yang telah dikumpulkan (diperlihatkan) kepadaku….” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi)
Sabda beliau, “umatku, kekuasaannya akan meliputi bumi yang telah dikumpulkan (diperlihatkan) kepadaku” belum terrealisasikan hingga sekarang. Sebab, kaum Muslim belum pernah menguasai bumi mulai ujung Timur hingga ujung Barat hingga sekarang. Dan ini akan terjadi di masa yang akan datang. Sehingga ini menjadi isyarat akan berdirinya negara bagi kaum Muslim yang akan menaklukkan bumi mulai dari ujung Timur bumi hingga ujung Baratnya.
Kedua. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ’anhu berkata: Aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda:
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمْ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
”Jika kalian telah berjual-beli dengan cara ’înah (penjualan secara kredit dengan tambahan harga); dan kalian telah mengambil ekor sapi, lalu kalian (lebih) suka bertani, hingga kalian meninggalkan jihad, maka (ketika itu) Allah menimpakan kepada kalian kehinaan, Allah tidak akan mecabutnya sampai kalian kembali ke agama kalian.” (HR. Abu Dawud)
Sabda beliau, ”sampai kalian kembali ke agama kalian” artinya adalah sampai kalian kembali melaksanakan ajaran agama, dan menerapkannya untuk semua urusan kehidupan kalian. Dengan demikian, hadits ini merupakan bisyârah (kabar gembira) dari Rasulullah SAW bahwa kaum Muslim akan kembali lagi menerapkan agamanya secara kâffah, menyeluruh, setelah sebelumnya mereka meninggalkannya.
Ketiga. Dari Abu Qabil yang berkata: Kami berada di sisi Abdullah bin Amr bin Al-Ash radhiyallahu ’anhu. Lalu, ia ditanya tentang manakah di antara dua kota yang akan ditaklukkan pertama, Konstantinopel atau Roma. Kemudian ia mengambil kotak yang ada hiasannya, ia mengeluarkan surat dari katak tersebut, ia berkata: Abdullah Berkata, ”Pada saat kami sedang menulis di sisi Rasulullah SAW, tiba-tiba Rasulullah SAW ditanya, manakah di antara dua kota yang akan ditaklukkan pertama, Konstantinopel atau Roma. Rasulullah SAW bersabda:
مَدِينَةُ هِرَقْلَ تُفْتَحُ أَوَّلاً يَعْنِي قُسْطَنْطِينِيَّةَ
”Kota Heraklius yang akan ditaklukkan pertama—yakni Konstantinopel.” (HR. Ahmad)
Ketika Rasulullah SAW ditanya tentang penaklukkan dua kota, Konstantinopel dan Rumiyah—yaitu Roma ibu kota Italia—beliau tidak menafikan (membantah) penaklukkan Roma. Namun beliau hanya mengatakan bahwa Konstantinopel akan ditaklukkan pertama. Ini menunjukkan bahwa Roma akan ditaklukkan setelahnya. Sementara hingga saat ini, Roma belum ditaklukkan oleh kaum Muslim. Dengan demikian, hadits ini merupakan bisyârah (kabar gembira), bahwa kaum Muslim akan menaklukkan ibu kota Italia tersebut. Dan tidak terbayangkan bahwa kaum Muslim akan menaklukkannya sebelum kembalinya Khilafah yang menghidupkan kembali jihad di jalan Allah dan penaklukkan kota (melakukan futuhat).
Keempat. Dari Nu’man bin Basyir, dari Hudzaifah radhiyallahu ’anhu berkata: Rasulullah SAW bersabda:
تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ
“Akan ada fase kenabian di tengah-tengah kalian. Dengan kehendak Allah, ia akan tetap ada, kemudian Dia akan mengakhirinya, jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Kemudian akan ada fase Khilafah berdasarkan metode kenabian. Dengan kehendak Allah, ia akan tetap ada, kemudian Dia akan mengakhirinya, jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Kemudia akan ada fase penguasa yang zalim. Dengan kehendak Allah, ia akan tetap ada, kemudian Dia akan mengakhirinya, jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Lalu akan ada fase penguasa diktator. Dengan kehendak Allah, ia akan tetap ada, kemudian Dia akan mengakhirinya, jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Selanjutnya akan datang kembali Khilafah berdasarkan metode kenabian. Kemudian belia SAW diam.” (HR. Ahmad dan Ath-Thabarani)
Hadits ini menjelaskan bahwa Khilafah akan tegak kembali setelah fase penguasa yang zalim (mulkan ’adhan), dan fase penguasa diktator (mulkan jabariyan). Dan Khilafah yang akan tegak itu adalah Khilafah ‘ala minhaji an-nubuwah, Khilafah yang sesuai dengan metode kenabian, yakni Khilafah yang menilai dirinya seperti Khilafah pada masa Khulafaur Rasyidin. Sehingga dengan izin Allah, Khilafah yang akan tegak adalah Khilafah Rasyidah. Inilah jawaban untuk pertanyaan masalah pertama. Sedangkan jawaban untuk pertanyaan masalah kedua adalah sebagai berikut:
Sesungguhnya, sekalipun hadits-hadits an-nabawiyah asy-syarîfah menyebutkan bahwa Al-Mahdi akan menegakkan Khilafah, maka hal ini tidak menunjukkan bahwa kaum Muslim wajin menunggu Al-Mahdi sampai Al-Mahdi mendirikan Khilafah untuk mereka. Apa yang diwajibkan atas mereka tetap wajib, yaitu menegakkan Khilafah. Menegakkan Khilafah di samping wajib atas Al-Mahdi, wajib pula atas kaum Muslim selain dia. Sehingga, mereka yang masih kental dengan kehidupan beragama, seperti yang digambarkannya, tidak punya hujjah (alasan) yang dapat mereka jadikan dasar untuk berdiam diri, tidak beraktivitas untuk menegakkan Khilafah, hanya dengan mengajukan pernyataan bahwa Al-Mahdi yang akan menegakkan Khilafah, sebagaimana hal itu tampak dengan jelas. Oleh karena itu, mereka yang masih beragama, namun berdiam diri, tidak beraktivitas menegakkan Khilafah, maka mereka berdosa, akibat sikapnya yang berdiam diri, tidak berbuat apa-apa, dan Allah juga akan meminta pertanggungjawaban mereka atas sikap diamnya ini. Konsekwensinya, jika mereka mati sebelum tegaknya Khilafah, maka ia mati seperti matinya kaum jahiliyah (mati dalam keadaan berdosa). Sebab, ada riwayat dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ’anhu yang berkata: Aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللَّهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا حُجَّةَ لَهُ وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Siapa saja yang melepaskan ketaatan, maka ia akan bertemu Allah pada hari kiamat tanpa memiliki hujjah. Dan siapa saja yang meninggal sedang di pundaknya tidak ada baiat, maka ia mati seperti mati jahiliyah (dalam keadaan berdosa).” (HR. Muslim).
Sementara itu, orang yang selamat dari mati jahiliyah adalah orang-orang yang beraktivitas menegakkan Khilafah. Oleh karena itu, wahai orang-orang yang masih beragama waspadalah agar jangan sampai kalian mati jahiliyah, yang tentu kalian tidak menginginkannya. Ini yang pertama.
Kedua, sesungguhnya hadits-hadits an-nabawiyah asy-syarîfah tidak secara mutlak menyebutkan bahwa Al-Mahdi yang akan menegakkan Khilafah, karena banyak sekali hadits yang meriwayatkannya. Sedangkan, masing-masing hadits yang disebutkan semuanya menunjukkan bahwa Al-Mahdi adalah seorang Khalifah yang baik dan memerintah dengan adil. Misalnya sabda Rasulullah SAW:
الْمَهْدِيُّ مِنِّي أَجْلَى الْجَبْهَةِ أَقْنَى اْلأَنْفِ يَمَْلأُ اْلأَرْضَ قِسْطًا وَعَدْلاً كَمَا مُلِئَتْ جَوْرًا وَظُلْمًا يَمْلِكُ سَبْعَ سِنِينَ
“Al-Mahdi itu dari keturunanku, wajahnya tampan, dan hidungnya mancung. Ia akan memenuhi bumi dengan kebaikan dan keadilan. Dimana sebelumnya, bumi dipenuhi dengan kekejaman dan ketidak adilan. Dan ia berkuasa selama tujuh tahun.” (HR. Abu Dawud)
Sehingga, dalam hal ini, nama nash yang mereka jadikan dalil bahwa Al-Mahdi yang akan menegakkan Khilafah? Justru kami memiliki nash yang menolak pemahaman bahwa Al-Mahdi yang akan menegakkan Khilafah. Dan nash ini menjelaskan bahwa Al-Mahdi akan menjadi Khalifah setelah meninggalnya Khalifah sebelumnya. Sehingga, ini menegaskan bahwa Khilafah akan tegak sebelum Al-Mahdi menjadi Khalifah. Al-Mahdi adalah Khalifah yang menggantikan Khalifah sebelumnya dalam daulah Khilafah Rasyidah yang—tidak lama lagi—akan datang (berdiri) dengan izin Allah. Sekali lagi, ini menegaskan bahwa Al-Mahdi bukan orang yang menegakkan Khilafah. Dengan begitu, gugurlah hujjah (alasan) mereka untuk berdiam diri, tidak beraktivitas, dan hanya menunggu Al-Mahdi, yang menurut klaim mereka bahwa Al-Mahdi inilah yang akan menegakkan Khilafah untuk mereka.
Diriwayatkan bahwa Ummu Salamah radhiyallahu ’anha berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:
يَكُونُ اخْتِلافٌ عِنْدَ مَوْتِ خَلِيْفَةٍ فَيَخْرُجُ رَجُلٌ مِنْ بَنِي هَاشِمٍ فَيٌّاتِي مَكَّةَ، فَيَسْتَخْرِجُهُ النَّاسُ مِنْ بَيْتِهِ بَيْنَ الرُّكْنِ وَالمَقَامِ، فَيُجَهَّزُ إليهِ جَيْش مِنَ الشَّامِ حَتَّى إذَا كَانُوا بالبَيْدَاءِ خُسِفَ بِهِمْ، فَيَأتِيْهِ عَصَائِبُ العِرَاقِ وأبْدَالُ الشَّامِ: ويَنْشئا رَجُلٌ بالشَّامِ أَخْوالُهُ مِنْ كَلْبٍ، فَيُجَهَّزُ إليهِ جَيْش، فَيَهْزِمُهُمُ الله، فَتَكُونُ الدَّائِرَةُ عَلَيْهِمْ، فَذَلِكَ يَوْمُ كَلْبٍ، الخَائِبُ مَنْ خَابَ مِنْ غَنِيْمَةِ كَلْبٍ، فَيَسْتَفْتِحُ الكُنُوزَ، وَيَقْسِمُ أَلامْوَالَ وَيُلْقِي إلاسْلاَمُ بِجَرَانِهِ ِإلى أَلارْضِ، فَيَعِيْشُونَ بِذَلِكَ سَبْعَ سِنينَ أو قال: تِسْعَ.
“Terjadi perselisihan ketika meninggalnya seorang Khalifah. Kemudian, seorang dari Bani Hasyim (Al-Mahdi) keluar pergi ke Makkah. Masyarakat membawanya (Al-Mahdi) keluar rumah menuju antara ar-rukn (hajar aswad) dan al-maqâm (maqam Ibrahim ‘alaihissalam). Sementara, dari Syam telah disiapkan pasukan untuk menyerangnya, namun ketika mereka berada di al-Baida’ (sebuah tempat antara Makkah dan Madinah), mereka semua ditenggelamkan (oleh Allah). (Melihat karamahnya itu), beberapa kelompok dari Irak, dan para wali (Abdal) dari Syam mendatanginya (untuk berbaiat). Seseorang di Syam yang ibunya dari Bani Kalb, menyiapkan pasukan untuk menyerangnya, kemudian Allah-pun mengalahkan mereka, sehingga bencana pun menimpa mereka, maka hari itu merupakan hari kekalahan bagi Bani Kalb. Bahkan, orang yang menyesal adalah orang yang tidak berhasil mendapatkan ghanimah (harta rampasan perang) Bani Kalb. Kemudian, ia (Al-Mahdi) membuka berbagai harta simpanan, membagi-bagi harta, menyampaikan (mendakwahkan) Islam ke wilayah-wilayah sekitarnya. Masyarakat hidup bersama (Al-Mahdi) itu selama tujuh tahun, atau sembilan tahun.” (HR. Ath-Thabarani dalam Al-Ausath, Al-Haitsami menyebutnya dalam Majma’uz Zawâij, ia berkata “semuanya rawinya adalah para rawi yang shahih).
Hadits ini disepakati oleh para rawi hadits dan pensyarahnya bahwa Khalifah yang dimaksud dalam hadits ini adalah Al-Mahdi (Imam Mahdi). Hadits ini merupakan nash yang sharîh (gamblang) bahwa Khalifah (Imam Mahdi) ini datang menggantikan Khalifah sebelumnya, “Terjadi perselisihan ketika meninggalnya seorang Khalifah. Kemudian, seorang dari….” Dengan demikian, Imam Mahdi bukan orang yang akan menegakkan Khilafah, dan ia juga bukan Khalifah pertama dalam negara Khilafah Rasyidah—yang tidak lama lagi—akan tegak dengan izin Allah. Sehingga yang tersisa di depan setiap orang Muslim adalah kekhawatiran dan ketakutan dari mati jahiliyah, mati dalam keadaan berdosa. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain, selain bangkit dengan penuh semangat beraktivitas untuk menegakkan kembali Khilafah, dan mengangkat seorang Khalifah. Wallahu a’lam bish-shawab.(www. http://www.al-aqsa.org)
11
Hukum dan Dunia Politik / Re:Glosarium, Kamus Hukum dan Politik
« pada: 23 Oktober 2009, 13:40:52 »Ideologi-Ideologi Dunia
Di dunia ada tiga ideologi yaitu Islam, Kapitalis, dan Sosialisme-Komunisme.
Demokrasi Kapitalis
Demokrasi kapitalis merupakan ideologi yang dianut negara-negara Barat dan Amerika. Landasannya adalah pemisahan agama dari negara, atau pemisahan agama dengan urusan kehidupan. Mereka mengenal semboyan berikan hak kaisar untuk kaisar dan hak tuhan untuk tuhan. Dengan demikian ideologi kapitalis berpendapat bahwa manusialah yang berhak mengatur kehidupannya sendiri.
Ideologi ini merupakan ideologi kufur yang bertentangan dengan Islam, karena di dalam Islam hanya Allah saja sebagai Musyarri’ (Pembuat Hukum). Dialah yang berhak menetapkan aturan bagi manusia. Islam telah menjadikan negara sebagai bagian yang tak terpisahkan dari hukum-hukum Islam. Islam mewajibkan agar seluruh urusan kehidupan dipecahkan dengan hukum syara’ yang telah diturunkan Allah. Oleh karena itu diharamkan bagi kaum Muslim menganut dan mengikuti ideologi kapitalis. Diharamkan pula mengambil pemikiran-pemikiran berikut aturannya. Karena ideologi tersebut adalah kufur. Begitu juga dengan ide-ide dan aturan kapitalis, seluruhnya adalah kufur dan bertentangan dengan Islam.
Pandangan Islam Tentang Kebebasan (Liberalisme)
Pemikiran yang paling menonjol dalam ideologi kapitalis adalah kewajibannya memelihara kebebasan individu. Kebebasan ini meliputi beberapa bentuk, yaitu kebebasan berakidah, berpendapat, pemilikan dan kebebasan bertingkah laku. Dari faham kebebasan pemilikan muncul sistem ekonomi kapitalis yang dibangun atas asas manfaat. Landasan pemikiran ini mengakibatkan penimbunan yang menggunung, dan unsur yang mendorong negara-negara Barat menjajah bangsa lain agar dapat merampas kekayaannya.
Keempat macam kebebasan ini bertentangan dengan hukum Islam. Seorang muslim tidak dibenarkan bebas memilih dalam hal akidah. Jika dia murtad, maka diperintahkan untuk bertaubat. Apabila tidak mau, maka dia dibunuh. Sabda Rasulullah saw:
مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوْهُ
Siapa saja yang mengganti agamanya, maka bunuhlah.
Seorang muslim tidak dibenarkan bebas berpendapat. Apa yang menjadi pandangan Islam, wajib menjadi pandangannya. Tidak diperkenankan seorang muslim memiliki pendapat yang bukan berasal dari Islam.
Seorang muslim juga tidak bebas memiliki sesuatu sekehendaknya. Tidak diakui/tidak sah baginya memiliki sesuatu kecuali dalam batas-batas pemilikan yang telah ditentukan oleh syara’. Dia tidak bebas memiliki apa saja yang diinginkannya, dengan menghalalkan segala cara, melainkan ia terikat dengan batas-batas pemilikan. Secara mutlak tidak sah baginya memiliki sesuatu dengan cara-cara yang menyimpang dari ketentuan syara’. Seorang muslim tidak boleh memiliki sesuatu dengan cara riba, menimbun, menjual khamar, babi dan sebagainya. Sebab, cara-cara tersebut seluruhnya dilarang oleh syara’. Atas dasar ini maka tidak diperkenankan seorang muslim untuk memiliki sesuatu dengan salah satu jalan tadi.
Kebebasan bertingkah laku juga tidak ada rumusannya dalam Islam. Seorang muslim tidak bebas begitu saja bertingkah laku. Ia terikat dengan syara’. Bila seorang muslim tidak mendirikan shalat atau shaum, maka dia akan terkena sanksi. Begitu juga bila dia kedapatan mabuk, berzina, atau seorang muslimah keluar dengan ‘tubuh telanjang’ [tanpa berbusana muslimah (membuka auratnya)-pen] atau dengan tabarruj, maka tindakan tersebut terkena sanksi.
Dengan demikian kebebasan yang terdapat dalam sistem kapitalis Barat tidak ditemukan keberadaannya dalam Islam, malah seluruhnya bertentangan dengan hukum Islam.
Pandangan Islam Mengenai Demokrasi
Di antara pemikiran lain yang paling menonjol dalam ideologi kapitalis adalah demokrasi, yang semboyannya adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dasar sistem demokrasi adalah rakyat sebagai pemilik kehendak, kedaulatan dan pemilik dalam hal pelaksanaannya. Karena rakyat yang memiliki segala sesuatunya, maka rakyatlah yang mengatur dirinya sendiri. Tidak seorangpun yang berhak dan dapat mengalahkan kekuasaan rakyat. Dengan demikian rakyatlah yang bertindak sebagai Musyarri’ (pembuat dan penentu hukum). Rakyat yang membuat aturan sesuai dengan kehendaknya dan rakyat pula yang membatalkan atau menghapus aturan-aturan yang dikehendakinya. Namun demikian rakyat tidak dapat melaksanakan semua itu sendirian. Oleh karena itu, rakyat memilih wakil-wakil (mereka) agar seluruh kehendak rakyat dapat terlaksana. Maka, dibuatlah aturan main bagi wakil-wakil mereka tersebut.
Dalam sistem demokrasi, rakyat adalah pemilik kekuasaan sekaligus sebagai pelaksananya. Tetapi tidak mungkin seluruh rakyat berperan secara bersama-sama. Karenanya, rakyat perlu memilih para penguasa sebagai wakil mereka untuk melaksanakan perundang-undangan yang telah ditetapkan rakyat. Jadi, di dalam sistem kapitalis Barat, rakyat merupakan sumber kedaulatan, dan mereka bertindak sebagai tuan (pemilik kehendak), pembuat undang-undang, serta yang memerintah.
Sistem demokrasi seperti ini adalah sistem kufur. Ia adalah hasil buatan manusia dan bukan merupakan hukum-hukum syar’i, serta tidak boleh diterima. Melaksanakan sistem demokrasi berarti melaksanakan sistem kufur. Menyeru kepada sistem ini berarti mempropagandakan sistem kufur. Karena itu tidak dibolehkan mengembangkan, atau mengambilnya dengan alasan apapun dan dalam kondisi bagaimanapun.
Sistem demokrasi bertentangan dengan hukum Islam. Kaum Muslim diperintahkan supaya menyesuaikan seluruh amal perbuatannya dengan hukum syara’. Seorang muslim adalah hamba Allah. Ia harus menyesuaikan kehendaknya sesuai dengan perintah dan larangan Allah. Demikian pula umat tidak berhak memiliki dan menuruti kehendaknya sesuai dengan hawa nafsu. Sebab, kedaulatan bukan berada di tangan umat. Yang menjalankan kehendak umat adalah syara’ semata, karena kedaulatan ada di tangan syara’. Umat tidak memiliki hak tasyri’ (membuat hukum dan undang-undang-pen). Hanya Allahlah satu-satunya Musyarri’ (pembuat hukum dan perundang-undangan). Seandainya umat bersepakat menghalalkan apa yang diharamkan Allah, seperti riba, penimbunan, penipuan, zina atau minuman keras, maka kesepakatan mereka tidak akan bernilai sedikitpun. Sebab, ia bertentangan dengan hukum-hukum Islam. Jika mereka bersikeras meneruskannya, maka mereka wajib diperangi.
Meskipun demikian Allah menjadikan kekuasaan (pemerintahan secara praktis) ada di tangan umat. Allah memberikan kepada umat hak untuk memilih dan mengangkat penguasa, yang mewakili umat dalam menjalankan dan mengendalikan pemerintahan. Allah telah mengatur (mensyari’atkan) cara pengangkatan dan absahnya penguasa dengan cara bai’at. Dari sini dapat dipahami perbedaan antara kedaulatan (as-siyadah) dengan kekuasaan (sulthan). Kedaulatan ada di tangan syara, sedangkan kekuasaan ada di tangan umat.
Komunisme
Komunis merupakan ideologi materialis yang berdiri atas dasar pengingkaran terhadap adanya sesuatu selain materi. Komunis menganggap bahwa materi adalah azali, yakni tidak berawal dan tidak berakhir. Materi tidak diciptakan oleh Pencipta. Berdasarkan anggapan ini, komunis tidak mengakui adanya Pencipta, dan mengingkari hari Kiamat. Mereka menganggap agama adalah candu bagi masyarakat.
Komunis adalah ideologi materialis yang mendasarkan kepada teori dialektika materialis dan teori historis materialis. Materi adalah sumber segala sesuatu. Segala sesuatu asalnya dari materi, lahir dan berkembang dengan cara evolusi. Sistem (aturan) komunis muncul dari perkembangan alat-alat produksi. Perubahan alat-alat produksi menimbulkan perubahan terhadap aturan yang ada. Menurut komunis, masyarakat adalah sekumpulan benda yang terdiri dari tanah, alat-alat produksi, alam dan manusia. Semuanya merupakan satu kesatuan yang dinamakan materi. Apabila terdapat perubahan secara evolutif terhadap alam dan apa yang ada di dalamnya, maka manusiapun dengan sendirinya turut berkembang dan berevolusi, yang pada akhirnya masyarakatpun turut berubah secara keseluruhan.
Menurut konsep komunis, masyarakat tunduk pada evolusi materi. Kalau masyarakat berkembang, maka individu turut berkembang. Individu mengikuti perkembangan masyarakat seperti layaknya perputaran gigi roda. Komunis melarang pemilikan individu terhadap alat-alat produksi. Semuanya adalah milik negara.
Berdasarkan kenyataan tersebut, maka ideologi komunis adalah ideologi kufur. Begitu pula dengan ide dan aturan-aturannya, juga kufur dan bertentangan dengan Islam secara keseluruhan dan mendasar, baik secara global maupun rinciannya.
Islam telah menjelaskan dan memastikan bahwa materi itu diciptakan Allah. Materi tidak kekal, dan pasti akan binasa (rusak). Sedangkan manusia adalah makhluk bagi Sang Pencipta. Peraturan berasal dari Allah, bukan dari atau akibat perkembangan materi dan alat-alat produksi, begitu juga bukan berasal dari manusia. Sedangkan masyarakat merupakan kumpulan manusia yang memiliki pemikiran dan perasaan serta diterapkan peraturan di dalamnya. Yang menentukan bentuk masyarakat adalah peraturan yang diterapkan di tengah-tengah masyarakat. Masyarakat yang menerapkan sistem Islam dinamakan masyarakat Islam tanpa memperhatikan bentuk perkembangan alat-alat produksi di dalam masyarakat tersebut. Masyarakat yang menerapkan sistem kapitalis dinamakan masyarakat kapitalis. Begitu juga, masyarakat yang menerapkan peraturan komunis dinamakan masyarakat komunis, sekalipun alat-alat produksi yang ada persis sama seperti alat-alat produksi yang terdapat dalam (masyarakat) sistem kapitalis.
12
Hukum dan Dunia Politik / Re:Glosarium, Kamus Hukum dan Politik
« pada: 21 Oktober 2009, 21:20:08 » Metode Pengangkatan Khalifah
Salah satu pertanyaan yang sering dilontarkan seputar Khilafah adalah bagaimana tata cara (metode) untuk pengangkatan Khalifah. Tidak sedikit yang menolak sistem Khilafah dengan alasan di dalam Islam tidak ada ketentuan yang jelas tentang mekanisme pengangkatan Khalifah. Berikut ini tulisan tentang hal itu yang diambil dari kitab ajhizatu ad Daulah al Khilafah (Struktur Negara Khilafah ).
Ketika syara’ mewajibkan umat Islam untuk mengangkat seorang Khalifah, syara’ juga telah menentukan metode yang harus dilaksanakan untuk mengangkat Khalifah. Metode ini ditetapkan dengan al-Kitab, as-Sunah dan Ijmak Sahabat. Metode itu adalah baiat. Maka pengangkatan Khalifah itu dilakukan dengan baiat kaum muslim kepadanya untuk (memerintah) berdasarkan Kitabullah dan Sunah Rasulullah. Yang dimaksud kaum muslim disini adalah kaum muslim yang menjadi rakyat Khalifah sebelumnya jika Khalifah sebelumnya itu ada. Atau kaum muslim penduduk suatu wilayah yang disitu diangkat seorang Khalifah, jiak sebelumnya tidak ada Khalifah.
Kedudukan baiat sebagai metode pengangkatan Khalifah telah ditetapkan dari baiat kaum muslim kepada Rasulullah saaw dan dari perintah beliau kepada kita untuk membaiat seorang imam. Baiat kaum muslim kepada Rasul saw, sesungguhnya bukanlah bait atas kenabian, melainkan baiat atas pemerintahan. Karena baiat itu adalah baiat atas amal dan bukan baiat untuk mempercayai kenabian. Beliau dibaiat tidak lain dalam kapasitas sebagai penguasa, bukan dalam kapasitas sebagai nabi dan rasul. Sebab pengakuan atas kenabian dan kerasulan adalah masalah iman, bukan baiat. Maka baiat kepada Beliau itu tidak lain adalah baiat dalam kapasitas beliau sebagai kepala negara.
Masalah baiat itu telah tercantum dalam al-Quran dan hadits. Allah Swt telah berfirman :
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا جَاءَكَ الْمُؤْمِنَاتُ يُبَايِعْنَكَ عَلَى أَنْ لاَ يُشْرِكْنَ بِاللهِ شَيْئًا وَلَا يَسْرِقْنَ وَلاَ يَزْنِينَ وَلاَ يَقْتُلْنَ أَوْلاَدَهُنَّ وَلاَ يَأْتِينَ بِبُهْتَانٍ يَفْتَرِينَهُ بَيْنَ أَيْدِيهِنَّ وَأَرْجُلِهِنَّ وَلاَ يَعْصِينَكَ فِي مَعْرُوفٍ
Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatupun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik. (QS. Muhtahanah : 12)
إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللهَ يَدُ اللهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ
Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka. (QS. al-Fath : 10)
Imam Bukhari meriwayatkan : Ismail telah menyampaikan kepada kami, Malik telah menyampaikan kepadaku dari Yahya bin Sa’id, ia berkata : “Ubadah bin Walid telah memberitahuku, Bapakku telah memberitahuku dari Ubadah bin Shamit yang mengakatakan :
بَايَعْنَا رَسُولَ اللهِ r عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي الْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ اْلأَمْرَ أَهْلَهُ وَأَنْ نَقُومَ أَوْ نَقُولَ بِالْحَقِّ حَيْثُمَا كُنَّا لاَ نَخَافُ فِي اللهِ لَوْمَةَ لاَئِمٍ
Kami telah membaiat Rasulullah saw untuk senantiasa mendengar dan mentaatinya, baik dalam keadaan yang kami senangi maupun yang tidak kami senangi dan agar kami tidak akan merebut kekuasaan dari orang yang berhak dan agar kami senantiasa mengerjakan atau mengatakan yang haq di mana saja kami berada tidak takut karena Allah kepada celaan orang-orang yang suka mencela (HR. Bukhari)
Dalam riwayat Imam Muslim dari Abdullah bin Amr bin al-‘Ash bahwa Rasulullah saw pernah bersabda :
وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَ ثَمْرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ اِسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرٌ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوْا عُنُقَ اْلآخَرِ
Dan siapa saja yang telah membaiat seorang imam lalu ia telah memberikan genggaman tangannya dan buah hatinya, maka hendaklah ia mentaatinya sesuai dengan kemampuannya, dan jika datang orang lain yang hendak merebut kekuasaannya maka penggallah orang lain itu (HR. Muslim)
Juga di dalam Shahih Muslim, dari Abu Sa’id al-Khudzri yang mengatakan : Rasulullah saw pernah bersabda :
إِذَا بُوْيِعَ لِخَلِيْفَتَيْنِ فَاقْتُلُوْا اْلآخِرَ مِنْهُمَا
Jika dibaiat dua orang Khalifah, maka bunuhlah yang paling akhir dari keduanya (HR. Muslim)
Imam Muslim juga meriwayatkan dari Abiy Hazim yang berkata : “aku mengikuti mejelis Abu Hurairah selama lima tahun, dan aku mendengar ia menyampaikan hadits dari Nabi saw, Beliau pernah bersabda :
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ اْلأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُرُ، قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا؟ قَالَ: فُوْا بِبَيْعَةِ اْلأَوَّلِ فَاْلأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
Dahulu Bani Israel diurusi dan dipelihara oleh para nabi, setiap kali seorang nabi meninggal digantikan oleh nabi, dan sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku, dan akan ada para Khalifah, dan mereka banyak, para sahabat bertanya : “lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Nabi bersabda : “penuhilah baiat yang pertama dan yang pertama, berikanlah kepada mereka hak mereka, dan sesungguhnya Allah akan meminta pertanggung-jawaban mereka atas apa yang mereka diminta untuk mengatur dan memeliharanya (HR. Muslim)
Nas-nas al-Quran dan as-Sunah di atas secara jelas menunjukkan bahwa satu-satunya metode mengangkat Khalifah adalah baiat. Seluruh sahabat telah memahami hal itu dan bahkan mereka telah melaksanakannya. Baiat Khulafa’ur Rasyidin sangat jelas dalam masalah ini.
Prosedur Praktis Pengangkatan dan Baiat Khalifah
Prosedur praktis untuk mencalonkan Khalifah sebelum di baiat boleh menggunakan bentuk yang berbeda-beda. Hal itu sebagaimana yang terjadi kepada Khulafa’ur Rasyidin yang datang pasca wafatnya Rasulullah secara langsung. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman dan ‘Ali –radhiyaLlâh ‘anhum–. Seluruh sahabat mendiamkan dan menyetujui tata cara itu. Padahal tata cara itu termasuk perkara yang harus diingkari seandainya bertentangan dengan syara’. Karena perkara tersebut berkaitan dengan perkara terpenting yang menjadi sandaran keutuhan insitusi kaum muslim dan kelestarian pemerintahan yang melaksanakan hukum Islam. Dari penelitian terhadap peristiwa yang terjadi dalam pengangkatan keempat Khalifah itu, kami mendapati bahwa sebagian kaum muslim telah berdiskusi di Saqifah Bani Sa’idah. Mereka yang dicalonkan adalah Sa’ad, Abu Ubaidah, Umar dan Abu Bakar. Hanya saja Umar bin Khaththab dan Abu Ubaidah tidak rela menjadi pesaing Abu Bakar. Maka seakan-akan perkaranya berada hanya diantara Abu Bakar dan Sa’ad bin Ubadah, bukan yang lain. Hasil diskusi itu adalah dibaiatnya Abu Bakar. Kemudian pada hari kedua, kaum muslim diundang ke Masjid Nabawi lalu mereka membaiat Abu Bakar di sana. Maka baiat di Saqifah adalah baiat in’iqad sehingga dengan itu Abu Bakar menjadi Khalifah kaum muslim. Dan baiat di Masjid pada hari kedua merupakan baiat taat.
Ketika Abu Bakar merasa bahwa sakitnya akan membawa maut, dan khususnya karena pasukan kaum muslim sedang berada di medan perang melawan negara besar kala itu, Persia dan Rumawi, Abu Bakar memanggil kaum muslim meminta pendapat mereka tentang siapa yang akan menjadi Khalifah kaum muslim sepeninggalnya. Proses musyarawah itu berlangsung selama tiga bulan. Ketika Abu Bakar telah selesai meminta pendapat kaum muslim itu dan ia akhirnya mengetahui pendapat mayoritas kaum muslim, maka Abu Bakar mewasiatkan Umar, yakni mencalonkan sesuai dengan bahasa kala itu, agar Umar menjadi Khalifah setelahnya. Wasiat atau pencalonan itu bukan merupakan akad pengangkatan Umar sebagai Khalifah setelah Abu Bakar. Karena setelah wafatnya Abu Bakar, kaum muslim datang ke masjid dan membaiat Umar untuk memangku jabatan Khilafah. Dengan baiat inilah Umar sah menjadi Khalifah kaum muslim, bukan karena musyawarah yang dilakukan oleh Abu Bakar. Juga bukan karena wasiat Abu Bakar. Karena seandainya wasiat dari Abu Bakar merupakan akad khilafah kepada Umar, pastilah tidak lagi memerlukan baiat kaum muslim. Terlebih lagi nas-nas yang telah kami sebutkan sebelumnya telah menunjukkan secara jelas bahwa seseorang tidak akan menjadi Khalifah kecuali melalui baiat kaum muslim.
Ketika Umar tertikam, kaum muslim memintanya untuk menunjuk pengganti, namun Umar menolak. Setelah mereka terus mendesak, Beliau menunjuk enam orang yakni mengajukan calon sebanyak enam orang kepada kaum muslim. Kemudian Beliau menunjuk Suhaib untuk mengimami manusia dan untuk memimpin enam orang yang telah Beliau calonkan sehingga terpilih Khalifah dari mereka dalam jangka waktu tiga hari sebagaimana yang telah Beliau tentukan bagi mereka. Beliau berkata kepada Suhaib : “…. jika lima orang bersepakat dan rela dengan satu orang, dan yang menolak satu orang maka penggallah orang yang menolak itu dengan pedang …”. Peristiwa itu sebagaimana yang diceritakan oleh ath-Thabari dalam Târîkh ath-Thabariy, oleh Ibn Qutaibah pengarang buku al-Imâmah wa as-Siyâsah yang lebih dikenal dengan sebutan Târîkh al-Khulafâ’, oleh Ibn Sa’ad dalam Thabaqât al-Kubrâ. Kemudian beliau menunjuk Abu Thalhah al-Anshari bersama lima puluh orang untuk menjaga mereka. Beliau menugasi Miqdad untuk memilih tempat bagi para calon itu mengadakan pertemuan.
Kemudian setelah Beliau wafat dan setelah para calon berkumpul, Abdurrahman bin ‘Awf berkata : “…. siapa diantara kalian yang bersedia mengundurkan diri dan bersedia menyerahkan urusannya untuk dipimpin oleh orang yang terbaik diantara kalian?” Semuanya diam. Abdurrahman bin ‘Awf berkata : ” aku mengundurkan diri.” Lalu Abdurrahman mulai meminta pendapat mereka satu persatu. Ia menanyai mereka, seandainya perkara itu diserahkan kepada masing-masingnya, siapa diantara mereka yang lebih berhak. Maka jawabannya terbatas pada dua orang : Ali dan Utsman. Setelah itu, Abdurrahman mulai merujuk kepada pendapat kaum muslim dengan menanyai mereka siapa diantara kedua orang itu (Ali dan Utsman) yang mereka kehendaki. Ia menanyai baik laki-laki maupun perempuan dalam rangka menggali pendapat masyarakat. Abdurrahman bin ‘Awf melakukannya siang dan malam. Imam Bukhari mengeluarkan riwayat dari jalan al-Miswar bin Mukhrimah yang berkata : “.. Abdurrahman mengetuk pintu rumahku pada tengah malam, Ia mengetuk pintu hingga aku terbangun, ia berkata : “aku lihat engkau tidur, dan demi Allah jangan engkau habiskan tiga hari ini dengan banyak tidur.” Yakni tiga malam. Ketika orang-orang melaksanakan shalat subuh, sempurnalah dilangsungkan bait kepada Utsman. Maka dengan baiat kaum muslim itu, Utsman menjadi Khalifah, bukan dengan penetapan Umar kepada enam orang.
Kemudian Utsman terbunuh. Lalu mayoritas kaum muslim di Madinah dan Kufah membaiat ‘Ali bin Abiy Thalib. Maka dengan baiat kaum muslim itu, Ali menjadi seorang Khalifah.
Dengan meneliti tata cara pembaiatan mereka –radhiyaLlâh ‘anhum– jelaslah bahwa orang-orang yang dicalonkan itu diumumkan kapada masyarakat. Dan jelas pula bahwa syarat in’iqad terpenuhi dalam diri masing-masing dari mereka. Kemudian diambil pendapat dari ahl al-halli wa al-’aqdi diantara kaum muslim, yaitu mereka yang merepresentasikan umat. Mereka yang dicalonkan itu dikenal luas pada masa Khulafa’ur Rasyidin, karena mereka adalah para sahabat –radhiyaLlâh ‘anhum– atau penduduk Madinah. Siapa yang dikehendaki oleh para sahabat atau mayoritas para sahabat, maka orang itu dibaiat dengan baiat in’iqad dan dengan itu ia menjadi Khalifah dan kaum muslim menjadi wajib untuk mentaatinya. Lalu kaum muslim secara umum membaiatnya dengan baiat taat. Demikianlah terwujud Khalifah dan ia menjadi wakil umat dalam menjalankan pemerintahan dan kekuasaan.
Inilah yang dapat dipahami dari apa yang terjadi pada baiat Khulafa’ur Rasyidin –radhiyaLlâh ‘anhum–. Dari sana juga terdapat dua perkara lain yang dapat dipahami dari pencalonan Umar kepada enam orang dan dari prosedur pembaitan Utsman. Dua perkara itu adalah : adanya amir sementara yang memimpin selama jangka waktu pengangkatan Khalifah yang baru dan pembatasan calon sebanyak enam orang sebagai jumlah paling banyak.
Amir Sementara
Ketika Khalifah merasa ajalnya sudah dekat menjelang kosongnya jabatan Khilafah pada waktunya, Khalifah memiliki hak menunjuk amir sementara untuk menangani urusan masyarakat selama jangka waktu proses pengangkatan Khalifah yang baru. Amir sementara itu memulai tugasnya langsung setelah wafatnya Khalifah. Tugas pokoknya adalah melangsungkan pemilihan Khalifah yang baru dalam jangka waktu tiga hari.
Amir sementara ini tidak boleh mengadopsi (melegislasi) suatu hukum. Karena pengadopsian hukum itu adalah bagian dari wewenang Khalifah yang dibaiat oleh umat. Demikian juga, Amir sementara itu tidak boleh mencalonkan untuk jabatan khilafah atau mendukung salah seorang calon yang ada. Sebab Umar bin Khaththab telah menunjuk amir sementara itu dari selain orang yang dicalonkan untuk menduduki jabatan khilafah.
Jabatan amir sementara itu berakhir dengan diangkatnya Khalifah yang baru. Karena tugasnya hanya sementara waktu untuk kepentingan pengangkatan Khalifah yang baru itu.
Dalil yang menunjukkan bahwa Suhaib merupakan amir sementara yang ditunjuk oleh Umar adalah :
Perkataan Umar kepada para calon : “agar Suhaib memimpin kalian selama tiga hari dimana kalian bermusyawarah.” Kemudian Umar berkata kepada Suhaib : “pimpinlah shalat orang-orang selama tiga hari.” Sampai Beliau berkata : ” jika lima orang telah sepakat terhadap satu orang, dan satu orang menolak maka penggallah lehernya dengan pedang ….” Ini artinya bahwa Suhaib telah ditunjuk sebagai amir bagi mereka. Ia telah ditunjuk sebagai amir shalat, dan kepemimpinan shalat maksudnya adalah kepemimpinan atas manusia. Dan juga karena ia telah diberi wewenang menjalankan uqubat (sanksi) “penggallah lehernya“, sementara tidak ada yang boleh melaksanakan pembunuhan itu kecuali seorang amir.
Perkara itu telah terjadi dihadapan para sahabat tanpa ada pengingkaran, maka ketentuan tersebut menjadi ijmak bahwa Khalifah memiliki hak menunjuk amir sementara yang melangsungkan pemilihan Khalifah yang baru. Berdasarkan hal ini, selama kehidupannya, Khalifah juga boleh mengadopsi pasal yang menyatakan bahwa jika Khalifah meninggal dunia dan belum menunjuk amir sementara untuk melangsungkan pengangkatan Khalifah yang baru, hendaknya salah seorang menjadi amir sementara.
Kami mengadopsi dalam masalah ini, jika Khalifah selama sakitnya menjelang maut tidak menunjuk amir sementara, hendaknya amir sementara itu adalah mu’awin tafwidh yang paling tua, kecuali jika ia dicalonkan. Maka berikutnya adalah mu’awin tafwidh yang lebih muda setelahnya diantara para mu’awin tafwidh. Demikianlah sampai semua mu’awin tafwidh, seterusnya adalah para mu’awin tanfidz dengan urutan seperti itu.
Hal itu juga berlaku dalam kondisi Khalifah diberhentikan. Amir sementara adalah mu’awin tafwidh yang paling tua jika ia tidak dicalonkan. Jika ia dicalonkan, maka mu’awin tafwidh yang lebih muda setelahnya, sampai semua mu’awin tafwidh habis. Kemudian mu’awin tanfidz yang paling tua. Jika semua mu’awin ingin mencalonkan diri (atau dicalonkan), maka mu’awin tanfidz yang paling muda harus menjadi amir sementara.
Ketentuan ini juga berlaku pada kondisi Khalifah berada dalam tawanan, meski ada beberapa detil berkaitan dengan wewenang amir sementara dalam kondisi Khalifah tertawan sementara terdapat kemungkinan bebas, dan dalam kondisi tidak ada kemungkinan bebas. Dan kami akan mengatur wewenang-wewenang ini dalam undang-undang yang akan dikeluarkan pada waktunya nanti.
Amir sementara ini berbeda dengan orang yang ditunjuk Khalifah untuk mewakilinya ketika ia keluar untuk melaksanakan jihad atau keluar melakuakn perjalanan sebagaimana yang diperbuat oleh Rasulullah setiap kali Beliau keluar untuk berjihad atau ketika Beliau melaksanakan Haji Wada’ atau yang semisalnya. Orang yang diangkat dalam kondisi ini, wewenangnya sesuai dengan yang ditentukan oleh Khalifah dalam menjalankan pengaturan berbagai urusan (ri’âyah asy-syu’un) yang dituntut oleh penunjukan wakil itu.
Pembatasan Jumlah Calon Khalifah
Dari penelitian terhadap tata cara pengangkatan Khulafa’ur Rasyidin, nampak jelas bahwa pembatasan jumlah calon itu benar-benar terjadi. Pada peristiwa Saqifah Bani Sa’idah, para calon itu adalah Abu Bakar, Umar, Abu Ubaidah, dan Sa’ad bin Ubadah, dan dicukupkan dengan keempatnya. Akan tetapi, Umar dan Abu Ubaidah merasa tidak sepadan dengan Abu Bakar sehingga keduanya tidak mau bersaing dengan Abu Bakar. Maka pencalonan secara praktis terjadi diantara Abu Bakar dan Sa’ad bin Ubadah. Kemudian ahl al-halli wa al-‘aqdi di Saqifah memilih Abu Bakar sebagai Khalifah dan membaiatnya dengan baiat in’iqad. Pada hari berikutnya kaum muslim membaiat Abu Bakar di Masjid dengan baiat taat.
Abu Bakar hanya mencalonkan Umar, dan tidak ada calon lainnya. Kemudian kaum muslim membaiat Umar dengan baiat in’iqad lalu baiat taat.
Umar mencalonkan enam orang dan membatasinya pada mereka dan dipilih dari mereka satu orang sebagai Khalifah. Kemudian Abdurrahman bin ‘Awf berdiskusi dengan kelima yang lain dan akhirnya membatasi calon pada dua orang yaitu ‘Ali dan Utsman. Hal itu dilakukan setelah lima orang yang lain mewakilkan kepadanya. Setelah itu, Abdurrahman menggali pendapat masyarakat. Dan akhirnya suara masyarakat menetapkan Utsman sebagai Khalifah.
Adapun ‘Ali, tidak ada calon lain selain dia untuk menduduki jabatan khilafah. Maka mayoritas kaum muslim di Madinah dan Kufah membaiatnya dan jadilah ia sebagai Khalifah keempat.
Dan karena baiat Utsman di dalamnya telah terealisisasi : jangka waktu terpanjang yang dibolehkan untuk memilih Khalifah yaitu tiga hari dengan dua malamnya; dan demikian juga jumlah calon dibatasi sebanyak enam orang, kemudian setelah itu dijadikan dua orang, maka berikut akan kami sebutkan tata cara terjadinya peristiwa tersebut secara detil untuk mengambil faedah darinya :
1. Umar wafat pada Ahad subuh tanggal 1 Muharam 24 H sebagai akibat dari tikaman Abu Lu’lu’ah –la’anahuLlâh–. Umar tertikam dalam keadaan berdiri melaksanakan shalat di mihrab pada Rabu fajar empat hari tersisa dari bulan Dzul Hijjah 23 H. Suhaib mengimami shalat jenazah untuk Umar seperti yang telah Beliau pesankan.
2. Setelah selesai pemakaman jenazah Umar –radhiyaLlâh ‘anhu–, Miqdad mengumpulkan ahl syura yang telah dipesankan Umar di satu rumah. Abu Thalhah bertugas menjaga (mengisolasi) mereka. Mereka berenam duduk bermusyawarah. Kemudian mereka mewakilkan kepada Abdurrahman bin ‘Awf untuk memilih diantara mereka sebagai Khalifah dan mereka rela.
3. Abdurrahman mulai berdiskusi dan menanyai masing-masing : jika ia tidak menjadi Khalifah, siapa dari empat calon yang lain yang ia pandang sebagai Khalifah? Jawaban mereka tidak menentukan Ali dan Utsman. Dan berikutnya Abdurrahman membatasi perkara dengan dua orang (‘Ali dan Utsman) dari enam orang itu.
4. Setelah itu, Abdurrahman meminta pendapat masyarakat seperti yang sudah diketahui.
5. Pada malam Rabu yakni malam hari ketiga setelah wafatnya Umar pada hari Ahad, Abdurrahman pergi ke rumah Putra Saudarinya, al-Maysur bin Mukhrimah, dan dari sini saya nukilkan dari al-Bidâyah wa an-Nihâyah karya Ibn Katsir :
Ketika malam Rabu setelah wafatnya Umar, Abdurrahman datang ke rumah putra saudarinya, al-Maysur bin Mukhrimah, dan ia berkata : “apakah engkau tidur wahai Maysur? Demi Allah aku tidak tidur sejak tiga …” yakni tiga malam setelah wafatnya Umar hari Ahad subuh, artinya malam Senin, malam Selasa dan malam Rabu, sampai Abdurrahman berkata : “pergilah dan panggilkan Ali dan Utsman untukku…..Kemudian ia keluar ke masjid bersama Ali dan Utsman….Lalu ia menyeru kepada orang-orang secara umum : ash-shalâtu jâmi’ah (mari shalat berjama’ah). Saat itu adalah saat fajar hari Rabu. Kemudian Abdurrahman mengambil tangan ‘Aliy –radhiyaLlâh ‘anhu wa karamaLlâh wajhah– dan ia menanyainya tentang (kesediaan) dibaiat berdasarkan al-Kitab, Sunah Rasulullah dan perbuatan Abu Bakar dan Umar. Lalu Ali menjawabnya dengan jawaban yang sudah dikenal : berdasarkan al-Kitab dan as-Sunah, iya, sedangkan atas perbuatan Abu Bakar dan Umar, maka ia (Ali) akan berijtihad sesuai pendapatnya sendiri. Lalu Abdurrahman melepaskan tangan Ali. Berikutnya Abdurrahman mengambil tangan Utsman dan menanyai Utsman dengan pertanyaan yang sama. Lalu Utsman menjawah : “demi Allah, ya”. Dan sempurnalah dilangsungkan baiat kepada Utsman –radhiyaLlâh ‘anhu–.
Dan Suhaib mengimami shalat Subuh dan salat Dhuhur hari itu. Kemudian Utsman mengimami Shalat Ashar pada hari itu sebagai Khalifah kaum muslim. Artinya, meskipun baiat in’iqad kepada Utsman dimulai ketika shalat subuh, namun kepemimpinan Suhaib belum berakhir kecuali setelah terjadi baiat ahl al-hall wa al-‘aqd di Madinah kepada Utsman yang selesai dilakukan menjelang shalat Ashar. Karena para sahabat berdesak-desakan untuk membaiat Utsman sampai setelah tengah hari dan menjelang shalat Ashar. Baiat itu selesai dilakukan menjelang shalat Ashar. Maka saat itu berakhirlah kepemimpinan Suhaib dan Utsman menjadi imam shalat Ashar dalam kapasitasnya sebagai Khalifah kaum muslim.
Penulis al-Bidâyah wa an-Nihâyah (Ibn Katsir) menjelaskan kenapa Suhaib masih mengimami shalat Dhuhur, dan sudah diketahui bahwa baiat kepada Utsman telah sempurna dilangsungkan pada waktu fajar. Ibn Katsir berkata :
“… orang-orang membaiat Utsman di Masjid, kemudian Utsman pergi ke Dar Syura (yakni rumah tempat berkumpulnya ahl syura), dan sisa manusia yang lain membaiat Utsman di tempat itu. Dan seakan baiat itu baru selesai (sempurna) setelah shalat Dhuhur. Suhaib pada hari itu mengimami shalat Dhuhur di Masjid Nabawi. Sedang shalat pertama kali yang dilaksanakan oleh Khalifah Amîr al-Mu’minîn Utsman mengimami masyarakat adalah shalat Ashar….”.
Dalam hal ini terdapat perbedaan (dalam beberapa riwayat) mengenai hari tertikamnya Umar dan hari dibaiatnya Utsman…. akan tetapi kami sebutkan yang lebih kuat diantara riwayat yang ada.
Atas dasar ini, beberapa perkara berikut wajib diambil sebagai ketentuan saat pencalonan khilafah setelah Khalifah sebelumnya lengser baik karena meninggal dunia atau di copot, yaitu :
1. aktivitas berkaitan dengan masalah pencalonan hendaknya dilakukan pada malam dan siang hari pertama.
2. Pembatasan calon dari sisi terpenuhinya syarat in’iqad. Hal ini dilakukan oleh Mahkamah Mazhalim.
3. Pembatasan jumlah calon yang layak dilakukan dua kali : pertama, dibatasi sebanyak enam orang, dan kedua dibatasi menjadi dua orang. Pihak yang melakukan dua pembatasan ini adalah Majelis Umat dalam kapasitasnya sebagai wakil umat. Karena umat mendelegasikan kepada Umar, lalu Umar menetapkannya enam orang. Dan enam orang itu mendelegasikan kepada Abdurrahman dan setelah melalui diskusi dibatasi menjadi dua orang. Referensi semua ini adalah sebagaimana yang sudah jelas adalah umat atau yang mewakili umat.
4. Wewenang amir sementara berakhir dengan berakhirnya proses baiat dan pengangkatan Khalifah, bukan dengan pengumuman hasil pemilihan. Suhaib belum berakhir kepemimpinannya dengan terpilihnya Utsman akan tetapi dengan selesainya baiat.
Sesuai dengan yang sudah dijelaskan, akan dikeluarkan undang-undang yang menentukan tata cara pemilihan Khalifah selama dua malam tiga hari. Undang-undang untuk itu telah dibuat dan akan selesai didiskusikan dan diadopsi pada waktunya nanti.
Ini jika sebelumnya terdapat Khalifah yang meninggal atau dicopot. … dan hendak direalisasikan Khalifah baru menggantikannya. Adapun jika sebelumnya belum terdapat Khalifah, maka wajib bagi kaum muslim menegakkan seorang Khalifah bagi mereka, untuk menerapkan hukum-hukum syara’ dan mengemban dakwah Islamiyah ke seluruh dunia. Kondisi itu seperti kondisi yang ada sejak lenyapnya Khilafah Islamiyah di Istanbul pada tanggal 28 rajab 1342 H bertepatan dengan 3 Maret 1924 M. Setiap negeri dari berbagai negeri yang ada di dunia Islam layak untuk membaiat Khalifah dan mengakadkan jabatan khilafah. Maka saat itu menjadi wajib bagi kaum muslim di seluruh negeri untuk membaiatnya dengan baiat taat. Yakni baiat keterikatan setelah terakadkan kepadanya dengan baiat penduduk negeri itu, asalkan negeri itu memenuhi empat syarat berikut :
1. Kekuasaan negeri itu haruslah kekuasaan yang bersifat independent yang hanya bersandar kepada kaum muslim saja. Tidak bersandar kepada satu negara kafir atau kekuasaan kafir manapun.
2. Keamanan kaum muslim di negeri itu adalah kemanan Islam, bukan keamanan kufur. Yakni hendaknya perlindungan baik dari dalam negeri maupun luar negeri merupakan perlindungan Islam berasal dari kekuatan kaum muslim sebagai kekuatan Islam saja.
3. Hendaknya penerapan Islam dilakukan secara langsung dan sekaligus dan secara sempurna sebagai penerapan yang bersifat revolusioner dan menyeluruh (tathbîqan inqilâbiyan syâmilan) dan langsung mengemban dakwah Islamiyah
4. Khalifah yang dibaiat harus memenuhi syarat in’iqad khilafah meskipun tidak memenuhi syarat afdhaliyah. Karena yang wajib adalah syarat in’iqad.
Jika negeri itu memenuhi keempat hal di atas, maka hanya dengan baiat negeri itu saja, khilafah sungguh telah terwujud dan terakadkan. Khalifah yang mereka baiat dengan baiat in’iqad secara sah merupakan Khalifah yang syar’i dan tidak sah baiat kepada yang lain.
Setelah itu, negeri lain manapun yang membaiat Khalifah yang lain maka baiat itu tidak sah dan batil. Karena Rasulullah saw pernah bersabda :
إِذَا بُوْيِعَ لِخَلِيْفَتَيْنِ فَاقْتُلُوْا اْلآخِرَ مِنْهُمَا
Jika dibaiat dua orang Khalifah maka bunuhlah yang paling akhir dari keduanya
… فُوْا بِبَيْعَةِ اْلأَوَّلِ فَاْلأَوَّلِ
.. penuhilah baiat yang pertama lalu yang pertama
مَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَ ثَمْرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ اِسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرٌ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوْا عُنُقَ اْلآخَرِ
Siapa saja yang telah membaiat seorang imam lalu ia telah memberikan genggaman tangannya dan buah hatinya, maka hendaklah ia mentaatinya sesuai dengan kemampuannya, dan jika datang orang lain yang hendak merebut kekuasaannya maka penggallah orang lain itu (HR. Muslim)
Tata Cara Baiat
Telah kami jelaskan dalil-dalil baiat dan bahwa baiat adalah metode pengangkatan Khalifah dalam Islam. Adapun tata caranya, baiat bisa dilakukan dengan berjabat tangan dan bisa juga dengan tulisan. Abdullah bin Dinar telah menyampaikan hadits, ia berkata :
Aku menyaksikan Ibn Umar dimana orang-orang telah bersepakat untuk membaiat Abdul Malik bin Marwan, ia berkata bahwa dia menulis : “aku berikrar untuk mendengarkan dan mentaati Abdullah Abdul Malik bin Marwan sebagai amirul mukminin atas dasar kitabullah dan sunah rasul-Nya dalam hal yang aku mampu.”
Baiat itu boleh dilakukan dengan sarana apapun yang memungkinkan.
Hanya saja disyaratkan agar baiat itu dilakukan oleh orang yang sudah balig. Baiat tidak sah dilakukan oleh anak-anak yang belum baligh. Abu ‘Uqail Zuhrah bin Ma’bad telah menyampaikan hadits dari kakeknya Abdullah bin Hisyam yang pernah berjumpa dengan Nabi saw : Abdullah pernah dibawa ibunya Zainab binti Humaid, kepada Rasulullah saw. Ibunya berkata : “ya Rasulullah saw terimalah baiatnya!” Lalu Nabi saw bersabda : “ia masih kecil“. Dan beliau mengusap kepalanya dan mendoakannya (HR. Bukhari).
Adapun lafazh baiat, tidak disyaratkan terikat dengan lafazh-lafazh tertentu. Akan tetapi harus mengandung makna sebagai baiat untuk mengamalkan Kitabullah dan sunah Rasul-Nya bagi Khalifah dan harus mengandung makna kesanggupan untuk mentaati dalam keadaan sulit atau lapang, disenangi atau tidak disenangi bagi orang yang memberikan baiat. Nanti akan dikeluarkan undang-undang yang membatasi redaksi baiat sesuai penjelasan sebelumnya.
Manakala pihak yang membaiat telah memberikan baiatnya kepada Khalifah, maka baiat itu menjadi amanah diatas pundak pihak yang membaiat dan tidak diperbolehkan mencabutnya. Baiat ditinjau dari sisi pengangkatan khilafah merupakan hak yang harus dipenuhi. Jika baiat itu telah diberikan, maka ia wajib terikat dengannya. Kalau pihak yang memberikan baiat itu ingin menariknya kembali maka hal itu tidak diperbolehkan. Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dari Jabir bin Abdullah –radhiyaLlâh ‘anhu– bahwa seorang arab badui telah membaiat Rasulullah saw untuk menetapi Islam. Kemudian ia menderita sakit, lalu ia berkata : “kembalikan baiatku kepadaku!” Beliau menolaknya, lalu orang itu pergi. Lantas Beliau bersabda :
المدينة كالكبر تنفي خبثها، وينصع طيبها
“Madinah ini seperti tungku (tukang besi) yang bisa membersihkan debu-debu yang kotor dan membuat cemerlang yang baik.”
Diriwayatkan dari Nafi’ yang berkata : “Abdullah bin Umar pernah mengatakan kepadaku : “aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda :
من خلع يدا من طاعة لقي الله يوم القيامة لا حجة له
Siapa saja yang melepaskan tangan dari ketaatan, ia pasti menjumpai Allah pada hari kiamat tanpa memiliki hujjah (HR. Muslim)
Membatalkan baiat kepada Khalifah sama artinya dengan melepaskan tangan dari ketaatan kepada Allah. Hanya saja ketentuan itu berlaku jika baiat kepada Khalifah itu adalah baiat in’iqad atau merupakan baiat taat kepada Khalifah yang telah sah baiat in’iqad kepadanya. Adapun jika baiat itu baru permulaan lalu baiat tersebut belum sampai sempurna, maka pihak yang membaiat boleh melepaskan baiatnya dengan syarat baiat in’iqad dari kaum muslim kepada Khalifah itu belum sempurna. Larangan dalam hadits itu berlaku untuk orang yang menarik kembali baiat Khalifah, bukan menarik kembali baiat kepada seseorang yang belum sempurna jabatan khilafahnya.
Salah satu pertanyaan yang sering dilontarkan seputar Khilafah adalah bagaimana tata cara (metode) untuk pengangkatan Khalifah. Tidak sedikit yang menolak sistem Khilafah dengan alasan di dalam Islam tidak ada ketentuan yang jelas tentang mekanisme pengangkatan Khalifah. Berikut ini tulisan tentang hal itu yang diambil dari kitab ajhizatu ad Daulah al Khilafah (Struktur Negara Khilafah ).
Ketika syara’ mewajibkan umat Islam untuk mengangkat seorang Khalifah, syara’ juga telah menentukan metode yang harus dilaksanakan untuk mengangkat Khalifah. Metode ini ditetapkan dengan al-Kitab, as-Sunah dan Ijmak Sahabat. Metode itu adalah baiat. Maka pengangkatan Khalifah itu dilakukan dengan baiat kaum muslim kepadanya untuk (memerintah) berdasarkan Kitabullah dan Sunah Rasulullah. Yang dimaksud kaum muslim disini adalah kaum muslim yang menjadi rakyat Khalifah sebelumnya jika Khalifah sebelumnya itu ada. Atau kaum muslim penduduk suatu wilayah yang disitu diangkat seorang Khalifah, jiak sebelumnya tidak ada Khalifah.
Kedudukan baiat sebagai metode pengangkatan Khalifah telah ditetapkan dari baiat kaum muslim kepada Rasulullah saaw dan dari perintah beliau kepada kita untuk membaiat seorang imam. Baiat kaum muslim kepada Rasul saw, sesungguhnya bukanlah bait atas kenabian, melainkan baiat atas pemerintahan. Karena baiat itu adalah baiat atas amal dan bukan baiat untuk mempercayai kenabian. Beliau dibaiat tidak lain dalam kapasitas sebagai penguasa, bukan dalam kapasitas sebagai nabi dan rasul. Sebab pengakuan atas kenabian dan kerasulan adalah masalah iman, bukan baiat. Maka baiat kepada Beliau itu tidak lain adalah baiat dalam kapasitas beliau sebagai kepala negara.
Masalah baiat itu telah tercantum dalam al-Quran dan hadits. Allah Swt telah berfirman :
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا جَاءَكَ الْمُؤْمِنَاتُ يُبَايِعْنَكَ عَلَى أَنْ لاَ يُشْرِكْنَ بِاللهِ شَيْئًا وَلَا يَسْرِقْنَ وَلاَ يَزْنِينَ وَلاَ يَقْتُلْنَ أَوْلاَدَهُنَّ وَلاَ يَأْتِينَ بِبُهْتَانٍ يَفْتَرِينَهُ بَيْنَ أَيْدِيهِنَّ وَأَرْجُلِهِنَّ وَلاَ يَعْصِينَكَ فِي مَعْرُوفٍ
Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatupun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik. (QS. Muhtahanah : 12)
إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللهَ يَدُ اللهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ
Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka. (QS. al-Fath : 10)
Imam Bukhari meriwayatkan : Ismail telah menyampaikan kepada kami, Malik telah menyampaikan kepadaku dari Yahya bin Sa’id, ia berkata : “Ubadah bin Walid telah memberitahuku, Bapakku telah memberitahuku dari Ubadah bin Shamit yang mengakatakan :
بَايَعْنَا رَسُولَ اللهِ r عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي الْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ اْلأَمْرَ أَهْلَهُ وَأَنْ نَقُومَ أَوْ نَقُولَ بِالْحَقِّ حَيْثُمَا كُنَّا لاَ نَخَافُ فِي اللهِ لَوْمَةَ لاَئِمٍ
Kami telah membaiat Rasulullah saw untuk senantiasa mendengar dan mentaatinya, baik dalam keadaan yang kami senangi maupun yang tidak kami senangi dan agar kami tidak akan merebut kekuasaan dari orang yang berhak dan agar kami senantiasa mengerjakan atau mengatakan yang haq di mana saja kami berada tidak takut karena Allah kepada celaan orang-orang yang suka mencela (HR. Bukhari)
Dalam riwayat Imam Muslim dari Abdullah bin Amr bin al-‘Ash bahwa Rasulullah saw pernah bersabda :
وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَ ثَمْرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ اِسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرٌ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوْا عُنُقَ اْلآخَرِ
Dan siapa saja yang telah membaiat seorang imam lalu ia telah memberikan genggaman tangannya dan buah hatinya, maka hendaklah ia mentaatinya sesuai dengan kemampuannya, dan jika datang orang lain yang hendak merebut kekuasaannya maka penggallah orang lain itu (HR. Muslim)
Juga di dalam Shahih Muslim, dari Abu Sa’id al-Khudzri yang mengatakan : Rasulullah saw pernah bersabda :
إِذَا بُوْيِعَ لِخَلِيْفَتَيْنِ فَاقْتُلُوْا اْلآخِرَ مِنْهُمَا
Jika dibaiat dua orang Khalifah, maka bunuhlah yang paling akhir dari keduanya (HR. Muslim)
Imam Muslim juga meriwayatkan dari Abiy Hazim yang berkata : “aku mengikuti mejelis Abu Hurairah selama lima tahun, dan aku mendengar ia menyampaikan hadits dari Nabi saw, Beliau pernah bersabda :
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ اْلأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُرُ، قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا؟ قَالَ: فُوْا بِبَيْعَةِ اْلأَوَّلِ فَاْلأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
Dahulu Bani Israel diurusi dan dipelihara oleh para nabi, setiap kali seorang nabi meninggal digantikan oleh nabi, dan sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku, dan akan ada para Khalifah, dan mereka banyak, para sahabat bertanya : “lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Nabi bersabda : “penuhilah baiat yang pertama dan yang pertama, berikanlah kepada mereka hak mereka, dan sesungguhnya Allah akan meminta pertanggung-jawaban mereka atas apa yang mereka diminta untuk mengatur dan memeliharanya (HR. Muslim)
Nas-nas al-Quran dan as-Sunah di atas secara jelas menunjukkan bahwa satu-satunya metode mengangkat Khalifah adalah baiat. Seluruh sahabat telah memahami hal itu dan bahkan mereka telah melaksanakannya. Baiat Khulafa’ur Rasyidin sangat jelas dalam masalah ini.
Prosedur Praktis Pengangkatan dan Baiat Khalifah
Prosedur praktis untuk mencalonkan Khalifah sebelum di baiat boleh menggunakan bentuk yang berbeda-beda. Hal itu sebagaimana yang terjadi kepada Khulafa’ur Rasyidin yang datang pasca wafatnya Rasulullah secara langsung. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman dan ‘Ali –radhiyaLlâh ‘anhum–. Seluruh sahabat mendiamkan dan menyetujui tata cara itu. Padahal tata cara itu termasuk perkara yang harus diingkari seandainya bertentangan dengan syara’. Karena perkara tersebut berkaitan dengan perkara terpenting yang menjadi sandaran keutuhan insitusi kaum muslim dan kelestarian pemerintahan yang melaksanakan hukum Islam. Dari penelitian terhadap peristiwa yang terjadi dalam pengangkatan keempat Khalifah itu, kami mendapati bahwa sebagian kaum muslim telah berdiskusi di Saqifah Bani Sa’idah. Mereka yang dicalonkan adalah Sa’ad, Abu Ubaidah, Umar dan Abu Bakar. Hanya saja Umar bin Khaththab dan Abu Ubaidah tidak rela menjadi pesaing Abu Bakar. Maka seakan-akan perkaranya berada hanya diantara Abu Bakar dan Sa’ad bin Ubadah, bukan yang lain. Hasil diskusi itu adalah dibaiatnya Abu Bakar. Kemudian pada hari kedua, kaum muslim diundang ke Masjid Nabawi lalu mereka membaiat Abu Bakar di sana. Maka baiat di Saqifah adalah baiat in’iqad sehingga dengan itu Abu Bakar menjadi Khalifah kaum muslim. Dan baiat di Masjid pada hari kedua merupakan baiat taat.
Ketika Abu Bakar merasa bahwa sakitnya akan membawa maut, dan khususnya karena pasukan kaum muslim sedang berada di medan perang melawan negara besar kala itu, Persia dan Rumawi, Abu Bakar memanggil kaum muslim meminta pendapat mereka tentang siapa yang akan menjadi Khalifah kaum muslim sepeninggalnya. Proses musyarawah itu berlangsung selama tiga bulan. Ketika Abu Bakar telah selesai meminta pendapat kaum muslim itu dan ia akhirnya mengetahui pendapat mayoritas kaum muslim, maka Abu Bakar mewasiatkan Umar, yakni mencalonkan sesuai dengan bahasa kala itu, agar Umar menjadi Khalifah setelahnya. Wasiat atau pencalonan itu bukan merupakan akad pengangkatan Umar sebagai Khalifah setelah Abu Bakar. Karena setelah wafatnya Abu Bakar, kaum muslim datang ke masjid dan membaiat Umar untuk memangku jabatan Khilafah. Dengan baiat inilah Umar sah menjadi Khalifah kaum muslim, bukan karena musyawarah yang dilakukan oleh Abu Bakar. Juga bukan karena wasiat Abu Bakar. Karena seandainya wasiat dari Abu Bakar merupakan akad khilafah kepada Umar, pastilah tidak lagi memerlukan baiat kaum muslim. Terlebih lagi nas-nas yang telah kami sebutkan sebelumnya telah menunjukkan secara jelas bahwa seseorang tidak akan menjadi Khalifah kecuali melalui baiat kaum muslim.
Ketika Umar tertikam, kaum muslim memintanya untuk menunjuk pengganti, namun Umar menolak. Setelah mereka terus mendesak, Beliau menunjuk enam orang yakni mengajukan calon sebanyak enam orang kepada kaum muslim. Kemudian Beliau menunjuk Suhaib untuk mengimami manusia dan untuk memimpin enam orang yang telah Beliau calonkan sehingga terpilih Khalifah dari mereka dalam jangka waktu tiga hari sebagaimana yang telah Beliau tentukan bagi mereka. Beliau berkata kepada Suhaib : “…. jika lima orang bersepakat dan rela dengan satu orang, dan yang menolak satu orang maka penggallah orang yang menolak itu dengan pedang …”. Peristiwa itu sebagaimana yang diceritakan oleh ath-Thabari dalam Târîkh ath-Thabariy, oleh Ibn Qutaibah pengarang buku al-Imâmah wa as-Siyâsah yang lebih dikenal dengan sebutan Târîkh al-Khulafâ’, oleh Ibn Sa’ad dalam Thabaqât al-Kubrâ. Kemudian beliau menunjuk Abu Thalhah al-Anshari bersama lima puluh orang untuk menjaga mereka. Beliau menugasi Miqdad untuk memilih tempat bagi para calon itu mengadakan pertemuan.
Kemudian setelah Beliau wafat dan setelah para calon berkumpul, Abdurrahman bin ‘Awf berkata : “…. siapa diantara kalian yang bersedia mengundurkan diri dan bersedia menyerahkan urusannya untuk dipimpin oleh orang yang terbaik diantara kalian?” Semuanya diam. Abdurrahman bin ‘Awf berkata : ” aku mengundurkan diri.” Lalu Abdurrahman mulai meminta pendapat mereka satu persatu. Ia menanyai mereka, seandainya perkara itu diserahkan kepada masing-masingnya, siapa diantara mereka yang lebih berhak. Maka jawabannya terbatas pada dua orang : Ali dan Utsman. Setelah itu, Abdurrahman mulai merujuk kepada pendapat kaum muslim dengan menanyai mereka siapa diantara kedua orang itu (Ali dan Utsman) yang mereka kehendaki. Ia menanyai baik laki-laki maupun perempuan dalam rangka menggali pendapat masyarakat. Abdurrahman bin ‘Awf melakukannya siang dan malam. Imam Bukhari mengeluarkan riwayat dari jalan al-Miswar bin Mukhrimah yang berkata : “.. Abdurrahman mengetuk pintu rumahku pada tengah malam, Ia mengetuk pintu hingga aku terbangun, ia berkata : “aku lihat engkau tidur, dan demi Allah jangan engkau habiskan tiga hari ini dengan banyak tidur.” Yakni tiga malam. Ketika orang-orang melaksanakan shalat subuh, sempurnalah dilangsungkan bait kepada Utsman. Maka dengan baiat kaum muslim itu, Utsman menjadi Khalifah, bukan dengan penetapan Umar kepada enam orang.
Kemudian Utsman terbunuh. Lalu mayoritas kaum muslim di Madinah dan Kufah membaiat ‘Ali bin Abiy Thalib. Maka dengan baiat kaum muslim itu, Ali menjadi seorang Khalifah.
Dengan meneliti tata cara pembaiatan mereka –radhiyaLlâh ‘anhum– jelaslah bahwa orang-orang yang dicalonkan itu diumumkan kapada masyarakat. Dan jelas pula bahwa syarat in’iqad terpenuhi dalam diri masing-masing dari mereka. Kemudian diambil pendapat dari ahl al-halli wa al-’aqdi diantara kaum muslim, yaitu mereka yang merepresentasikan umat. Mereka yang dicalonkan itu dikenal luas pada masa Khulafa’ur Rasyidin, karena mereka adalah para sahabat –radhiyaLlâh ‘anhum– atau penduduk Madinah. Siapa yang dikehendaki oleh para sahabat atau mayoritas para sahabat, maka orang itu dibaiat dengan baiat in’iqad dan dengan itu ia menjadi Khalifah dan kaum muslim menjadi wajib untuk mentaatinya. Lalu kaum muslim secara umum membaiatnya dengan baiat taat. Demikianlah terwujud Khalifah dan ia menjadi wakil umat dalam menjalankan pemerintahan dan kekuasaan.
Inilah yang dapat dipahami dari apa yang terjadi pada baiat Khulafa’ur Rasyidin –radhiyaLlâh ‘anhum–. Dari sana juga terdapat dua perkara lain yang dapat dipahami dari pencalonan Umar kepada enam orang dan dari prosedur pembaitan Utsman. Dua perkara itu adalah : adanya amir sementara yang memimpin selama jangka waktu pengangkatan Khalifah yang baru dan pembatasan calon sebanyak enam orang sebagai jumlah paling banyak.
Amir Sementara
Ketika Khalifah merasa ajalnya sudah dekat menjelang kosongnya jabatan Khilafah pada waktunya, Khalifah memiliki hak menunjuk amir sementara untuk menangani urusan masyarakat selama jangka waktu proses pengangkatan Khalifah yang baru. Amir sementara itu memulai tugasnya langsung setelah wafatnya Khalifah. Tugas pokoknya adalah melangsungkan pemilihan Khalifah yang baru dalam jangka waktu tiga hari.
Amir sementara ini tidak boleh mengadopsi (melegislasi) suatu hukum. Karena pengadopsian hukum itu adalah bagian dari wewenang Khalifah yang dibaiat oleh umat. Demikian juga, Amir sementara itu tidak boleh mencalonkan untuk jabatan khilafah atau mendukung salah seorang calon yang ada. Sebab Umar bin Khaththab telah menunjuk amir sementara itu dari selain orang yang dicalonkan untuk menduduki jabatan khilafah.
Jabatan amir sementara itu berakhir dengan diangkatnya Khalifah yang baru. Karena tugasnya hanya sementara waktu untuk kepentingan pengangkatan Khalifah yang baru itu.
Dalil yang menunjukkan bahwa Suhaib merupakan amir sementara yang ditunjuk oleh Umar adalah :
Perkataan Umar kepada para calon : “agar Suhaib memimpin kalian selama tiga hari dimana kalian bermusyawarah.” Kemudian Umar berkata kepada Suhaib : “pimpinlah shalat orang-orang selama tiga hari.” Sampai Beliau berkata : ” jika lima orang telah sepakat terhadap satu orang, dan satu orang menolak maka penggallah lehernya dengan pedang ….” Ini artinya bahwa Suhaib telah ditunjuk sebagai amir bagi mereka. Ia telah ditunjuk sebagai amir shalat, dan kepemimpinan shalat maksudnya adalah kepemimpinan atas manusia. Dan juga karena ia telah diberi wewenang menjalankan uqubat (sanksi) “penggallah lehernya“, sementara tidak ada yang boleh melaksanakan pembunuhan itu kecuali seorang amir.
Perkara itu telah terjadi dihadapan para sahabat tanpa ada pengingkaran, maka ketentuan tersebut menjadi ijmak bahwa Khalifah memiliki hak menunjuk amir sementara yang melangsungkan pemilihan Khalifah yang baru. Berdasarkan hal ini, selama kehidupannya, Khalifah juga boleh mengadopsi pasal yang menyatakan bahwa jika Khalifah meninggal dunia dan belum menunjuk amir sementara untuk melangsungkan pengangkatan Khalifah yang baru, hendaknya salah seorang menjadi amir sementara.
Kami mengadopsi dalam masalah ini, jika Khalifah selama sakitnya menjelang maut tidak menunjuk amir sementara, hendaknya amir sementara itu adalah mu’awin tafwidh yang paling tua, kecuali jika ia dicalonkan. Maka berikutnya adalah mu’awin tafwidh yang lebih muda setelahnya diantara para mu’awin tafwidh. Demikianlah sampai semua mu’awin tafwidh, seterusnya adalah para mu’awin tanfidz dengan urutan seperti itu.
Hal itu juga berlaku dalam kondisi Khalifah diberhentikan. Amir sementara adalah mu’awin tafwidh yang paling tua jika ia tidak dicalonkan. Jika ia dicalonkan, maka mu’awin tafwidh yang lebih muda setelahnya, sampai semua mu’awin tafwidh habis. Kemudian mu’awin tanfidz yang paling tua. Jika semua mu’awin ingin mencalonkan diri (atau dicalonkan), maka mu’awin tanfidz yang paling muda harus menjadi amir sementara.
Ketentuan ini juga berlaku pada kondisi Khalifah berada dalam tawanan, meski ada beberapa detil berkaitan dengan wewenang amir sementara dalam kondisi Khalifah tertawan sementara terdapat kemungkinan bebas, dan dalam kondisi tidak ada kemungkinan bebas. Dan kami akan mengatur wewenang-wewenang ini dalam undang-undang yang akan dikeluarkan pada waktunya nanti.
Amir sementara ini berbeda dengan orang yang ditunjuk Khalifah untuk mewakilinya ketika ia keluar untuk melaksanakan jihad atau keluar melakuakn perjalanan sebagaimana yang diperbuat oleh Rasulullah setiap kali Beliau keluar untuk berjihad atau ketika Beliau melaksanakan Haji Wada’ atau yang semisalnya. Orang yang diangkat dalam kondisi ini, wewenangnya sesuai dengan yang ditentukan oleh Khalifah dalam menjalankan pengaturan berbagai urusan (ri’âyah asy-syu’un) yang dituntut oleh penunjukan wakil itu.
Pembatasan Jumlah Calon Khalifah
Dari penelitian terhadap tata cara pengangkatan Khulafa’ur Rasyidin, nampak jelas bahwa pembatasan jumlah calon itu benar-benar terjadi. Pada peristiwa Saqifah Bani Sa’idah, para calon itu adalah Abu Bakar, Umar, Abu Ubaidah, dan Sa’ad bin Ubadah, dan dicukupkan dengan keempatnya. Akan tetapi, Umar dan Abu Ubaidah merasa tidak sepadan dengan Abu Bakar sehingga keduanya tidak mau bersaing dengan Abu Bakar. Maka pencalonan secara praktis terjadi diantara Abu Bakar dan Sa’ad bin Ubadah. Kemudian ahl al-halli wa al-‘aqdi di Saqifah memilih Abu Bakar sebagai Khalifah dan membaiatnya dengan baiat in’iqad. Pada hari berikutnya kaum muslim membaiat Abu Bakar di Masjid dengan baiat taat.
Abu Bakar hanya mencalonkan Umar, dan tidak ada calon lainnya. Kemudian kaum muslim membaiat Umar dengan baiat in’iqad lalu baiat taat.
Umar mencalonkan enam orang dan membatasinya pada mereka dan dipilih dari mereka satu orang sebagai Khalifah. Kemudian Abdurrahman bin ‘Awf berdiskusi dengan kelima yang lain dan akhirnya membatasi calon pada dua orang yaitu ‘Ali dan Utsman. Hal itu dilakukan setelah lima orang yang lain mewakilkan kepadanya. Setelah itu, Abdurrahman menggali pendapat masyarakat. Dan akhirnya suara masyarakat menetapkan Utsman sebagai Khalifah.
Adapun ‘Ali, tidak ada calon lain selain dia untuk menduduki jabatan khilafah. Maka mayoritas kaum muslim di Madinah dan Kufah membaiatnya dan jadilah ia sebagai Khalifah keempat.
Dan karena baiat Utsman di dalamnya telah terealisisasi : jangka waktu terpanjang yang dibolehkan untuk memilih Khalifah yaitu tiga hari dengan dua malamnya; dan demikian juga jumlah calon dibatasi sebanyak enam orang, kemudian setelah itu dijadikan dua orang, maka berikut akan kami sebutkan tata cara terjadinya peristiwa tersebut secara detil untuk mengambil faedah darinya :
1. Umar wafat pada Ahad subuh tanggal 1 Muharam 24 H sebagai akibat dari tikaman Abu Lu’lu’ah –la’anahuLlâh–. Umar tertikam dalam keadaan berdiri melaksanakan shalat di mihrab pada Rabu fajar empat hari tersisa dari bulan Dzul Hijjah 23 H. Suhaib mengimami shalat jenazah untuk Umar seperti yang telah Beliau pesankan.
2. Setelah selesai pemakaman jenazah Umar –radhiyaLlâh ‘anhu–, Miqdad mengumpulkan ahl syura yang telah dipesankan Umar di satu rumah. Abu Thalhah bertugas menjaga (mengisolasi) mereka. Mereka berenam duduk bermusyawarah. Kemudian mereka mewakilkan kepada Abdurrahman bin ‘Awf untuk memilih diantara mereka sebagai Khalifah dan mereka rela.
3. Abdurrahman mulai berdiskusi dan menanyai masing-masing : jika ia tidak menjadi Khalifah, siapa dari empat calon yang lain yang ia pandang sebagai Khalifah? Jawaban mereka tidak menentukan Ali dan Utsman. Dan berikutnya Abdurrahman membatasi perkara dengan dua orang (‘Ali dan Utsman) dari enam orang itu.
4. Setelah itu, Abdurrahman meminta pendapat masyarakat seperti yang sudah diketahui.
5. Pada malam Rabu yakni malam hari ketiga setelah wafatnya Umar pada hari Ahad, Abdurrahman pergi ke rumah Putra Saudarinya, al-Maysur bin Mukhrimah, dan dari sini saya nukilkan dari al-Bidâyah wa an-Nihâyah karya Ibn Katsir :
Ketika malam Rabu setelah wafatnya Umar, Abdurrahman datang ke rumah putra saudarinya, al-Maysur bin Mukhrimah, dan ia berkata : “apakah engkau tidur wahai Maysur? Demi Allah aku tidak tidur sejak tiga …” yakni tiga malam setelah wafatnya Umar hari Ahad subuh, artinya malam Senin, malam Selasa dan malam Rabu, sampai Abdurrahman berkata : “pergilah dan panggilkan Ali dan Utsman untukku…..Kemudian ia keluar ke masjid bersama Ali dan Utsman….Lalu ia menyeru kepada orang-orang secara umum : ash-shalâtu jâmi’ah (mari shalat berjama’ah). Saat itu adalah saat fajar hari Rabu. Kemudian Abdurrahman mengambil tangan ‘Aliy –radhiyaLlâh ‘anhu wa karamaLlâh wajhah– dan ia menanyainya tentang (kesediaan) dibaiat berdasarkan al-Kitab, Sunah Rasulullah dan perbuatan Abu Bakar dan Umar. Lalu Ali menjawabnya dengan jawaban yang sudah dikenal : berdasarkan al-Kitab dan as-Sunah, iya, sedangkan atas perbuatan Abu Bakar dan Umar, maka ia (Ali) akan berijtihad sesuai pendapatnya sendiri. Lalu Abdurrahman melepaskan tangan Ali. Berikutnya Abdurrahman mengambil tangan Utsman dan menanyai Utsman dengan pertanyaan yang sama. Lalu Utsman menjawah : “demi Allah, ya”. Dan sempurnalah dilangsungkan baiat kepada Utsman –radhiyaLlâh ‘anhu–.
Dan Suhaib mengimami shalat Subuh dan salat Dhuhur hari itu. Kemudian Utsman mengimami Shalat Ashar pada hari itu sebagai Khalifah kaum muslim. Artinya, meskipun baiat in’iqad kepada Utsman dimulai ketika shalat subuh, namun kepemimpinan Suhaib belum berakhir kecuali setelah terjadi baiat ahl al-hall wa al-‘aqd di Madinah kepada Utsman yang selesai dilakukan menjelang shalat Ashar. Karena para sahabat berdesak-desakan untuk membaiat Utsman sampai setelah tengah hari dan menjelang shalat Ashar. Baiat itu selesai dilakukan menjelang shalat Ashar. Maka saat itu berakhirlah kepemimpinan Suhaib dan Utsman menjadi imam shalat Ashar dalam kapasitasnya sebagai Khalifah kaum muslim.
Penulis al-Bidâyah wa an-Nihâyah (Ibn Katsir) menjelaskan kenapa Suhaib masih mengimami shalat Dhuhur, dan sudah diketahui bahwa baiat kepada Utsman telah sempurna dilangsungkan pada waktu fajar. Ibn Katsir berkata :
“… orang-orang membaiat Utsman di Masjid, kemudian Utsman pergi ke Dar Syura (yakni rumah tempat berkumpulnya ahl syura), dan sisa manusia yang lain membaiat Utsman di tempat itu. Dan seakan baiat itu baru selesai (sempurna) setelah shalat Dhuhur. Suhaib pada hari itu mengimami shalat Dhuhur di Masjid Nabawi. Sedang shalat pertama kali yang dilaksanakan oleh Khalifah Amîr al-Mu’minîn Utsman mengimami masyarakat adalah shalat Ashar….”.
Dalam hal ini terdapat perbedaan (dalam beberapa riwayat) mengenai hari tertikamnya Umar dan hari dibaiatnya Utsman…. akan tetapi kami sebutkan yang lebih kuat diantara riwayat yang ada.
Atas dasar ini, beberapa perkara berikut wajib diambil sebagai ketentuan saat pencalonan khilafah setelah Khalifah sebelumnya lengser baik karena meninggal dunia atau di copot, yaitu :
1. aktivitas berkaitan dengan masalah pencalonan hendaknya dilakukan pada malam dan siang hari pertama.
2. Pembatasan calon dari sisi terpenuhinya syarat in’iqad. Hal ini dilakukan oleh Mahkamah Mazhalim.
3. Pembatasan jumlah calon yang layak dilakukan dua kali : pertama, dibatasi sebanyak enam orang, dan kedua dibatasi menjadi dua orang. Pihak yang melakukan dua pembatasan ini adalah Majelis Umat dalam kapasitasnya sebagai wakil umat. Karena umat mendelegasikan kepada Umar, lalu Umar menetapkannya enam orang. Dan enam orang itu mendelegasikan kepada Abdurrahman dan setelah melalui diskusi dibatasi menjadi dua orang. Referensi semua ini adalah sebagaimana yang sudah jelas adalah umat atau yang mewakili umat.
4. Wewenang amir sementara berakhir dengan berakhirnya proses baiat dan pengangkatan Khalifah, bukan dengan pengumuman hasil pemilihan. Suhaib belum berakhir kepemimpinannya dengan terpilihnya Utsman akan tetapi dengan selesainya baiat.
Sesuai dengan yang sudah dijelaskan, akan dikeluarkan undang-undang yang menentukan tata cara pemilihan Khalifah selama dua malam tiga hari. Undang-undang untuk itu telah dibuat dan akan selesai didiskusikan dan diadopsi pada waktunya nanti.
Ini jika sebelumnya terdapat Khalifah yang meninggal atau dicopot. … dan hendak direalisasikan Khalifah baru menggantikannya. Adapun jika sebelumnya belum terdapat Khalifah, maka wajib bagi kaum muslim menegakkan seorang Khalifah bagi mereka, untuk menerapkan hukum-hukum syara’ dan mengemban dakwah Islamiyah ke seluruh dunia. Kondisi itu seperti kondisi yang ada sejak lenyapnya Khilafah Islamiyah di Istanbul pada tanggal 28 rajab 1342 H bertepatan dengan 3 Maret 1924 M. Setiap negeri dari berbagai negeri yang ada di dunia Islam layak untuk membaiat Khalifah dan mengakadkan jabatan khilafah. Maka saat itu menjadi wajib bagi kaum muslim di seluruh negeri untuk membaiatnya dengan baiat taat. Yakni baiat keterikatan setelah terakadkan kepadanya dengan baiat penduduk negeri itu, asalkan negeri itu memenuhi empat syarat berikut :
1. Kekuasaan negeri itu haruslah kekuasaan yang bersifat independent yang hanya bersandar kepada kaum muslim saja. Tidak bersandar kepada satu negara kafir atau kekuasaan kafir manapun.
2. Keamanan kaum muslim di negeri itu adalah kemanan Islam, bukan keamanan kufur. Yakni hendaknya perlindungan baik dari dalam negeri maupun luar negeri merupakan perlindungan Islam berasal dari kekuatan kaum muslim sebagai kekuatan Islam saja.
3. Hendaknya penerapan Islam dilakukan secara langsung dan sekaligus dan secara sempurna sebagai penerapan yang bersifat revolusioner dan menyeluruh (tathbîqan inqilâbiyan syâmilan) dan langsung mengemban dakwah Islamiyah
4. Khalifah yang dibaiat harus memenuhi syarat in’iqad khilafah meskipun tidak memenuhi syarat afdhaliyah. Karena yang wajib adalah syarat in’iqad.
Jika negeri itu memenuhi keempat hal di atas, maka hanya dengan baiat negeri itu saja, khilafah sungguh telah terwujud dan terakadkan. Khalifah yang mereka baiat dengan baiat in’iqad secara sah merupakan Khalifah yang syar’i dan tidak sah baiat kepada yang lain.
Setelah itu, negeri lain manapun yang membaiat Khalifah yang lain maka baiat itu tidak sah dan batil. Karena Rasulullah saw pernah bersabda :
إِذَا بُوْيِعَ لِخَلِيْفَتَيْنِ فَاقْتُلُوْا اْلآخِرَ مِنْهُمَا
Jika dibaiat dua orang Khalifah maka bunuhlah yang paling akhir dari keduanya
… فُوْا بِبَيْعَةِ اْلأَوَّلِ فَاْلأَوَّلِ
.. penuhilah baiat yang pertama lalu yang pertama
مَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَ ثَمْرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ اِسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرٌ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوْا عُنُقَ اْلآخَرِ
Siapa saja yang telah membaiat seorang imam lalu ia telah memberikan genggaman tangannya dan buah hatinya, maka hendaklah ia mentaatinya sesuai dengan kemampuannya, dan jika datang orang lain yang hendak merebut kekuasaannya maka penggallah orang lain itu (HR. Muslim)
Tata Cara Baiat
Telah kami jelaskan dalil-dalil baiat dan bahwa baiat adalah metode pengangkatan Khalifah dalam Islam. Adapun tata caranya, baiat bisa dilakukan dengan berjabat tangan dan bisa juga dengan tulisan. Abdullah bin Dinar telah menyampaikan hadits, ia berkata :
Aku menyaksikan Ibn Umar dimana orang-orang telah bersepakat untuk membaiat Abdul Malik bin Marwan, ia berkata bahwa dia menulis : “aku berikrar untuk mendengarkan dan mentaati Abdullah Abdul Malik bin Marwan sebagai amirul mukminin atas dasar kitabullah dan sunah rasul-Nya dalam hal yang aku mampu.”
Baiat itu boleh dilakukan dengan sarana apapun yang memungkinkan.
Hanya saja disyaratkan agar baiat itu dilakukan oleh orang yang sudah balig. Baiat tidak sah dilakukan oleh anak-anak yang belum baligh. Abu ‘Uqail Zuhrah bin Ma’bad telah menyampaikan hadits dari kakeknya Abdullah bin Hisyam yang pernah berjumpa dengan Nabi saw : Abdullah pernah dibawa ibunya Zainab binti Humaid, kepada Rasulullah saw. Ibunya berkata : “ya Rasulullah saw terimalah baiatnya!” Lalu Nabi saw bersabda : “ia masih kecil“. Dan beliau mengusap kepalanya dan mendoakannya (HR. Bukhari).
Adapun lafazh baiat, tidak disyaratkan terikat dengan lafazh-lafazh tertentu. Akan tetapi harus mengandung makna sebagai baiat untuk mengamalkan Kitabullah dan sunah Rasul-Nya bagi Khalifah dan harus mengandung makna kesanggupan untuk mentaati dalam keadaan sulit atau lapang, disenangi atau tidak disenangi bagi orang yang memberikan baiat. Nanti akan dikeluarkan undang-undang yang membatasi redaksi baiat sesuai penjelasan sebelumnya.
Manakala pihak yang membaiat telah memberikan baiatnya kepada Khalifah, maka baiat itu menjadi amanah diatas pundak pihak yang membaiat dan tidak diperbolehkan mencabutnya. Baiat ditinjau dari sisi pengangkatan khilafah merupakan hak yang harus dipenuhi. Jika baiat itu telah diberikan, maka ia wajib terikat dengannya. Kalau pihak yang memberikan baiat itu ingin menariknya kembali maka hal itu tidak diperbolehkan. Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dari Jabir bin Abdullah –radhiyaLlâh ‘anhu– bahwa seorang arab badui telah membaiat Rasulullah saw untuk menetapi Islam. Kemudian ia menderita sakit, lalu ia berkata : “kembalikan baiatku kepadaku!” Beliau menolaknya, lalu orang itu pergi. Lantas Beliau bersabda :
المدينة كالكبر تنفي خبثها، وينصع طيبها
“Madinah ini seperti tungku (tukang besi) yang bisa membersihkan debu-debu yang kotor dan membuat cemerlang yang baik.”
Diriwayatkan dari Nafi’ yang berkata : “Abdullah bin Umar pernah mengatakan kepadaku : “aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda :
من خلع يدا من طاعة لقي الله يوم القيامة لا حجة له
Siapa saja yang melepaskan tangan dari ketaatan, ia pasti menjumpai Allah pada hari kiamat tanpa memiliki hujjah (HR. Muslim)
Membatalkan baiat kepada Khalifah sama artinya dengan melepaskan tangan dari ketaatan kepada Allah. Hanya saja ketentuan itu berlaku jika baiat kepada Khalifah itu adalah baiat in’iqad atau merupakan baiat taat kepada Khalifah yang telah sah baiat in’iqad kepadanya. Adapun jika baiat itu baru permulaan lalu baiat tersebut belum sampai sempurna, maka pihak yang membaiat boleh melepaskan baiatnya dengan syarat baiat in’iqad dari kaum muslim kepada Khalifah itu belum sempurna. Larangan dalam hadits itu berlaku untuk orang yang menarik kembali baiat Khalifah, bukan menarik kembali baiat kepada seseorang yang belum sempurna jabatan khilafahnya.
13
Obrolan Ummat / Re:Mubes PSK - Karawang, Oktober 2009
« pada: 20 Oktober 2009, 12:47:44 » MUNAS PSK (Pekerja Seks Komersial), Peran Negara dan Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Oleh: Dra. Rahma Qomariyah, M.Pd.I
(anggota DPP Muslimah HTI dan Ketua Lajnah Tsaqofiyah Muslimah HTI Pusat)
Awal bulan Oktober kita dibuat tercengang dengan digelarnya Mubes PSK (Musyawarah Besar Pekerja Seks Komersial), pada tanggal 2-3 oktober 2009 di Kerawang Jawa Barat. Acara tersebut diikuti 36 PSK perwakilan dari 19 kota/kabupaten, dengan tema ” Penanggulangan HIV/AIDS”. Hasil Mubes antara lain: mereka menilai jaminan fasilitas dari negara untuk menanggulangi HIV/AIDS kurang, karenanya mereka menuntut alokasi dana baik dari anggaran pemerintah pusat maupun daerah harus lebih besar. Acara ini dianggap sebagai bentuk kesadaran dan kepedulian Wanita PSK terhadap penyebaran PMS (penyakit menular seksual) .(Koran Pikiran Rakyat, 5 oktober 2009)
Di perbolehkannya PSK menyelenggarakan MUNAS, mengindikasikan bahwa keberadaan PSK diakui sebagai warga negara yang berprofesi sebagai pekerja seks komersial. Artinya pekerjaan itu sah-sah saja, legal dan formal di negeri ini. Bahkan mereka mulai menuntut diperlakukan sama dengan profesi-profesi yang lain, karena mereka merasa menyumbang pajak yang sangat besar kepada negara.
Disamping itu dengan adanya lokalisasi, jumlah mereka semakin hari semakin bertambah. Adanya lokalisasi dimaksudkan untuk mengisolir mereka sehingga penyakit sosial tersebut tidak menyebar ke masyarakat, dan memudahkan untuk mengadakan penyuluhan kesehatan untuk PMS (Penyakit menular seksual). Juga dimaksudkan untuk memberi kesempatan mereka bertaubat dengan diadakannya pembinaan bagi PSK. Tetapi ini hanya asumsi karena penyakit mereka menular ke para suami yang jajan dan di tularkan ke istrinya. Adapun mereka yang bertaubat, mayoritas sudah tua yang biasanya kalau tidak menjadi mucikari, germo yaa bertaubat.
Karena jumlah mereka semakin banyak serta bisa untuk membentuk jaringan yang sangat luas bahkan internasional, sehingga tidak heran jika mereka semakin berani. Data dari website GP Anshar menunjukkan PSK mencapai angka yang sangat mencengagkan sekitar 190-270 juta dengan pelanggan 7-10 juta (GP Anshar, 21 september 2008)
Mereka juga menuntut hak politik mereka diakui. Buktinya hasil MUNAS PSK di Kerawang berupa presure politik, yang direkomendasikan kepada pemerintah pusat dan daerah mengenai anggaran yang terlalu sedikit untuk penanganan penyakit Seksual Menular yaitu HIV/ AIDS. Padahal sebenarnya penyakit tersebut penyebab utamanya adalah pekerjaan mereka yaitu seks bebas.
Munas PSK tidak akan mungkin terjadi jika negara sejak awal menerapkan seluruh hukum Islam termasuk menetapkan peraturan haramnya pelacuran dan membersihkannya dari bumi Indonesia. Disamping itu karena longgarnya pemerintah terhadap perzinahan tersebut sehingga disadari atau tidak memberi angin segar bagi para pelacur.
Terlebih lagi penggunaan bahasa Indonesia yang tidak tepat untuk PSK (pekerja seks komersial) juga ikut memberi andil. Penyebutan pelacur sebagai pekerja merupakan perlakuan yang lunak dan sopan terhadap pelaku kemaksiatan. Dampaknya seakan-akan memberi toleransi terhadap kemaksiatan mereka. Padahal jelas bahwa yang dimaksud bekerja dalam pandangan Islam adalah bekerja yang halal, sehingga bekerja yang haram semisal mencuri dan berzina tidak bisa dikatagorikan bekerja. Karenanya sebutan yang tepat bukan PSK tetapi pezina atau pelacur. Dan Islam secara tegas mengharamkan perzinahan/pelacuran. Sebagaiman firman Allah:
وَلا تَقرَبُوا الزِّنىٰ ۖ إِنَّهُ كانَ فٰحِشَةً وَساءَ سَبيلًا
Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk. (TQS. Al Isra[17]; 32)
Peran Negara
Negara punya tanggung jawab untuk melindungi masyarakat dari berbagai kerusakan dan kemaksiatan dengan cara menerapkan seluruh hukum Islam baik melaksanakan perbuatan yang diperintahkan oleh Allah maupun meninggalkan larangan-Nya. Meninggalkan larangan melacur/berzina tidak bisa hanya dilakukan oleh individu atau jama’ah sekalipun dengan cara menggerebek dan merazia. Berapa kali penggerebekan dilakukan oleh ormas Islam tidak membuahkan hasil yang yang maksimal. Hal ini karena ada porsi hukum yang harus diperankan oleh pemerintah dan tidak bisa digantikan oleh jama’ah apalagi individu.
Peraturan yang harus diterapkan oleh negara meliputi menetapkan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan zina, sosialisasi peraturan tersebut dan memberi sanksi bagi yang melanggarnya.
Negara berkewajiban menetapkan peraturan/undang-undang tentang haramnya berzina dan yang memberi peluang perzinanan antara lain haramya berkholwat (berdua-dua an) laki-laki dan perempuan, ikhtilath (campur baur) antara laki-laki dan perempuan, wajib menutup aurat dan haramya laki-laki dan perempuan untuk melakukan perbuatan yang dapat membahayakan akhlak atau mengundang kerusakan di tengah-tengah masyarakat.
Sebagai kepala Negara, Rasulullah pernah menegaskan haramnya pelacuran dan membersihkan Daulah Islam di Madinah dari pelacuran dengan cara membatalkan perkawinan jaman jahiliyah[1] yang identik dengan pelacuran. Sabda Rasulullah sbb:
Pernikahan pada jaman jahiliyah ada 4 macam (1) Pernikahan yang biasa dilakukan orang-orang di zaman sekarang, yaitu seorang lelaki melamar kepada seseorang untuk mengawini wanita yang ada dalam perwaliannya atau anak perempuannya, lalu ia memberi mahar kepada wanita itu dan mengawininya. Jenis nikah lainnyanya(2) ialah seorang lelaki mengatakan kepada isterinya manakala isterinya baru sduci dari haidh: ”Pergilah kepada si Fulan, serahkanlah dirimu kepadanya.” Setelah itu suaminya tidak mencampurinya lagi hingga nampak isterinya hamil, maka ia mencampurinya kembali jika ia menghendakinya. Ia melakukan yang demikian tiada lain karena mengharapkan punya anak yang cerdas (pintar); hal ini dinamakan nikah istibdla’. Jenis nikah lainnya lagi(3) ialah sekelompok kaum lelaki yang jumlahnya dibawah 10 orang, semuanya mencampuri seorang wanita, masing-masing dari mereka menggaulinya. Apabila wanita itu mengandung dan melahirkan bayi, lalu selang beberapa malam kemudian ia mengirimkan utusan untuk memanggil mereka semuanya, tiada seorang lelakipun yang terlihat menolak undangannya, akhirnya mereka semua berkumpul di tempat wanita itu. Kemudian wanita itu mengatakan kepada mereka , ”Sesungguhnya kalian semua telah mengetahui apa yang telah kalian lakukan (terhadap diriku), sekarang aku telah melahirkan bayi, dia adalah anakmu hai Fulan ”. Wanita itu menghubungkan nasab bayi itu dengannya, dan lelaki yang bersangkutan tidak dapat menolaknya lagi. Sedangkan nikah yang ke (4) orang-orang banyak yang berkumpul lalu mereka menggauli seorang wanita (secara bergantian), wanita itu tidak menolak setiap laki-laki yang datang kepadanya. Wanita seperti itu adalah pelacur, mereka memasang bendera –bendera di depan pintu sebagai pertanda. Maka barangsiapa menghendaki mereka boleh menggaulinya, dan apabila salah seorang dari pelacur itu mengandung lalu melahirkan bayi, maka mereka dikumpulkan di hadapan wanita itu. Kemudian mereka memanggil seorang qaafah (juru tebak), lalu dia menisbahkan bayi itu kepada orang yang dianggap mirip oleh juru tebak anak tersebut. Pada akhirnya anak itu dikaitkan pada lelaki itu dan disebut sebagai anaknya. Lelaki bersangkutan tidak dapat menolak hal itu. Ketika Nabi Muhammad diutus dengan membawa kebenaran, maka beliau melenyapkan semua nikah jahiliyah, kecuali nikah yang dilakukan orang-orang sekarang ini. (HR Bukhari dan Abu Dawud)
Agar peraturan dilaksanakan, maka negara harus menfasilitasi/ menjamin pelaksanaan aturan tersebut dan memberi sanksi bagi yang melanggarnya. Sanksi harus berfungsi untuk mencegah (zawajir) bagi masyarakat agar tidak berzina dan juga berfungsi sebagai penebus dosa (jawabir) atau membuat jerah/’kapok’ bagi pelaku zinah.
Sanksi lokalisasi dan razia terbukti tidak efektif karena tidak membuat pelacur jerah bahkan semakin hari semakin banyak jumlahnya. Dengan demikian hanya sanksi yang sesuai dengan syariat Islam saja yang bisa sebagai solusi masalah bukan lokalisasi atau yang lain. Hal ini terbukti dimasa Rasulullah sangat sedikit orang yang melakukan zina.
Sanksi bagi pelaku zina menurut pandangan Islam
a. Bagi pezina yang belum menikah, maka wajib didera 100 kali cambukan, dan boleh diasingkan selama satu tahun[2].
firman Allah:
الزّانِيَةُ وَالزّانى فَاجلِدوا كُلَّ وٰحِدٍ مِنهُما مِا۟ئَةَ جَلدَةٍ ۖ وَلا تَأخُذكُم بِهِما رَأفَةٌ فى دينِ اللَّهِ إِن كُنتُم تُؤمِنونَ بِاللَّهِ وَاليَومِ الءاخِرِ ۖ وَليَشهَد عَذابَهُما طائِفَةٌ مِنَ المُؤمِنينَ.
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman. (TQS. An Nur[24];2)
Adapun dalil tentang diasingkan selama satu tahun, berdasarkan hadits rasulullah SAW: Artinya: Dari Abu Hurairah r.a: Bahwa Rasulullah SAW menetapkan bagi orang yang berzina tetapi belum menikah diasingkan selama satu tahun, dan dikenai had kepadanya.
b. Bagi pezina yang sudah menikah maka harus dirajam hingga mati[3], sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
Bahwa seorang laki-laki berzina dengan perempuan. Nabi SAW memerintahkan menjilidnya, kemudian ada khabar bahwa dia sudah menikah(muhshan) , maka Nabi SAW memerintahkan untuk merajamnya.
Untuk memberantas perzinahan, seharusnya negara tidak melokalisasi tempat pelacuran dan memungut pajak nya, akan tetapi menutupnya dan memberi hukuman bagi pezina, mucikari, germo dan organisasi yang menaunginya. Negara harus memberi sanksi dan menindak tegas para mucikari, germo dan orang yang termasuk memfasilitasi orang lain untuk berzina dengan sarana apapun dan dengan cara apapun, baik dengan dirinya sendiri maupun orang lain, tetap akan dikenakan sanksi. Sanksi bagi mereka menurut pandangan Islam adalah penjara 5 tahun dan dijilid. Jika orang tersebut suami atau mahramnya, maka sanksi diperberat menjadi 10 tahun[4].
Sedangkan jika germo, mucikari serta fasilitator perzinahan sudah meningkatkan aktifitasnya sampai mendirikan sebuah organisasi untuk mengayomi dan mengorganisir aktifitas perzinanahannya maka Negara harus membubarkan organisasi pelindung perzinahan tersebut dan menghukum mati para pendiri, ketua dan pengurus organisasinya[5].
Peran Masyarakat
Terlaksananya hukum dalam suatu negara, tidak terlepas dari peran masyarakat yang senantiasa memelihara hukum tersebut dengan cara mempelajari dan mengajarkan ke anggota masyarakat yang lain serta beramar ma’ruf nahi munkar. Amar ma’ruf nahi munkar kepada penguasa dengan cara mengoreksi kepada penguasa apabila lengah tidak menetapkan hukum dan melaksanakannya sesuai dengan ketetapan Syariat Islam. Dan masyarakat juga menjaganya dengan senantiasa beramar ma’ruf nahi munkar sesama anggota masyarakat. Kewajiban amar ma’ruf nahi munkar sesuai dengan firman Allah:
وَلتَكُن مِنكُم أُمَّةٌ يَدعونَ إِلَى الخَيرِ وَيَأمُرونَ بِالمَعروفِ وَيَنهَونَ عَنِ المُنكَرِ ۚ وَأُولٰئِكَ هُمُ المُفلِحونَ ﴿١٠٤﴾
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar[217][6]; merekalah orang-orang yang beruntung. (TQS ali Imran; 104)
Dan juga terdapat pada sabda Rasulullah :
Artinya: Demi Dzat yang jiwaku dalam genggaman-Nya, hendaklah kalian benar-benar menyuruh kepada yang ma’ruf serta mencegah dari perbuatan yang munkar atau (kalau tidak) Allah akan benar-benar memberikan siksa untuk kalian dari sisi-Nya kemudian kalian berdo’a dengan sungguh-sungguh kepada-Nya, tapi Dia tidak mengabulkan do’a kalian.”( HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Amar ma’ruf nahi munkar harus menjadi kewajiban yang men-tradisi pada masyarakat Islam. Mereka harus menyadari bahaya kerusakan yang mengancamnya, pada saat sebagian dari anggota masyarakat melakukan perzinahan. Bahaya itu antara lain: kerusakan akhlak generasi, perceraian, semakin menyebarnya narkoba dan menyebarnya penyakit seks bebas semisal HIV/ AIDS. Disamping itu membiarkan perzinahan merajalela berarti mengundang siksa Allah. Sabda Rasulullah SAW:
Idza dhahara azzina wa arriba fi qoryatin, faqad ahalluu bi anfusihim adzaballohi
Artinya: Jika zina dan riba sudah menyebar disuatu kampung, maka sesungguhnya mereka telah menghalakan azab Allah atas diri mereka sendiri (HR al Hakim, al Baihaqi dan athabrani)
Masyarakat harus memahami betul bahwa jika mereka tidak mencegah kemungkaran. Hal ini menyebabkan siksa Allah yang tidak hanya menimpa orang yang melakukan maksiat tapi menimpa seluruh anggota masyarakat baik yang shaleh maupun yang bermaksiat.
”Sesungguhnya Allah tidak akan mengadzab masyarakat secara umum karena tindakan orang-orang (pemimpin) tertentu. Tetapi apabila mereka melihat kemungkaran (penyimpangan dari syariat) di sekelilingnya dan tidak mencegahnya, maka jika mereka melakukan hal demikian Allah pasti menurunkan adzab kepada para pemimpin dan masyarakat umum secara keseluruhan”. ( HR Imam Ahmad dari Adhi bin Umarah)[7].
Disamping itu negara juga harus membudayakan kewajiban amar ma’ruf. Caranya adalah pertama, menetapkan undang-undang tentang kewajiban amar ma’ruf nahi munkar. Kedua, mensosialisasikan undang-undang tersebut. Dan ketiga, memberi sanksi apabila ada warga negara yang tidak melakukan amar ma’ruf nahi munkar.
Di dalam buku ”sistem Sanksi dalam Islam” menyebutkan sanksi bagi warga negara yang tidak melakukan amar ma’ruf nahi munkar sebagai berikut:
” Setiap orang yang melihat seseorang melakukan suatu kemungkaran dari kemunkaran-kemunkaran dengan terang-terangan di tempat umum, sementara ia mampu untuk menghentikannya dari kemunkaran tersebut—tanpa membahayakan jiwanya, atau menyebabkan bahaya bagi orang lain—namun dia tidak menghentikan (dengan aktivitas penghentian) yang cukup untuk mencegah kemunkaran tersebut, atau membiarkan kemunkaran tersebut, maka kepadanya akan dikenakan sanksi jilid dan penjara sampai 6 bulan”[8].
Daftar Literatur
1. Abdurrahman al Maliki, Sistem Saksi dalam Islam, Bogor, Pustaka Tariqul Izzah, 2002
2. Yusuf an Nabhani, Fafhul Kabir, Jilid I
3. Sayyod Sabiq, Fikih Sunnah, Bandung, al Ma’arif, bab perkawinan
4. Al Qur’an dan Terjemah Depag RI
5. Koran Pikiran Rakyat, 5 oktober 2009
[1] Sayyod Sabiq, Fikih Sunnah, Bandung, al Ma’arif, bab perkawinan.
[2] Abdurrahman al Maliki, Sistem Saksi dalam Islam, Bogor, Pustaka Tariqul Izzah, 2002, hlm. 30-32
[3] Abdurrahman al Maliki, Sistem Saksi dalam Islam, Bogor, Pustaka Tariqul Izzah, 2002, hlm.31
[4] Ibid, hlm.286
[5] Ibid, hlm.304
[6] [217] Ma’ruf: segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.
[7] Yusuf an Nabhani, Fafhul Kabir, Jilid I, hlm.132.
[8] Abdurrahman al Maliki, Sistem Saksi dalam Islam, Bogor, Pustaka Tariqul Izzah, 2002, hlm. 308-309
Oleh: Dra. Rahma Qomariyah, M.Pd.I
(anggota DPP Muslimah HTI dan Ketua Lajnah Tsaqofiyah Muslimah HTI Pusat)
Awal bulan Oktober kita dibuat tercengang dengan digelarnya Mubes PSK (Musyawarah Besar Pekerja Seks Komersial), pada tanggal 2-3 oktober 2009 di Kerawang Jawa Barat. Acara tersebut diikuti 36 PSK perwakilan dari 19 kota/kabupaten, dengan tema ” Penanggulangan HIV/AIDS”. Hasil Mubes antara lain: mereka menilai jaminan fasilitas dari negara untuk menanggulangi HIV/AIDS kurang, karenanya mereka menuntut alokasi dana baik dari anggaran pemerintah pusat maupun daerah harus lebih besar. Acara ini dianggap sebagai bentuk kesadaran dan kepedulian Wanita PSK terhadap penyebaran PMS (penyakit menular seksual) .(Koran Pikiran Rakyat, 5 oktober 2009)
Di perbolehkannya PSK menyelenggarakan MUNAS, mengindikasikan bahwa keberadaan PSK diakui sebagai warga negara yang berprofesi sebagai pekerja seks komersial. Artinya pekerjaan itu sah-sah saja, legal dan formal di negeri ini. Bahkan mereka mulai menuntut diperlakukan sama dengan profesi-profesi yang lain, karena mereka merasa menyumbang pajak yang sangat besar kepada negara.
Disamping itu dengan adanya lokalisasi, jumlah mereka semakin hari semakin bertambah. Adanya lokalisasi dimaksudkan untuk mengisolir mereka sehingga penyakit sosial tersebut tidak menyebar ke masyarakat, dan memudahkan untuk mengadakan penyuluhan kesehatan untuk PMS (Penyakit menular seksual). Juga dimaksudkan untuk memberi kesempatan mereka bertaubat dengan diadakannya pembinaan bagi PSK. Tetapi ini hanya asumsi karena penyakit mereka menular ke para suami yang jajan dan di tularkan ke istrinya. Adapun mereka yang bertaubat, mayoritas sudah tua yang biasanya kalau tidak menjadi mucikari, germo yaa bertaubat.
Karena jumlah mereka semakin banyak serta bisa untuk membentuk jaringan yang sangat luas bahkan internasional, sehingga tidak heran jika mereka semakin berani. Data dari website GP Anshar menunjukkan PSK mencapai angka yang sangat mencengagkan sekitar 190-270 juta dengan pelanggan 7-10 juta (GP Anshar, 21 september 2008)
Mereka juga menuntut hak politik mereka diakui. Buktinya hasil MUNAS PSK di Kerawang berupa presure politik, yang direkomendasikan kepada pemerintah pusat dan daerah mengenai anggaran yang terlalu sedikit untuk penanganan penyakit Seksual Menular yaitu HIV/ AIDS. Padahal sebenarnya penyakit tersebut penyebab utamanya adalah pekerjaan mereka yaitu seks bebas.
Munas PSK tidak akan mungkin terjadi jika negara sejak awal menerapkan seluruh hukum Islam termasuk menetapkan peraturan haramnya pelacuran dan membersihkannya dari bumi Indonesia. Disamping itu karena longgarnya pemerintah terhadap perzinahan tersebut sehingga disadari atau tidak memberi angin segar bagi para pelacur.
Terlebih lagi penggunaan bahasa Indonesia yang tidak tepat untuk PSK (pekerja seks komersial) juga ikut memberi andil. Penyebutan pelacur sebagai pekerja merupakan perlakuan yang lunak dan sopan terhadap pelaku kemaksiatan. Dampaknya seakan-akan memberi toleransi terhadap kemaksiatan mereka. Padahal jelas bahwa yang dimaksud bekerja dalam pandangan Islam adalah bekerja yang halal, sehingga bekerja yang haram semisal mencuri dan berzina tidak bisa dikatagorikan bekerja. Karenanya sebutan yang tepat bukan PSK tetapi pezina atau pelacur. Dan Islam secara tegas mengharamkan perzinahan/pelacuran. Sebagaiman firman Allah:
وَلا تَقرَبُوا الزِّنىٰ ۖ إِنَّهُ كانَ فٰحِشَةً وَساءَ سَبيلًا
Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk. (TQS. Al Isra[17]; 32)
Peran Negara
Negara punya tanggung jawab untuk melindungi masyarakat dari berbagai kerusakan dan kemaksiatan dengan cara menerapkan seluruh hukum Islam baik melaksanakan perbuatan yang diperintahkan oleh Allah maupun meninggalkan larangan-Nya. Meninggalkan larangan melacur/berzina tidak bisa hanya dilakukan oleh individu atau jama’ah sekalipun dengan cara menggerebek dan merazia. Berapa kali penggerebekan dilakukan oleh ormas Islam tidak membuahkan hasil yang yang maksimal. Hal ini karena ada porsi hukum yang harus diperankan oleh pemerintah dan tidak bisa digantikan oleh jama’ah apalagi individu.
Peraturan yang harus diterapkan oleh negara meliputi menetapkan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan zina, sosialisasi peraturan tersebut dan memberi sanksi bagi yang melanggarnya.
Negara berkewajiban menetapkan peraturan/undang-undang tentang haramnya berzina dan yang memberi peluang perzinanan antara lain haramya berkholwat (berdua-dua an) laki-laki dan perempuan, ikhtilath (campur baur) antara laki-laki dan perempuan, wajib menutup aurat dan haramya laki-laki dan perempuan untuk melakukan perbuatan yang dapat membahayakan akhlak atau mengundang kerusakan di tengah-tengah masyarakat.
Sebagai kepala Negara, Rasulullah pernah menegaskan haramnya pelacuran dan membersihkan Daulah Islam di Madinah dari pelacuran dengan cara membatalkan perkawinan jaman jahiliyah[1] yang identik dengan pelacuran. Sabda Rasulullah sbb:
Pernikahan pada jaman jahiliyah ada 4 macam (1) Pernikahan yang biasa dilakukan orang-orang di zaman sekarang, yaitu seorang lelaki melamar kepada seseorang untuk mengawini wanita yang ada dalam perwaliannya atau anak perempuannya, lalu ia memberi mahar kepada wanita itu dan mengawininya. Jenis nikah lainnyanya(2) ialah seorang lelaki mengatakan kepada isterinya manakala isterinya baru sduci dari haidh: ”Pergilah kepada si Fulan, serahkanlah dirimu kepadanya.” Setelah itu suaminya tidak mencampurinya lagi hingga nampak isterinya hamil, maka ia mencampurinya kembali jika ia menghendakinya. Ia melakukan yang demikian tiada lain karena mengharapkan punya anak yang cerdas (pintar); hal ini dinamakan nikah istibdla’. Jenis nikah lainnya lagi(3) ialah sekelompok kaum lelaki yang jumlahnya dibawah 10 orang, semuanya mencampuri seorang wanita, masing-masing dari mereka menggaulinya. Apabila wanita itu mengandung dan melahirkan bayi, lalu selang beberapa malam kemudian ia mengirimkan utusan untuk memanggil mereka semuanya, tiada seorang lelakipun yang terlihat menolak undangannya, akhirnya mereka semua berkumpul di tempat wanita itu. Kemudian wanita itu mengatakan kepada mereka , ”Sesungguhnya kalian semua telah mengetahui apa yang telah kalian lakukan (terhadap diriku), sekarang aku telah melahirkan bayi, dia adalah anakmu hai Fulan ”. Wanita itu menghubungkan nasab bayi itu dengannya, dan lelaki yang bersangkutan tidak dapat menolaknya lagi. Sedangkan nikah yang ke (4) orang-orang banyak yang berkumpul lalu mereka menggauli seorang wanita (secara bergantian), wanita itu tidak menolak setiap laki-laki yang datang kepadanya. Wanita seperti itu adalah pelacur, mereka memasang bendera –bendera di depan pintu sebagai pertanda. Maka barangsiapa menghendaki mereka boleh menggaulinya, dan apabila salah seorang dari pelacur itu mengandung lalu melahirkan bayi, maka mereka dikumpulkan di hadapan wanita itu. Kemudian mereka memanggil seorang qaafah (juru tebak), lalu dia menisbahkan bayi itu kepada orang yang dianggap mirip oleh juru tebak anak tersebut. Pada akhirnya anak itu dikaitkan pada lelaki itu dan disebut sebagai anaknya. Lelaki bersangkutan tidak dapat menolak hal itu. Ketika Nabi Muhammad diutus dengan membawa kebenaran, maka beliau melenyapkan semua nikah jahiliyah, kecuali nikah yang dilakukan orang-orang sekarang ini. (HR Bukhari dan Abu Dawud)
Agar peraturan dilaksanakan, maka negara harus menfasilitasi/ menjamin pelaksanaan aturan tersebut dan memberi sanksi bagi yang melanggarnya. Sanksi harus berfungsi untuk mencegah (zawajir) bagi masyarakat agar tidak berzina dan juga berfungsi sebagai penebus dosa (jawabir) atau membuat jerah/’kapok’ bagi pelaku zinah.
Sanksi lokalisasi dan razia terbukti tidak efektif karena tidak membuat pelacur jerah bahkan semakin hari semakin banyak jumlahnya. Dengan demikian hanya sanksi yang sesuai dengan syariat Islam saja yang bisa sebagai solusi masalah bukan lokalisasi atau yang lain. Hal ini terbukti dimasa Rasulullah sangat sedikit orang yang melakukan zina.
Sanksi bagi pelaku zina menurut pandangan Islam
a. Bagi pezina yang belum menikah, maka wajib didera 100 kali cambukan, dan boleh diasingkan selama satu tahun[2].
firman Allah:
الزّانِيَةُ وَالزّانى فَاجلِدوا كُلَّ وٰحِدٍ مِنهُما مِا۟ئَةَ جَلدَةٍ ۖ وَلا تَأخُذكُم بِهِما رَأفَةٌ فى دينِ اللَّهِ إِن كُنتُم تُؤمِنونَ بِاللَّهِ وَاليَومِ الءاخِرِ ۖ وَليَشهَد عَذابَهُما طائِفَةٌ مِنَ المُؤمِنينَ.
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman. (TQS. An Nur[24];2)
Adapun dalil tentang diasingkan selama satu tahun, berdasarkan hadits rasulullah SAW: Artinya: Dari Abu Hurairah r.a: Bahwa Rasulullah SAW menetapkan bagi orang yang berzina tetapi belum menikah diasingkan selama satu tahun, dan dikenai had kepadanya.
b. Bagi pezina yang sudah menikah maka harus dirajam hingga mati[3], sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
Bahwa seorang laki-laki berzina dengan perempuan. Nabi SAW memerintahkan menjilidnya, kemudian ada khabar bahwa dia sudah menikah(muhshan) , maka Nabi SAW memerintahkan untuk merajamnya.
Untuk memberantas perzinahan, seharusnya negara tidak melokalisasi tempat pelacuran dan memungut pajak nya, akan tetapi menutupnya dan memberi hukuman bagi pezina, mucikari, germo dan organisasi yang menaunginya. Negara harus memberi sanksi dan menindak tegas para mucikari, germo dan orang yang termasuk memfasilitasi orang lain untuk berzina dengan sarana apapun dan dengan cara apapun, baik dengan dirinya sendiri maupun orang lain, tetap akan dikenakan sanksi. Sanksi bagi mereka menurut pandangan Islam adalah penjara 5 tahun dan dijilid. Jika orang tersebut suami atau mahramnya, maka sanksi diperberat menjadi 10 tahun[4].
Sedangkan jika germo, mucikari serta fasilitator perzinahan sudah meningkatkan aktifitasnya sampai mendirikan sebuah organisasi untuk mengayomi dan mengorganisir aktifitas perzinanahannya maka Negara harus membubarkan organisasi pelindung perzinahan tersebut dan menghukum mati para pendiri, ketua dan pengurus organisasinya[5].
Peran Masyarakat
Terlaksananya hukum dalam suatu negara, tidak terlepas dari peran masyarakat yang senantiasa memelihara hukum tersebut dengan cara mempelajari dan mengajarkan ke anggota masyarakat yang lain serta beramar ma’ruf nahi munkar. Amar ma’ruf nahi munkar kepada penguasa dengan cara mengoreksi kepada penguasa apabila lengah tidak menetapkan hukum dan melaksanakannya sesuai dengan ketetapan Syariat Islam. Dan masyarakat juga menjaganya dengan senantiasa beramar ma’ruf nahi munkar sesama anggota masyarakat. Kewajiban amar ma’ruf nahi munkar sesuai dengan firman Allah:
وَلتَكُن مِنكُم أُمَّةٌ يَدعونَ إِلَى الخَيرِ وَيَأمُرونَ بِالمَعروفِ وَيَنهَونَ عَنِ المُنكَرِ ۚ وَأُولٰئِكَ هُمُ المُفلِحونَ ﴿١٠٤﴾
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar[217][6]; merekalah orang-orang yang beruntung. (TQS ali Imran; 104)
Dan juga terdapat pada sabda Rasulullah :
Artinya: Demi Dzat yang jiwaku dalam genggaman-Nya, hendaklah kalian benar-benar menyuruh kepada yang ma’ruf serta mencegah dari perbuatan yang munkar atau (kalau tidak) Allah akan benar-benar memberikan siksa untuk kalian dari sisi-Nya kemudian kalian berdo’a dengan sungguh-sungguh kepada-Nya, tapi Dia tidak mengabulkan do’a kalian.”( HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Amar ma’ruf nahi munkar harus menjadi kewajiban yang men-tradisi pada masyarakat Islam. Mereka harus menyadari bahaya kerusakan yang mengancamnya, pada saat sebagian dari anggota masyarakat melakukan perzinahan. Bahaya itu antara lain: kerusakan akhlak generasi, perceraian, semakin menyebarnya narkoba dan menyebarnya penyakit seks bebas semisal HIV/ AIDS. Disamping itu membiarkan perzinahan merajalela berarti mengundang siksa Allah. Sabda Rasulullah SAW:
Idza dhahara azzina wa arriba fi qoryatin, faqad ahalluu bi anfusihim adzaballohi
Artinya: Jika zina dan riba sudah menyebar disuatu kampung, maka sesungguhnya mereka telah menghalakan azab Allah atas diri mereka sendiri (HR al Hakim, al Baihaqi dan athabrani)
Masyarakat harus memahami betul bahwa jika mereka tidak mencegah kemungkaran. Hal ini menyebabkan siksa Allah yang tidak hanya menimpa orang yang melakukan maksiat tapi menimpa seluruh anggota masyarakat baik yang shaleh maupun yang bermaksiat.
”Sesungguhnya Allah tidak akan mengadzab masyarakat secara umum karena tindakan orang-orang (pemimpin) tertentu. Tetapi apabila mereka melihat kemungkaran (penyimpangan dari syariat) di sekelilingnya dan tidak mencegahnya, maka jika mereka melakukan hal demikian Allah pasti menurunkan adzab kepada para pemimpin dan masyarakat umum secara keseluruhan”. ( HR Imam Ahmad dari Adhi bin Umarah)[7].
Disamping itu negara juga harus membudayakan kewajiban amar ma’ruf. Caranya adalah pertama, menetapkan undang-undang tentang kewajiban amar ma’ruf nahi munkar. Kedua, mensosialisasikan undang-undang tersebut. Dan ketiga, memberi sanksi apabila ada warga negara yang tidak melakukan amar ma’ruf nahi munkar.
Di dalam buku ”sistem Sanksi dalam Islam” menyebutkan sanksi bagi warga negara yang tidak melakukan amar ma’ruf nahi munkar sebagai berikut:
” Setiap orang yang melihat seseorang melakukan suatu kemungkaran dari kemunkaran-kemunkaran dengan terang-terangan di tempat umum, sementara ia mampu untuk menghentikannya dari kemunkaran tersebut—tanpa membahayakan jiwanya, atau menyebabkan bahaya bagi orang lain—namun dia tidak menghentikan (dengan aktivitas penghentian) yang cukup untuk mencegah kemunkaran tersebut, atau membiarkan kemunkaran tersebut, maka kepadanya akan dikenakan sanksi jilid dan penjara sampai 6 bulan”[8].
Daftar Literatur
1. Abdurrahman al Maliki, Sistem Saksi dalam Islam, Bogor, Pustaka Tariqul Izzah, 2002
2. Yusuf an Nabhani, Fafhul Kabir, Jilid I
3. Sayyod Sabiq, Fikih Sunnah, Bandung, al Ma’arif, bab perkawinan
4. Al Qur’an dan Terjemah Depag RI
5. Koran Pikiran Rakyat, 5 oktober 2009
[1] Sayyod Sabiq, Fikih Sunnah, Bandung, al Ma’arif, bab perkawinan.
[2] Abdurrahman al Maliki, Sistem Saksi dalam Islam, Bogor, Pustaka Tariqul Izzah, 2002, hlm. 30-32
[3] Abdurrahman al Maliki, Sistem Saksi dalam Islam, Bogor, Pustaka Tariqul Izzah, 2002, hlm.31
[4] Ibid, hlm.286
[5] Ibid, hlm.304
[6] [217] Ma’ruf: segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.
[7] Yusuf an Nabhani, Fafhul Kabir, Jilid I, hlm.132.
[8] Abdurrahman al Maliki, Sistem Saksi dalam Islam, Bogor, Pustaka Tariqul Izzah, 2002, hlm. 308-309
14
Hukum dan Dunia Politik / Re:Khilafah dalam perspektif "baru" ...belum pernah disentuh nih... hot hot
« pada: 19 Oktober 2009, 20:46:00 »Wew...sudah 7 lembar...hehehewah antum mengaku muqallid, tetapi menghujat ijtihad dari ulama mujtahid seperti Al Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani [wafat tahun 852 H], pengarang kitab syarah yang paling terkenal, Fathul Baari Syarah Shahih Al Bukhari
afwan jiddan, belum bisa melanjutkan tema HOT HOT ini dikarenakan kesibukan luar biasa (yang walopun demikian tapi masih bisa update status fesbuk )
mau mengomentari siapa, saya jadi bingung...
oke... kita awali dari aeon saja...sedangkan tulisan dari akh Kenji, akh Dody, dan bapak HMA tidak saya tanggapi ... karena "kurang penting"
Layak atau tidak layak bukan antum yang menilai Masalah kelayakan dalam hal ini, sudah ada "tim" tersendiri yang telah menilai saya, sehingga dalam pandangan mereka, saya layak memberi pandangan secara siyasi. Tapi itu dulu lah... Tak perlu saya ungkap di sini lah, sirriyatut tanzhim... hehehe
Masalah bathil tidak bathil, mari kita lihat secara sabar. Pandangan saya tentang hal ini memiliki fondasi di atas para salaf yang lebih muktabar. Salaf saya dalam hal ini adalah al-Imam Asy-Syafii, al-Imam Ahmad ibn Hambal, dan al-Imam Malik. Ulama dzohiry al-Imam Ibnu Hazm juga berpandangan sama (wajar saja, beliau dhohiry). Asy-Syaukani itu mujtahid tapi belum muthlaq. Tapi kelimuannya tidak diragukan seluruh kaum muslimin, namun masih ada 'ulama yang di atas beliau, yaitu yang sudah menjadi mujtahid muthlaq. Jadi saya lebih taqlid kepada as-salaf al-kabir
Sedangkan mengenai an-Nabhani? who is this guy anyway? Adakah ulama mutakhirin yang mengatakan dia mujtahid muthlaq? pendiri madzhab baru? beliau "cuma" al-khalaf ash-shogir... majhul fil fiqh...
Oke...? is that clear? justru saya mempertanyakan landasan berpikir antum yang cuma manut sama an-Nabhani tanpa mengindahkan pendapat salaf
bahwa saya muqallid...na'am... antum semua benar
Siapa yang bukan muqallid di sini unjuk tangan hayyo? zein? moslem muwahid? HMA? Dody? kenji? bedanya...saya muqallid kepada ulama yang lebih muktabar. Saya mendukung pendapat Beliau2 rah..bukan semata manut thothok, tapi berusaha melihat latar pikiran mereka, hadist-hadist yang jadi rujukan, dan seterusnya.
pertanyaan saya sebelum-nya kenapa belum dijawab, akhi?
saya meminta antum mengemukakan dalil dari mujtahid yang antum ikuti [antum membaca di kitab apa?, karya siapa?]
kenapa saya menanyakan ini, karena dalil yang antum tulis sebelumnya itu dalil dari pemahaman antum sendiri, dengan metode istinbath "gaya bebas", atau sebenarnya antum muqallid yang tidak mengetahui dalil dari mujtahid yang antum ikuti, dalam meng-istinbath hukum?
selanjutnya, mau nanya juga:
1.Al Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani adalah ulama dari Madzhab Syafi'i, antum tahu darimana Imam asy-Syafi'i berpendapat seperti yang antum kemuka-kan diatas.
2.Anda tahu dari-mana Al-Imam asy-Syaukani berpendapat seperti yang diatas?
saya punya dua nasehat buat antum:
1.Apakah pantas seorang Muqallid ammi', menghujat ijtihad seorang mujtahid?
2.Seandai-nya antum ingin berdiskusi dengan maksud mencari ilmu, pertama antum harus mengemukakan dalil dari ulama mujtahid dalam menggali [intinbath] hukum syara'-nya, mungkin bisa mengambil rujukan dari kitab karya mujtahid tersebut, baru mungkin bisa di-diskusikan [jangan mengambil pemahaman "gaya bebas" diri sendiri]
Posting Digabung: 19 Oktober 2009, 21:10:21
bentar, mau komen sebelum kerja lagi.wah sekarang sudah ngga anti lagi ya akhi, alhamdulillah
Ada yang bilang saya anti khilafah?
yang saya anti itu kepempimpinan non-islami... terserah mau namanya khilafah kek, presiden kek, kerajaan kek, kalo dasar dan fondasi undang-undang-nya Islam, yaa itulah kepemimpinan Islam (udah dibahas dari dulu. Dan emang gak ada kalimatan sawa antara saya dan HT bahkan dengan salafi, NU, Muhammadiyah saja saya banyak titik temunya... ini jamaah ternyata punya pikiran batu juga )
tetapi berdasarkan pengalaman diskusi dengan antum, kok rasa-nya berbeda [terus terang antum berpandangan seperti akhi andi hakim, yg mengatakan khilafah berdarah-darah, dll]
bagaimana pendapat antum di thread ini:
1. http://myquran.org/forum/index.php/topic,48740.0.html
2. http://myquran.org/forum/index.php/topic,42405.15.html
15
Hukum dan Dunia Politik / Re:Khilafah dalam perspektif "baru" ...belum pernah disentuh nih... hot hot
« pada: 15 Oktober 2009, 17:37:14 »itu kan pertanyaan retorika akh?bang haekal, dia menuliskan pernyataan-nya, menutup aurat bukan termasuk syarat sah sholat, sebelum pertanyaan-nya.
ya ya ya... saya ingat. Mungkin seperti wajib menutup aurat ketika sholat, tapi bukan syarat sah sholat.
16
Hukum dan Dunia Politik / Re:Khilafah dalam perspektif "baru" ...belum pernah disentuh nih... hot hot
« pada: 15 Oktober 2009, 17:29:22 » @kang aeonia
di-maklumi aja atuh, akhi.
mau tahu sisi intelektual-nya tentang hukum Islam, lihat saja dari pendapat-nya yang satu ini, di-halaman sebelah.
di-maklumi aja atuh, akhi.
mau tahu sisi intelektual-nya tentang hukum Islam, lihat saja dari pendapat-nya yang satu ini, di-halaman sebelah.
ada yang sholat, tapi tidak menutup aurat, kok sholat-nya sah.
ya ya ya... saya ingat. Mungkin seperti wajib menutup aurat ketika sholat, tapi bukan syarat sah sholat.
Walopun saya jadi bingung.. kalo ada orang sholat telanjang, dia sah ...tapi diterima kagak yaa?
17
Hukum dan Dunia Politik / Re:Khilafah dalam perspektif "baru" ...belum pernah disentuh nih... hot hot
« pada: 14 Oktober 2009, 16:42:56 »HOW COME?
Siapa yang tidak kenal Saad bin Ubadah RA? Apakah dari kaum Anshor tidak ada yang memiliki kapabilitas menjadi pemimpin? Seandainya kepemimpinan non-Qurays tidak bathil, maka Umar RA tidak perlu menarik-narik ABu Bakr RA saat beliau sedang sibuk mengurusi pemakaman Nabi SAW.
Come on ...think of it...
al-Quran sudah menyatakan kesamaan derajat manusia dan dibedakan cuma berdasarkan taqwa mas Tapi petunjuk khusus dalam masalah khilafah ini jelas: ORANG QURAYS
hahaha... gimana bisa khabar .... ini kacao sekali. kalao cuma khabar, ngapain Abu Bakr RA mengutip hadist tersebut di Saqifah bani Saidah... ucapan Abu Bakr RA adalah ucapan pamungkas. Kalau SHAHABAT MEMAHAMI SEKEDAR khabar, maka tidak akan Suku Aws meninggalkan Sa'ad dan membaiat Abu Bakr...
Think again my friend
haduh haduh...
Tafsir liberal ini sih asyik juga... sudah dipahami Abu Bakr, Umar, Utsman, ALi, masih juga ditafsirkan lagi?
Siapa sih an-Nabhani? bisa melampaui Abu Bakr RA dan bisa membatalkan ucapan Nabi?
kenapa harus “Selama mereka menegakkan agama (Islam)” ? Ini pertanyaan linglung Sudah jelas hadist ini menjadi penegas bahwa khilafah HARUS QURAYS dan HARUS MUSLIM
Ada Qurays tapi ahlul kitab, ada Qurays tapi musyrik, ada Qurays yang muslim... Ini penegas larangan memilih pemimpin dari kalangan kafir. Akan tetapi, khusus masalah khilafah Islam, harus orang Qurays... bukan selainnya. teksnya jelas, dipahami para shahabat tanpa perselisihan
yang menyelisihi sunnah dan ijma shahabat jadi...siapa nih?
Masalahnya, apakah saat ini seluruh Qurays berada dalam kebatilan? sehingga memalingkan hak-hak khilafah pada mereka? apakah mereka semua menyimpang dari kebenaran sehingga dipapas habis khilafah dari mereka?
Nafsu amat sih Amir HT pengen jadi khilafah
Dalil di atas dibatalkan demi hukum berdasarkan fakta terpilihnya Utsman, lalu ALi sesudahnya. Jika ucapan Umar tersebut adalah wasiat dan DIDENGAR OLEH SHAHABAT, lalu mengapa tidak ada satupun shahabat yang menyambut wasiat tersebut? Mengapa Abdurrahman bin Auf tidak menyebut nama Abu ubadah? Lupakah? lalaikah? Jika lupa dan lalai, lalu mengapa tidak ada yang mengingatkan?
Lalu...pandangan ini dibatalkan dengan suatu ucapan AKHIR dari Umar bin Khattab RA...seelah terbentuknya tim formatur, yaitu Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwan, Thalhah bin Ubaidillah, Abdurrahman bin Auf dan Saad bin Abi Waqas...Umar bin Khatab berkata: ’ Tak ada orang yang lebih berhak dalam hal ini daripada mereka itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat sudah merasa puas terhadap mereka . siapapun yang terpilih dialah khalifah sesudah saya.’[11]Namun demikian, khusus untuk Abdullah bin Umar jangan dicalonkan apalagi dipilih, karena Umar mengatakan ” Aku tidak menginginkan salah seorang dari keluargaku menjadi orang yang diserahi tugas untuk memimpin dan mengurus kalian. Aku tidak menyukainya. Sebab, aku tidak menginginkan seorangpun dari keluarga Umar dihisab dan dimintai pertanggung jawaban atas urusan umat Muhammad. Sungguh aku telah berusaha dan berketetapan agar anggota keluargaku tidak memangku jabatan ini. Sungguh aku sangat bahagia bila harapan ini terkabul.” (sumber, Muhammad Husen Haekal -bukan zeinhaekal)
ini benar-benar keterlaluan. Bagaimana mungkin ALlah mensyariatkan sesuatu namun ALlah tidak menjaga apa yang disyariatkan-Nya? Jika khilafah adalah fardhu (dan memang kita sepakat), maka keberadaan orang2 yang mampu mengembannya juga ada Sampe sekarang suku Qurays masih ada...bahkan Nabi SAW sudah mennjuk Imam Mahdi sebagai khilafah terakhir dari darah Qurays
Ayo...think again!!!
akhi, dalam menentukkan hukum syara' dari dalil syara' [nash syara'], tidaklah semudah seperti yg antum kemuka-kan di-atas.
Pertama, harus memahami dalil-dalil sam'i [naqli] yang digunakan untuk membangun kaidah-kaidah hukum. Yang dimaksud dengan dalil sam'i adalah al-Quran, as-Sunnah, dan Ijma. Harus memahami al-Quran, as-Sunnah, dan Ijma berikut klasifikasi dan kedudukannya. Harus memiliki kemampuan untuk memahami, menimbang, mengkompromikan, serta men-tarjih dalil-dalil tersebut jika terjadi pertentangan.
Kedua, memahami arah penunjukkan dari suatu makna yang sejalan dengan pemahaman orang Arab dan dipakai oleh para ahli balaghah [retorika bahasa Arab].
nah berkaitan dengan hukum urusan pemerintahan berada pada orang Quraisy, maka seperti argumentasi yang telah di-tulis diatas, bahwa status hukumnya adalah mandub [sunnah] bukan wajib.
salah satu argumentasi tersebut saya tuliskan kembali:
Pertama, sesungguhnya semua hadits yang diriwayatkan itu, yang menjadikan urusan pemerintahan berada pada orang Quraisy telah ada dalam bentuk khabar dan tidak satu hadits pun datang dalam bentuk perintah. Bentuk khabar menurut para ulama ushul sekalipun memberikan pengertian tuntutan [thalab] tetapi tidak terkategori tuntutan yang pasti [thalaban jaaziman] selama tidak disertai dengan indikasi [qarinah] yang menunjukkan penekanan [ta'kid] dan ternyata tidak ada satu qarinah pun yang menyertainya, tak ada dalam satu riwayat yang shahih. Sehingga menunjukkan bahwa status hukumnya adalah mandub [sunnah] bukan wajib.
Kedua, sesungguhnya kata Quraisy adalah isim [kata nama], bukan sifat. Dalam istilah ilmu ushul disebut "laqab" [sebutan]. Dan mafhum isim atau mafhum laqab tidak diamalkan/dipakai secara mutlak. Sebab isim atau laqab tidak mempunyai mafhum. Para ulama ushul, kecuali Ad-Daqqaq, telah bersepakat mengatakan bahwa laqab tidak mengandung mafhum [Al-Aamidi, Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam, juz 2, hal. 160 dan Asy-Syaukani, Irsyadul Fuhal ila Tahqiiqil Haqqi min Ilmil Ushul, hal. 159]. Oleh karena itu, penentuan Quraisy bukan berarti tidak menjadikan jabatan khalifah untuk selain Quraisy.
maka-nya beberapa ulama juga ber-ijtihad bahwa status hukumnya adalah mandub [sunnah] bukan wajib, seperti Ibnu Khaldun, Imam Ibnul Hajar Al-'Asqalani, dll.
Ijtihad hanya terjadi dan berlaku pada wilayah furu' [cabang] dan zhanni. Perkara-perkara semacam ini disebut perkara ijtihadiah. Disebut demikian karena ia masih membuka ruang terjadinya perbedaan interpretasi.
Kewajiban menegakkan kembali Khilafah Islamiyah merupakan perkara qath'i [perkara pasti] yang tidak boleh ada perbedaan di kalangan Muslim.
nah saya ada satu permintaan buat antum, mudah-mudahan antum menjawab-nya.
jika antum mengambil hukum fardhu, untuk perkara diatas, bisa anda jelaskan argumentasi-nya [dalil-nya], seperti argumentasi dari hukum mandub [sunnah] diatas, hal ini akan membuktikkan apakah antum seorang muqallid muttabi' atau muqallid 'ammi.
Muqallid muttabi' adalah orang yang memiliki sebagian ilmu yang diperlukan dalam berijtihad, dan ia bertaklid kepada seorang mujtahid setelah ia mengetahui dalilnya. Pada saat itu hukum Allah atas muttabi' tersebut adalah pendapat mujtahid yang diikutinya. Sedangkan muqallid 'ammi adalah orang yang tidak memiliki sebagian ilmu yang diperlukan dalam berijtihad, sehingga ia bertaklid kepada seorang mujtahid tanpa mengetahui dalilnya.
18
Hukum dan Dunia Politik / Re:Khilafah dalam perspektif "baru" ...belum pernah disentuh nih... hot hot
« pada: 13 Oktober 2009, 12:41:05 » Studi Hadits: Kepemimpinan Pada Quraisy
Oleh: Dr. Abdurrahman al-Baghdady
Publikasi 13/01/2005
hayatulislam.net – Dari Anas r.a. bahwasanya Nabi Saw bersabda, “Para Imam (pemimpin) itu dari Quraisy. Jika mereka memerintah, maka mereka adil. Jika mereka berjanji, mereka memenuhi. Jika mereka diminta belas kasihan, mereka berbelas kasih. Siapa saja di antara mereka yang tidak berbuat demikian, maka dia akan mendapatkan laknat Allah, laknat para malaikat, dan laknat seluruh manusia. Tidak dapat diterima taubat dari mereka dan tidak diterima pula tebusan (azab) dari mereka.”
Takhrij Al Hadits (Otentisitas Hadits)
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Abu Dawud At-Thayâlisy dalam musnadnya Juz 2 hal. 163. Imam Ahmad juga meriwayatkannya dari Anas bin Malik dan Abi Barzah dengan redaksi yang lebih pendek: Bahwa Rasulullah Saw berdiri di depan pintu rumah Beliau Saw dan kami ada (di dalam rumah beliau), lalu berkata: “Para Imam itu dari Quraisy.” (Al-Musnad, juz 3, hal. 139 dan juz 4, hal. 421). Imam Al-Bukhari meriwayatkan hadits tersebut dalam Kitab Al-Anbiya’ dengan lafazh: Dari Mu’awiyah bahwasanya dia mendengar Nabi Saw bersabda:
“Sesungguhnya urusan (pemerintahan/khilafah) ini ada di tangan Quraisy. Tidak seorang pun yang memusuhi mereka melainkan Allah akan membuatnya terjungkal/tersungkur ke tanah, selama mereka menegakkan agama (Islam).” (lihat Shahih Bukhari, juz 6, hal. 389). Beliau juga meriwayatkan hadits itu dari Abdullah bin Umar r.a. dengan lafazh: “Urusan (pemerintahan khilafah) ini senantiasa berada di tangan Quraisy selama masih tersisa dari mereka dua orang.” (Idem, juz 6, hal. 389). Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani tentang sanad hadits itu berkata: “Para perawinya (rijâl hadits) tergolong dalam para perawi yang shahih, tetapi dalam sanad ini ada keterputusan (inqithâ’).” (Fâth Al-Bârî, juz 16, hal. 231). Dan hadits Ibnu Umar ini juga dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam Kitab Al-Imârah dengan lafazh: “Urusan (pemerintahan khilafah) ini senantiasa berada di tangan Quraisy selama masih tersisa dua orang di antara manusia.” (Shahih Muslim, juz 12, hal. 201). Imam Muslim meriwayatkan hadits serupa dari Abu Hurairah r.a. dengan lafazh: “Manusia mengikuti Quraisy dalam perkara (pemerintahan) ini. Yang muslim mengikuti kaum muslimin dari kalangan mereka. Yang kafir mengikuti kaum kafir dari kalangan mereka.” (Shahih Muslim, Juz 12, hal. 200).
Dalam Sunan At-Tirmidzi, juz 4, hal. 503, diriwayatkan hadits dari Amr bin Al ‘Ash bahwasanya dia mendengar Nabi Saw bersabda: “Quraisy adalah pemimpin manusia (wulâtun nâs) dalam kebaikan dan keburukan hingga hari qiyamat” dan Imam At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini adalah hadits hasan gharib shahih.” Dalam Sunan Al-Baihaqi, juz 8, hal. 144, diriwayatkan hadits dari ‘Atha’ bin Yasar bahwasanya Rasulullah Saw bersabda kepada orang-orang Quraisy: “Kalian adalah manusia yang paling layak memegang urusan (pemerintahan) ini selama kalian berada dalam kebenaran. Apabila kalian menyimpang dari kebenaran maka kalian akan dikupas habis sebagaimana kulit kayu ini dikupas! —Beliau menunjuk sebuah kayu yang ada ditangannya.” Dan Imam Syafi’i meriwayatkannya dengan lafazh yang sama dalam Al-Musnad bagian Mu’amalat. Beliau mengeluarkan sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Syihab bahwa telah sampai padanya bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Persilahkan Quraisy tampil kedepan (untuk memimpin) dan janganlah kalian mendahuluinya ke depan (untuk memimpin). Belajarlah dari Quraisy dan jangan mengajari mereka.” (Imam Syafi’i, Idem, hal. 194). Dalam kitab Majmu’ Az-Zawâid karya Al-Haitsami dari Tsauban berkata: Rasulullah Saw bersabda:
“Tetaplah bersama Quraisy selama mereka tetap bersama kalian. Kalau mereka tidak melakukan hal itu, maka angkatlah pedang kalian diatas pundak kalian, lalu musnahkahlah pemimpin-pemimpin (quraisy) itu. Jika kalian tidak melakukannya, maka jadilah sebagai kaum petani yang payang hidupnya dimana kalian akan makan hanya dari hasil jeritan kalian.” Al-Haitsami berkata: Hadits ini telah diriwatkan Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam As-Shaghîr dan Al-Ausath, dan para perawi As Shaghîr terpercaya (lihat juz 5, hal. 228).
Tentang hadits “Para Imam dari Quraisy” Al-Halabi berkata dalam Sirah Halabiyah, juz 2, hal. 480: “Hadits tersebut adalah hadits shahih yang diriwayatkan sekitar 40 shahabat.” Imam Ibnu Hazm menilai hadits tersebut mutawatir. Dia berkata: “Riwayat hadits ini datang secara tawatur.” (Al-Fashal fil Milal wal Ahwâ’ wan Nihal, juz 4, hal. 89). Imam Ibnu Taimiyyah cenderung menilai hadits itu mutawatir dari segi maknanya saja dan bukan dari segi sanadnya (Minhâjus Sunnah An-Nabawiyyah, juz 2, hal. 85-86). Apa yang dikatakan Ibnu Taimiyyah itulah yang benar. Sebab, diterimanya penilaian itu tidak berdasarkan banyaknya perawi yang meriwayatkan hadits, tetapi pada dipenuhinya syarat-syarat tawatur oleh sebuah hadits.
Fiqh Al-Hadits (Pengertian Hadits)
Syarat keturunan (nasab) Quraisy telah mendapatkan perhatian besar dalam pengangkatan Imam atau Khalifah dari jumhur para ulama dan dalam masalah ini terdapat perbedaan yang besar di antara para ulama yang menganggapnya sebagai syarat in’iqad (keharusan) dalam mengakadkan khalifah —yang berpendapat bahwa selain orang Quraisy tidak boleh menjadi khalifah— dengan kalangan yang memasukkannya sebagai syarat afdlaliyyah (keutamaan) semata. Bahkan para mufakkirin kontemporer semacam Syaikh Abdul Wahhab Khalaf dalam kitab As-Siyâsah As-Syar’iyyah hal 28 dan Dr. Al-Khurbuthli dalam kitab Al-Islam wal Khilafah hal. 59, mereka menolak keshahihan hadits tersebut dan menganggapnya tidak jelas asal usulnya dalam syara’ berdasarkan ketiadaan nash yang shahih yang menunjukkannya.
Madzhab Ahlu Sunnah, seluruh Syi’ah, sebagian kelompok Mu’tazilah, dan sebagian besar kelompok Murji’ah berpendapat bahwa keturunan Quraisy merupakan syarat in’iqaad khilafah (Imam Ibnu Hazm, Al-Fashl fil Milal wan Nihal, juz 4, hal. 89; Abul Hasan Al-Asy’ari, Maqalât Al-Islamiyyîn, juz 2, hal. 134; Muqaddimah Ibnu Khaldun, juz 2, hal. 522-524; dan Al-Qalqassyandi, Mâtsirul Inâfah fi Ma’âlimil Khilafah, juz 1, hal. 38). Imam Malik berkata: “Imamah atau kepemimpinan tidak boleh ada kecuali pada Quraisy.” ( Ibnu Arabi, Ahkâmul Qur’an, juz 4, hal. 1709). Imam Ahmad berkata: “Tidak ada khalifah dari selain Quraisy.” (Abu Ya’la al Farrâ’[/b], Al-Ahkam As-Sulthâniyah, hal 20). Mereka berargumentasi dengan dalil hadits “Para Imam dari Quraisy” dan ijma’ shahabat, sebab Abu Bakar r.a. telah berdalil dengan sabda Rasulullah Saw: “Para imam dari Quraisy” ketika beradu argumentasi dengan kaum Anshar dalam perselisihan pendapat tentang masalah imamah. Argumentasi itu disaksikan oleh para shahabat dan mereka menerimanya sehingga menjadi dalil yang pasti yang memberikan pengertian persyaratan Quraisy dalam khalifah (lihat Abul Hasan Al-Asy’ari, Maqalât Al-Islamiyyîn, juz 1, hal. 41; Ibul Arabi, Al-‘Awâshim minal Qawâshim, hal 43; Al-Mawardi, Al-Ahkâm As-Sulthâniyyah, hal. 5-6; dan Al-Aijî, Al-Mawâqif, juz 8, hal. 350; dan Abdul Qahir Al-Baghdadi, Al Farqu bainal Firaq, hal. 15).
Sedangkan al Khawarij, jumhur kalangan Mu’tazilah, sebagian Murji’ah, Qadli Abu Bakar Al-Bâqilâni, sebagian kelompok Ghulat al Imâmiyyah, Ibnu Khaldun, Imam Ibnul Hajar Al-‘Asqalani, dan para ulama kontemporer berpendapat bahwa nasab Quraisy tergolong syarat afdlaliyyah bukan termasuk syarat in’iqad (lihat Al-Amidi, Al-Fashl fil Milal wal Ahwâ wan Nihal, juz 4, hal. 89 dan Ghâyatul Maram fi Ilmil Kalam, hal 383; Ibnu Hajar, Fâth Al-Bârî, juz 16, hal. 237; Muqaddimah Ibnu Khaldun, juz 2, hal. 524; Syaikh Abdul Wahhab Khalaf dalam kitab As-Siyâsah As-Syar’iyyah hal. 27; Dr. Abdul Hamid Mutawalli, Mabâdi Nizham al Hukm fil Islam, hal. 613; dan Dr. Al Khurbuthli, Al-Islam wal Khilafah, hal. 35).
Wajhul Istidlal Hadits Ini (Motif Dasar Dalil)
Sesungguhnya hadits-hadits yang ada menyebut persyaratan nasab Quraisy bagi kepemimpinan kaum muslimin, sekalipun menunjukkan bahwa manusia yang paling berhak untuk memegang jabatan khilafah adalah orang Quraisy, hanya saja hal itu tidak menunjukkan bathilnya kehilafahan dari selain mereka. Juga tidak menunjukkan pembatasan bahwa kursi kekhilafaan hanya untuk Quraisy dan tidak sah jika diakadkan/diberikan kepada selain mereka. Oleh karena itu, syarat nasab Quraisy termasuk syarat afdlaliyyah, bukan termasuk syarat in’iqad. Inilah pendapat yang benar dalam perkara ini.
Argumentasinya nampak pada beberapa segi:
Pertama, Sesungguhnya semua hadits yang diriwayatkan dan sanadnya shahih dari Rasulullah Saw seperti hadits Anas: “Para imam adalah dari Quraisy” dan hadits Mu’awiyah “Sesungguhnya urusan (pemerintahan/ khilafah) ini berada pada Quraisy” dan yang serupa dengannya sekalipun dari hadits-hadits itu dapat difahami penentuan kekhilafahan Quraisy, hanya saja dalam hadits-hadits tersebut tidak menunjukkan bahwa selain Quraisy tidak boleh memegang jabatan khilafah, tapi menunjukkan bahwa Quraisy punya hak dalam hal itu dari segi keutamaan lantaran posisi sentral Quraisy sebelum Islam dan kedudukan mereka di antara orang-orang Arab.
Ketika datang Islam memecahkan masalah dalam realitas yang ada di antara manusia, yaitu keadaan masyarakat yang tidak mau menerima kepemimpinan selain dari Quraisy. Mereka tidak rela kalau yang berkuasa mengatur urusan mereka adalah orang selain Quraisy. Inilah yang ditunjukkan oleh Abu Bakar As-Shiddiq r.a. dalam pidato beliau di Saqifah Bani Saaidah Beliau r.a. mengatakan: “Sesungguhnya perkara (pemerintahan/ khilafah) ini berada pada Quraisy selama mereka taat kepada Allah dan istiqamah dalam menjalankan perintahNya, dan telah sampai kepada kalian hal itu dan kalian mendengarnya dari nabi kalian.” (Diriwayatkan oleh Muhammad bin Ishaq dalam Al-Kitab Al-Kabir dan itu dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fâth Al-Bârî, juz 16, hal. 235). Hal itu juga terdapat pada karya Ibnu Hazm dengan lafazh: Dan tidak akan mengakui bangsa Arab perkara ini (pemerintahan) kacuali dipegang oleh suku dari Quraisy ini., mereka adalah kaum Arab yang terkemuka dari segi keturunan dan negeri, yakni mereka adalah bangsa Arab yang paling mulia dan negeri mereka adalah Makkah yang berupakan wilayah yang mulia (Sirah Ibnu Hisyam Juz 2 hal 659).
Kedua, sesungguhnya semua hadits yang diriwayatkan itu , yang menjadikan urusan pemerintahan berada pada orang Quraisy telah ada dalam bentuk khabar dan tidak satu hadits pun datang dalam bentuk perintah. Bentuk khabar menurut para ulama ushul sekalipun memberikan pengertian tuntutan (thalab) tetapi tidak terkategori tuntutan yang pasti (thalaban jaaziman) selama tidak disertai dengan indikasi (qarinah) yang menunjukkan penekanan (ta’kid) dan ternyata tidak ada satu qarinah pun yang menyertainya, tak ada dalam satu riwayat yang shahih. Sehingga menunjukkan bahwa status hukumnya adalah mandub (sunnah) bukan wajib. Jadi syarat nasab Quraisy itu adalah syarat afdlaliyyah bukan syarat in’iqad.
Ketiga, sesungguhnya kata Quraisy adalah isim (kata nama), bukan sifat. Dalam istilah ilmu ushul disebut “laqab” (sebutan). Dan mafhum isim atau mafhum laqab tidak diamalkan/dipakai secara mutlak. Sebab isim atau laqab tidak mempunyai mafhum. Para ulama ushul, kecuali Ad-Daqqaq, telah bersepakat mengatakan bahwa laqab tidak mengandung mafhum (Al-Aamidi, Al-Ihkâm fi Ushûlil Ahkâm, juz 2, hal. 160 dan Asy-Syaukani, Irsyâdul Fuhûl ila Tahqiiqil Haqqi min Ilmil Ushûl, hal. 159). Oleh karena itu, penentuan Quraisy bukan berarti tidak menjadikan jabatan khalifah untuk selain Quraisy. Sabda Rasulullah Saw “Sesungguhnya urusan (pemerintahan/khilafah) ini berada pada Quraisy” dan sabdanya pula: “Urusan (pemerintahan) ini selalu di tangan quraisy” tidak berarti bahwa urusan ini, yakni pemerintahan dan khilafah, tidak dibenarkan berada di tangan orang selain Quraisy. Dan tidaklah berarti selalu di tangan mereka itu tidak dibenarkan kalau beada di tangan slain mereka. Tetapi berarti urusan pemerintahan itu di tangan mereka dan bisa (benar) juga di tangan selain mereka. Penentuan keberadaan pemerintahan di tangan mereka bukan berarti mencegah keberadaan khilafah di tangan selain mereka.
Keempat, kalau syarat nasab/keturunan Quraisy menjadi syarat in’iqad, kenapa Rasulullah Saw bersabda: “Selama mereka menegakkan agama (Islam).” Sebab mafhum mukhalafah dari hadits Mu’awiyah “Selama mereka menegakkan agama (Islam)” berarti bahwasanya jika mereka tidak menegakkan agama (Islam), maka urusan (pemerintahan) tersebut keluar dari mereka (Ibnu Hajar, Fâth Al-Bârî, juz 16, hal. 333-334). Jika urusan pemerintahan lepas dari tangan mereka, bolehkah kaum muslimin hidup tanpa Imam yang menyebabkan terbengkalainya hukum dan terhentinya jihad?
Sesungguhnya hukum syar’i menetapkan bahwa mengangkat imam atan Khalifah itu wajib bagi umat. Umat juga wajib memecat penguasa jika dia menampakkan kekufuran yang nyata, baik penguasa itu seorang Quraiys atau bukan. Imam Ahmad telah meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud r.a. bahwasanya dia telah mendatangi Rasulullah Saw dan mendengar beliau bersabda:
“Amma ba’du. Wahai orang-orang Quraisy, sesungguhnya kalian adalah kaum yang berhak atas urusan (pemerintahan) ini, selama kalian tidak bermaiksiat kepada Allah. Jika kalian bermaksiat kepada-Nya maka dia niscaya akan mengerahkan kepada kalian sekelompok orang yang akan menguliti (mengupas habis) kalian sebagaimana kayu ini dikuliti –beliau menunjuk pada sebuah kayu yang ada di tangan beliau.” Perawi berkata: “Kemudian beliau Saw mengelupas kulit tongkatnya yang kemudian nampak putih keras.” (Al Musnad, juz 6, hal. 176 hadits No. 4380). Begitu pula hadits yang diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam As-Shaghîr dan Al-Ausath dari Tsanban berkata: Rasulullah Saw bersabda: “Peganglah janji setia kepada Quraisy selama mereka setia (tidak khianat) memimpin kalian. Jika mereka tidak melakukan (khianat dalam memimpin umat) maka angkatlah pedang kalian di atas pundak kalian dan musnahkanlah pemimpin-pemimpin (Quraisy) itu.” (Al-Haitsami, Majmau’ az Zawâid, juz 5, hal. 228).
Hadits-hadits ini tidak menjadikan wewenang pemerintahan (wilayatul amri) pada Quraisy dalam kebenaran maupun kebatilan, tetapi Quraisy hanya diberi wewenang dalam kebenaran saja. Jika mereka dalam keadaan batil, dan yang lain dalam kebenaran, Rasulullah menyuruh tidak mengikuti kebatilan dan melawannya dengan kekuatan fisik. Dari keseluruhan hadits yang ada, tak terbayang kecuali bahwa syarat nasab Quraisy itu hanya syarat afdhaliyah semata, tidak merupakan syarat in’iqad.
Kelima, Imam Ahmad mengeluarkan hadits dari Umar bin Al Khaththab r.a dengan sanad rijalnya tsiqah (terpercaya) bahwasanya dia berkata: “Jika telah sampai ajalku, dan Abu Ubadah masih hidup, maka aku akan menyerahkan kekhilafahan kepadanya.” Maka dia menyebutkan hadits yang di dalamnya ada ungkapan: “Jika telah sampai ajalku dan Abu Ubadah telah mati maka aku akan memberikan kekhilafahan kepada Mu’adz bin Jabal.[/i]” (Al-Musnad, juz. 16 hal. 236).
Lebih-lebih lagi Umar bin Khaththab r.a mengucapkan hal itu dengan dihadiri oleh para shahabat r.a. Dan tidak ada satu riwawatpun yang menyebut bahwasanya mereka berbeda pendapat dengan Umar tentang pendapatnya itu dan berhujjah bahwa Khilafah mesti di tangan Quraisy dan tidak boleh di tangan keturunan yang lain. Oleh kerena itu pemahaman inilah yang difahami Umar r.a dan tak seorangpun dari shahabat yang mengingkarinya bahwa syarat nasab Quraisy bukanlah syarat in’iqad.
Keenam, jika kita asumsikan bahwa nasab Quraisy harus dipakai untuk mengakadkan (menyerahkan) khilafah kepada seorang dari Quraisy, tentunya syara’ menjelaskan hal itu. Namun syara’ tidak meminta mempertahankan nasab Quraisy di antara manusia. Bagaimana bisa dibayangkan dalam hal ini kemampuan kaum muslimin mengangkat seorang khalifah dari suku Quraisy ?!
Ini telah disepakati oleh kebanyakan mutakallimin bahwasanya taklif tak ada kaitannya kecuali dengan perbuatan hamba yang dia mampu melakukannya (As-Sarkhasy, Muntaha as Sûl fi ilmil Ushul, juz 1, hal. 35). Dan memelihara nasab Quraisy hingga hari kiamat adalah sesuatu yang diluar kemampuan manusia. Oleh karena itu, nasab itu jika diketahui termasuk syarat afdhaliyah, bukan merupakan syarat in’iqad. Hal ini karena syarat in’iqaad yang akad khilafah tidak bisa disahkan kecuali dengan syarat itu dan seorang calon khilafah harus memenuhinya untuk jabatan khilafah, adalah 7 syarat, yaitu: dia harus seorang muslim, baligh, berakal, laki-laki, merdeka, adil, dan mampu melaksanakan tugas-tugas khilafah ( An-Nabhani, Nidzamul Hukmi fil Islam).
Syarat-syarat itulah yang menjadi syarat in’iqaad khilafah dan selain ketujuh syarat itu tidak layak menjadi syarat in’iqad, sekalipun bisa menjadi syarat afdhaliyat. Jika nashnya terbukti shahih. Atau tersubordinasi dari hukum yang telah ditetapkan dengan nash yang shahih, seperti keberadaan khilafah di tangan Quraisy, atau ia seorang ahli ijtihad, atau seseorang yang memiliki pendapat yang dapat membantu dalam memelihara urusan rakyat dan mengatur kemashlahatan mereka, dan lain-lain.
Oleh karena itu, nasab Quraisy, perannya hanya terbatas pada syarat afdhaliyah yang urgensinya menonjol ketika disodorkan nama-nama calon pemangku jabatan khilafah kepada mayoritas kaum muslimin. Dan disodorkan setiap calon dan kelebihannya atas calon-calon lain agar umat dapat membai’at siapa yang mereka inginkan dengan rela dan memilih orang yang mereka inginkan dengan rela tanpa memperhatikan sesuatu apapun selama orang yang dipilih oleh umat telah memenuhi syarat-syarat in’iqad.
Ya Allah, kami mohon kepadaMu daulah Islamiyah yang mulia, Khilafah Rasyidah yang mengikuti pola kenabian yang dengannya Islam dan pemeluknya menjadi mulia serta kekufuran dan pelakunya menjadi hina, dan jadikanlah kami para penyeru (ummat) untuk taat kepada-Mu, dan menjadi pemimpin yang membawa (seluruh manusia) ke jalan-Mu, ya Allah, dan tetapkanlah kami dengan kemuliaan tersebut dunia akhirat, dengan RahmatMu Ya Arhamar Raahimiin.
Oleh: Dr. Abdurrahman al-Baghdady
Publikasi 13/01/2005
hayatulislam.net – Dari Anas r.a. bahwasanya Nabi Saw bersabda, “Para Imam (pemimpin) itu dari Quraisy. Jika mereka memerintah, maka mereka adil. Jika mereka berjanji, mereka memenuhi. Jika mereka diminta belas kasihan, mereka berbelas kasih. Siapa saja di antara mereka yang tidak berbuat demikian, maka dia akan mendapatkan laknat Allah, laknat para malaikat, dan laknat seluruh manusia. Tidak dapat diterima taubat dari mereka dan tidak diterima pula tebusan (azab) dari mereka.”
Takhrij Al Hadits (Otentisitas Hadits)
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Abu Dawud At-Thayâlisy dalam musnadnya Juz 2 hal. 163. Imam Ahmad juga meriwayatkannya dari Anas bin Malik dan Abi Barzah dengan redaksi yang lebih pendek: Bahwa Rasulullah Saw berdiri di depan pintu rumah Beliau Saw dan kami ada (di dalam rumah beliau), lalu berkata: “Para Imam itu dari Quraisy.” (Al-Musnad, juz 3, hal. 139 dan juz 4, hal. 421). Imam Al-Bukhari meriwayatkan hadits tersebut dalam Kitab Al-Anbiya’ dengan lafazh: Dari Mu’awiyah bahwasanya dia mendengar Nabi Saw bersabda:
“Sesungguhnya urusan (pemerintahan/khilafah) ini ada di tangan Quraisy. Tidak seorang pun yang memusuhi mereka melainkan Allah akan membuatnya terjungkal/tersungkur ke tanah, selama mereka menegakkan agama (Islam).” (lihat Shahih Bukhari, juz 6, hal. 389). Beliau juga meriwayatkan hadits itu dari Abdullah bin Umar r.a. dengan lafazh: “Urusan (pemerintahan khilafah) ini senantiasa berada di tangan Quraisy selama masih tersisa dari mereka dua orang.” (Idem, juz 6, hal. 389). Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani tentang sanad hadits itu berkata: “Para perawinya (rijâl hadits) tergolong dalam para perawi yang shahih, tetapi dalam sanad ini ada keterputusan (inqithâ’).” (Fâth Al-Bârî, juz 16, hal. 231). Dan hadits Ibnu Umar ini juga dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam Kitab Al-Imârah dengan lafazh: “Urusan (pemerintahan khilafah) ini senantiasa berada di tangan Quraisy selama masih tersisa dua orang di antara manusia.” (Shahih Muslim, juz 12, hal. 201). Imam Muslim meriwayatkan hadits serupa dari Abu Hurairah r.a. dengan lafazh: “Manusia mengikuti Quraisy dalam perkara (pemerintahan) ini. Yang muslim mengikuti kaum muslimin dari kalangan mereka. Yang kafir mengikuti kaum kafir dari kalangan mereka.” (Shahih Muslim, Juz 12, hal. 200).
Dalam Sunan At-Tirmidzi, juz 4, hal. 503, diriwayatkan hadits dari Amr bin Al ‘Ash bahwasanya dia mendengar Nabi Saw bersabda: “Quraisy adalah pemimpin manusia (wulâtun nâs) dalam kebaikan dan keburukan hingga hari qiyamat” dan Imam At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini adalah hadits hasan gharib shahih.” Dalam Sunan Al-Baihaqi, juz 8, hal. 144, diriwayatkan hadits dari ‘Atha’ bin Yasar bahwasanya Rasulullah Saw bersabda kepada orang-orang Quraisy: “Kalian adalah manusia yang paling layak memegang urusan (pemerintahan) ini selama kalian berada dalam kebenaran. Apabila kalian menyimpang dari kebenaran maka kalian akan dikupas habis sebagaimana kulit kayu ini dikupas! —Beliau menunjuk sebuah kayu yang ada ditangannya.” Dan Imam Syafi’i meriwayatkannya dengan lafazh yang sama dalam Al-Musnad bagian Mu’amalat. Beliau mengeluarkan sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Syihab bahwa telah sampai padanya bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Persilahkan Quraisy tampil kedepan (untuk memimpin) dan janganlah kalian mendahuluinya ke depan (untuk memimpin). Belajarlah dari Quraisy dan jangan mengajari mereka.” (Imam Syafi’i, Idem, hal. 194). Dalam kitab Majmu’ Az-Zawâid karya Al-Haitsami dari Tsauban berkata: Rasulullah Saw bersabda:
“Tetaplah bersama Quraisy selama mereka tetap bersama kalian. Kalau mereka tidak melakukan hal itu, maka angkatlah pedang kalian diatas pundak kalian, lalu musnahkahlah pemimpin-pemimpin (quraisy) itu. Jika kalian tidak melakukannya, maka jadilah sebagai kaum petani yang payang hidupnya dimana kalian akan makan hanya dari hasil jeritan kalian.” Al-Haitsami berkata: Hadits ini telah diriwatkan Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam As-Shaghîr dan Al-Ausath, dan para perawi As Shaghîr terpercaya (lihat juz 5, hal. 228).
Tentang hadits “Para Imam dari Quraisy” Al-Halabi berkata dalam Sirah Halabiyah, juz 2, hal. 480: “Hadits tersebut adalah hadits shahih yang diriwayatkan sekitar 40 shahabat.” Imam Ibnu Hazm menilai hadits tersebut mutawatir. Dia berkata: “Riwayat hadits ini datang secara tawatur.” (Al-Fashal fil Milal wal Ahwâ’ wan Nihal, juz 4, hal. 89). Imam Ibnu Taimiyyah cenderung menilai hadits itu mutawatir dari segi maknanya saja dan bukan dari segi sanadnya (Minhâjus Sunnah An-Nabawiyyah, juz 2, hal. 85-86). Apa yang dikatakan Ibnu Taimiyyah itulah yang benar. Sebab, diterimanya penilaian itu tidak berdasarkan banyaknya perawi yang meriwayatkan hadits, tetapi pada dipenuhinya syarat-syarat tawatur oleh sebuah hadits.
Fiqh Al-Hadits (Pengertian Hadits)
Syarat keturunan (nasab) Quraisy telah mendapatkan perhatian besar dalam pengangkatan Imam atau Khalifah dari jumhur para ulama dan dalam masalah ini terdapat perbedaan yang besar di antara para ulama yang menganggapnya sebagai syarat in’iqad (keharusan) dalam mengakadkan khalifah —yang berpendapat bahwa selain orang Quraisy tidak boleh menjadi khalifah— dengan kalangan yang memasukkannya sebagai syarat afdlaliyyah (keutamaan) semata. Bahkan para mufakkirin kontemporer semacam Syaikh Abdul Wahhab Khalaf dalam kitab As-Siyâsah As-Syar’iyyah hal 28 dan Dr. Al-Khurbuthli dalam kitab Al-Islam wal Khilafah hal. 59, mereka menolak keshahihan hadits tersebut dan menganggapnya tidak jelas asal usulnya dalam syara’ berdasarkan ketiadaan nash yang shahih yang menunjukkannya.
Madzhab Ahlu Sunnah, seluruh Syi’ah, sebagian kelompok Mu’tazilah, dan sebagian besar kelompok Murji’ah berpendapat bahwa keturunan Quraisy merupakan syarat in’iqaad khilafah (Imam Ibnu Hazm, Al-Fashl fil Milal wan Nihal, juz 4, hal. 89; Abul Hasan Al-Asy’ari, Maqalât Al-Islamiyyîn, juz 2, hal. 134; Muqaddimah Ibnu Khaldun, juz 2, hal. 522-524; dan Al-Qalqassyandi, Mâtsirul Inâfah fi Ma’âlimil Khilafah, juz 1, hal. 38). Imam Malik berkata: “Imamah atau kepemimpinan tidak boleh ada kecuali pada Quraisy.” ( Ibnu Arabi, Ahkâmul Qur’an, juz 4, hal. 1709). Imam Ahmad berkata: “Tidak ada khalifah dari selain Quraisy.” (Abu Ya’la al Farrâ’[/b], Al-Ahkam As-Sulthâniyah, hal 20). Mereka berargumentasi dengan dalil hadits “Para Imam dari Quraisy” dan ijma’ shahabat, sebab Abu Bakar r.a. telah berdalil dengan sabda Rasulullah Saw: “Para imam dari Quraisy” ketika beradu argumentasi dengan kaum Anshar dalam perselisihan pendapat tentang masalah imamah. Argumentasi itu disaksikan oleh para shahabat dan mereka menerimanya sehingga menjadi dalil yang pasti yang memberikan pengertian persyaratan Quraisy dalam khalifah (lihat Abul Hasan Al-Asy’ari, Maqalât Al-Islamiyyîn, juz 1, hal. 41; Ibul Arabi, Al-‘Awâshim minal Qawâshim, hal 43; Al-Mawardi, Al-Ahkâm As-Sulthâniyyah, hal. 5-6; dan Al-Aijî, Al-Mawâqif, juz 8, hal. 350; dan Abdul Qahir Al-Baghdadi, Al Farqu bainal Firaq, hal. 15).
Sedangkan al Khawarij, jumhur kalangan Mu’tazilah, sebagian Murji’ah, Qadli Abu Bakar Al-Bâqilâni, sebagian kelompok Ghulat al Imâmiyyah, Ibnu Khaldun, Imam Ibnul Hajar Al-‘Asqalani, dan para ulama kontemporer berpendapat bahwa nasab Quraisy tergolong syarat afdlaliyyah bukan termasuk syarat in’iqad (lihat Al-Amidi, Al-Fashl fil Milal wal Ahwâ wan Nihal, juz 4, hal. 89 dan Ghâyatul Maram fi Ilmil Kalam, hal 383; Ibnu Hajar, Fâth Al-Bârî, juz 16, hal. 237; Muqaddimah Ibnu Khaldun, juz 2, hal. 524; Syaikh Abdul Wahhab Khalaf dalam kitab As-Siyâsah As-Syar’iyyah hal. 27; Dr. Abdul Hamid Mutawalli, Mabâdi Nizham al Hukm fil Islam, hal. 613; dan Dr. Al Khurbuthli, Al-Islam wal Khilafah, hal. 35).
Wajhul Istidlal Hadits Ini (Motif Dasar Dalil)
Sesungguhnya hadits-hadits yang ada menyebut persyaratan nasab Quraisy bagi kepemimpinan kaum muslimin, sekalipun menunjukkan bahwa manusia yang paling berhak untuk memegang jabatan khilafah adalah orang Quraisy, hanya saja hal itu tidak menunjukkan bathilnya kehilafahan dari selain mereka. Juga tidak menunjukkan pembatasan bahwa kursi kekhilafaan hanya untuk Quraisy dan tidak sah jika diakadkan/diberikan kepada selain mereka. Oleh karena itu, syarat nasab Quraisy termasuk syarat afdlaliyyah, bukan termasuk syarat in’iqad. Inilah pendapat yang benar dalam perkara ini.
Argumentasinya nampak pada beberapa segi:
Pertama, Sesungguhnya semua hadits yang diriwayatkan dan sanadnya shahih dari Rasulullah Saw seperti hadits Anas: “Para imam adalah dari Quraisy” dan hadits Mu’awiyah “Sesungguhnya urusan (pemerintahan/ khilafah) ini berada pada Quraisy” dan yang serupa dengannya sekalipun dari hadits-hadits itu dapat difahami penentuan kekhilafahan Quraisy, hanya saja dalam hadits-hadits tersebut tidak menunjukkan bahwa selain Quraisy tidak boleh memegang jabatan khilafah, tapi menunjukkan bahwa Quraisy punya hak dalam hal itu dari segi keutamaan lantaran posisi sentral Quraisy sebelum Islam dan kedudukan mereka di antara orang-orang Arab.
Ketika datang Islam memecahkan masalah dalam realitas yang ada di antara manusia, yaitu keadaan masyarakat yang tidak mau menerima kepemimpinan selain dari Quraisy. Mereka tidak rela kalau yang berkuasa mengatur urusan mereka adalah orang selain Quraisy. Inilah yang ditunjukkan oleh Abu Bakar As-Shiddiq r.a. dalam pidato beliau di Saqifah Bani Saaidah Beliau r.a. mengatakan: “Sesungguhnya perkara (pemerintahan/ khilafah) ini berada pada Quraisy selama mereka taat kepada Allah dan istiqamah dalam menjalankan perintahNya, dan telah sampai kepada kalian hal itu dan kalian mendengarnya dari nabi kalian.” (Diriwayatkan oleh Muhammad bin Ishaq dalam Al-Kitab Al-Kabir dan itu dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fâth Al-Bârî, juz 16, hal. 235). Hal itu juga terdapat pada karya Ibnu Hazm dengan lafazh: Dan tidak akan mengakui bangsa Arab perkara ini (pemerintahan) kacuali dipegang oleh suku dari Quraisy ini., mereka adalah kaum Arab yang terkemuka dari segi keturunan dan negeri, yakni mereka adalah bangsa Arab yang paling mulia dan negeri mereka adalah Makkah yang berupakan wilayah yang mulia (Sirah Ibnu Hisyam Juz 2 hal 659).
Kedua, sesungguhnya semua hadits yang diriwayatkan itu , yang menjadikan urusan pemerintahan berada pada orang Quraisy telah ada dalam bentuk khabar dan tidak satu hadits pun datang dalam bentuk perintah. Bentuk khabar menurut para ulama ushul sekalipun memberikan pengertian tuntutan (thalab) tetapi tidak terkategori tuntutan yang pasti (thalaban jaaziman) selama tidak disertai dengan indikasi (qarinah) yang menunjukkan penekanan (ta’kid) dan ternyata tidak ada satu qarinah pun yang menyertainya, tak ada dalam satu riwayat yang shahih. Sehingga menunjukkan bahwa status hukumnya adalah mandub (sunnah) bukan wajib. Jadi syarat nasab Quraisy itu adalah syarat afdlaliyyah bukan syarat in’iqad.
Ketiga, sesungguhnya kata Quraisy adalah isim (kata nama), bukan sifat. Dalam istilah ilmu ushul disebut “laqab” (sebutan). Dan mafhum isim atau mafhum laqab tidak diamalkan/dipakai secara mutlak. Sebab isim atau laqab tidak mempunyai mafhum. Para ulama ushul, kecuali Ad-Daqqaq, telah bersepakat mengatakan bahwa laqab tidak mengandung mafhum (Al-Aamidi, Al-Ihkâm fi Ushûlil Ahkâm, juz 2, hal. 160 dan Asy-Syaukani, Irsyâdul Fuhûl ila Tahqiiqil Haqqi min Ilmil Ushûl, hal. 159). Oleh karena itu, penentuan Quraisy bukan berarti tidak menjadikan jabatan khalifah untuk selain Quraisy. Sabda Rasulullah Saw “Sesungguhnya urusan (pemerintahan/khilafah) ini berada pada Quraisy” dan sabdanya pula: “Urusan (pemerintahan) ini selalu di tangan quraisy” tidak berarti bahwa urusan ini, yakni pemerintahan dan khilafah, tidak dibenarkan berada di tangan orang selain Quraisy. Dan tidaklah berarti selalu di tangan mereka itu tidak dibenarkan kalau beada di tangan slain mereka. Tetapi berarti urusan pemerintahan itu di tangan mereka dan bisa (benar) juga di tangan selain mereka. Penentuan keberadaan pemerintahan di tangan mereka bukan berarti mencegah keberadaan khilafah di tangan selain mereka.
Keempat, kalau syarat nasab/keturunan Quraisy menjadi syarat in’iqad, kenapa Rasulullah Saw bersabda: “Selama mereka menegakkan agama (Islam).” Sebab mafhum mukhalafah dari hadits Mu’awiyah “Selama mereka menegakkan agama (Islam)” berarti bahwasanya jika mereka tidak menegakkan agama (Islam), maka urusan (pemerintahan) tersebut keluar dari mereka (Ibnu Hajar, Fâth Al-Bârî, juz 16, hal. 333-334). Jika urusan pemerintahan lepas dari tangan mereka, bolehkah kaum muslimin hidup tanpa Imam yang menyebabkan terbengkalainya hukum dan terhentinya jihad?
Sesungguhnya hukum syar’i menetapkan bahwa mengangkat imam atan Khalifah itu wajib bagi umat. Umat juga wajib memecat penguasa jika dia menampakkan kekufuran yang nyata, baik penguasa itu seorang Quraiys atau bukan. Imam Ahmad telah meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud r.a. bahwasanya dia telah mendatangi Rasulullah Saw dan mendengar beliau bersabda:
“Amma ba’du. Wahai orang-orang Quraisy, sesungguhnya kalian adalah kaum yang berhak atas urusan (pemerintahan) ini, selama kalian tidak bermaiksiat kepada Allah. Jika kalian bermaksiat kepada-Nya maka dia niscaya akan mengerahkan kepada kalian sekelompok orang yang akan menguliti (mengupas habis) kalian sebagaimana kayu ini dikuliti –beliau menunjuk pada sebuah kayu yang ada di tangan beliau.” Perawi berkata: “Kemudian beliau Saw mengelupas kulit tongkatnya yang kemudian nampak putih keras.” (Al Musnad, juz 6, hal. 176 hadits No. 4380). Begitu pula hadits yang diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam As-Shaghîr dan Al-Ausath dari Tsanban berkata: Rasulullah Saw bersabda: “Peganglah janji setia kepada Quraisy selama mereka setia (tidak khianat) memimpin kalian. Jika mereka tidak melakukan (khianat dalam memimpin umat) maka angkatlah pedang kalian di atas pundak kalian dan musnahkanlah pemimpin-pemimpin (Quraisy) itu.” (Al-Haitsami, Majmau’ az Zawâid, juz 5, hal. 228).
Hadits-hadits ini tidak menjadikan wewenang pemerintahan (wilayatul amri) pada Quraisy dalam kebenaran maupun kebatilan, tetapi Quraisy hanya diberi wewenang dalam kebenaran saja. Jika mereka dalam keadaan batil, dan yang lain dalam kebenaran, Rasulullah menyuruh tidak mengikuti kebatilan dan melawannya dengan kekuatan fisik. Dari keseluruhan hadits yang ada, tak terbayang kecuali bahwa syarat nasab Quraisy itu hanya syarat afdhaliyah semata, tidak merupakan syarat in’iqad.
Kelima, Imam Ahmad mengeluarkan hadits dari Umar bin Al Khaththab r.a dengan sanad rijalnya tsiqah (terpercaya) bahwasanya dia berkata: “Jika telah sampai ajalku, dan Abu Ubadah masih hidup, maka aku akan menyerahkan kekhilafahan kepadanya.” Maka dia menyebutkan hadits yang di dalamnya ada ungkapan: “Jika telah sampai ajalku dan Abu Ubadah telah mati maka aku akan memberikan kekhilafahan kepada Mu’adz bin Jabal.[/i]” (Al-Musnad, juz. 16 hal. 236).
Lebih-lebih lagi Umar bin Khaththab r.a mengucapkan hal itu dengan dihadiri oleh para shahabat r.a. Dan tidak ada satu riwawatpun yang menyebut bahwasanya mereka berbeda pendapat dengan Umar tentang pendapatnya itu dan berhujjah bahwa Khilafah mesti di tangan Quraisy dan tidak boleh di tangan keturunan yang lain. Oleh kerena itu pemahaman inilah yang difahami Umar r.a dan tak seorangpun dari shahabat yang mengingkarinya bahwa syarat nasab Quraisy bukanlah syarat in’iqad.
Keenam, jika kita asumsikan bahwa nasab Quraisy harus dipakai untuk mengakadkan (menyerahkan) khilafah kepada seorang dari Quraisy, tentunya syara’ menjelaskan hal itu. Namun syara’ tidak meminta mempertahankan nasab Quraisy di antara manusia. Bagaimana bisa dibayangkan dalam hal ini kemampuan kaum muslimin mengangkat seorang khalifah dari suku Quraisy ?!
Ini telah disepakati oleh kebanyakan mutakallimin bahwasanya taklif tak ada kaitannya kecuali dengan perbuatan hamba yang dia mampu melakukannya (As-Sarkhasy, Muntaha as Sûl fi ilmil Ushul, juz 1, hal. 35). Dan memelihara nasab Quraisy hingga hari kiamat adalah sesuatu yang diluar kemampuan manusia. Oleh karena itu, nasab itu jika diketahui termasuk syarat afdhaliyah, bukan merupakan syarat in’iqad. Hal ini karena syarat in’iqaad yang akad khilafah tidak bisa disahkan kecuali dengan syarat itu dan seorang calon khilafah harus memenuhinya untuk jabatan khilafah, adalah 7 syarat, yaitu: dia harus seorang muslim, baligh, berakal, laki-laki, merdeka, adil, dan mampu melaksanakan tugas-tugas khilafah ( An-Nabhani, Nidzamul Hukmi fil Islam).
Syarat-syarat itulah yang menjadi syarat in’iqaad khilafah dan selain ketujuh syarat itu tidak layak menjadi syarat in’iqad, sekalipun bisa menjadi syarat afdhaliyat. Jika nashnya terbukti shahih. Atau tersubordinasi dari hukum yang telah ditetapkan dengan nash yang shahih, seperti keberadaan khilafah di tangan Quraisy, atau ia seorang ahli ijtihad, atau seseorang yang memiliki pendapat yang dapat membantu dalam memelihara urusan rakyat dan mengatur kemashlahatan mereka, dan lain-lain.
Oleh karena itu, nasab Quraisy, perannya hanya terbatas pada syarat afdhaliyah yang urgensinya menonjol ketika disodorkan nama-nama calon pemangku jabatan khilafah kepada mayoritas kaum muslimin. Dan disodorkan setiap calon dan kelebihannya atas calon-calon lain agar umat dapat membai’at siapa yang mereka inginkan dengan rela dan memilih orang yang mereka inginkan dengan rela tanpa memperhatikan sesuatu apapun selama orang yang dipilih oleh umat telah memenuhi syarat-syarat in’iqad.
Ya Allah, kami mohon kepadaMu daulah Islamiyah yang mulia, Khilafah Rasyidah yang mengikuti pola kenabian yang dengannya Islam dan pemeluknya menjadi mulia serta kekufuran dan pelakunya menjadi hina, dan jadikanlah kami para penyeru (ummat) untuk taat kepada-Mu, dan menjadi pemimpin yang membawa (seluruh manusia) ke jalan-Mu, ya Allah, dan tetapkanlah kami dengan kemuliaan tersebut dunia akhirat, dengan RahmatMu Ya Arhamar Raahimiin.
19
Hukum dan Dunia Politik / Re:Khilafah dalam perspektif "baru" ...belum pernah disentuh nih... hot hot
« pada: 13 Oktober 2009, 12:14:45 » @TS
wa 'alaikum salam y akhi....
anda, menempatkan diri anda seolah-olah anda seorang mujtahid.
baiklah kalau begitu, jadi berdasarkan hadis yang jadi pegangan anda itu, anda ber-ijtihad bahwa hukum-nya fardhu [wajib], khalifah itu dipegang dari Quraisy?
silahkan jawab, apa hukum syara' nya? [tentu anda tahu apa saja hukum syara'-nya]
wa 'alaikum salam y akhi....
anda, menempatkan diri anda seolah-olah anda seorang mujtahid.
baiklah kalau begitu, jadi berdasarkan hadis yang jadi pegangan anda itu, anda ber-ijtihad bahwa hukum-nya fardhu [wajib], khalifah itu dipegang dari Quraisy?
silahkan jawab, apa hukum syara' nya? [tentu anda tahu apa saja hukum syara'-nya]
20
Hukum dan Dunia Politik / Re:tanggapan kritis atas buletin al islam edisi : "berharap pada DPR baru?"
« pada: 09 Oktober 2009, 16:16:21 »2001 57 %, 2002 67% = peningkatan 10%yah, kalau anda tidak percaya survey, yah tidak mengapa, itu hak anda. bagi saya survey itu adalah metode ilmiah untuk mengetahui aspirasi masyarakat.
2008 52% = selama 6 tahun mengalami penurunan 15%
GMN 83%, dengan audiensinya?
apakah anda ingin mengatakan bhw persentasi tsb valid? apa jaminannya? kredibilitas? versi siapa?
Faktanya spt apa? nyambung tidak, hasil survey dengan FAKTA?
masjid masih sepi..... kristenisasi meningkat di SUMBAR moso sih... 83% tercapai? bahkan 50%pun saya tidak percaya.
saya cenderung menduga, mereka menina bobo kan umat Islam dg isu syariah meningkat sementara pd saat yg sama, KRISTENISASI mengalami peningkatan drastis. sayang sekali klo yg terlena justru harakah Islam
jadi, menurut anda umat memilih parpol Islam sebagai indikasi umat menginginkan syariah?
korelasi-nya apa? sedangkat seperti yang saya ungkapkan sebelumnya tidak ada satupun parpol atau caleg, yang menjadikan syariah sebagai platform politik-nya [menggunakan isu seperti ke-pedulian, kejujuran, dan ke-profesional-an, yang sejati-nya hal itu pun diusung parpol sekular, bisa anda lihat dari iklan politik, dan motto yang sering dikampanyekan]
Tidak ada tawaran baru mengenai konsep mengelola negara berdasar ideologi Islam secara menyeluruh. Semua tetap sama, berjalan pada koridor lama, yakni melanggengkan sistem demokrasi. Sekadar slogan-slogan bahwa syariah Islam solusi mengatasi berbagai persoalan bangsa pun tak muncul selama kampanye.
Walhasil, Islam lagi-lagi hanya muncul sebatas substansinya. Itulah yang kebanyakan diusung parpol Islam. Dengan kata lain, yang diperjuangkan hanyalah terwujudnya nilai-nilai moral dan kebaikan semata; apapun bentuk negaranya tidak perlu dipersoalkan. Bahkan ada yang menganggap bentuk negara ini sudah final. Yang penting nilai-nilai kebaikan, keadilan, kejujuran dll bisa terwujud.
Jadi layak-kah terpilih-nya parpol Islam oleh umat, meng-indikasikan umat meng-inginkan diterapkannya syariah Islam secara kaffah?
setahu saya, awal treat ini bukan membahas kekalahan parpol Islam... tetapi membahas tulisan HTI di buletin Islam . Jangan diputer2 ya...kesimpulan apa?
krena itu, saya sih hanya menyampaikan, bhw cara pengambilan kesimpulan HTI BERMASALAH, sbgmn yg diungkap oleh akh Tuing2 dg istilah HTI BINGUNG?
Dari pengambilan kesimpulan yg SALAH tadi, pembicaraan merambah... klo anda TETAP menyoroti PARPOL ISLAM, dan saya mengambil segmen lain.. MENYOROTI HTI . SAMA dengan SIKAP ANDA. TERSERAH ANDA mau setuju atau tidak... orang sama2 melempar OPINI KOK
JIKA yg dimaksud adalah EDUKASI, maka cara PENGAMBILAN KESIMPULAN ITU yg dipermasalahkan oleh saya, akh Tuing2. TIDAK ADA nilai EDUKASINYA. orang pengambilan KESIMPULANNYA SAJA SALAH... tetapi sbgmn yg ditulis oleh yg lain, tulisan di al ISLAM itu PROPAGANDA... BUKAN EDUKASI
jika anda mau bilang itu propaganda, saya juga setuju, tidak masalah.
terus terang saya juga setuju tulisan yang diatas itu juga, yg mengatakan TS tidak mampu memahami, buletin itu ditujukan untuk siapa? dan apa maksud dari tulisan tersebut.
biar saya jelaskan sedikit:
1.Pembaca yg diharapkan membaca tulisan tsb, adalah umat Islam yang masih percaya pada sistem sekular demokrasi ini. dan berharap mereka dapat pencerahan pada tulisan buletin tsb.
2.Kekalahan parpol Islam, hanyalah fakta yg diungkapkan buletin tsb, dan bukan mengindikasikan HT menginginkan mereka melegislasi hukum atau UU syariah, jelas kan?
3.Kekalahan parpol Islam, mengindikasikan sistem sekular demokrasi, "tidak ramah" dengan Islam, maupun penerapan syariah, dan sejarah di berbagai belahan dunia pun telah membuktikkan hal ini [belum lagi kalau kita menelaah konsep dasar sistem ini, yang bertentangan dengan syariat]
MALEZ, saya bukan pengumpul data lgi pula klo sdh versi2 an, apa gunanya. bagi anda pengembalian mobil dinas ke negara jg bukan penerapan syariah kan? (CMIIW)yah memang PBB tidak meng-kampanyekan khilafah, mas.
sudah pada bosen kayaknya.... termasuk sayaSudah saya duga sebelum-nya, seharus-nya inilah hal fundamental yang mesti sering didiskusikan, karena inilah letak perbedaan dari jalan perubahan tersebut. sedangkan apa yang kita diskusikan saat ini, hanyalah turunan-turunan-nya saja, yang sering tidak konstruktif jika didiskusikan, saya sebenar-nya agak malas, membahas hal ini, apalagi jika malah membuat debat kusir saya maupun lawan disksusi.
Pembelajar yg TIDAK BELAJAR . baca sendiri lah tulisan2 anda sebelumnya di treat ini....Mas, anda seharus-nya bisa membedakan apa yang dibahas buletin Al-Islam, dengan argumentasi saya pada mas Kaezzar, lihatlah dulu apa yang dibahas [diskusi saya dan mas Kaezzar memang jauh dari isi buletin tsb].
dan yang saya bahas adalah metoda pengambilan kesimpulan YANG SALAH dr teman2 HTI...
ITU jg yang saya bahas. HTI mengkritik para parpol ISLAM, tetapi HTI sendiri tidak bisa menunjukkan bhw metoda yg ditempuh HTI itu SUKSES . Berikutnya, kesalahan anda yg kedua... anda menulis tulisan di atas. padahal JELAS2 di tulisan anda sebelumnya, anda menyimpulkan kekalahan parpol Islam krn mereka tidak jualan syariah pdhal berdasarkan poling syariah diminati, dan kata anda parpol Islam tidak melakukan edukasi politik
Tpi di kolom ini anda menulis apa? kekalahan parpol Islam krn kecacatan sistemik sistem demokrasi... maaf saya terpaksa
dan tulisan saya sebelumnya adalah jg untuk mengoreksi HTI. kan HTI sdh mengoreksi parpol Islam tuh... tpi HTI jg harus instrospeksi donk... makanya saya tulis spt di atas. Seandainya tulisan al Islam berujung pd mutabaah, muhasabah seluruh komponen umat Islam, saya rasa sambutannya akan lain. Tpi ya.. memang merubah pola pikir memang susah Ironinya... harakah yg menekankah perubahan pemikiran, tpi juga pd saat yg sama adalah harakah yg susah berubah pola pikirnya
trus terang... yg kaya gini nih yg bikin cape
1.Buletin Al-Islam menjelaskan fakta kekalahan partai Islam, berkonsekuensi logis, bahwa parlemen di kuasai parpol sekular, sedemikian sehingga parlemen tidak akan ramah kepada aspirasi umat Islam [seperti aspirasi untuk kasus ahmadiyah, dll], kesalahan berfikir TS adalah menyimpulkan bahwa HTI mendukung usaha legislasi hukum syariah via parlemen [ini kesalahan mutlak, yg tidak memahami thariqah HT, yang menyatakan HT tidak akan mendukung legislasi hukum sistem sekular, yg meletakkan kedaulatan di tangan rakyat]
2.Diskusi saya dengan mas Kaezzar, memang menyangkut isi survey.
saya berargumentasi parpol Islam tidak memperjuangkan syariah Islam secara terbuka, seandai-nya itu diperjuangkan niscaya, umat akan mendukung-nya....
tetapi kenapa tidak dilakukan parpol Islam? ada banyak jawaban, salah satu-nya takut tidak laku.
21
Obrolan Ummat / Kaum Muslim di Asia & Eropa Jumlahnya Lebih Banyak dari Muslim di Negara Arab
« pada: 09 Oktober 2009, 14:12:27 »Kaum Muslim di Asia dan Eropa Jumlahnya Lebih Banyak dari Kaum Muslim di Negara-Negara Arab
Sebuah penelitian lembaga Amerika menemukan bahwa jumlah kaum Muslim di Asia dan Eropa ternyata jumlahnya lebih banyak dari pada jumlah kaum Muslim di negara-negara Arab. Dikatakan bahwa jumlah kaum Muslim di dunia mencapai 1,57 miliar orang.
Penelitian dengan judul “Peta Kaum Muslim di Dunia” yang disiapkan oleh The Pew Forum on Religion and Public Life menjelaskan bahwa sekitar seperempat dari penduduk dunia adalah Muslim. Mereka berada di daerah-daerah yang mungkin sebelumnya tidak terlintas dalam pikiran seseorang.
Dijelaskan bahwa India, yang mayoritas penduduknya beragama Hindu, memiliki jumlah penduduk Muslim lebih banyak dari negara Islam yang manapun kecuali Indonesia dan Pakistan. Bahkan jumlah kaum Muslim di India dua kali lipat jumlah kaum Muslim di Mesir, yang diangap sebagai negara Arab terbesar dari segi populasi.
Seperti juga dijelaskan bahwa jumlah kaum Muslim di Cina lebih banyak dari jumlah kaum Muslim di Suriah; jumlah kaum Muslim di Jerman lebih banyak dari jumlah kaum Muslim di Lebanon; sedangkan jumlah kaum Muslim di Rusia lebih banyak dari jumlah kaum Muslim gabungan dari Yordania dan Libya. Ini seperti yang dilaporkan jaringan CNN.
Penelitian yang berlangsung tiga tahun ini menjelaskan bahwa sekitar dua pertiga dari kaum Muslim berada di Asia. Dan mereka menyebar di wilayah-wilayah yang membentang dari Turki di barat sampai Indonesia di timur.
Adapun kaum Muslim di Timur Tengah dan Afrika Utara, maka jumlah mereka tidak lebih dari seperlima jumlah kaum Muslim di seluruh dunia.
Penelitina tersebut hasilnya penuh dengan rincian menarik yang mengejutkan para peneliti; sehingga Alan Cooperman (Asisten Direktur dari Forum ini) mengatakan: “Ada negara-negara yang kami tidak percaya sama sekali bahwa ia negara Islam. Namun faktanya negara itu justru dihuni oleh sejumlah besar kaum Muslim,” seperti India, Rusia, dan Cina. Dikatakan bahwa seperlima kaum Muslim tinggal di negara-negara di mana kaum Muslim sebagai kelompok minoritas.
Dikatakan olehnya bahwa kebanyakan orang percaya bahwa mayoritas kaum Muslim yang tinggal di Eropa adalah para imigran, namun ini hanya berlaku untuk Eropa Barat. Sementara mereka yang berada wilayah-wilayah Eropa yang lain, seperti Rusia, Albania, dan Kosovo, maka kaum Muslim di negara-negara tersebut adalah penduduk asli (pribumi). Dijelaskan pula bahwa “lebih dari setengah kaum Muslim di Eropa adalah pribumi.”
Menurut hasil penelitian tersebut bahwa jumlah kaum Muslim di dunia sekitar 1,57 miliar Muslim, yakni 23 persen dari jumlah total penduduk dunia yang jumlahnya 6,8 miliar orang.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran yang sekomprehensif mungkin tentang populasi kaum Muslim di dunia. Mereka dalam melakukan penelitian ini berdasarkan pada data-data, statistik-statistik demografi, dan prediksi-prediksi yang berkaitan dengan hal ini, agar apa yang dihasilkannya dinilai sebagai “proyek terbesar dari yang jenisnya sejauh ini.” (mediaumat.com)
22
Hukum dan Dunia Politik / Re:tanggapan kritis atas buletin al islam edisi : "berharap pada DPR baru?"
« pada: 09 Oktober 2009, 13:36:13 »teknik survey itu sangat mudah direkayasa. makanya banyak survey PESANAN lihat saja tulisan di atas; hasil korespondensi thn 2001 57%, thn 2002 jd 67%, kemudian selang 6 thn kemudian, di thn 2008 jadi 52% tpi di sini bukan koresponden, rakyat Indonesia katanya. SEM institute mengatakan ada peningkatan 83% thd koresponden mahasiswa. Apa jdnya jika SEM mengambil korespondesi thd ikhwah tarbiyah dan HTI saja... tentunya hasil korespondensi jd meningkat tajam coba klo diambil di ATMAJAYA? apakah masih spt itu hasilnya?Makanya saya menampilkan hasil Survey, dari Roy Morgan Research [apa anda tidak tahu, itu salah satu market research and public opinion survey company ternama di dunia], begitu juga hasil survey dari Survei WorldPublicOpinion.org, bekerjasama dengan University of Maryland Amerika Serikat, dan survey Gerakan Mahasiswa Nasionalis [bukan Gerakan Mahasiswa Islam]
Kesadaran terhadap syariah itu memang meningkat, indikasinya banyaknya SDIT yg berdiri, bank2 syariah, Asuransi Syariah, keengganan umat Islam unt mengambil bunga bank (riba) dll. Tetapi, seharusnya diKOREKSI. Kecenderungan itu pada masyarakat yg bagaimana.. perkotaan? pedesaan? Dan perlu juga diPASTIKAN, apakah kesadaran thd syariah itu serta merta merupakan indikasi kesadaran thd khilafah?
Jika direnungi perolehan kemarin, ada partai sekuler, ada partai Islam (ada yg mengibarkan bendera syariah dan ada yg nasionalis, dll), ada HTI yg mengibarkan bendera syariah dan GOLPUT. Hasil menunjukkan bhw pemilih menempati >60% sedangkan GOLPUT < 40%. Artinya lebih dr 50% umat Islam memilih unt mengikuti pemilu dgn hasil partai sekulernya sbg pemenang. Adapun Umat Islam yg memilih GOLPUT, TIDAK SEMUA Berdasarkan Isu syariah dan KHILAFAH. Tetapi, sbagian besar dr mereka lebih pada faktor PESIMIS dan APATIS thd KINERJA PARLEMEN. Artinya masyarakat yg setuju dg isu GOLPUT versi HTI, mungkin bhkan dibwh 2%. Dari angka inipun, sebenarnya umat Islam yg setuju dengan Isu PARPOL jauh lebih besar dibanding dg umat Islam yg setuju dg isu yg dibawa oleh HTI, syariah dan khilafah.Bukankah thread ini, membahas kekalahan parpol Islam dari parpol sekular [jika anda mengasumsikan, umat lebih mendukung PKS, itu hak anda dengan mengklaim yang seperti ini, dan itu bukan sesuatu yg urgen bagi saya, untuk menyetujui-nya atau tidak, saya tidak terlalu tertarik untuk membanding-bandingkan sesuatu, kecuali diskusi tentang ke-sahih-an, jalan perubahan berdasarkan sumber hukum syara', itu sesuatu yg menarik bagi saya untuk didiskusikan]
Lalu, bagaimana mungkin jumlah yg lebih sedikit (pro syariah dan khilafah) bisa menjadi TOLOK UKUR untuk jumlah yg lebih besar (yg pro sekuler dll)? bagi saya, sulit untuk dipahami cara berpikir HTI ini. Meskipun partai Islam harus berbenah dan intropeksi diri, tetapi sebenarnya HTI HARUS LEBIH INTROPEKSI DIRI, kenapa dukungan thd pemikiran versi mereka tidak tinggi?
Dan saya rasa, diberlangsungkannya konferensi khilafah internasional, ataupun dikumpulkannya para ulama nasional (versi HTI) tidak bisa menjadi BUKTI kesiapan masyarakat thd isu yg dibawa HTI
Makanya dari buletin Al-Islam ini, HTI ingin mengedukasi umat, masihkah sistem yang sedang diterapkan saat ini masih layak diharapkan sebagai jalan perubahan? dengan proses edukasi yang terus menerus tentang syariah dan khilafah, Insya Allah jalan baru bagi perubahan Indonesia akan cepat diwujudkan.
dengan persentasi2 di atas, otomatis kasus PBB hanya menjdi indikasi, bhw isu khilafah belum bisa diterima oleh sebagian besar umat Islam Indonesia.Darimana, ada mendapatkan informasi PBB, menyuarakan kampanye tentang khilafah? berikan saya satu source berita, kalau tentang penerapan syariah, ya itu saya akui, sewaktu kampanye kemarin.
Anda bercanda kalee...Syarat dari dalil syara', jika anda mau membahas-nya, saya juga tertarik untuk menjawab-nya, gimana?
saya tdak yakin umat Islam lain mau menjadikan pks sebagai lokomotif bagi kebangkitan Islam ideologi. Sederhananya saja, HTI PASTI bikin syarat, bhw pks boleh berada di parlemen dg syarat TIDAK MENERIMA GAJI, TIDAK BOLEH MELEGISLASI dll...yg MERUPAKAN SYARAT VERSI HTI SAJA...
Tetapi seperti biasa hal-hal seperti ini kurang diminati di-diskusikan pada forum ini. tetapi kalau ingin melihat diskusi-nya silahkan lihat arsip lama, banyak sekali diskusi tentang hal ini.
dan sdh jelas juga bhw pks TIDAK AKAN MENERIMA SYARAT APAPUN DR PEMAHAMAN HTI tsb. Belum lagi masalah SALAFY, belum lagi masalah NU dan Muhammadiyah... Demikian jg apakah ormas dan parpol lain mau menjdikan HTI jd lokomotif corong umat Islam? Lalu terbentuknya HDI itu apa? bukankah HTI (yg JELAS2 GAMBLANG MEMPERJUANGKAN SYARIAH DAN KHILAFAH) jg GAGAL unt mencoba mnjd lokomotif bg corong umat Islam lainnya? Jadi agak aneh, jika kalian MEMAKSAKAN PERANAN yang HTI sendiri jg TIDAK MAMPU kepada pksMakanya seperti yang saya ungkap-kan kepada Mas Kaezar diatas, saya hanya mau menjelaskan perbedaan thariqah perjuangan HT, seperti apa konsep yang diperjuangkan HT itu
masih hangat dalam ingatan kami, siapa yg kemarin gencar mengatakan ayo GOLPUT di saat parpol Islam lain sibuk berusaha mendulang suara, atas nama nilai2 Islam, atas nama edukasi politik Islam Bukankah itu indikasi bhw HTI juga bagian dari masalah umat Islam juga
Semestinya HTI menyalahkan ormasnya sendiri? KALIAN saja yg MENURUT VERSI KALIAN sdh "SESUAI" dg Al Qur'an dll, TOH ternyata TDK MAMPU mempengaruhi sebagian besar UMAT ISLAM agar mengikuti SERUAN KALIAN, GOLPUT
Tetapi saya sepakat, semestinya umat Islam baik yg tergabung dlm parpol ataupun ormas, berinstropeksi diri... kenapa umat Islam hanya menjadi pelengkap penderita, atau pemeran pembantu...Itu yg mesti menjdi renungan bagi pks, salafy, HTI, NU, Muhammadiyah maupun parpol atau ormas umat Islam lainnya...
Siapa bilang HTI menyalahkan parpol Islam? darimana anda meng-asumsikan hal itu?
Buletin Al-Islam itu hanya dakwah kepada umat [yang masih mempercayai sistem sekular yang sedang diterapkan saat ini, untuk mewujudkan jalan perubahan baru, itu aja]. Kekalahan parpol Islam dari parpol sekular bukanlah kesalahan parpol Islam itu sendiri, melainkan kecacatan sistemik sistem demokrasi untuk tidak membiarkan syariah Islam eksis. Sejarah mengajarkan kepada kita, bahwa memperjuangkan Islam melalui parpol dalam hiruk-pikuk pesta demokrasi tak mengantarkan umat pada tujuan terwujudnya sistem Islam secara kaffah. Inilah yang menjadi pangkal persoalan terbesar umat Islam yang harusnya menjadi bahan introspeksi semua pihak
23
Hukum dan Dunia Politik / Re:tanggapan kritis atas buletin al islam edisi : "berharap pada DPR baru?"
« pada: 08 Oktober 2009, 16:43:47 »Partai Keadilan sejahtera (PKS) pun, tidak secara terbuka memperjuangkan syariah Islam. Tokoh Zulkiflimansyah mengatakan PKS tidak jualan syariah. Padahal tadinya banyak umat Islam yang berharap PKS mampu menjadi lokomotif bagi kebangkitan Islam ideologi di Tanah Air.
emangnya untuk memperjuangkan Islam harus ngomong vulgar? .... Woooiii dengerin: "PARTAI GW PENGEN BIKIN DAULAH ISLAMIYAH ....maka pilihlah!!", gitu?
Dan benarkah parpol2 itu TIDAK memperjuangkan syariah? ... sikap sok tahu ente ini yang gw pengen ngakak guling2an ...
Dan syariah dalam pengertian siapa? versi pengertian HT yang sempit? nei nei nei ..
24
Hukum dan Dunia Politik / Re:tanggapan kritis atas buletin al islam edisi : "berharap pada DPR baru?"
« pada: 08 Oktober 2009, 16:29:33 » @Mas Kaezzar
Disini mungkin saya sedikit menjelaskan [ataupun menegaskan?]
Thariqah HT dalam penerapan syariah sudah jelas berbeda, sudah sering dibahas di forum ini, konsep seperti apa yg ingin diperjuangkan HT, dalam penerapan syariah Islam yang kaffah.
Thariqah atau metode [ini berlandaskan dalil-dali syara'], itu adalah sesuatu yang baku, dan tidak akan berubah, begitu pula HT tidak akan masuk sistem Demokrasi untuk melegislasi hukum atau UU, kecuali jika konstitusi mengijinkan wakil rakyat bisa berdakwah di parlemen, tanpa ikut melegislasi hukum. Ini juga merupakan Thariqah, yang tidak akan pernah berubah, dan memang sejak awal-nya sampai sekarang hal itu tetap konsisten dijalankan.
Nah dalam kesempatan ini saya hanya mau menjelaskan perbedaan yang ada, dan tidak mau terlalu jauh berdiskusi, sebab setelah pengalaman cukup lama di board hukpol, hal-hal seperti ini "cukup sensitif".
Disini mungkin saya sedikit menjelaskan [ataupun menegaskan?]
Thariqah HT dalam penerapan syariah sudah jelas berbeda, sudah sering dibahas di forum ini, konsep seperti apa yg ingin diperjuangkan HT, dalam penerapan syariah Islam yang kaffah.
Thariqah atau metode [ini berlandaskan dalil-dali syara'], itu adalah sesuatu yang baku, dan tidak akan berubah, begitu pula HT tidak akan masuk sistem Demokrasi untuk melegislasi hukum atau UU, kecuali jika konstitusi mengijinkan wakil rakyat bisa berdakwah di parlemen, tanpa ikut melegislasi hukum. Ini juga merupakan Thariqah, yang tidak akan pernah berubah, dan memang sejak awal-nya sampai sekarang hal itu tetap konsisten dijalankan.
Nah dalam kesempatan ini saya hanya mau menjelaskan perbedaan yang ada, dan tidak mau terlalu jauh berdiskusi, sebab setelah pengalaman cukup lama di board hukpol, hal-hal seperti ini "cukup sensitif".
25
Hukum dan Dunia Politik / Re:tanggapan kritis atas buletin al islam edisi : "berharap pada DPR baru?"
« pada: 08 Oktober 2009, 16:08:20 »Saya boleh tambahkan yg ketiga?Kekalahan parpol Islam dari parpol sekular bukan gambaran bahwa Islam tak mendapat tempat di negeri ini. Masalahnya adalah, apakah parpol-parpol Islam yang ada sudah benar-benar memperjuangkan Islam? Benarkah parpol-parpol Islam itu memang memperjuangkan sesuatu yang beda dengan parpol-parpol sekular lainnya?
Ketiga : Berarti survey yg dilakukan kurang menggambarkan pilihan rakyat Indonesia secara menyeluruh
Sehingga, angka2 hasil survey thdp responden tadi ternyata tidak sebesar itu jika dihitung untuk pemilu skala nasional
Wallahualam
Wassalam
Nyatanya, meski berasas Islam, tak satu pun parpol atau caleg yang melirik syariah Islam kaffah sebagai platform politiknya. Tidak ada satu parpol pun yang gencar "menjual" syariah Islam kepada masyarakat selama kampanye. Tidak ada yang menawarkan Islam sebagai solusi. Hal ini tentu bukan karena ideologi Islam tak layak, tetapi memang tak ada yang berani 'menjualnya'. Takut tidak laku. Alasannya, masyarakat belum siap.
Saat ini, parpol-parpol Islam umumnya enggan menawarkan sistem Islam kaffah karena khawatir tidak mendapat dukungan masyarakat. Tanpa mengusung syariah Islam saja suaranya kalah dibandingkan dengan parpol sekular, apalagi jika mengusung syariah Islam. Begitu logika-nya. Padahal mestinya dibalik, tanpa mengusung syariah parpol Islam kurang mendapat dukungan umat, pastinya jika mengusung syariah Islam akan mendapat apresiasi luas.
Jika umat kemudian melihat parpol-parpol Islam tak mengusung sesuatu yang beda dibanding parpol sekular, untuk apa memberikan dukungan? Toh pilihannya sejatinya sama saja. Jadi, jangan salahkan umat jika parpol sekular kembali berkibar.
26
Hukum dan Dunia Politik / Re:tanggapan kritis atas buletin al islam edisi : "berharap pada DPR baru?"
« pada: 08 Oktober 2009, 11:28:37 »Persepsi A (akh Tuing2)(1) Mari kita lihat survey yang dimaksud:
80% umat Islam memilih partai sekuler... dan hanya 30% yg milih partai berbasis Islam. Dengan demikian, kesimpulannya tidak benar Umat Islam menginginkan Khilafah dan syariah. Dengan kata lain, sebagian besar umat Islam secara tidak sadar menginginkan sistem sekuler, dibuktikan dengan tingginya tingkat elektabilitas partai2 sekuler spt PD, PG, dan PDIP (CMIIW)
Persepsi B (Luqman Bantuly cs)
Hasil survey mengatakan mayoritas umat Islam menginginkan khilafah dan syariah (survey siapa, dr mana) sedangkan parpol berbasis Islam tidak jualan syariah dan khilafah (padahal klo tidak salah PBB, sdh menyatakannya dg jelas, tetapi ternyata hanya dapat di bawah ET), krn itu yg bermasalah adalah tidk adanya edukasi dari parpol2 Islam tentang syariah dan khilafah (CMIIW)
mungkin spt itu irisannya....
hanya saja, saya pribadi meragukan persepsi B . Krn ternyata isue khilafah dan syariah tdak mendongkrak elektabilitas PBB sbg pengusung isue khilafah dan syariah...
Beberapa survey menunjukkan dukungan masyarakat terhadap penerapan syariah Islam meningkat. Survey Roy Morgan Research yang terbaru (Juni 2008) menunjukkan: 52 persen rakyat Indonesia menuntut penerapan syariah Islam. Sebelumnya, hasil survei PPIM UIN Syarif Hidayatullah tahun 2001 dan 2002 (Majalah Tempo, edisi 23-29 Desember 2002) menunjukkan: sebanyak 67% (2002) responden berpendapat bahwa pemerintahan yang berdasarkan syariah Islam adalah yang terbaik bagi Indonesia. Padahal survei sebelumnya (2001) hanya 57,8% responden yang setuju dengan pendapat demikian. Ini berarti, ada peningkatan cukup tinggi, sekitar 10%.
Kecenderungan menguatnya dukungan masyarakat terhadap penerapan syariah Islam juga sejalan dengan hasil Survei WorldPublicOpinion.org, yang dilaksanakan di empat negara Islam—Indonesia, Pakistan, Mesir, dan Maroko—pada Desember 2006 sampai Februari 2007. Hasil survei itu juga—bekerjasama dengan University of Maryland—memperlihatkan bahwa mayoritas responden (sekitar 3/4) setuju dengan upaya untuk mewajibkan syariah Islam di tengah masyarakat, sekaligus mencampakkan nilai-nilai Barat. Khusus untuk Indonesia, survei menunjukkan mayoritas (53%) responden menyetujui pelaksanaan syariah Islam.
Hasil survei Gerakan Mahasiswa Nasionalis di kampus-kampus utama di Indonesia tahun 2006 juga membuktikan, bahwa 80% mahasiswa menginginkan syariah Islam diterapkan. Yang paling mutakhir, survei SEM Institute tahun 2008 juga membuktikan hal yang sama: semakin menguatnya dukungan umat terhadap penerapan syariah Islam, yakni mencapai 83%!
(2) Kalau betul rakyat menginginkan syariah, mengapa partai-partai Islam yang ada tidak pernah menang dalam Pemilu. Mengapa mereka selalu kalah suara oleh partai-partai sekular? Idealnya, jika rakyat memang menginginkan syariah, partai-partai Islam itu harusnya menjadi pemenang Pemilu.
Jawabannya, ada dua kemungkinan. Pertama: hasrat rakyat untuk bersyariah memang sudah membuncah. Namun, ketika hendak disalurkan, mereka belum melihat adanya partai politik, termasuk partai Islam, yang benar-benar memperjuangan penerapan syariah, sebagaimana yang mereka dambakan.
Kedua: partai politik yang ada memang tidak pernah melakukan pendidikan politik kepada umat sehingga antara hasrat umat untuk bersyariah dan pilihan mereka menjadi tidak sama. Artinya, antara harapan umat dan pilihan politik mereka menjadi tidak "nyambung".
(3) Untuk PBB, pendapat saya, hampir sama dengan akh Hashishin.
27
Hukum dan Dunia Politik / Re:HT yang Bingung? ???
« pada: 07 Oktober 2009, 16:16:56 » Mas Heru, saya juga ingin menjawab pertanyaan [atau pernyataan?] antum di awal thread, tapi kayaknya supaya rapi, saya mau nunggu jawaban antum atas tanggapan Mas Luqman dahulu.
Antum memberi pernyataan sbb:
Nah, Mas Luqman telah memberi tanggapan-nya:
nah, mohon dijawab dulu, tanggapan Mas Luqman ini.
Antum memberi pernyataan sbb:
1. Mereka bilang, mayoritas berasal dari parpol-parpol sekular, lalu disambung dengan kaum Muslim yang mayoritas di negeri ini tentu tidak banyak berharap bahwa DPR akan berpihak pada mereka. Apa kalimat ini gak terlalu lugu bin naif? Bukankah sudah jelas, parpol (yang sekular) yang terpilih itu dipilih oleh mayoritas yang muslim... jadi mestinya disimpulkan, (kalao linear, dengan meng-exclude muslim yang golput), mayoritas muslim masih menginginkan sekularisme di Indonesia. Jadi, ngomongin harapan tegaknya syariah itu NOL BESAR karena mayoritas sebenarnya BELUM MAU SYARIAH TEGAK.
Jadi, buletin ini sebenarnya nulis ke mana? arahannya siapa? Nah mari kita lihat sedikit, suara partai Islam kemarin total 30% (dengan memasukkan PAN dan PKB..terpaksa biar agak gede). Jadi, jika pake patokan ini, kalao arah buletin al-Islam ini ke SELURUH UMMAT ISLAM, maka cuma 30% yang ngeh dengan pikiran buletin ini (anggap aja non-muslim dah ngungsi ke gunung dan gak ngiut pemilu ). Sisanya, akan berpikir... emang gue pikirin
2. Selanjutnya, mafhum mukholafah dari paragraf tersebut: KALAO PARPOL SEKULAR BANYAK ==> UU SYARIAH GAK MUNCUL, MAKA KALAO PARPOL ISLAM BANYAK ==> UU SYARIAH MUNCUL .
Lah... kemarin siapa yang teriak-teriak...stay muslim dont vote? Coba kalao dari sebelum pemilu bilang STAY MUSLIM... VOTE ISLAMIC PARTY saya yakin DPR dipenuhi partai Islam dan UU Syariah bisa muncul (walo gradual)...
Jadi... pikiran HT agak linglung saya kira... kalao memang mau bilang tak perlu berharap pada demokrasi dan DPR sebagai corong demokrasi, yaa bilang lah sedari awal, dari paragraf satu. Jangan berpikir seperti banci... menyalahkan jumlah partai Islam yang sedikit di DPR untuk tiadanya harapan tegaknya syariah.
3. Dan terakhir, saya pikir HT juga harus bertanggung jawab pada berkurangnya suara kaum muslimin di DPR. HT termasuk yang kontraproduktif dan tanaqudh (kontradiktif) dengan pikirannya sendiri. Di satu sisi, masih berharap ada UU Syariah yang mengakomodasi larangan aliran sesat, di sisi lain bilang (walo secara terselubung, malu-malu, dan kucing-kucingan, maklum takut di-densus-kan) DPR sesat dan antek thoghut...
Jangan jadi banci, kalao mau bilang DPR antek thoghut dan sesat, bilanglah secara jantan dan terbuka. Biar seluruh rakyat Indonesia tahu bahwa DPR adalah setan terkutuk, anti syariah yang mesti dimusnahkan. Tulislah secara terbuka dalam buletin-buletin kalian, dan mari kita lihat hasilnya.
Wassalam....
Nah, Mas Luqman telah memberi tanggapan-nya:
Menjawab akh Heru :
Untuk point 1 -
Menurut pemahaman saya, mayoritas kaum muslim yang menginginkan syariat Islam tegak, bisa dilihat di hasil survey tentang kebutuhan thd syari'at Islam. Kesalahan partai Islam yang ada di parlemen adalah tidak adanya edukasi yang intens ttg Syari'ah dan Khilafah, sehingga sebagian saudara muslim kita masih pada mainstream lama yaitu apapun sistemnya, selama orangnya berakhlak tinggi,itu tidak bermasalah. Masyarakat dididik untuk fokus pada hal - hal parsial dan pragmatis. Dengan adanya Mitsaqul Ulama pada Syari'ah dan Khilafah, minimal sudah menunjukkan bahwa mayoritas ulama sudah mendukung tegaknya syari'ah dan khilafah.
Untuk point 2 -
Memproduksi produk hukum Islam melalui legislasi wakil rakyat, tidak bagus untuk pendidikan politik kaum muslimin, apapun niat yang ada di balik itu. Karena, Rasulullah tidak pernah mencontohkan hal tersebut. Dan , selama sebuah UU hanya berdasarkan kesepakatan manusia, tanpa memakai kaidah hukum syara', maka UU itu cacat hukum, dari sisi hukum syara'
Untuk point 3 -
Saya rasa karena Kaum Muslimin adalah mayoritas, justru seharusnya perubahan lebih cepat akan dilakukan dari luar parlemen. Bisa sih lewat parlemen juga, tapi syaratnya berat, tidak mengakui azaz sekuler, tidak mengambil gaji anggota dewan, tidak ikut melegislasi UU, wajib mendakwahkan syariah dan khilafah. Barulah ada sinergi antara luar dan dalam, shg perubahan itu bisa cepat dilaksanakan.
nah, mohon dijawab dulu, tanggapan Mas Luqman ini.
28
Hukum dan Dunia Politik / Re:Jejak Syari’ah dan Khilafah di Nusantara
« pada: 07 Oktober 2009, 14:27:37 »@pembelajarMas Heru,
Lho? ALi bin ABi thalib tidak membaiat Abu Bakr RA selama 6 bulan
Muawiyah RA tidak membaiat ALi RA sama sekali
(1) Dalil-dalil dari hukum syara' itu diambil dari sumber hukum syariat. Saya sangat yakin, tentu antum mengetahui apa saja sumber hukum syariat itu?. nah sekarang saya kembalikan kepada antum, apa yang antum tulis diatas termasuk berasal dari sumber hukum syariat atau bukan?
(2) Dalil dari as-Sunnah, di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Nafi' yang berkata: Umar radliyallahu 'anhu telah berkata kepadaku: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:
"Siapa saja yang melepaskan tangannya dari ketaatan kepada Allah, niscaya ia akan berjumpa dengan Allah di Hari Kiamat tanpa memiliki hujjah. Dan siapa saja yang mati sedangkan di lehernya tidak ada bai'at, maka matinya adalah mati jahiliyyah." [HR. Muslim].
(3) Baiat terhadap khalifah ada dua jenis: (1) Baiat In'iqad, yakni baiat yang menunjukkan legalitas orang yang dibaiat sebagai khalifah, pemilik kekuasaan, berhak ditaati, ditolong, dan diikuti; (2) Baiat Baiat Tha'ah, yaitu baiat kaum Muslim terhadap khalifah terpilih dengan memberikan ketaatan kepadanya. Baiat tha'ah bukanlah untuk mengangkat khalifah, karena khalifah sudah ada.
Berbeda dengan baiat in'iqad yang bersifat pilihan [hukum-nya fardhu kifayah], baiat tha'ah wajib atas setiap orang [hukum-nya fardhu 'ain], yang ditunjukkan dengan ketaatan dan ketundukan kepada Khalifah terpilih; taat pada hukum dan perundang-undangan yang ditetapkannya.
Saya beri ilustrasi dari bai'at tha'ah:
Jika Khalifah suatu saat nanti telah diangkat dengan Bai'at In'iqad [Insya Allah], dengan sikap diam-nya saya, dan tidak berbuat apa-apa, dan tidak melakukan perlawanan, saya sudah dianggap telah berbai'at tha'ah.
29
Obrolan Ummat / Tuntunan Islam Menyikapi Musibah
« pada: 05 Oktober 2009, 20:50:14 » Tuntunan Islam Menyikapi Musibah
Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Mukadimah
Para ulama mendefinisikan musibah sebagai “segala sesuatu yang dibenci yang terjadi pada manusia” (kullu makruuhin yahullu bi al-insan) (Ibrahim Anis, al-Mu’jam al-Wasith, h. 527). Musibah gempa yang sering terjadi di Indonesia akhir-akhr ini misalnya, benar-benar telah melahirkan berbagai hal yang dibenci, seperti robohnya rumah, kematian anggota keluarga, rusaknya perabotan, dan sebagainya. Bagaimana tuntunan Islam dalam menyikapi musibah seperti ini? Bagi shahibul musibah (yang terkena musibah) Islam memberikan pedoman sikap antara lain :
1. IMAN DAN RIDHO TERHADAP KETENTUAN (QADAR) ALLAH
Kita wajib beriman bahwa musibah apa pun seperti gempa bumi, banjir, wabah penyakit, sudah ditetapkan Allah SWT dalam Lauhul Mahfuzh. Kita pun wajib menerima ketentuan Allah ini dengan lapang dada (ridho). Allah SWT berfirman :
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS al-Hadid [57] : 22)
Kita pun wajib menerima taqdir Allah ini dengan rela, bukan dengan menggerutu atau malah menghujat Allah SWT. Misalnya dengan berkata,”Ya Allah, mengapa harus aku? Apa dosaku ya Allah?” Hujatan terhadap Allah Azza wa Jalla ini sungguh kurang ajar dan tidak sepantasnya, sebab Allah SWT berfirman :
“Dia [Allah] tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai.” (QS al-Anbiyaa` [21] : 23)
2. SABAR MENGHADAPI MUSIBAH
Sabar, menurut Imam Suyuthi dalam Tafsir al-Jalalain, adalah menahan diri terhadap apa-apa yang Anda benci (al-habsu li an-nafsi ‘alaa maa takrahu). Sikap inilah yang wajib kita miliki saat kita menghadapi musibah. Selain itu, disunnahkan ketika terjadi musibah, kita mengucapkan kalimat istirja’ (Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun ). Allah SWT berfirman :
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun” . (QS al-Baqarah [2] : 155-156)
Dengan demikian, sabarlah ! Jangan sampai kita meninggalkan sikap sabar dengan berputus asa atau berprasangka buruk seakan Allah tidak akan memberikan kita kebaikan di masa depan. Ingat, putus asa adalah su`uzh-zhann billah (berburuk sangka kepada Allah) ! Su`uzh-zhann kepada manusia saja tidak boleh, apalagi kepada Allah.
Memang, orang yang tertimpa musibah mudah sekali terjerumus ke dalam sikap putus asa (QS 30 : 36). Namun Allah SWT menegaskan, sikap itu adalah sikap kufur (nauzhu billah mindzalik), sebagaimana firman-Nya :
“Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” (QS Yusuf [12] : 87).
3. MENGETAHUI HIKMAH DI BALIK MUSIBAH
Seorang muslim yang mengetahui hikmah (rahasia) di balik musibah, akan memiliki ketangguhan mental yang sempurna. Berbeda dengan orang yang hanya memahami musibah secara dangkal hanya melihat lahiriahnya saja. Mentalnya akan sangat lemah dan ringkih, mudah tergoncang oleh sedikit saja cobaan duniawi. Apalagi kalau musibahnya besar, mungkin dia bisa gila.
Hikmah musibah antara lain diampuninya dosa-dosa. Sabda Rasulullah SAW :
“Tidaklah seorang mukmin tertimpa musibah tertusuk duri atau lebih dari itu, kecuali dengannya Allah akan menghapus sebagian dosanya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Muslim yang mati tertimpa bangunan atau tembok akibat gempa, tergolong orang yang mati syahid. Sabda Nabi SAW :
“Orang-orang yang mati syahid itu ada lima golongan; (1) orang yang terkena wabah penyakit tha’un, (2) orang yang terkena penyakit perut (disentri, kolera, dsb), (3) orang yang tenggelam, (4) orang yang tertimpa tembok/bangunan, dan (5) orang yang mati syahid dalam perang di jalan Allah.” (HR Bukhari dan Muslim)
“Akan diampuni bagi orang yang mati syahid setiap-tiap dosanya, kecuali utang.” (HR Muslim).
Hikmah lainnya ialah, jika anak-anak muslim meninggal, kelak mereka akan masuk surga. Sabda Nabi SAW :
“Anak-anak kaum muslimin [yang meninggal] akan masuk ke dalam surga.” (HR Ahmad)
4. TETAP BERIKHTIAR
Maksud ikhtiar, ialah tetap melakukan berbagai usaha untuk memperbaiki keadaan dan menghindarkan diri dari bahaya-bahaya yang muncul akibat musibah. Jadi kita tidak diam saja, atau pasrah berpangku tangan menunggu bantuan datang.
Beriman kepada ketentuan Allah tidaklah berarti kita hanya diam termenung meratapi nasib, tanpa berupaya mengubah apa yang ada pada diri kita. Allah SWT berfirman :
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS ar-Ra’du [13] : 11)
Ketika terjadi wabah penyakit di Syam, Umar bin Khattab segera berupaya keluar dari negeri tersebut. Ketika ditanya,”Apakah kamu hendak lari dari taqdir Allah?” maka Umar menjawab,”Ya, aku lari dari taqdir Allah untuk menuju taqdir Allah yang lain.”
Rasulullah SAW pun memberi petunjuk bahwa segala bahaya (madharat) wajib untuk dihilangkan. Misalnya ketiadaan logistik, tempat tinggal, masjid, sekolah, dan sebagainya. Nabi SAW bersabda,”Tidak boleh menimbulkan bahaya bagi diri sendiri dan bahaya bagi orang lain.” (HR Ibnu Majah)
5. MEMPERBANYAK BERDOA DAN BERDZIKIR
Dianjurkan memperbanyak doa dan dzikir bagi orang yang tertimpa musibah. Orang yang mau berdoa dan berdzikir lebih mulia di sisi Allah daripada orang yang tidak mau atau malas berdoa dan berdizikir. Rasululah SAW mengajarkan doa bagi orang yang tertimpa musibah : “Allahumma jurnii fii mushiibatii wakhluf lii khairan minhaa (Ya Allah, berilah pahala dalam musibahku ini, dan berilah ganti bagiku yang lebih baik daripadanya.) (HR Muslim)
Dzikir akan dapat menenteramkan hati orang yang sedang gelisah atau stress. Dzikir ibarat air es yang dapat mendinginkan tenggorokan pada saat cuaca panas terik. Allah SWT berfirman :
“Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS ar-Ra’du [13] : 28)
Dzikir yang dianjurkan misalnya bacaan istighfar,”Astaghfirullahal ‘azhiem”. Sabda Nabi SAW :
“Barangsiapa memperbanyak istighfar, maka Allah akan membebaskannya dari kesedihan, akan memberinya jalan keluar bagi kesempitannya, dan akan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.” (HR. Abu Dawud).
6. BERTAUBAT
Tiada seorang hamba pun yang ditimpa musibah, melainkan itu akibat dari dosa yang diperbuatnya. Maka sudah seharusnya, dia bertaubat nasuha kepada Allah SWT. Orang yang tak mau bertaubat setelah tertimpa musibah, adalah orang sombong dan sesat. Allah SWT berfirman :
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar.” (QS asy-Syuura [42] : 30)
Sabda Nabi SAW “Setiap anak Adam memiliki kesalahan (dosa). Dan sebaik-baik orang yang bersalah, adalah orang yang bertaubat.” (HR at-Tirmidzi).
Bertaubat nasuha rukunnya ada 3 (tiga). Pertama, menyesali dosa yang telah dikerjakan. Kedua, berhenti dari perbuatan dosanya itu. Ketiga, ber-azam (bertekad kuat) tidak akan mengulangi dosanya lagi di masa datang. Jika dosanya menyangkut hubungan antar manusia, misalnya belum membayar utang, pernah menggunjing seseorang, pernah menyakiti perasaan orang, dan sebagainya, maka rukun taubat ditambah satu lagi, yaitu menyelesaikan urusan sesama manusia dan meminta maaf.
7. TETAP ISTIQOMAH PADA ISLAM
Dalam setiap musibah, selalu ada pihak-pihak tertentu yang memanfaatkannya untuk tujuan jahat. Misalkan saja upaya kotor berupa Kristenisasi. Caranya adalah dengan memberikan bantuan logistik, medis, uang, rumah, dan sebagainya. Tapi semuanya itu tidaklah diberikan dengan tulus, melainkan ada maksud keji di baliknya. Ujung-ujungnya, orang-orang kafir itu ingin sekali memurtadkan orang Islam menjadi orang Kristen. Na`uzhu billah min dzalik.
Di sinilah seorang muslim dituntut untuk bersikap istiqamah, yaitu konsisten di atas satu jalan dengan mengamalkan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan larangan-larangan (mulazamah al-thariq bi fi’li al-wajibat wa tarki al-manhiyyat). Allah SWT mewajibkan kita istiqamah :
“Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” (QS Huud [11] : 112)
Muslim yang murtad (keluar dari agama Islam) dan menjadi pemeluk Kristen, sungguh telah tertipu mentah-mentah dunia akhirat. Allah SWT berfirman :
“Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS al-Baqarah [2] : 217)
Karena itu wajiblah bagi kita untuk terus istiqamah mempertahankan keislaman kita. Jangan mudah tergiur oleh bujuk rayu setan berbentuk manusia itu. Jangan mati kecuali tetap memegang teguh agama Islam. Allah SWT berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS Ali ‘Imraan [3] : 102)
Khatimah
Demikianlah atara lain tuntunan Islam dalam menyikapi musibah. Khususnya bagi shahibul musibah (yang terkena musibah). Dengan berpegang teguh dengan tuntunan-tuntunan Islam di atas, mudah-mudahan Allah SWT akan memberikan rahmat, hidayah, dan ‘inayah-Nya kepada kita semua. Amin Ya Rabbal ‘Alamin !
Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Mukadimah
Para ulama mendefinisikan musibah sebagai “segala sesuatu yang dibenci yang terjadi pada manusia” (kullu makruuhin yahullu bi al-insan) (Ibrahim Anis, al-Mu’jam al-Wasith, h. 527). Musibah gempa yang sering terjadi di Indonesia akhir-akhr ini misalnya, benar-benar telah melahirkan berbagai hal yang dibenci, seperti robohnya rumah, kematian anggota keluarga, rusaknya perabotan, dan sebagainya. Bagaimana tuntunan Islam dalam menyikapi musibah seperti ini? Bagi shahibul musibah (yang terkena musibah) Islam memberikan pedoman sikap antara lain :
1. IMAN DAN RIDHO TERHADAP KETENTUAN (QADAR) ALLAH
Kita wajib beriman bahwa musibah apa pun seperti gempa bumi, banjir, wabah penyakit, sudah ditetapkan Allah SWT dalam Lauhul Mahfuzh. Kita pun wajib menerima ketentuan Allah ini dengan lapang dada (ridho). Allah SWT berfirman :
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS al-Hadid [57] : 22)
Kita pun wajib menerima taqdir Allah ini dengan rela, bukan dengan menggerutu atau malah menghujat Allah SWT. Misalnya dengan berkata,”Ya Allah, mengapa harus aku? Apa dosaku ya Allah?” Hujatan terhadap Allah Azza wa Jalla ini sungguh kurang ajar dan tidak sepantasnya, sebab Allah SWT berfirman :
“Dia [Allah] tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai.” (QS al-Anbiyaa` [21] : 23)
2. SABAR MENGHADAPI MUSIBAH
Sabar, menurut Imam Suyuthi dalam Tafsir al-Jalalain, adalah menahan diri terhadap apa-apa yang Anda benci (al-habsu li an-nafsi ‘alaa maa takrahu). Sikap inilah yang wajib kita miliki saat kita menghadapi musibah. Selain itu, disunnahkan ketika terjadi musibah, kita mengucapkan kalimat istirja’ (Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun ). Allah SWT berfirman :
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun” . (QS al-Baqarah [2] : 155-156)
Dengan demikian, sabarlah ! Jangan sampai kita meninggalkan sikap sabar dengan berputus asa atau berprasangka buruk seakan Allah tidak akan memberikan kita kebaikan di masa depan. Ingat, putus asa adalah su`uzh-zhann billah (berburuk sangka kepada Allah) ! Su`uzh-zhann kepada manusia saja tidak boleh, apalagi kepada Allah.
Memang, orang yang tertimpa musibah mudah sekali terjerumus ke dalam sikap putus asa (QS 30 : 36). Namun Allah SWT menegaskan, sikap itu adalah sikap kufur (nauzhu billah mindzalik), sebagaimana firman-Nya :
“Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” (QS Yusuf [12] : 87).
3. MENGETAHUI HIKMAH DI BALIK MUSIBAH
Seorang muslim yang mengetahui hikmah (rahasia) di balik musibah, akan memiliki ketangguhan mental yang sempurna. Berbeda dengan orang yang hanya memahami musibah secara dangkal hanya melihat lahiriahnya saja. Mentalnya akan sangat lemah dan ringkih, mudah tergoncang oleh sedikit saja cobaan duniawi. Apalagi kalau musibahnya besar, mungkin dia bisa gila.
Hikmah musibah antara lain diampuninya dosa-dosa. Sabda Rasulullah SAW :
“Tidaklah seorang mukmin tertimpa musibah tertusuk duri atau lebih dari itu, kecuali dengannya Allah akan menghapus sebagian dosanya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Muslim yang mati tertimpa bangunan atau tembok akibat gempa, tergolong orang yang mati syahid. Sabda Nabi SAW :
“Orang-orang yang mati syahid itu ada lima golongan; (1) orang yang terkena wabah penyakit tha’un, (2) orang yang terkena penyakit perut (disentri, kolera, dsb), (3) orang yang tenggelam, (4) orang yang tertimpa tembok/bangunan, dan (5) orang yang mati syahid dalam perang di jalan Allah.” (HR Bukhari dan Muslim)
“Akan diampuni bagi orang yang mati syahid setiap-tiap dosanya, kecuali utang.” (HR Muslim).
Hikmah lainnya ialah, jika anak-anak muslim meninggal, kelak mereka akan masuk surga. Sabda Nabi SAW :
“Anak-anak kaum muslimin [yang meninggal] akan masuk ke dalam surga.” (HR Ahmad)
4. TETAP BERIKHTIAR
Maksud ikhtiar, ialah tetap melakukan berbagai usaha untuk memperbaiki keadaan dan menghindarkan diri dari bahaya-bahaya yang muncul akibat musibah. Jadi kita tidak diam saja, atau pasrah berpangku tangan menunggu bantuan datang.
Beriman kepada ketentuan Allah tidaklah berarti kita hanya diam termenung meratapi nasib, tanpa berupaya mengubah apa yang ada pada diri kita. Allah SWT berfirman :
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS ar-Ra’du [13] : 11)
Ketika terjadi wabah penyakit di Syam, Umar bin Khattab segera berupaya keluar dari negeri tersebut. Ketika ditanya,”Apakah kamu hendak lari dari taqdir Allah?” maka Umar menjawab,”Ya, aku lari dari taqdir Allah untuk menuju taqdir Allah yang lain.”
Rasulullah SAW pun memberi petunjuk bahwa segala bahaya (madharat) wajib untuk dihilangkan. Misalnya ketiadaan logistik, tempat tinggal, masjid, sekolah, dan sebagainya. Nabi SAW bersabda,”Tidak boleh menimbulkan bahaya bagi diri sendiri dan bahaya bagi orang lain.” (HR Ibnu Majah)
5. MEMPERBANYAK BERDOA DAN BERDZIKIR
Dianjurkan memperbanyak doa dan dzikir bagi orang yang tertimpa musibah. Orang yang mau berdoa dan berdzikir lebih mulia di sisi Allah daripada orang yang tidak mau atau malas berdoa dan berdizikir. Rasululah SAW mengajarkan doa bagi orang yang tertimpa musibah : “Allahumma jurnii fii mushiibatii wakhluf lii khairan minhaa (Ya Allah, berilah pahala dalam musibahku ini, dan berilah ganti bagiku yang lebih baik daripadanya.) (HR Muslim)
Dzikir akan dapat menenteramkan hati orang yang sedang gelisah atau stress. Dzikir ibarat air es yang dapat mendinginkan tenggorokan pada saat cuaca panas terik. Allah SWT berfirman :
“Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS ar-Ra’du [13] : 28)
Dzikir yang dianjurkan misalnya bacaan istighfar,”Astaghfirullahal ‘azhiem”. Sabda Nabi SAW :
“Barangsiapa memperbanyak istighfar, maka Allah akan membebaskannya dari kesedihan, akan memberinya jalan keluar bagi kesempitannya, dan akan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.” (HR. Abu Dawud).
6. BERTAUBAT
Tiada seorang hamba pun yang ditimpa musibah, melainkan itu akibat dari dosa yang diperbuatnya. Maka sudah seharusnya, dia bertaubat nasuha kepada Allah SWT. Orang yang tak mau bertaubat setelah tertimpa musibah, adalah orang sombong dan sesat. Allah SWT berfirman :
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar.” (QS asy-Syuura [42] : 30)
Sabda Nabi SAW “Setiap anak Adam memiliki kesalahan (dosa). Dan sebaik-baik orang yang bersalah, adalah orang yang bertaubat.” (HR at-Tirmidzi).
Bertaubat nasuha rukunnya ada 3 (tiga). Pertama, menyesali dosa yang telah dikerjakan. Kedua, berhenti dari perbuatan dosanya itu. Ketiga, ber-azam (bertekad kuat) tidak akan mengulangi dosanya lagi di masa datang. Jika dosanya menyangkut hubungan antar manusia, misalnya belum membayar utang, pernah menggunjing seseorang, pernah menyakiti perasaan orang, dan sebagainya, maka rukun taubat ditambah satu lagi, yaitu menyelesaikan urusan sesama manusia dan meminta maaf.
7. TETAP ISTIQOMAH PADA ISLAM
Dalam setiap musibah, selalu ada pihak-pihak tertentu yang memanfaatkannya untuk tujuan jahat. Misalkan saja upaya kotor berupa Kristenisasi. Caranya adalah dengan memberikan bantuan logistik, medis, uang, rumah, dan sebagainya. Tapi semuanya itu tidaklah diberikan dengan tulus, melainkan ada maksud keji di baliknya. Ujung-ujungnya, orang-orang kafir itu ingin sekali memurtadkan orang Islam menjadi orang Kristen. Na`uzhu billah min dzalik.
Di sinilah seorang muslim dituntut untuk bersikap istiqamah, yaitu konsisten di atas satu jalan dengan mengamalkan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan larangan-larangan (mulazamah al-thariq bi fi’li al-wajibat wa tarki al-manhiyyat). Allah SWT mewajibkan kita istiqamah :
“Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” (QS Huud [11] : 112)
Muslim yang murtad (keluar dari agama Islam) dan menjadi pemeluk Kristen, sungguh telah tertipu mentah-mentah dunia akhirat. Allah SWT berfirman :
“Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS al-Baqarah [2] : 217)
Karena itu wajiblah bagi kita untuk terus istiqamah mempertahankan keislaman kita. Jangan mudah tergiur oleh bujuk rayu setan berbentuk manusia itu. Jangan mati kecuali tetap memegang teguh agama Islam. Allah SWT berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS Ali ‘Imraan [3] : 102)
Khatimah
Demikianlah atara lain tuntunan Islam dalam menyikapi musibah. Khususnya bagi shahibul musibah (yang terkena musibah). Dengan berpegang teguh dengan tuntunan-tuntunan Islam di atas, mudah-mudahan Allah SWT akan memberikan rahmat, hidayah, dan ‘inayah-Nya kepada kita semua. Amin Ya Rabbal ‘Alamin !
30
Hukum dan Dunia Politik / Re:Jejak Syari’ah dan Khilafah di Nusantara
« pada: 05 Oktober 2009, 19:44:41 »Mas Tuing2,
===
iya... sambutlah Imam Mahdi...sambutlah Imam Mahdi...
*kalo bukan Imam Mahdi gue gak mau baiat... itu khalifah boong-boongan aje...
Khilafah itu wa'dun [janji] wa fardhun [sebuah fardhu]
Sedikit saya kutipkan,
Dalam kitab al-Fiqh 'ala al-Mazhahib al-Arba'ah, karya Syaikh Abdurrahman al-Jaziry, Juz V hal. 362 [Beirut : Darul Fikr, 1996] disebutkan :
"Para imam-imam [Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, Ahmad] –rahimahumullah— telah sepakat bahwa Imamah [Khilafah] adalah fardhu, dan bahwa tidak boleh tidak kaum muslimin harus mempunyai seorang Imam [Khalifah] yang akan menegakkan syiar-syiar agama serta menyelamatkan orang-orang terzalimi dari orang-orang zalim. [Imam-imam juga sepakat] bahwa tidak boleh kaum muslimin pada waktu yang sama di seluruh dunia mempunyai dua Imam [Khalifah], baik keduanya bersepakat maupun bertentangan..."
Dari kutipan di atas, jelas sekali bahwa Imamah [atau Khilafah] adalah wajib hukumnya menurut Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, dan Ahmad. Selain itu, mereka berempat juga menyepakati kesatuan Imamah [wihdatul Imamah]. Tidak boleh ada dua imam pada waktu yang sama untuk seluruh kaum muslim di dunia.
Saya sangat yakin, tentu antum memahami apa itu sebuah Fardhu [kewajiban]?
Hukum-nya Fardhu Kifayah, Selama perjuangan itu belum berhasil, maka kewajiban tersebut tetap berada dipundak seluruh kaum muslimin, untuk menegakkan kembali Khilafah Rasyidah yang Telah Dijanjikan.
fardhu kifayah
(1) fardhu kifayah itu meski tidak harus semua kaum Muslimin yang mukallaf wajib melaksanakan layaknya fardhu 'ain tapi kewajiban tersebut harus dilaksanakan oleh jumlah yang memiliki "kifayah".
(2) kewajiban tersebut dianggap terlaksana secara sempurna apabila telah sempurna ditunaikan. Contoh kewajiban merawat jenazah seorang Muslim yang dibebankan pada suatu komunitas. Kewajiban yang sifatnya fardhu kifayah tersebut dikategorikan selesai dilaksanakan apabila jenazah tersebut telah selesai dimandikan, dikafani, dishalatkan dan dikuburkan.
(3) bagi yang meninggalkan fardhu kifayah tanpa udzur berdosa, dan pelaksanaan fardhu kifayah itu tidak menutup kemungkinan dilaksanakan oleh yang diwajibkan.
Nashbul khalifah, adalah fardhu kifayah. Selama kewajiban tersebut belum ditunaikan secara sempurna maka kewajiban tersebut, tetap dibebankan diatas pundak seluruh mukallaf dari kaum Muslimin, dan meninggalkan kewajiban yang masuk kategori fardhu kifayah tanpa udzur adalah dosa.
31
Hukum dan Dunia Politik / Re:Khalifah Penuh darah
« pada: 02 Oktober 2009, 16:29:58 » (1) Cara mengukur gagal tidaknya sebuah negara yang melaksanakan ideologi tertentu, adalah dengan mengukur dari segi fikrah [konsep] dan thariqah [metode pelaksanaan konsep]. Bukan dengan melihat sejauh mana kelangsungan hidup kepala negaranya dari ancaman pembunuhan. Dengan kata lain, berhasil tidaknya negara ideologis diukur dari segi konseptual dan praktikalnya, yaitu sejauh mana negara itu mempunyai dan memahami konsep hidup yang sahih, dan sejauh mana negara itu berpraktik mengaplikasikan konsep itu untuk mencapai tujuan-tujuan negara yang telah digariskan dalam konsep idealnya. Itulah cara mengukur keberhasilan negara, bukan diukur hanya dengan cara melihat sejauh mana keselamatan jiwa kepala negaranya. Itu terlalu naif.
(2) Tuduhan itu terlampau menggeneralisir [over generalization] dan menyederhanakan masalah [over simplification], seakan-akan sejarah keKhilafahan Islam semuanya penuh dengan darah dan konflik. Apakah kita akan menutup mata terhadap kemajuan dan peradaban Islam di masa keKhilafahan Abbasiyah pada tahun 700 – 1400 M? Kita seharusnya menghindari generalisasi masyarakat dari sejarah perorangan. Seakan-akan seluruh masa pemerintahan Bani Umayyah adalah gelap dengan hanya memfokuskan pada sejarah Yazid saja. Kemudian kita menutup diri dari kemajuan yang dicapai oleh Bani Umayyah.
(3) Keliru pula menyimpulkan bahwa karena ada pembunuhan terhadap kepala negara berarti tidak ada mekanisme politik yang menjamin keamanan kepala negara dan masyarakatnya. Padahal seharusnya kita harus meneliti lebih mendalam apakah hal tersebut terjadi karena ketidakmampuan sistem idealnya atau karena penyimpangan dari sistem ideal tersebut. Apa yang terjadi dalam konflik-konflik berdarah dalam Islam, justru karena menyimpang dari sistem ideal Islam yakni syariah Islam, bukan karena akibat penerapan syariat Islam itu sendiri.
(4) Sejarah negara-negara demokrasi, seperti halnya sejarah Khilafah Islam, bukanlah tanpa konflik. AS yang sering diklaim sebagai kampiun demokrasi pernah mengalami Perang Saudara yang berdarah-darah pada abad ke-19. Kalau pembunuhan terhadap Khalifah sebagai kepala negara menjadi soroton, apakah AS sepi dari hal itu? Bagaimana dengan pembunuhan terhadap Abraham Lincoln, pembunuhan John F. Kennedy, percobaan pembunuhan terhadap Ronald Reagan dan pemimpin-pemimpin politik AS lainnya? Revolusi Perancis sebagai peristiwa penting demokrasi juga penuh darah. Runtuhnya negara komunis yang kemudian berubah menjadi negara demokrasi, juga penuh dengan pertumpahan darah dan konflik seperti yang terjadi di Balkan saat ini. Hal ini secara mendalam dibahas Jack Snyder dalam bukunya From Voting to Violence yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Dari Pemungutan Suara ke Pertumpahan Darah [Jakarta: KPG, 2003]. Apakah ini dengan sederhana dijadikan kenyataan sejarahnya ini menjadi argumentasi untuk menolak sistem ideal demokrasi ?
Ulama Empat Mazhab Mewajibkan Khilafah
Kewajiban Menegakkan Khilafah
Pada dasarnya, para ulama empat mazhab tidak pernah berselisih pendapat mengenai kewajiban mengangkat seorang imam/khalifah yang bertugas melakukan tugas ri'ayah suun al-ummah [pengaturan urusan umat].
Imam al-Qurthubi, seorang ulama besar dari mazhab Maliki, ketika menjelaskan tafsir surah al-Baqarah ayat 30, menyatakan, "Ayat ini merupakan dalil paling asal mengenai kewajiban mengangkat seorang imam/khalifah yang wajib didengar dan ditaati, untuk menyatukan pendapat serta melaksanakan hukum-hukum khalifah. Tidak ada perselisihan pendapat tentang kewajiban tersebut di kalangan umat Islam maupun di kalangan ulama, kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-A'sham [Imam al-Qurthubi, Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an, 1/264-265].
Al-'Allamah Abu Zakaria an-Nawawi, dari kalangan ulama mazhab Syafii, mengatakan, "Para imam mazhab telah bersepakat, bahwa kaum Muslim wajib mengangkat seorang khalifah." [Imam an-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, XII/205].
Ulama lain dari mazhab Syafii, Imam al-Mawardi, juga menyatakan, "Menegakkan Imamah (Khilafah) di tengah-tengah umat merupakan kewajiban yang didasarkan pada Ijmak Sahabat. [Imam al-Mawardi, Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hlm. 5].
Imam "Alauddin al-Kasani, ulama besar dari mazhab Hanafi pun menyatakan, "Sesungguhnya mengangkat imam agung (khalifah) adalah fardhu. Tidak ada perbedaan pendapat di antara ahlul haq mengenai masalah ini. Penyelisihan oleh sebagian kelompok Qadariah mengenai masalah ini sama sekali tidak bernilai karena persoalan ini telah ditetapkan berdasarkan Ijmak Sahabat, juga karena kebutuhan umat Islam terhadap imam yang agung tersebut; demi keterikatan dengan hukum; untuk menyelamatkan orang yang dizalimi dari orang yang zalim; untuk memutuskan perselisihan yang menjadi sumber kerusakan dan kemaslahatan-kemaslahatan lain yang tidak akan terwujud kecuali dengan adanya imam." [Imam al-Kassani, Bada'i ash-Shanai' fî Tartib asy-Syarai', XIV/406].
Imam Umar bin Ali bin Adil al-Hanbali, ulama mazhab Hanbali, juga menyatakan, "Ayat ini (QS al-Baqarah [2]: 30) adalah dalil atas kewajiban mengangkat imam/khalifah yang wajib didengar dan ditaati untuk menyatukan pendapat serta untuk melaksanakan hukum-hukum tentang khalifah. Tidak ada perbedaan tentang kewajiban tersebut di kalangan para imam kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-A'sham dan orang yang mengikutinya." (Imam Umar bin Ali bin Adil, Tafsir al-Lubab fî 'Ulum al-Kitab, 1/204].
Imam Ahmad bin Hanbal dalam sebuah riwayat yang dituturkan oleh Muhammad bin 'Auf bin Sufyan al-Hamashi, menyatakan, "Fitnah akan muncul jika tidak ada imam (khalifah) yang mengatur urusan manusia." (Abu Ya'la al-Farra'i, Al-Ahkam as-Sulthaniyah, hlm.19].
Imam Abu Muhammad Ali bin Hazm al-Andalusi azh-Zhahiri dari mazhab Zhahiri menyatakan, "Para ulama sepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah fardhu dan keberadaan seorang imam itu merupakan suatu keharusan, kecuali an-Najdat. Pendapat mereka benar-benar telah menyalahi Ijmak dan pembahasan mengenai mereka telah dijelaskan sebelumnya. Para ulama sepakat bahwa tidak boleh ada dua imam (khalifah) bagi kaum Muslim pada satu waktu di seluruh dunia baik mereka sepakat atau tidak, baik mereka berada di satu tempat atau di dua tempat." [Imam Ibn Hazm, Maratib al-Ijma', 1/124].
Di tempat lain, Imam Ibnu Hazm mengatakan, "Mayoritas Ahlus-Sunnah, Murjiah, Syiah dan Khawarij bersepakat mengenai kewajiban menegakkan Imamah (Khilafah). Mereka juga bersepakat, bahwa umat Islam wajib menaati Imam/Khalifah yang adil yang menegakkan hukum-hukum Allah di tengah-tengah mereka dan memimpin mereka dengan hukum-hukum syariah yang dibawa Rasulullah saw." [Ibnu Hazm, Al-Fashl fi al-Milal wa al-Ahwa' wa an-Nihal, IV/87].
(2) Tuduhan itu terlampau menggeneralisir [over generalization] dan menyederhanakan masalah [over simplification], seakan-akan sejarah keKhilafahan Islam semuanya penuh dengan darah dan konflik. Apakah kita akan menutup mata terhadap kemajuan dan peradaban Islam di masa keKhilafahan Abbasiyah pada tahun 700 – 1400 M? Kita seharusnya menghindari generalisasi masyarakat dari sejarah perorangan. Seakan-akan seluruh masa pemerintahan Bani Umayyah adalah gelap dengan hanya memfokuskan pada sejarah Yazid saja. Kemudian kita menutup diri dari kemajuan yang dicapai oleh Bani Umayyah.
(3) Keliru pula menyimpulkan bahwa karena ada pembunuhan terhadap kepala negara berarti tidak ada mekanisme politik yang menjamin keamanan kepala negara dan masyarakatnya. Padahal seharusnya kita harus meneliti lebih mendalam apakah hal tersebut terjadi karena ketidakmampuan sistem idealnya atau karena penyimpangan dari sistem ideal tersebut. Apa yang terjadi dalam konflik-konflik berdarah dalam Islam, justru karena menyimpang dari sistem ideal Islam yakni syariah Islam, bukan karena akibat penerapan syariat Islam itu sendiri.
(4) Sejarah negara-negara demokrasi, seperti halnya sejarah Khilafah Islam, bukanlah tanpa konflik. AS yang sering diklaim sebagai kampiun demokrasi pernah mengalami Perang Saudara yang berdarah-darah pada abad ke-19. Kalau pembunuhan terhadap Khalifah sebagai kepala negara menjadi soroton, apakah AS sepi dari hal itu? Bagaimana dengan pembunuhan terhadap Abraham Lincoln, pembunuhan John F. Kennedy, percobaan pembunuhan terhadap Ronald Reagan dan pemimpin-pemimpin politik AS lainnya? Revolusi Perancis sebagai peristiwa penting demokrasi juga penuh darah. Runtuhnya negara komunis yang kemudian berubah menjadi negara demokrasi, juga penuh dengan pertumpahan darah dan konflik seperti yang terjadi di Balkan saat ini. Hal ini secara mendalam dibahas Jack Snyder dalam bukunya From Voting to Violence yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Dari Pemungutan Suara ke Pertumpahan Darah [Jakarta: KPG, 2003]. Apakah ini dengan sederhana dijadikan kenyataan sejarahnya ini menjadi argumentasi untuk menolak sistem ideal demokrasi ?
Ulama Empat Mazhab Mewajibkan Khilafah
Kewajiban Menegakkan Khilafah
Pada dasarnya, para ulama empat mazhab tidak pernah berselisih pendapat mengenai kewajiban mengangkat seorang imam/khalifah yang bertugas melakukan tugas ri'ayah suun al-ummah [pengaturan urusan umat].
Imam al-Qurthubi, seorang ulama besar dari mazhab Maliki, ketika menjelaskan tafsir surah al-Baqarah ayat 30, menyatakan, "Ayat ini merupakan dalil paling asal mengenai kewajiban mengangkat seorang imam/khalifah yang wajib didengar dan ditaati, untuk menyatukan pendapat serta melaksanakan hukum-hukum khalifah. Tidak ada perselisihan pendapat tentang kewajiban tersebut di kalangan umat Islam maupun di kalangan ulama, kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-A'sham [Imam al-Qurthubi, Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an, 1/264-265].
Al-'Allamah Abu Zakaria an-Nawawi, dari kalangan ulama mazhab Syafii, mengatakan, "Para imam mazhab telah bersepakat, bahwa kaum Muslim wajib mengangkat seorang khalifah." [Imam an-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, XII/205].
Ulama lain dari mazhab Syafii, Imam al-Mawardi, juga menyatakan, "Menegakkan Imamah (Khilafah) di tengah-tengah umat merupakan kewajiban yang didasarkan pada Ijmak Sahabat. [Imam al-Mawardi, Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hlm. 5].
Imam "Alauddin al-Kasani, ulama besar dari mazhab Hanafi pun menyatakan, "Sesungguhnya mengangkat imam agung (khalifah) adalah fardhu. Tidak ada perbedaan pendapat di antara ahlul haq mengenai masalah ini. Penyelisihan oleh sebagian kelompok Qadariah mengenai masalah ini sama sekali tidak bernilai karena persoalan ini telah ditetapkan berdasarkan Ijmak Sahabat, juga karena kebutuhan umat Islam terhadap imam yang agung tersebut; demi keterikatan dengan hukum; untuk menyelamatkan orang yang dizalimi dari orang yang zalim; untuk memutuskan perselisihan yang menjadi sumber kerusakan dan kemaslahatan-kemaslahatan lain yang tidak akan terwujud kecuali dengan adanya imam." [Imam al-Kassani, Bada'i ash-Shanai' fî Tartib asy-Syarai', XIV/406].
Imam Umar bin Ali bin Adil al-Hanbali, ulama mazhab Hanbali, juga menyatakan, "Ayat ini (QS al-Baqarah [2]: 30) adalah dalil atas kewajiban mengangkat imam/khalifah yang wajib didengar dan ditaati untuk menyatukan pendapat serta untuk melaksanakan hukum-hukum tentang khalifah. Tidak ada perbedaan tentang kewajiban tersebut di kalangan para imam kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-A'sham dan orang yang mengikutinya." (Imam Umar bin Ali bin Adil, Tafsir al-Lubab fî 'Ulum al-Kitab, 1/204].
Imam Ahmad bin Hanbal dalam sebuah riwayat yang dituturkan oleh Muhammad bin 'Auf bin Sufyan al-Hamashi, menyatakan, "Fitnah akan muncul jika tidak ada imam (khalifah) yang mengatur urusan manusia." (Abu Ya'la al-Farra'i, Al-Ahkam as-Sulthaniyah, hlm.19].
Imam Abu Muhammad Ali bin Hazm al-Andalusi azh-Zhahiri dari mazhab Zhahiri menyatakan, "Para ulama sepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah fardhu dan keberadaan seorang imam itu merupakan suatu keharusan, kecuali an-Najdat. Pendapat mereka benar-benar telah menyalahi Ijmak dan pembahasan mengenai mereka telah dijelaskan sebelumnya. Para ulama sepakat bahwa tidak boleh ada dua imam (khalifah) bagi kaum Muslim pada satu waktu di seluruh dunia baik mereka sepakat atau tidak, baik mereka berada di satu tempat atau di dua tempat." [Imam Ibn Hazm, Maratib al-Ijma', 1/124].
Di tempat lain, Imam Ibnu Hazm mengatakan, "Mayoritas Ahlus-Sunnah, Murjiah, Syiah dan Khawarij bersepakat mengenai kewajiban menegakkan Imamah (Khilafah). Mereka juga bersepakat, bahwa umat Islam wajib menaati Imam/Khalifah yang adil yang menegakkan hukum-hukum Allah di tengah-tengah mereka dan memimpin mereka dengan hukum-hukum syariah yang dibawa Rasulullah saw." [Ibnu Hazm, Al-Fashl fi al-Milal wa al-Ahwa' wa an-Nihal, IV/87].
32
Hukum dan Dunia Politik / Re:Bagimana sistem peradilan berdasarkan syariah ?
« pada: 02 Oktober 2009, 15:38:28 »Tanya :
Bikin pasal-pasal dan ayatnya susah nggak ?
Perlu ada proses persetujuan/legalisasi nggak ?
1.Mas Yue, menggali UU yang akan dilegislasi oleh khalifah itu Insya Allah mudah, karena jelas hukum itu bersumberkan kepada sumber syariat saja. [bahkan rancangan UUD Daulah Khilafah aja, alhamdulillah sudah ada, apatah lagi UU, jika anda mau melihat RUUD, saya akan tulis disini]
2.Yup, Khalifah menjalankan kekuasaannya melegislasi UU.
Ketika UU sudah dilegislasi oleh Khalifah kemudian antara Khalifah dan umat timbul perbedaan penafsiran mengenai pengertian pasal-pasalnya, Khalifah tidak bisa memaksakan penafsirannya. Mahkamah Mazhalim sajalah yang berhak menentukan makna yang dimaksudkan oleh UU
33
Hukum dan Dunia Politik / Re:Jejak Syari’ah dan Khilafah di Nusantara
« pada: 02 Oktober 2009, 15:12:43 » Dokumen Penting Hubungan Nusantara dengan Khilafah
Sejarah Islam Nusantara saat ini sangat susah mendapatkan bukti otentik bahwa benar adanya bahwa Nusantara adalah wilayah ke Khalifahan Islam. Sangat susah menemukan buku-buku sejarah mengungkap hal ini seolah-olah sengaja menghilangkan fakta ini. Tapi sejarah yang benar pasti akan terungkap. Berikut bukti otentik yang dapat membuktikan hal tersebut. Bukti ini berupa surat resmi dari sultan Aceh Alauddin Mahmud Syah kepada Khalifah Abdul Aziz dari ke-khalifahan Turki Usmani, berikut isi suratnya;
“Sesuai dengan ketentuan adat istiadat kesultanan Aceh yang kami miliki dengan batas-batasnya yang dikenal dan sudah dipunyai oleh moyang kami sejak zaman dahulu serta sudah mewarisi singgasana dari ayah kepada anak dalam keadaan merdeka. Sesudah itu kami diharuskan memperoleh perlindungan Sultan Salim si penakluk dan tunduk kepada pemerintahan Ottoman dan sejak itu kami tetap berada di bawah pemerintahan Yang Mulia dan selalu bernaung di bawah bantuan kemuliaan Yang Mulia almarhum sultan Abdul Majid penguasa kita yang agung, sudah menganugerahkan kepada almarhum moyang kami sultan Alaudddin Mansursyah titah yang agung berisi perintah kekuasaan.
Kami juga mengakui bahwa penguasa Turki yang Agung merupakan penguasa dari semua penguasa Islam dan Turki merupakan penguasa tunggal dan tertinggi bagi bangsa-bangsa yang beragama Islam. Selain kepada Allah SWT, penguasa Turki adalah tempat kami menaruh kepercayaan dan hanya Yang Mulialah penolong kami. Hanya kepada Yang Mulia dan kerajaan Yang Mulialah kami meminta pertolongan rahmat Ilahi, Turkilah tongkat lambang kekuasaan kemenangan Islam untuk hidup kembali dan akhirnya hanya dengan perantaraan Yang Mulialah terdapat keyakinan hidup kembali di seluruh negeri-negeri tempat berkembangnya agama Islam. Tambahan pula kepatuhan kami kepada pemerintahan Ottoman dibuktikan dengan kenyataan, bahwa kami selalu bekerja melaksanakan perintah Yang Mulia. Bendera negeri kami, Bulan Sabit terus bersinar dan tidak serupa dengan bendera manapun dalam kekuasaan pemerintahan Ottoman; ia berkibar melindungi kami di laut dan di darat. Walaupun jarak kita berjauhan dan terdapat kesukaran perhubungan antara negeri kita namun hati kami tetap dekat sehingga kami telah menyetujui untuk mengutus seorang utusan khusus kepada Yang Mulia, yaitu Habib Abdurrahman el Zahir dan kami telah memberitahukan kepada beliau semua rencana dan keinginan kami untuk selamanya menjadi warga Yang Mulia, menjadi milik Yang Mulia dan akan menyampaikan ke seluruh negeri semua peraturan Yang Mulai.
Semoga Yang Mulai dapat mengatur segala sesuatunya sesuai dengan keinginan Yang Mulia. Selain itu kami berjanji akan menyesuaikan diri dengan keinginan siapa saja Yang Mulia utus untuk memerintah kami.
Kami memberi kuasa penuh kepada Habib Abdurrahman untuk bertindak untuk dan atas nama kami.
Yang Mulia dapat bermusyawarah dengan beliau karena kami telah mempercayakan usaha perlindungan demi kepentingan kita.
Semoga harapan kami itu tercapai. Kami yakin, bahwa Pemerintah Yang Mulia Sesungguhnya dapat melaksanakannya dan kami sendiri yakin pula,bahwa Yang Mulia akan selalu bermurah hati”.
Petikan isi surat tersebut dikutip dari Seri Informasi Aceh th.VI No.5 berjudul Surat-surat Lepas Yang Berhubungan Dengan Politik Luar Negeri Kesultanan Aceh Menjelang Perang Belanda di Aceh diterbitkan oleh Pusat Dokumentasi Dan Informasi Aceh tahun 1982 berdasarkan buku referensi dari A. Reid, ”Indonesian Diplomacy a Documentary Study of Atjehnese Foreign Policy in The Reign of Sultan Mahmud 1870-1874”, JMBRAS, vol.42, Pt.1, No.215, hal 80-81 (Terjemahan : R. Azwad).
Poin-poin penting isi surat diatas sebagai berikut :
* Wilayah Aceh secara resmi menjadi bagian dari ke-Khalifahan Usmani sejak pemerintahan Sultan Salim (Khalifah Turki Usmani yang sangat ditakuti dan disegani sehingga digelas ”sang Penakluk” oleh Eropah abad 15 M.
* Pengakuan penguasa semua negeri-negeri kaum Muslimin bahwa Turki Usmani adalah penguasa tunggal dunia Islam.
* Adanya perlindungan dan bantuan militer dari Turki Usmani terhadap Aceh di laut dan di darat. Hal ini wajar karena fungsi Khalifah adalah laksana perisai pelindung ummat di setiap wilayah Islam.
* Hukum yang berlaku di Aceh adalah hukum yang sama dilaksanakan di Turki Usmani yaitu hukum Islam.
Dari isi surat dapat disimpulkan bahwa kesultanan Aceh di Sumatera adalah bagian resmi wilayah kekuasaan ke khalifahan Islam Turki Usmani tidak terbantahkan lagi. Hal sama juga berlaku untuk daerah-daerah lain di Nusantara dimana kesultanan Islam berdiri.
Janji Allah SWT akan datangnya nubuah berdirinya ke-Khalifahan jilid 2 yang sesuai dengan manhaj kenabian adalah pasti, dan Nusantara dahulu adalah bagian resmi ke-Khalifahan Islam maka sudah sewajarnya dan seharusnya kita ummat Islam di Nusantara menyongsong hal tersebut. Ibarat kita mencari sesuatu yang hilang dan susah di cari jejaknya, kini sudah terkuak satu demi satu untuk semakin meyakinkan bahwa dakwah untuk tegaknya syariah dalam bingkai khilafah adalah suatu kenyataan dan kebenaran mutlak yang harus diyakini. Sambutlah Khilafah. Sambulah Khilafah.( A. Yusuf Pulungan, ST, MSc)
Sejarah Islam Nusantara saat ini sangat susah mendapatkan bukti otentik bahwa benar adanya bahwa Nusantara adalah wilayah ke Khalifahan Islam. Sangat susah menemukan buku-buku sejarah mengungkap hal ini seolah-olah sengaja menghilangkan fakta ini. Tapi sejarah yang benar pasti akan terungkap. Berikut bukti otentik yang dapat membuktikan hal tersebut. Bukti ini berupa surat resmi dari sultan Aceh Alauddin Mahmud Syah kepada Khalifah Abdul Aziz dari ke-khalifahan Turki Usmani, berikut isi suratnya;
“Sesuai dengan ketentuan adat istiadat kesultanan Aceh yang kami miliki dengan batas-batasnya yang dikenal dan sudah dipunyai oleh moyang kami sejak zaman dahulu serta sudah mewarisi singgasana dari ayah kepada anak dalam keadaan merdeka. Sesudah itu kami diharuskan memperoleh perlindungan Sultan Salim si penakluk dan tunduk kepada pemerintahan Ottoman dan sejak itu kami tetap berada di bawah pemerintahan Yang Mulia dan selalu bernaung di bawah bantuan kemuliaan Yang Mulia almarhum sultan Abdul Majid penguasa kita yang agung, sudah menganugerahkan kepada almarhum moyang kami sultan Alaudddin Mansursyah titah yang agung berisi perintah kekuasaan.
Kami juga mengakui bahwa penguasa Turki yang Agung merupakan penguasa dari semua penguasa Islam dan Turki merupakan penguasa tunggal dan tertinggi bagi bangsa-bangsa yang beragama Islam. Selain kepada Allah SWT, penguasa Turki adalah tempat kami menaruh kepercayaan dan hanya Yang Mulialah penolong kami. Hanya kepada Yang Mulia dan kerajaan Yang Mulialah kami meminta pertolongan rahmat Ilahi, Turkilah tongkat lambang kekuasaan kemenangan Islam untuk hidup kembali dan akhirnya hanya dengan perantaraan Yang Mulialah terdapat keyakinan hidup kembali di seluruh negeri-negeri tempat berkembangnya agama Islam. Tambahan pula kepatuhan kami kepada pemerintahan Ottoman dibuktikan dengan kenyataan, bahwa kami selalu bekerja melaksanakan perintah Yang Mulia. Bendera negeri kami, Bulan Sabit terus bersinar dan tidak serupa dengan bendera manapun dalam kekuasaan pemerintahan Ottoman; ia berkibar melindungi kami di laut dan di darat. Walaupun jarak kita berjauhan dan terdapat kesukaran perhubungan antara negeri kita namun hati kami tetap dekat sehingga kami telah menyetujui untuk mengutus seorang utusan khusus kepada Yang Mulia, yaitu Habib Abdurrahman el Zahir dan kami telah memberitahukan kepada beliau semua rencana dan keinginan kami untuk selamanya menjadi warga Yang Mulia, menjadi milik Yang Mulia dan akan menyampaikan ke seluruh negeri semua peraturan Yang Mulai.
Semoga Yang Mulai dapat mengatur segala sesuatunya sesuai dengan keinginan Yang Mulia. Selain itu kami berjanji akan menyesuaikan diri dengan keinginan siapa saja Yang Mulia utus untuk memerintah kami.
Kami memberi kuasa penuh kepada Habib Abdurrahman untuk bertindak untuk dan atas nama kami.
Yang Mulia dapat bermusyawarah dengan beliau karena kami telah mempercayakan usaha perlindungan demi kepentingan kita.
Semoga harapan kami itu tercapai. Kami yakin, bahwa Pemerintah Yang Mulia Sesungguhnya dapat melaksanakannya dan kami sendiri yakin pula,bahwa Yang Mulia akan selalu bermurah hati”.
Petikan isi surat tersebut dikutip dari Seri Informasi Aceh th.VI No.5 berjudul Surat-surat Lepas Yang Berhubungan Dengan Politik Luar Negeri Kesultanan Aceh Menjelang Perang Belanda di Aceh diterbitkan oleh Pusat Dokumentasi Dan Informasi Aceh tahun 1982 berdasarkan buku referensi dari A. Reid, ”Indonesian Diplomacy a Documentary Study of Atjehnese Foreign Policy in The Reign of Sultan Mahmud 1870-1874”, JMBRAS, vol.42, Pt.1, No.215, hal 80-81 (Terjemahan : R. Azwad).
Poin-poin penting isi surat diatas sebagai berikut :
* Wilayah Aceh secara resmi menjadi bagian dari ke-Khalifahan Usmani sejak pemerintahan Sultan Salim (Khalifah Turki Usmani yang sangat ditakuti dan disegani sehingga digelas ”sang Penakluk” oleh Eropah abad 15 M.
* Pengakuan penguasa semua negeri-negeri kaum Muslimin bahwa Turki Usmani adalah penguasa tunggal dunia Islam.
* Adanya perlindungan dan bantuan militer dari Turki Usmani terhadap Aceh di laut dan di darat. Hal ini wajar karena fungsi Khalifah adalah laksana perisai pelindung ummat di setiap wilayah Islam.
* Hukum yang berlaku di Aceh adalah hukum yang sama dilaksanakan di Turki Usmani yaitu hukum Islam.
Dari isi surat dapat disimpulkan bahwa kesultanan Aceh di Sumatera adalah bagian resmi wilayah kekuasaan ke khalifahan Islam Turki Usmani tidak terbantahkan lagi. Hal sama juga berlaku untuk daerah-daerah lain di Nusantara dimana kesultanan Islam berdiri.
Janji Allah SWT akan datangnya nubuah berdirinya ke-Khalifahan jilid 2 yang sesuai dengan manhaj kenabian adalah pasti, dan Nusantara dahulu adalah bagian resmi ke-Khalifahan Islam maka sudah sewajarnya dan seharusnya kita ummat Islam di Nusantara menyongsong hal tersebut. Ibarat kita mencari sesuatu yang hilang dan susah di cari jejaknya, kini sudah terkuak satu demi satu untuk semakin meyakinkan bahwa dakwah untuk tegaknya syariah dalam bingkai khilafah adalah suatu kenyataan dan kebenaran mutlak yang harus diyakini. Sambutlah Khilafah. Sambulah Khilafah.( A. Yusuf Pulungan, ST, MSc)
34
Hukum dan Dunia Politik / Re:Bagimana sistem peradilan berdasarkan syariah ?
« pada: 02 Oktober 2009, 13:51:39 » Mau sedikit menjawab pertanyaan mas WEB.
Sistem peradilan Islam dibagi menjadi tiga sub-sistem penting:
1. Struktur dan birokrasi peradilan dalam Islam: meliputi macam-macam qadhi [hakim], tugas dan kewenangan, pengangkatan, dan mekanisme birokrasi lainnya.
2. Ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan pembuktian [ahkam al-bayyinah]: mencakup pembahasan mengenai materi yang absah dan yang tidak absah dijadikan sebagai bukti hukum, syarat-syarat serta mekanisme pembuktian untuk kasus-kasus pidana dan perdata, dan lain-lain.
3. Sistem persanksian, yakni sistem yang menjelaskan macam-macam sanksi yang akan dijatuhkan kepada para pelanggar hukum, beserta syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan lainnya.
Kalau Mas WEB, ingin mendalami lebih lanjut, ada referensi kitab [buku], yang menjelaskan 3 sub-sistem diatas.
Untuk sistem pembuktian, Ada kitab berjudul Ahkam al-Bayyinah, karya 'Allamah Ahmad Daur. Untuk sistem persanksian, ada kitab berjudul Nizham al-'Uqubat karya Dr. 'Abdurrahman al-Maliki. Adapun sistem birokrasi dan struktur [perangkat] peradilan telah dibahas di dalam kitab Nizham al-Hukmi fî al-Islam karya 'Allamah Abdul Qadim Zallum, dalam bab al-Qadha.
[Jika antum membutuhkan-nya, saya Insya Allah bisa mengusahakan mencari e-book-nya untuk antum]
Tetapi berdasarkan Thread sebelah yang antum buat, kayak-nya fokus antum mengenai sistem peradilan dalam Islam, terfokus pada masalah sistem persanksian dalam Islam.
Dalam tulisan di bawah ini sedikit menggambarkan uraian mengenai sistem persanksian dalam Islam.
Sistem Persanksian dalam Islam
Sanksi dibagi menjadi empat: (1) hudud; (2) jinayat; (3) ta'zir; dan (4) mukhalafat. Kadang-kadang, istilah hudud, jinayat, ta'zir dan mukhalafat juga dikonotasikan untuk tindak pelanggarannya sendiri. Dengan demikian, keempat istilah tersebut masing-masing bisa diartikan dalam konteks sanksinya maupun tindak pelanggarannya. Untuk itu, kasus perzinaan dan sanksi zina bisa disebut dengan hudud. Begitu pula untuk istilah lainnya.
1. Hudud
Hudud adalah sanksi atas kemaksiatan yang macam kasus dan sanksinya telah ditetapkan oleh syariah. Dalam kasus hudud tidak diterima adanya pengampunan atau abolisi. Sebab, hudud adalah hak Allah Swt. Jika kasus hudud telah disampaikan di majelis pengadilan, kasus itu tidak bisa dibatalkan karena adanya pengampunan atau kompromi.
Hudud dibagi menjadi enam: (1) zina dan liwath (homoseksual dan lesbian); (2) al-qadzaf (menuduh zina orang lain); (3) minum khamr; (4) pencurian; (5) murtad; (6) hirabah atau bughat.
Pelaku zina yang berstatus perjaka atau perawan (ghayru muhshan) dikenai hukuman cambuk sebanyak 100 kali. Pelaku zina yang berstatus suami atau istri, janda atau duda, dijatuhi sanksi rajam. Sanksi homoseksual dan lesbian adalah hukuman mati. Sanksi bagi pelaku qadzaf adalah cambuk 80 kali. Peminum khamr dijatuhi sanksi cambuk sebanyak 40 kali dan boleh dilebihkan dari jumlah itu. Tindak pencurian dikenai sanksi potong tangan jika telah memenuhi 'syarat-syarat pencurian' yang wajib dikenai potong tangan. Adapun jika pencurian itu belum memenuhi syarat, pencuri tidak boleh dikenai sanksi potong tangan. Misalnya, orang yang mencuri karena kelaparan, mencuri barang-barang milik umum, belum sampai nishab (1/4 dinar), dan lain sebagainya tidak boleh dikenai hukuman potong tangan.
Pelaku murtad dikenai hukuman mati jika tidak mau bertobat dan kembali ke pangkuan Islam dalam tenggat waktu tertentu. Hanya saja, syariah tidak membatasi tenggat waktu yang diberikan kepada si murtad untuk kembali kepada Islam.
Pelaku tindak hirabah (pembegalan) diberi sanksi berdasarkan tindak kejahatan yang ia lakukan. Jika mereka hanya mengambil harta saja, hukumannya adalah dipotong tangan kanan dan kaki kiri. Jika mereka hanya menebar teror dan ketakutan saja, dikenai hukuman pengasingan (deportasi ke tempat yang jauh). Jika mereka melakukan pembunuhan saja, sanksinya hukuman mati. Jika mereka melakukan pembunuhan dan perampokan harta, hukumannya dibunuh dan disalib.
Pelaku bughat (memberontak) diperangi sampai mereka kembali ke pangkuan Islam atau ke pangkuan Khilafah yang sah. Hanya saja, perang melawan pelaku bughat berbeda dengan perang melawan orang kafir. Perang melawan pelaku bughat hanyalah perang yang bersifat edukatif, bukan jihad fi sabilillah. Oleh karena itu, pelaku bughat tidak boleh diserang dengan senjata pemusnah massal atau serbuan nuklir dan roket; kecuali jika mereka menggunakan arsenal seperti ini. Jika mereka melarikan diri dari perang, mereka tidak boleh dikejar dan ditumpas sampai habis. Harta mereka tidak boleh dijadikan sebagai ghanimah.
2. Jinayat
Jinayat adalah penyerangan terhadap manusia. Jinayat dibagi dua: (1) penyerangan terhadap jiwa (pembunuhan); (2) penyerangan terhadap organ tubuh.
Kasus jinayat terhadap jiwa (pembunuhan), sanksinya ada tiga macam: qishash, diyat, atau kafarah. Pembunuhan sendiri diklasifikasi menjadi empat jenis; (1) pembunuhan sengaja; (2) mirip disengaja; (3) tidak sengaja; (4) karena ketidaksengajaan.
Pada kasus pembunuhan sengaja, pihak wali korban boleh memilih antara qishash atau memaafkan dengan mengambil diyat, atau menyedekahkan diyatnya. Jika pelaku pembunuhan mendapatkan pemaafan, ia wajib membayar diyat sebanyak 100 ekor onta dan 40 ekor di antaranya telah bunting.
Sanksi pembunuhan mirip sengaja (syibh al-'amad) adalah diyat 100 ekor unta, dan 40 ekor di antaranya bunting.
Adapun pembunuhan tidak sengaja (khatha') diklasifikasi menjadi dua macam: (1) Seseorang melakukan suatu perbuatan yang tidak ditujukan untuk membunuh seseorang, namun tanpa sengaja ternyata mengakibatkan terbunuhnya seseorang. Misalnya, ada orang memanah burung, namun terkena manusia hingga mati. (2) Seseorang yang membunuh orang yang dikiranya kafir harbi di dar al-kufr, tetapi ternyata orang yang dibunuhnya itu telah masuk Islam. Pada jenis pembunuhan pertama, sanksinya adalah membayar diyat 100 ekor unta dan membayar kafarah dengan cara membebaskan budak. Jika tidak memiliki budak, pelaku harus berpuasa selama 2 bulan berturut-turut. Dalam kasus kedua, sanksinya adalah membayar kafarah saja, dan tidak wajib diyat.
Sanksi untuk pembunuhan karena ketidaksengajaan adalah diyat 100 ekor onta dan membebaskan budak. Jika tidak ada budak, wajib berpuasa selama 2 bulan berturut-turut.
Adapun jinayat terhadap organ tubuh, baik terhadap organ tubuh maupun tulang, sanksinya adalah diyat. Tidak ada qishash untuk penyerangan terhadap organ tubuh maupun tulang secara mutlak, kecuali pada kasus penyerangan terhadap gigi, dan kasus jarh (pelukaan di badan). Hanya saja, kasus penyerangan gigi atau jarh bisa saja dikenai diyat. Lalu kapan pada kasus penyerangan terhadap gigi dikenai qishash dan kapan dikenai diyat saja? Menurut fukaha, jika penyerangannya secara sengaja, dikenai hukuman qishash; sedangkan jika tidak sengaja, dikenai diyat yang besarnya telah ditetapkan di dalam as-Sunnah. Jika orang yang dilukai tidak meminta qishash, pelaku penyerangan hanya wajib membayar diyat. Dalam kasus penyerangan pada kepala (asy-syijaj), sanksinya hanyalah diyat, dan tidak ada qishash.
Kadar diyat atas penyerangan badan dan kepala ada yang telah ditetapkan di dalam as-Sunnah, ada pula yang belum ditetapkan. Jika telah ditetapkan dalam as-Sunnah, diyatnya sesuai dengan apa yang disebut; misalnya pada kasus jaifah dan pelukaan terhadap kelamin anak perempuan yang masih kecil. Adapun kasus penyerangan terhadap badan yang kadar diyat-nya tidak disebutkan oleh as-Sunnah, maka sanksinya adalah hukumah yang adil.
3. Ta'zir
Ta'zir adalah sanksi atas kemaksiatan yang di dalamnya tidak had dan kafarah. Pada dasarnya, sanksi ta'zir ditetapkan berdasarkan pendapat seorang qadhi dengan mempertimbangkan kasus, pelaku, politik, dan sebagainya. Dr. Abdurrahman al-Maliki mengelompokkan kasus ta'zir menjadi tujuh: (1) pelanggaran terhadap kehormatan; (2) penyerangan terhadap nama baik; (3) tindak yang bisa merusak akal; (4) penyerangan terhadap harta milik orang lain; (4) ganggungan terhadap keamanan atau privacy; (5) mengancam keamanan Negara; (6) kasus-kasus yang berkenaan dengan agama; (7) kasus-kasus ta'zir lainnya.
4. Mukhalafat
Dr. Abdurrahman al-Maliki memisahkan kasus mukhalafat dari ta'zir. Pemisahan ini tentunya berbeda dengan sebagian besar fukaha yang memasukkan mukhalafah dalam bab ta'zir. Menurut beliau, fakta mukhalafat berbeda dengan ta'zir. Oleh karena itu, mukhalafat berdiri sendiri dan terpisah dari ta'zir. Menurut beliau, mukhalafat adalah tidak menaati ketetapan yang dikeluarkan oleh Negara, baik yang berwujud larangan maupun perintah.
Sebagai tambahan buat Mas WEB,
FYI, dalam penerapan sanksi diatas kepada pelaku-nya, tidaklah segampang yang dibayangkan, karena ini mencangkup bagaimana ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan pembuktian [ahkam al-bayyinah]: mencakup pembahasan mengenai materi yang absah dan yang tidak absah dijadikan sebagai bukti hukum, syarat-syarat serta mekanisme pembuktian untuk kasus-kasus pidana dan perdata, dan lain-lain.
Sejarah berdirinya Daulah Islamiyyah [lebih kurang 13-14 abad], penerapan sanksi potong tangan hanya dilakukan sebanyak kurang lebih 400 kali [jadi dalam 4 tahun, penerapan potong tangan hanya dilakukan sekali], ini membuktikkan penerapan sanksi itu sangat ketat sekali.
mudahah-mudahan penjelasan diatas berkenan
Sistem peradilan Islam dibagi menjadi tiga sub-sistem penting:
1. Struktur dan birokrasi peradilan dalam Islam: meliputi macam-macam qadhi [hakim], tugas dan kewenangan, pengangkatan, dan mekanisme birokrasi lainnya.
2. Ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan pembuktian [ahkam al-bayyinah]: mencakup pembahasan mengenai materi yang absah dan yang tidak absah dijadikan sebagai bukti hukum, syarat-syarat serta mekanisme pembuktian untuk kasus-kasus pidana dan perdata, dan lain-lain.
3. Sistem persanksian, yakni sistem yang menjelaskan macam-macam sanksi yang akan dijatuhkan kepada para pelanggar hukum, beserta syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan lainnya.
Kalau Mas WEB, ingin mendalami lebih lanjut, ada referensi kitab [buku], yang menjelaskan 3 sub-sistem diatas.
Untuk sistem pembuktian, Ada kitab berjudul Ahkam al-Bayyinah, karya 'Allamah Ahmad Daur. Untuk sistem persanksian, ada kitab berjudul Nizham al-'Uqubat karya Dr. 'Abdurrahman al-Maliki. Adapun sistem birokrasi dan struktur [perangkat] peradilan telah dibahas di dalam kitab Nizham al-Hukmi fî al-Islam karya 'Allamah Abdul Qadim Zallum, dalam bab al-Qadha.
[Jika antum membutuhkan-nya, saya Insya Allah bisa mengusahakan mencari e-book-nya untuk antum]
Tetapi berdasarkan Thread sebelah yang antum buat, kayak-nya fokus antum mengenai sistem peradilan dalam Islam, terfokus pada masalah sistem persanksian dalam Islam.
Dalam tulisan di bawah ini sedikit menggambarkan uraian mengenai sistem persanksian dalam Islam.
Sistem Persanksian dalam Islam
Sanksi dibagi menjadi empat: (1) hudud; (2) jinayat; (3) ta'zir; dan (4) mukhalafat. Kadang-kadang, istilah hudud, jinayat, ta'zir dan mukhalafat juga dikonotasikan untuk tindak pelanggarannya sendiri. Dengan demikian, keempat istilah tersebut masing-masing bisa diartikan dalam konteks sanksinya maupun tindak pelanggarannya. Untuk itu, kasus perzinaan dan sanksi zina bisa disebut dengan hudud. Begitu pula untuk istilah lainnya.
1. Hudud
Hudud adalah sanksi atas kemaksiatan yang macam kasus dan sanksinya telah ditetapkan oleh syariah. Dalam kasus hudud tidak diterima adanya pengampunan atau abolisi. Sebab, hudud adalah hak Allah Swt. Jika kasus hudud telah disampaikan di majelis pengadilan, kasus itu tidak bisa dibatalkan karena adanya pengampunan atau kompromi.
Hudud dibagi menjadi enam: (1) zina dan liwath (homoseksual dan lesbian); (2) al-qadzaf (menuduh zina orang lain); (3) minum khamr; (4) pencurian; (5) murtad; (6) hirabah atau bughat.
Pelaku zina yang berstatus perjaka atau perawan (ghayru muhshan) dikenai hukuman cambuk sebanyak 100 kali. Pelaku zina yang berstatus suami atau istri, janda atau duda, dijatuhi sanksi rajam. Sanksi homoseksual dan lesbian adalah hukuman mati. Sanksi bagi pelaku qadzaf adalah cambuk 80 kali. Peminum khamr dijatuhi sanksi cambuk sebanyak 40 kali dan boleh dilebihkan dari jumlah itu. Tindak pencurian dikenai sanksi potong tangan jika telah memenuhi 'syarat-syarat pencurian' yang wajib dikenai potong tangan. Adapun jika pencurian itu belum memenuhi syarat, pencuri tidak boleh dikenai sanksi potong tangan. Misalnya, orang yang mencuri karena kelaparan, mencuri barang-barang milik umum, belum sampai nishab (1/4 dinar), dan lain sebagainya tidak boleh dikenai hukuman potong tangan.
Pelaku murtad dikenai hukuman mati jika tidak mau bertobat dan kembali ke pangkuan Islam dalam tenggat waktu tertentu. Hanya saja, syariah tidak membatasi tenggat waktu yang diberikan kepada si murtad untuk kembali kepada Islam.
Pelaku tindak hirabah (pembegalan) diberi sanksi berdasarkan tindak kejahatan yang ia lakukan. Jika mereka hanya mengambil harta saja, hukumannya adalah dipotong tangan kanan dan kaki kiri. Jika mereka hanya menebar teror dan ketakutan saja, dikenai hukuman pengasingan (deportasi ke tempat yang jauh). Jika mereka melakukan pembunuhan saja, sanksinya hukuman mati. Jika mereka melakukan pembunuhan dan perampokan harta, hukumannya dibunuh dan disalib.
Pelaku bughat (memberontak) diperangi sampai mereka kembali ke pangkuan Islam atau ke pangkuan Khilafah yang sah. Hanya saja, perang melawan pelaku bughat berbeda dengan perang melawan orang kafir. Perang melawan pelaku bughat hanyalah perang yang bersifat edukatif, bukan jihad fi sabilillah. Oleh karena itu, pelaku bughat tidak boleh diserang dengan senjata pemusnah massal atau serbuan nuklir dan roket; kecuali jika mereka menggunakan arsenal seperti ini. Jika mereka melarikan diri dari perang, mereka tidak boleh dikejar dan ditumpas sampai habis. Harta mereka tidak boleh dijadikan sebagai ghanimah.
2. Jinayat
Jinayat adalah penyerangan terhadap manusia. Jinayat dibagi dua: (1) penyerangan terhadap jiwa (pembunuhan); (2) penyerangan terhadap organ tubuh.
Kasus jinayat terhadap jiwa (pembunuhan), sanksinya ada tiga macam: qishash, diyat, atau kafarah. Pembunuhan sendiri diklasifikasi menjadi empat jenis; (1) pembunuhan sengaja; (2) mirip disengaja; (3) tidak sengaja; (4) karena ketidaksengajaan.
Pada kasus pembunuhan sengaja, pihak wali korban boleh memilih antara qishash atau memaafkan dengan mengambil diyat, atau menyedekahkan diyatnya. Jika pelaku pembunuhan mendapatkan pemaafan, ia wajib membayar diyat sebanyak 100 ekor onta dan 40 ekor di antaranya telah bunting.
Sanksi pembunuhan mirip sengaja (syibh al-'amad) adalah diyat 100 ekor unta, dan 40 ekor di antaranya bunting.
Adapun pembunuhan tidak sengaja (khatha') diklasifikasi menjadi dua macam: (1) Seseorang melakukan suatu perbuatan yang tidak ditujukan untuk membunuh seseorang, namun tanpa sengaja ternyata mengakibatkan terbunuhnya seseorang. Misalnya, ada orang memanah burung, namun terkena manusia hingga mati. (2) Seseorang yang membunuh orang yang dikiranya kafir harbi di dar al-kufr, tetapi ternyata orang yang dibunuhnya itu telah masuk Islam. Pada jenis pembunuhan pertama, sanksinya adalah membayar diyat 100 ekor unta dan membayar kafarah dengan cara membebaskan budak. Jika tidak memiliki budak, pelaku harus berpuasa selama 2 bulan berturut-turut. Dalam kasus kedua, sanksinya adalah membayar kafarah saja, dan tidak wajib diyat.
Sanksi untuk pembunuhan karena ketidaksengajaan adalah diyat 100 ekor onta dan membebaskan budak. Jika tidak ada budak, wajib berpuasa selama 2 bulan berturut-turut.
Adapun jinayat terhadap organ tubuh, baik terhadap organ tubuh maupun tulang, sanksinya adalah diyat. Tidak ada qishash untuk penyerangan terhadap organ tubuh maupun tulang secara mutlak, kecuali pada kasus penyerangan terhadap gigi, dan kasus jarh (pelukaan di badan). Hanya saja, kasus penyerangan gigi atau jarh bisa saja dikenai diyat. Lalu kapan pada kasus penyerangan terhadap gigi dikenai qishash dan kapan dikenai diyat saja? Menurut fukaha, jika penyerangannya secara sengaja, dikenai hukuman qishash; sedangkan jika tidak sengaja, dikenai diyat yang besarnya telah ditetapkan di dalam as-Sunnah. Jika orang yang dilukai tidak meminta qishash, pelaku penyerangan hanya wajib membayar diyat. Dalam kasus penyerangan pada kepala (asy-syijaj), sanksinya hanyalah diyat, dan tidak ada qishash.
Kadar diyat atas penyerangan badan dan kepala ada yang telah ditetapkan di dalam as-Sunnah, ada pula yang belum ditetapkan. Jika telah ditetapkan dalam as-Sunnah, diyatnya sesuai dengan apa yang disebut; misalnya pada kasus jaifah dan pelukaan terhadap kelamin anak perempuan yang masih kecil. Adapun kasus penyerangan terhadap badan yang kadar diyat-nya tidak disebutkan oleh as-Sunnah, maka sanksinya adalah hukumah yang adil.
3. Ta'zir
Ta'zir adalah sanksi atas kemaksiatan yang di dalamnya tidak had dan kafarah. Pada dasarnya, sanksi ta'zir ditetapkan berdasarkan pendapat seorang qadhi dengan mempertimbangkan kasus, pelaku, politik, dan sebagainya. Dr. Abdurrahman al-Maliki mengelompokkan kasus ta'zir menjadi tujuh: (1) pelanggaran terhadap kehormatan; (2) penyerangan terhadap nama baik; (3) tindak yang bisa merusak akal; (4) penyerangan terhadap harta milik orang lain; (4) ganggungan terhadap keamanan atau privacy; (5) mengancam keamanan Negara; (6) kasus-kasus yang berkenaan dengan agama; (7) kasus-kasus ta'zir lainnya.
4. Mukhalafat
Dr. Abdurrahman al-Maliki memisahkan kasus mukhalafat dari ta'zir. Pemisahan ini tentunya berbeda dengan sebagian besar fukaha yang memasukkan mukhalafah dalam bab ta'zir. Menurut beliau, fakta mukhalafat berbeda dengan ta'zir. Oleh karena itu, mukhalafat berdiri sendiri dan terpisah dari ta'zir. Menurut beliau, mukhalafat adalah tidak menaati ketetapan yang dikeluarkan oleh Negara, baik yang berwujud larangan maupun perintah.
Sebagai tambahan buat Mas WEB,
FYI, dalam penerapan sanksi diatas kepada pelaku-nya, tidaklah segampang yang dibayangkan, karena ini mencangkup bagaimana ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan pembuktian [ahkam al-bayyinah]: mencakup pembahasan mengenai materi yang absah dan yang tidak absah dijadikan sebagai bukti hukum, syarat-syarat serta mekanisme pembuktian untuk kasus-kasus pidana dan perdata, dan lain-lain.
Sejarah berdirinya Daulah Islamiyyah [lebih kurang 13-14 abad], penerapan sanksi potong tangan hanya dilakukan sebanyak kurang lebih 400 kali [jadi dalam 4 tahun, penerapan potong tangan hanya dilakukan sekali], ini membuktikkan penerapan sanksi itu sangat ketat sekali.
mudahah-mudahan penjelasan diatas berkenan
35
Hukum dan Dunia Politik / Re:"Cabang" Ikhwanul Muslimin di penjuru dunia
« pada: 01 Oktober 2009, 16:31:32 »Wah wah .... itu udah terkenal mas, biografi mah tergantung siapa yang buat .... kalo yang buat orang HT sendiri bisa aja ditutup2in ...afwan baru jawab sekarang,
Syekh Al Qaradhawi dulu pernah debat dengan Taqiyuddin An nabhani setelah beliau keluar dari IM dan mendirikan HT ... Al Qaradhawi nanya ..., kenapa anda keluar? dia menjawab: karena IM telah lebih 23 tahun umurnya, dan belum berhasil mendirikan Khilafah, maka dakwah manapun yang lebih dari 23 tahun tapi belum mampu mendirikan khilafah, maka manhaj dakwahnya keliru ...., lalu Al Qaradhawi membantah Taqiyuddin dnegan pertanyaan retoris: "Bagaimana dengan dakwah Nab Nuh yang 950tahun, beliau hanya dapat semuatan perahunya, apakah manhaj dakwah Nab Nuh itu keliru??"
Taqiyuddin hanya bisa diam ............... (dan HT telah lebih 50tahun umurnya ... keliru donk kalau pake logika pendirinya sendiri ..)
Syaikh Sayyid Quthb juga pernah ditanya tentang keluarnya Taqiyuddin, beliau menjawab: "Biarkan saja dia, paling2 dia akan berhenti di tempat Ikhwan memulai."
maksudnya apa? ... IM udah pada tataran praktis, HT masih seruan dan ajakan ... IM sudah ngurus perda syariat (walau terseok-seok), Ht masih seruan dan stiker, spanduk, dan buletin Al ISlam ....
(Tapi pihak HT mengklaim Sayyid Quthb 'pindah' ke HT .... ha ha ha ....., pindah ke HT?? tapi Aminah Quthb, Hamidah Quhb, Muhammad Quthb, tak pernah tahu itu ...? bahkan di akhir hayat Sayyid Quthb dia mengatakan kepada para petinggi Ikhwan bahwa dia masih setia dengan manhaj Ikhwan dan tidak pernah mengkafirkan seorang muslim pun ...)
Dalu Muhammad Natsir pendiri DDII, tokoh Masyumi pernah berkata kepada pengurus DDII, nasihat ringkas: "Hati-hati dengan HT ......." (itu saja ..., dia mengulanginya beberapa kali)
entah apa maksudnya .... ini saya dengar langsung dari seorang Ustadz murid Muhammad Natsir ( ustadz itu kebetulan tetangga saya, dia pernah jadi ketua DKM masjid Al Furqan DDII - Kramat)
....
gini mas Yudocun, setidaknya antum menunjukkan satu buku atau kitab sebagai referensi, sehingga penjelasan setidak-nya ada sisi ilmiah yg dapat dipertanggung-jawabkan, itu aja.
jika ada mungkin saya bisa mempertimbangkan keterangan2 antum, jika tidak berarti apa yang antum jelaskan, "tidak bisa" dinilai sebagai fakta, nah sebagai perbandingan saya bisa berikan kitab referensi biografi syaih Taqi, adil kan?
gimana, berani menerima tantangan?
36
Hukum dan Dunia Politik / Re:"Cabang" Ikhwanul Muslimin di penjuru dunia
« pada: 26 September 2009, 11:40:25 »ntar mau nangkring dmana lagi bos?Insya Allah sekarang dari segi pemahaman, saya mantap di HT.
37
Hukum dan Dunia Politik / Re:"Cabang" Ikhwanul Muslimin di penjuru dunia
« pada: 26 September 2009, 11:19:41 »@anaksekolah, simpatisan yang sempet ikut liqonya atau simpatisan yang neropong aje?hehehe jadi ingat masa lalu,
saya lamanya di NII, kamhas sekitar5-6 tahun.
lalu sempat jadi simpatisan PKS yang biasa aja,
Lalu setelah "diskusi yg lumayan hangat" dengat saudara sendiri, sekarang jadi darist di HT
38
Hukum dan Dunia Politik / Re:"Cabang" Ikhwanul Muslimin di penjuru dunia
« pada: 26 September 2009, 11:12:56 » @Yudocun
Bisa antum tunjukkan referensi syaikh Taqiyyudin an-Nabhani adalah tokoh IM, hati2 jika antum tidak bisa memberikan keterangan yang jelas, antum bisa jadi fitnah.
Atau antum mau saya berikan referensi kitab biografi syaikh Taqiyyudin an-Nabahani.
Sebenarnya hal ini tidak terlalu bermaslah bagi saya, karena kurang urgent untuk didiskusikan, saya cuma mau meluruskan hal yang sering rancu di forum ini [banyak sekali ikhwah tarbiyah yg mengatakan syaikh taqiyyudin adalah mantan tokoh IM]
Kalau saya melihat-nya dengan sangat sederhana, dari kajian orientasi dakwah HT dengan IM, saya telah mempelajari-nya adalah suatu yang berbeda. [kebetulan saya juga dulu simpatisan PKS, maklum ana seorang petualang harokah]
wassalam
Bisa antum tunjukkan referensi syaikh Taqiyyudin an-Nabhani adalah tokoh IM, hati2 jika antum tidak bisa memberikan keterangan yang jelas, antum bisa jadi fitnah.
Atau antum mau saya berikan referensi kitab biografi syaikh Taqiyyudin an-Nabahani.
Sebenarnya hal ini tidak terlalu bermaslah bagi saya, karena kurang urgent untuk didiskusikan, saya cuma mau meluruskan hal yang sering rancu di forum ini [banyak sekali ikhwah tarbiyah yg mengatakan syaikh taqiyyudin adalah mantan tokoh IM]
Kalau saya melihat-nya dengan sangat sederhana, dari kajian orientasi dakwah HT dengan IM, saya telah mempelajari-nya adalah suatu yang berbeda. [kebetulan saya juga dulu simpatisan PKS, maklum ana seorang petualang harokah]
wassalam
39
Hukum dan Dunia Politik / Re:ambigu syariat (konteks bermasyarakat) itu sendiri
« pada: 25 September 2009, 17:20:10 »Melihat aksi teror oleh segelintir umat yg mengaku "meuju ljn yg baik" bbrapa tahun terakhir ini membuat kami lambat laun (kami pun muslim jg) menjadi reject,anti, ngak respect lg dengan yg hal2 yag beraroma,dan beratribut,berlabelkan islam yang sangat fundamental (hanya dlm konteks kehidupan bermasyarakat), mula nya kita jg salud and apa yaa, "this is the best alternatif", tapi setelah melihat dan menyaksikan hal2 teroris berjubah agama, timbul pertanyaan"apa emang gini ya". dan justru meneguhkan kami kembali , bahwa Pancasila segaia ideologi bangsa ini adalah FINAL..nothing else..Pertama, jangan di-generalisir, bahwa Islam mengajarkan kekerasan. namun memang kita tidak bisa menyangkal bagaimana "bandul" peristiwa bom ini, dimainkan oleh pihak2 tertentu untuk menyudutkan Islam, bisa kita lihat bagaimana peranan media yang sangat tidak berimbang memberitakan maupun mewacanakan peristiwa ini.
ataw kah emang kami dah trmakan grand skenario penciptaan paradigma oleh pihak2 sengaja menginginkan perpecahan umat, allahuallam..just our opinion only,..
Kedua, sebagai muslim kita harus memahami dengan cerdas, apa yang sedang terjadi. hal pertama harus dipahami sebenarnya apa yang sedang diperjuangkan oleh orang tsb, tidak pernah jelas, maupun dengan sangat jelas bahwa apa yang mereka lakukan bertentangan dengan syariat Islam. hal kedua adalah siapa mereka adalah hal yang patut dipertanyakan!
Ketiga, Pancasila bukanlah sebuah Ideologi, suatu saat Pancasila diarahkan ke ideologi Sosialisme [Orde Lama], dan kemudian saat lain lagi diarahkan ke Ideologi Kapitalisme, jadi itu tergantung kepada penguasa yang berkuasa. Insya Allah suatu saat nanti Indonesia dapat menerapkan Mabda Islam [Ideologi Islam] seutuhnya.
"Wahai orang-orang yang beriman masuklah kamu kepada Islam secara menyeluruh. Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagi kamu." (Qs al-Baqarah [2]: 208).
40
Hukum dan Dunia Politik / Re:Fatwa Kontroversial Qardhawi: Perempuan Boleh Jadi Presiden dan Mufti
« pada: 16 September 2009, 15:53:13 » [justify]mau menyubang refernsi kajian dalam thread ini. [kitab an-nizhâm al-ijtimâ‘î ]
Wanita tidak boleh menduduki jabatan
pemerintahan. Maka ia tidak boleh menjadi kepala negara (Khalifah),
mu‘âwin (pembantu) Khalifah, Wali (gubernur), ‘âmil (setara walikota/
bupati), atau jabatan apa saja yang termasuk pemerintahan
(kekuasaan). Hal itu didasarkan kepada apa yang telah diriwayatkan
dari Abû Bakrah, ia menuturkan: “ketika sampai berita kepada
Rasulullah SAW bahwa penduduk Persia telah mengangkat putri Kisra
sebagai ratu mereka, beliau lalu bersabda:
“Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan
urusan mereka kepada seorang wanita.” (HR al-Bukhârî)
Hadits ini secara gamblang melarang wanita untuk memegang
urusan pemerintahan yaitu ketika mencela orang-orang yang
menyerahkan urusan mereka kepada wanita. Waliyul-Amri (pemegang
Aktivitas Kaum Wanita
urusan pemerintahan) tidak lain adalah penguasa (pemerintah). Allah
SWT berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (TQS an-Nisâ’ [4]: 59)
Jadi, kekuasaan pemerintahan tidak boleh diserahkan kepada
kaum wanita. Selain urusan (kekuasaan) pemerintahan, wanita boleh
memegang (menjabat)-nya. Atas dasar ini, wanita boleh diangkat
sebagai pegawai negara, karena pekerjaan semacam itu tidak termasuk
urusan pemerintahan, melainkan termasuk kontrak kerja (ijârah).
Pegawai pada hakikatnya adalah pekerja khusus yang bekerja kepada
pemerintah. Statusnya sama seperti pekerja yang bekerja kepada
seseorang atau suatu perusahaan. Wanita juga boleh menangani urusan
peradilan (menjabat sebagai qâdhî atau hakim), karena seorang qâdhî
bukanlah pemerintah (penguasa). Ia hanyalah orang yang memutuskan
persengketaan di antara anggota masyarakat dan memberitahukan
hukum syara’ yang bersifat mengikat kepada pihak-pihak yang
bersengketa. Dengan demikian, seorang qâdhî (hakim) adalah pegawai,
bukan penguasa. Ia adalah pegawai negara sebagaimana pegawai
negara lainnya.
Telah diriwayatkan dari ‘Umar ibn al-Khaththâb bahwa ia pernah
mengangkat asy-Syifâ’–seorang wanita dari kaumnya– untuk menangani
persengketaan di pasar yakni menjabat sebagai qâdhî hisbah yang
memutuskan semua mukhâlafât yang terjadi. Terlebih bahwa masalah
keberadaan wanita boleh menjabat sebagai qâdhî (hakim) itu berkaitan
dengan nash hadis dan implementasinya terhadap fakta tugas seorang
qâdhî. Jika hadits larangan wanita memegang suatu urusan di atas bisa
diimplementasikan terhadap masalah peradilan, maka wanita tidak boleh
memegang urusan peradilan. Jika hadits tersebut tidak bisa
diimplementasikan terhadap masalah peradilan, maka hadits tersebut tidak
layak menjadi dalil untuk melarang wanita memegang urusan peradilan.
Sistem Pergaulan Dalam Islam
Dengan mengkaji hadits di atas, kita akan menemukan bahwa,
Rasulullah SAW mencela kaum yang menyerahkan urusan mereka
kepada seorang wanita itu, merupakan jawaban terhadap informasi
yang sampai kepada beliau, yaitu bahwa bangsa Persia telah
mengangkat seorang wanita menjadi ratu mereka. Hadits tersebut
merupakan komentar atas suatu berita sekaligus merupakan jawaban
atas suatu pertanyaan. Maka, hadits tersebut bersifat khusus dalam
topik berita yang ada, dan tidak terkait dengan persoalan lainnya. Topik
berita tersebut adalah tentang jabatan raja yakni kepala negara dan
makna yang dikandungnya, yakni pemerintahan. Di sisi lain, larangan
dalam hadits tersebut ditujukan kepada wi lâyah al-‘âmmah
(pengendalian urusan masyarakat) dikarenakan ia adalah wilâyah al-
amri. Inilah makna dari hadits tersebut dan penger tian yang
ditunjukkannya.
Sementara itu, masalah peradilan, itu merupakan aktivitas
yang berbeda dengan aktivitas Khalifah atau wali. Tugas (aktivitas)
Khalifah atau wali adalah menerapkan hukum secara langsung oleh
mereka sendiri, baik terdapat perkara atau putusan qâdhî yang
diajukan kepadanya, atau pun tidak ada satu pun perkara yang
diadukan kepadanya. Akan tetapi ia melihat suatu pelanggaran
terhadap syariah, lalu Khalifah atau Wali itu dapat menghakimi
seseorang yang melanggar syariah itu, tanpa perlu ada orang yang
mengadukan (menuntut)-nya, sekaligus menerapkan (keputusan)
hukum terhadap orang yang melanggar tersebut. Dengan demikian,
seorang Khalifah atau wali pada dasarnya adalah pelaksana hukum
(munaffidz al-hukm).[/justify]
Wanita tidak boleh menduduki jabatan
pemerintahan. Maka ia tidak boleh menjadi kepala negara (Khalifah),
mu‘âwin (pembantu) Khalifah, Wali (gubernur), ‘âmil (setara walikota/
bupati), atau jabatan apa saja yang termasuk pemerintahan
(kekuasaan). Hal itu didasarkan kepada apa yang telah diriwayatkan
dari Abû Bakrah, ia menuturkan: “ketika sampai berita kepada
Rasulullah SAW bahwa penduduk Persia telah mengangkat putri Kisra
sebagai ratu mereka, beliau lalu bersabda:
“Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan
urusan mereka kepada seorang wanita.” (HR al-Bukhârî)
Hadits ini secara gamblang melarang wanita untuk memegang
urusan pemerintahan yaitu ketika mencela orang-orang yang
menyerahkan urusan mereka kepada wanita. Waliyul-Amri (pemegang
Aktivitas Kaum Wanita
urusan pemerintahan) tidak lain adalah penguasa (pemerintah). Allah
SWT berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (TQS an-Nisâ’ [4]: 59)
Jadi, kekuasaan pemerintahan tidak boleh diserahkan kepada
kaum wanita. Selain urusan (kekuasaan) pemerintahan, wanita boleh
memegang (menjabat)-nya. Atas dasar ini, wanita boleh diangkat
sebagai pegawai negara, karena pekerjaan semacam itu tidak termasuk
urusan pemerintahan, melainkan termasuk kontrak kerja (ijârah).
Pegawai pada hakikatnya adalah pekerja khusus yang bekerja kepada
pemerintah. Statusnya sama seperti pekerja yang bekerja kepada
seseorang atau suatu perusahaan. Wanita juga boleh menangani urusan
peradilan (menjabat sebagai qâdhî atau hakim), karena seorang qâdhî
bukanlah pemerintah (penguasa). Ia hanyalah orang yang memutuskan
persengketaan di antara anggota masyarakat dan memberitahukan
hukum syara’ yang bersifat mengikat kepada pihak-pihak yang
bersengketa. Dengan demikian, seorang qâdhî (hakim) adalah pegawai,
bukan penguasa. Ia adalah pegawai negara sebagaimana pegawai
negara lainnya.
Telah diriwayatkan dari ‘Umar ibn al-Khaththâb bahwa ia pernah
mengangkat asy-Syifâ’–seorang wanita dari kaumnya– untuk menangani
persengketaan di pasar yakni menjabat sebagai qâdhî hisbah yang
memutuskan semua mukhâlafât yang terjadi. Terlebih bahwa masalah
keberadaan wanita boleh menjabat sebagai qâdhî (hakim) itu berkaitan
dengan nash hadis dan implementasinya terhadap fakta tugas seorang
qâdhî. Jika hadits larangan wanita memegang suatu urusan di atas bisa
diimplementasikan terhadap masalah peradilan, maka wanita tidak boleh
memegang urusan peradilan. Jika hadits tersebut tidak bisa
diimplementasikan terhadap masalah peradilan, maka hadits tersebut tidak
layak menjadi dalil untuk melarang wanita memegang urusan peradilan.
Sistem Pergaulan Dalam Islam
Dengan mengkaji hadits di atas, kita akan menemukan bahwa,
Rasulullah SAW mencela kaum yang menyerahkan urusan mereka
kepada seorang wanita itu, merupakan jawaban terhadap informasi
yang sampai kepada beliau, yaitu bahwa bangsa Persia telah
mengangkat seorang wanita menjadi ratu mereka. Hadits tersebut
merupakan komentar atas suatu berita sekaligus merupakan jawaban
atas suatu pertanyaan. Maka, hadits tersebut bersifat khusus dalam
topik berita yang ada, dan tidak terkait dengan persoalan lainnya. Topik
berita tersebut adalah tentang jabatan raja yakni kepala negara dan
makna yang dikandungnya, yakni pemerintahan. Di sisi lain, larangan
dalam hadits tersebut ditujukan kepada wi lâyah al-‘âmmah
(pengendalian urusan masyarakat) dikarenakan ia adalah wilâyah al-
amri. Inilah makna dari hadits tersebut dan penger tian yang
ditunjukkannya.
Sementara itu, masalah peradilan, itu merupakan aktivitas
yang berbeda dengan aktivitas Khalifah atau wali. Tugas (aktivitas)
Khalifah atau wali adalah menerapkan hukum secara langsung oleh
mereka sendiri, baik terdapat perkara atau putusan qâdhî yang
diajukan kepadanya, atau pun tidak ada satu pun perkara yang
diadukan kepadanya. Akan tetapi ia melihat suatu pelanggaran
terhadap syariah, lalu Khalifah atau Wali itu dapat menghakimi
seseorang yang melanggar syariah itu, tanpa perlu ada orang yang
mengadukan (menuntut)-nya, sekaligus menerapkan (keputusan)
hukum terhadap orang yang melanggar tersebut. Dengan demikian,
seorang Khalifah atau wali pada dasarnya adalah pelaksana hukum
(munaffidz al-hukm).[/justify]
41
Hukum dan Dunia Politik / Re:Setuju ngga PT PLN di privatisasi?.. biar untung kayak PT Telkom!..
« pada: 10 September 2009, 23:14:16 » Mensahkan RUU Ketenagalistrikan adalah Kemunkaran
HTI Press. Hari ini (8/9), DPR dan pemerintah mencoba mengotori Bulan Suci Ramadhan yang penuh barakah ini. Menjelang berakhirnya masa jabatan di periode 2004-2009 ini mereka mencoba meloloskan sebuah Rancangan Undang-Undang Ketenagalistrikan (RUUK). RUU yang akan disahkan ini merupakan ‘hantu’ atau jelmaan dari UU Nomer 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan yang telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 15 Desember 2004.
“Untuk technical assistance pembuatan UU No. 20 yang syarat dengan kepentingan asing tersebut memakan biaya 20 juta dollar Amerika!” pekik Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Badan Usaha Milik Negara Strategis ( FSP BUMN Strategis) Ahmad Daryoko di depan ribuan massa FSP BUMN Strategis dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Selasa (8/9) di depan Gedung DPR/MPR RI, Senayan, Jakarta.
“Begitu UU pesanan asing tersebut dibatalkan, direktur PLN dipanggil, dicaci maki, dihabisi, namun sebenarnya DPR itu senang karena akan ada proyek baru lagi,” beber Daryoko “Nah, proyek barunya ya sekarang ini,” ujarnya sambil menunjuk ke gedung DPR yang dipagar tinggi dan dikunci rapat-rapat.
Tidak sampai sebulan, karena Oktober nanti mereka tidak lagi duduk menjadi anggota DPR sehingga mereka harus kejar setoran. “Ambil pundit-pundinya, sahkan UU-nya, kemudian go out! Apa yang terjadi urusan lo semua” begitulah Daryoko menggambarkan mental wakil rakyat yang tidak bertanggung jawab yang sedang Sidang Pleno itu.
Daryoko pun menceritakan betapa arogannya wakil rakyat tersebut. Ia pernah dipanggil oleh salah satu fraksi, kemudian ia mengatakan, “Bapak-bapak ini percuma mengesahkan UUK ini karena akan kami hadang lagi di MK”. Kemudian salah satu anggota DPR itu menjawab, “Kalau MK mau membatalkan lagi, maka sebelum MK membatalkan, MK akan kami bubarkan”. Daryoko pun balik menantang, kalau MK dibubarkan akan terjadi revolusi.
“Pengesahan RUUK dikebut karena ada pundi-pundi, tetapi UU Tindak Pidana Korupsi mana mau digarap? Tidak ada karena mereka juga tersangkut! Kalau begitu, bubarkan saja DPR, setuju?” tandasnya dan disambut pekikan setuju dari massa yang berdatangan dari berbagai perwakilan cabang FSP BUMN di berbagai daerah di Indonesia.
Dalam kesempatan itu, Jubir HTI Ismail Yusanto menyatakan keluarga besar HTI mendukung penuh perjuangan keluarga besar FSP BUMN Strategis untuk menggagalkan diberlakukannya RUUK menjadi UUK. Ismail pun mengingatkan kepada semuanya hendaknya perjuangan ini diniatkan sebagai bentuk dari amar makruf nahi munkar.
Sehingga Allah SWT, insya Allah, akan melipatgandakan hingga 70 kali lipat aktivitas amar makruf nahi mungkar di bulan-bulan yang lain. “Pengesahan RUUK adalah sebuah kemunkaran! Karena itu harus kita tolak!” pekik Ismail yang disambut pekikan Allahu Akbar dan tolak, tolak, tolak oleh massa yang tetap bersemangat meski matahari terik menyengat.
Ismail pun menjelaskan letak kemunkaran RUUK tersebut, diantaranya terletak pada kata “dapat” di Pasal 10 dan Pasal 11. Dari kata tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa RUUK ini memuat gagasan unbundling dan privatisasi yang pasti akan menghancurkan PLN serta merugikan rakyat dan negara.
HTI pun mengingatkan, tegas Ismail, kasus PLN ini merupakan salah satu contoh tentang penjajahan global bekerja dan bagaimana setiap langkahnya ditopang oleh para anteknya yang tiada lain adalah orang Indonesia juga yang duduk di DPR dan pemerintahan. Mereka akan terus bekerja hingga seluruh kekayaan negeri ini mereka kuasai. “Dengan kesadaran ini, mestinya kita secara konsisten menolak segala bentuk liberalisme, kapitalisme, dan sekularisme” ujarnya.
Di sinilah relevansi yang sangat nyata dari seruan Selamatkan Indonesia dengan Syariah karena justru syrariahlah satu-satunya yang mampu mengatur negeri ini dengan baik dan benar. Dalam pandangan syariah, energi baik berupa listrik, gas, batubara dan lainnya, merupakan milik rakyat.
Hanya negaralah yang berhak mengelola sumber daya energi yang dilakukan untuk kesejahteraan rakyat. “Menyerahkan kepada swasta apalagi swasta asing, termasuk unbundling dan privatisasi PLN, jelas bertentangan dengan syariah. Karenanya harus ditolak. “Dengan demikian, harus dinyatakan, bahwa syariahlah yang terbukti bisa membebaskan negeri ini dari penjajahan global” pungkas Ismail. [] joko prasetyo
sumber: http://hizbut-tahrir.or.id/2009/09/09/mensahkan-ruu-ketenagalistrikan-adalah-kemunkaran/
HTI Press. Hari ini (8/9), DPR dan pemerintah mencoba mengotori Bulan Suci Ramadhan yang penuh barakah ini. Menjelang berakhirnya masa jabatan di periode 2004-2009 ini mereka mencoba meloloskan sebuah Rancangan Undang-Undang Ketenagalistrikan (RUUK). RUU yang akan disahkan ini merupakan ‘hantu’ atau jelmaan dari UU Nomer 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan yang telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 15 Desember 2004.
“Untuk technical assistance pembuatan UU No. 20 yang syarat dengan kepentingan asing tersebut memakan biaya 20 juta dollar Amerika!” pekik Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Badan Usaha Milik Negara Strategis ( FSP BUMN Strategis) Ahmad Daryoko di depan ribuan massa FSP BUMN Strategis dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Selasa (8/9) di depan Gedung DPR/MPR RI, Senayan, Jakarta.
“Begitu UU pesanan asing tersebut dibatalkan, direktur PLN dipanggil, dicaci maki, dihabisi, namun sebenarnya DPR itu senang karena akan ada proyek baru lagi,” beber Daryoko “Nah, proyek barunya ya sekarang ini,” ujarnya sambil menunjuk ke gedung DPR yang dipagar tinggi dan dikunci rapat-rapat.
Tidak sampai sebulan, karena Oktober nanti mereka tidak lagi duduk menjadi anggota DPR sehingga mereka harus kejar setoran. “Ambil pundit-pundinya, sahkan UU-nya, kemudian go out! Apa yang terjadi urusan lo semua” begitulah Daryoko menggambarkan mental wakil rakyat yang tidak bertanggung jawab yang sedang Sidang Pleno itu.
Daryoko pun menceritakan betapa arogannya wakil rakyat tersebut. Ia pernah dipanggil oleh salah satu fraksi, kemudian ia mengatakan, “Bapak-bapak ini percuma mengesahkan UUK ini karena akan kami hadang lagi di MK”. Kemudian salah satu anggota DPR itu menjawab, “Kalau MK mau membatalkan lagi, maka sebelum MK membatalkan, MK akan kami bubarkan”. Daryoko pun balik menantang, kalau MK dibubarkan akan terjadi revolusi.
“Pengesahan RUUK dikebut karena ada pundi-pundi, tetapi UU Tindak Pidana Korupsi mana mau digarap? Tidak ada karena mereka juga tersangkut! Kalau begitu, bubarkan saja DPR, setuju?” tandasnya dan disambut pekikan setuju dari massa yang berdatangan dari berbagai perwakilan cabang FSP BUMN di berbagai daerah di Indonesia.
Dalam kesempatan itu, Jubir HTI Ismail Yusanto menyatakan keluarga besar HTI mendukung penuh perjuangan keluarga besar FSP BUMN Strategis untuk menggagalkan diberlakukannya RUUK menjadi UUK. Ismail pun mengingatkan kepada semuanya hendaknya perjuangan ini diniatkan sebagai bentuk dari amar makruf nahi munkar.
Sehingga Allah SWT, insya Allah, akan melipatgandakan hingga 70 kali lipat aktivitas amar makruf nahi mungkar di bulan-bulan yang lain. “Pengesahan RUUK adalah sebuah kemunkaran! Karena itu harus kita tolak!” pekik Ismail yang disambut pekikan Allahu Akbar dan tolak, tolak, tolak oleh massa yang tetap bersemangat meski matahari terik menyengat.
Ismail pun menjelaskan letak kemunkaran RUUK tersebut, diantaranya terletak pada kata “dapat” di Pasal 10 dan Pasal 11. Dari kata tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa RUUK ini memuat gagasan unbundling dan privatisasi yang pasti akan menghancurkan PLN serta merugikan rakyat dan negara.
HTI pun mengingatkan, tegas Ismail, kasus PLN ini merupakan salah satu contoh tentang penjajahan global bekerja dan bagaimana setiap langkahnya ditopang oleh para anteknya yang tiada lain adalah orang Indonesia juga yang duduk di DPR dan pemerintahan. Mereka akan terus bekerja hingga seluruh kekayaan negeri ini mereka kuasai. “Dengan kesadaran ini, mestinya kita secara konsisten menolak segala bentuk liberalisme, kapitalisme, dan sekularisme” ujarnya.
Di sinilah relevansi yang sangat nyata dari seruan Selamatkan Indonesia dengan Syariah karena justru syrariahlah satu-satunya yang mampu mengatur negeri ini dengan baik dan benar. Dalam pandangan syariah, energi baik berupa listrik, gas, batubara dan lainnya, merupakan milik rakyat.
Hanya negaralah yang berhak mengelola sumber daya energi yang dilakukan untuk kesejahteraan rakyat. “Menyerahkan kepada swasta apalagi swasta asing, termasuk unbundling dan privatisasi PLN, jelas bertentangan dengan syariah. Karenanya harus ditolak. “Dengan demikian, harus dinyatakan, bahwa syariahlah yang terbukti bisa membebaskan negeri ini dari penjajahan global” pungkas Ismail. [] joko prasetyo
sumber: http://hizbut-tahrir.or.id/2009/09/09/mensahkan-ruu-ketenagalistrikan-adalah-kemunkaran/
42
Hukum dan Dunia Politik / Re:Setuju ngga PT PLN di privatisasi?.. biar untung kayak PT Telkom!..
« pada: 08 September 2009, 20:55:14 » Aksi Damai Tolak RUU Ketenagalistrikan
HTI Press- Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Serikat Pekerja Perusahaan Listrik Negara (SP PLN) pada hari Selasa (8/9) mengadakan aksi damai “Tolak RUU Ketenagalistrikan”. Aksi ini dilakukan di depan gedung MPR/DPR RI sejak pukul 09.00 WIB hingga pukul 11.00 WIB. Ratusan masa dari HTI dan SP PLN memadati depan gedung MPR/DPR RI. (kafi)
peserta aksi sedang mendengarkan orasi
sumber: http://hizbut-tahrir.or.id/2009/09/08/foto-aksi-damai-tolak-ruu-ketenagalistrikan/
Posting Digabung: [time]Tue Sep 8 21:05:26 2009[/time]
Pernyataan HTI: “Tolak RUU Ketenagalistrikan”
Nomer: 168/PU/E/09/09
Jakarta, 08 September 2009
Melalui Sidang Pleno pada 8 September 2009 ini, DPR RI rencananya akan segera mengesahkan RUU Ketenagalistrikan 2009 (RUUK) yang diajukan oleh Pemerintah setelah UU Nomer 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 15 Desember 2004 melalui putusan MK Nomer 001-021-022/PUU-UU/2003. Dengan keputusan itu, UU yang mengatur ketenagalistrikan adalah kembali kepada UU lama sebelum UU 20/2002, yaitu UU Nomer 15 tahun 1985.
Meski telah mengalami perbaikan dari UU 20/2002 yang dibatalkan oleh MK, tapi RUU Kelistrikan yang baru ini secara substansial masih tetap mengandung hal-hal penting yang membuat UU 20/2002 itu ditolak. Diantaranya:
1- Pasal 10:
(1) Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a meliputi jenis usaha:
a. pembangkitan tenaga listrik;
b. transmisi tenaga listrik;
c. distribusi tenaga listrik; dan/atau
d. penjualan tenaga listrik
(2) Usaha penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara terintegrasi.
Kata dapat berarti tidak wajib, dan ini berarti peluang unbundling PLN secara vertikal yang selama ini ditolak keras oleh MK, SP PLN dan berbagai elemen masyarakat karena pasti akan merugikan rakyat dan negara masih terbuka untuk dilakukan di masa mendatang.
2- Pasal 11:
(1) Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dapat dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Perusahaan Daerah, koperasi, swasta atau swadaya masyarakat.
Kata dapat berarti menunjukkan bahwa secara legal antara BUMN, BUMD, Koperasi dan BUMS (lokal dan asing) kedudukannya adalah sama. Padahal semestinya berbeda mengingat penyediaan listrik adalah kewajiban negara sebagai bagian dari PSO (Public Service Obligation) dimana pelaksanaannya dilakukan oleh BUMN Kelistrikan. Dengan ketentuan pasal ini, dimungkinkan BUMS masuk. Dengan kata lain, pasal ini secara telak telah membuka keran privatisasi, khususnya pada BUMS Asing karena kenyataannya hanya swasta asing yang bermodal besar yang mampu masuk sektor kelistrikan. Bila ini terjadi, maka listrik benar-benar telah menjadi komoditas yang semata-mata diproduksi dan didistribusikan untuk kepentingan komersial sedemikian sehingga PSO yang menjadi tugas negara semakin diabaikan.
3- Pasal 13:
(1) Usaha penyediaan tenaga listrik secara terintegrasi, usaha distribusi tenaga listrik atau usaha penjualan tenaga listrik dibatasi dalam suatu wilayah usaha.
(2) Wilayah usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan Menteri berdasarkan kebutuhan pengembangan sistem ketenagalistrikan dan pelayanan kepada masyarakat.
Pasal ini adalah pasal utama untuk dilakukannya unbundling secara horizontal yang akan makin melemahkan keintegrasian pengelolaan listrik yang selama ini berjalan
Dari fakta-fakta di atas, Hizbut Tahrir Indonesia menilai:
1. Dengan adanya pasal-pasal yang memuat gagasan unbundling, baik secara vertikal maupun horisontal, serta privatisasi yang selama ini dengan tegas ditolak oleh MK, SP PLN dan berbagai elemen masyarakat, tampak jelas bahwa RUU Kelistrikan yang akan disahkan ini sangat berbau liberal yang alih-alih bakal menyelesaikan problem kelistrikan di Indonesia, justru sebaliknya RUU ini akan memunculkan problem yang lebih parah karena akan sangat merugikan rakyat dan negara. Bila unbundling dilakukan akan menyebabkan kenaikan harga listrik hingga 50% akibat adanya beban biaya (pajak, biaya operasional dan sebagainya) dari 3 entitas kelistrikan yang berbeda, yaitu pembangkitan, transmisi dan distribusi, yang sebelumnya ketiganya itu menjadi satu di bawah PLN. Ini jelas akan merugikan konsumen. Bila akhirnya privatisasi juga benar-benar dilakukan, pihak swasta akan sangat dominan dalam penyediaan listrik yang ujungnya harga listrik akan didikte oleh kartel perusahaan listrik swasta. Ini akan semakin membawa pengelolaan kelistrikan di negeri ini jauh dari fungsi kewajiban layanan publik (public service obligation) yang mestinya harus dilakukan oleh negara untuk kesejahteraan rakyatnya. Dominannya kartel perusahaan listrik swasta dengan segala dampak negatifnya telah dialami oleh Kamerun. Pada saat beban puncak (antara jam 5 sore sampai dengan jam 10 malam) kartel perusahaan swasta itu akan memaksakan kenaikan harga hingga 15 sampai 20 kali lipat. Kenyataan ini disampaikan oleh Dr. David Hall dari Public Services International Research Unit, London di depan sidang Mahkamah Konstitusi (MK) saat membahas UU Nomer 20 tahun 2002 yang akhirnya dibatalkan oleh MK.
2. Sementara itu unbundling atau pemecahan horizontal akan mengancam keberlangsungan penyediaan listrik di luar Jawa mengingat selama ini biaya operasional listrik Luar Jawa, dengan semangat kesatuan, disubsidi oleh penghasilan listrik di Jawa yang mencapai 80% dari total penghasilan PLN. Bila dipecah, subsidi silang semacam ini tentu tidak bisa lagi dilakukan. Ujungnya, harga listrik luar Jawa akan naik berkali lipat. Penilaian semacam ini secara tegas disebutkan dalam konsideran Mahkamah Konstitusi untuk menolak unbundling horizontal. Disebut pula, bila unbundling itu dilakukan Pemda di luar Jawa secara umum akan mengalami defisit antara Rp 300 milyar hingga Rp 1,5 triliun per tahun.
Dari uraian singkat di atas, jelas sekali besarnya bahaya yang akan timbul bila RUU Kelistrikan tersebut benar-benar disahkan oleh DPR. Bila RUU itu disahkan, pertanyaannya mengapa keputusan yang akan menghancurkan PLN dan akan sangat merugikan rakyat itu justru dibuat oleh DPR yang notabene adalah wakil rakyat? Jadi, untuk siapa sebenarnya DPR ini bekerja?
PLN sekarang ini sesungguhnya terbentuk dari nasionalisasi terhadap sejumlah perusahaan listrik asing sepeti OGEM, ANIEM, GEBEO dan lain-lain yang saat itu dalam kondisi unbundling (terpecah-pecah) kemudian disatukan (bundling) ke dalam perusahaan listrik dan gas negara (PLGN). Bundling (penyatuan) sejumlah perusahaan listrik swasta waktu itu dilakukan agar penyediaan listrik bisa lebih efisien dan mencegah agar listrik tidak hanya dinikmati oleh orang kaya saja. Maka aneh sekali bila setelah sekian lama PLN, yang dalam kondisi bundling, mampu menjalankan fungsinya sebagai perusahaan yang menyediakan listrik untuk rakyat sebagai bagian dari public service obligation (PSO), tiba-tiba sekarang mau dipecah-pecah lagi yang justru bakal merugikan rakyat dan negara?
Setelah ditelusuri, ternyata rencana unbundling ini merupakan bagian dari kesepakatan pemerintah Indonesia dengan IMF sebagaimana tersebut pada poin 20 dalam Letter of Intent (LOI) dan ditandangani oleh Presiden Soeharto pada bulan Januari 1998. Poin ini kemudian ditegaskan lagi dalam Buku Putih Departemen Pertambangan dan Energi yang dibuat pada bulan Agustus 1998. Dalam buku putih itu, disebutkan bahwa liberalisasi sektor ketenagalistrikan dilakukan melalui tahapan unbundling, profitisasi dan privatisasi. Sehingga dapat dipastikan bahwa undbundling yang akan dimungkin melalui RUU Kelistrikan yang akan disahkan ini suatu saat akan sampai pada tahap divestasi/penjualan aset negara karena memang itulah yang diminta negara donor terkait dengan pengembalian utang negara.
Maka, pertanyaannya adalah untuk apa DPR dan pemerintah melakukan unbundling terhadap PLN bila itu terbukti bakal merugikan rakyat dan negara? Nyatalah bahwa keputusan itu tidak lain dibuat sepenuhnya, kecuali mengabdi kepada kepentingan negara penjajah yang saat ini tengah menyebarkan virus liberalisme di segala bidang, terutama di bidang ekonomi, lebih khusus lagi dalam bidang pengelolaan SDE (sumber daya energi) demi kepentingan perusahaan energi asing untuk menguasai sektor kelistrikan. Pandangan Kapitalis menyatakan pemerintah memang hanya menjadi regulator dari pasar bebas sebagaimana dianjurkan oleh Adam Smith. Jika kelistrikan dipaksakan mengikuti pasar bebas, maka akan kembali ke zaman Aniem, Ogem dan Gebeo dimana hanya orang mampu saja yang akan bisa menikmati listrik. Sementara rakyat banyak akan kembali ke jaman penjajahan.
Karena itu, Hizbut Tahrir Indonesia dengan tegas menyatakan:
1. Menolak pengesahan RUU Kelistrikan. Karena, RUU tersebut jelas-jelas memuat gagasan unbundling dan privatisasi yang pasti akan menghancurkan PLN dan akhirnya akan merugikan rakyat dan negara. HTI mengingatkan, kasus PLN hanyalah satu contoh tentang bagaimana penjajahan global bekerja dan bagaimana dalam setiap langkah-langkahnya selalu ditopang oleh para komprador yang tidak lain adalah orang Indonesia juga. Penjajahan global akan terus bekerja hingga seluruh kekayaan negeri ini dikuasai. Dengan kesadaran itu, mestinya kita secara konsisten menolak segala bentuk Liberalisme, Kapitalisme dan Sekularisme.
2. Di sinilah relevansi yang sangat nyata dari seruan Selamatkan Indonesia dengan Syariah karena justru syariah lah satu-satunya yang mampu mengatur negeri ini dengan baik dan benar. Dalam pandangan syariah, energi (listrik, gas, batubara dan lainnya) merupakan milik rakyat. Hanya negaralah yang berhak mengelola sumber daya energi yang dilakukan untuk kesejahteraan rakyat. Menyerahkan kepada swasta apalagi swasta asing, termasuk rencana unbundling dan privatisasi PLN, jelas bertentangan dengan syariah. Karenanya harus ditolak. Dengan demikian, harus dinyatakan, bahwa syariahlah yang terbukti bisa membebaskan negeri ini dari penjajahan global.
Wassalam,
Jurubicara Hizbut Tahrir Indonesia
Muhammad Ismail Yusanto
Hp: 0811119796 Email: Ismaily@telkom.net
sumber: http://hizbut-tahrir.or.id/2009/09/08/pernyataan-hti-tolak-ruu-ketenagalistrikan/
HTI Press- Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Serikat Pekerja Perusahaan Listrik Negara (SP PLN) pada hari Selasa (8/9) mengadakan aksi damai “Tolak RUU Ketenagalistrikan”. Aksi ini dilakukan di depan gedung MPR/DPR RI sejak pukul 09.00 WIB hingga pukul 11.00 WIB. Ratusan masa dari HTI dan SP PLN memadati depan gedung MPR/DPR RI. (kafi)
peserta aksi sedang mendengarkan orasi
sumber: http://hizbut-tahrir.or.id/2009/09/08/foto-aksi-damai-tolak-ruu-ketenagalistrikan/
Posting Digabung: [time]Tue Sep 8 21:05:26 2009[/time]
Pernyataan HTI: “Tolak RUU Ketenagalistrikan”
KANTOR JURUBICARA
HIZBUT TAHRIR INDONESIA
HIZBUT TAHRIR INDONESIA
Nomer: 168/PU/E/09/09
Jakarta, 08 September 2009
PERNYATAAN HIZBUT TAHRIR INDONESIA
”TOLAK RUU KETENAGALISTRIKAN”
”TOLAK RUU KETENAGALISTRIKAN”
Melalui Sidang Pleno pada 8 September 2009 ini, DPR RI rencananya akan segera mengesahkan RUU Ketenagalistrikan 2009 (RUUK) yang diajukan oleh Pemerintah setelah UU Nomer 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 15 Desember 2004 melalui putusan MK Nomer 001-021-022/PUU-UU/2003. Dengan keputusan itu, UU yang mengatur ketenagalistrikan adalah kembali kepada UU lama sebelum UU 20/2002, yaitu UU Nomer 15 tahun 1985.
Meski telah mengalami perbaikan dari UU 20/2002 yang dibatalkan oleh MK, tapi RUU Kelistrikan yang baru ini secara substansial masih tetap mengandung hal-hal penting yang membuat UU 20/2002 itu ditolak. Diantaranya:
1- Pasal 10:
(1) Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a meliputi jenis usaha:
a. pembangkitan tenaga listrik;
b. transmisi tenaga listrik;
c. distribusi tenaga listrik; dan/atau
d. penjualan tenaga listrik
(2) Usaha penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara terintegrasi.
Kata dapat berarti tidak wajib, dan ini berarti peluang unbundling PLN secara vertikal yang selama ini ditolak keras oleh MK, SP PLN dan berbagai elemen masyarakat karena pasti akan merugikan rakyat dan negara masih terbuka untuk dilakukan di masa mendatang.
2- Pasal 11:
(1) Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dapat dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Perusahaan Daerah, koperasi, swasta atau swadaya masyarakat.
Kata dapat berarti menunjukkan bahwa secara legal antara BUMN, BUMD, Koperasi dan BUMS (lokal dan asing) kedudukannya adalah sama. Padahal semestinya berbeda mengingat penyediaan listrik adalah kewajiban negara sebagai bagian dari PSO (Public Service Obligation) dimana pelaksanaannya dilakukan oleh BUMN Kelistrikan. Dengan ketentuan pasal ini, dimungkinkan BUMS masuk. Dengan kata lain, pasal ini secara telak telah membuka keran privatisasi, khususnya pada BUMS Asing karena kenyataannya hanya swasta asing yang bermodal besar yang mampu masuk sektor kelistrikan. Bila ini terjadi, maka listrik benar-benar telah menjadi komoditas yang semata-mata diproduksi dan didistribusikan untuk kepentingan komersial sedemikian sehingga PSO yang menjadi tugas negara semakin diabaikan.
3- Pasal 13:
(1) Usaha penyediaan tenaga listrik secara terintegrasi, usaha distribusi tenaga listrik atau usaha penjualan tenaga listrik dibatasi dalam suatu wilayah usaha.
(2) Wilayah usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan Menteri berdasarkan kebutuhan pengembangan sistem ketenagalistrikan dan pelayanan kepada masyarakat.
Pasal ini adalah pasal utama untuk dilakukannya unbundling secara horizontal yang akan makin melemahkan keintegrasian pengelolaan listrik yang selama ini berjalan
Dari fakta-fakta di atas, Hizbut Tahrir Indonesia menilai:
1. Dengan adanya pasal-pasal yang memuat gagasan unbundling, baik secara vertikal maupun horisontal, serta privatisasi yang selama ini dengan tegas ditolak oleh MK, SP PLN dan berbagai elemen masyarakat, tampak jelas bahwa RUU Kelistrikan yang akan disahkan ini sangat berbau liberal yang alih-alih bakal menyelesaikan problem kelistrikan di Indonesia, justru sebaliknya RUU ini akan memunculkan problem yang lebih parah karena akan sangat merugikan rakyat dan negara. Bila unbundling dilakukan akan menyebabkan kenaikan harga listrik hingga 50% akibat adanya beban biaya (pajak, biaya operasional dan sebagainya) dari 3 entitas kelistrikan yang berbeda, yaitu pembangkitan, transmisi dan distribusi, yang sebelumnya ketiganya itu menjadi satu di bawah PLN. Ini jelas akan merugikan konsumen. Bila akhirnya privatisasi juga benar-benar dilakukan, pihak swasta akan sangat dominan dalam penyediaan listrik yang ujungnya harga listrik akan didikte oleh kartel perusahaan listrik swasta. Ini akan semakin membawa pengelolaan kelistrikan di negeri ini jauh dari fungsi kewajiban layanan publik (public service obligation) yang mestinya harus dilakukan oleh negara untuk kesejahteraan rakyatnya. Dominannya kartel perusahaan listrik swasta dengan segala dampak negatifnya telah dialami oleh Kamerun. Pada saat beban puncak (antara jam 5 sore sampai dengan jam 10 malam) kartel perusahaan swasta itu akan memaksakan kenaikan harga hingga 15 sampai 20 kali lipat. Kenyataan ini disampaikan oleh Dr. David Hall dari Public Services International Research Unit, London di depan sidang Mahkamah Konstitusi (MK) saat membahas UU Nomer 20 tahun 2002 yang akhirnya dibatalkan oleh MK.
2. Sementara itu unbundling atau pemecahan horizontal akan mengancam keberlangsungan penyediaan listrik di luar Jawa mengingat selama ini biaya operasional listrik Luar Jawa, dengan semangat kesatuan, disubsidi oleh penghasilan listrik di Jawa yang mencapai 80% dari total penghasilan PLN. Bila dipecah, subsidi silang semacam ini tentu tidak bisa lagi dilakukan. Ujungnya, harga listrik luar Jawa akan naik berkali lipat. Penilaian semacam ini secara tegas disebutkan dalam konsideran Mahkamah Konstitusi untuk menolak unbundling horizontal. Disebut pula, bila unbundling itu dilakukan Pemda di luar Jawa secara umum akan mengalami defisit antara Rp 300 milyar hingga Rp 1,5 triliun per tahun.
Dari uraian singkat di atas, jelas sekali besarnya bahaya yang akan timbul bila RUU Kelistrikan tersebut benar-benar disahkan oleh DPR. Bila RUU itu disahkan, pertanyaannya mengapa keputusan yang akan menghancurkan PLN dan akan sangat merugikan rakyat itu justru dibuat oleh DPR yang notabene adalah wakil rakyat? Jadi, untuk siapa sebenarnya DPR ini bekerja?
PLN sekarang ini sesungguhnya terbentuk dari nasionalisasi terhadap sejumlah perusahaan listrik asing sepeti OGEM, ANIEM, GEBEO dan lain-lain yang saat itu dalam kondisi unbundling (terpecah-pecah) kemudian disatukan (bundling) ke dalam perusahaan listrik dan gas negara (PLGN). Bundling (penyatuan) sejumlah perusahaan listrik swasta waktu itu dilakukan agar penyediaan listrik bisa lebih efisien dan mencegah agar listrik tidak hanya dinikmati oleh orang kaya saja. Maka aneh sekali bila setelah sekian lama PLN, yang dalam kondisi bundling, mampu menjalankan fungsinya sebagai perusahaan yang menyediakan listrik untuk rakyat sebagai bagian dari public service obligation (PSO), tiba-tiba sekarang mau dipecah-pecah lagi yang justru bakal merugikan rakyat dan negara?
Setelah ditelusuri, ternyata rencana unbundling ini merupakan bagian dari kesepakatan pemerintah Indonesia dengan IMF sebagaimana tersebut pada poin 20 dalam Letter of Intent (LOI) dan ditandangani oleh Presiden Soeharto pada bulan Januari 1998. Poin ini kemudian ditegaskan lagi dalam Buku Putih Departemen Pertambangan dan Energi yang dibuat pada bulan Agustus 1998. Dalam buku putih itu, disebutkan bahwa liberalisasi sektor ketenagalistrikan dilakukan melalui tahapan unbundling, profitisasi dan privatisasi. Sehingga dapat dipastikan bahwa undbundling yang akan dimungkin melalui RUU Kelistrikan yang akan disahkan ini suatu saat akan sampai pada tahap divestasi/penjualan aset negara karena memang itulah yang diminta negara donor terkait dengan pengembalian utang negara.
Maka, pertanyaannya adalah untuk apa DPR dan pemerintah melakukan unbundling terhadap PLN bila itu terbukti bakal merugikan rakyat dan negara? Nyatalah bahwa keputusan itu tidak lain dibuat sepenuhnya, kecuali mengabdi kepada kepentingan negara penjajah yang saat ini tengah menyebarkan virus liberalisme di segala bidang, terutama di bidang ekonomi, lebih khusus lagi dalam bidang pengelolaan SDE (sumber daya energi) demi kepentingan perusahaan energi asing untuk menguasai sektor kelistrikan. Pandangan Kapitalis menyatakan pemerintah memang hanya menjadi regulator dari pasar bebas sebagaimana dianjurkan oleh Adam Smith. Jika kelistrikan dipaksakan mengikuti pasar bebas, maka akan kembali ke zaman Aniem, Ogem dan Gebeo dimana hanya orang mampu saja yang akan bisa menikmati listrik. Sementara rakyat banyak akan kembali ke jaman penjajahan.
Karena itu, Hizbut Tahrir Indonesia dengan tegas menyatakan:
1. Menolak pengesahan RUU Kelistrikan. Karena, RUU tersebut jelas-jelas memuat gagasan unbundling dan privatisasi yang pasti akan menghancurkan PLN dan akhirnya akan merugikan rakyat dan negara. HTI mengingatkan, kasus PLN hanyalah satu contoh tentang bagaimana penjajahan global bekerja dan bagaimana dalam setiap langkah-langkahnya selalu ditopang oleh para komprador yang tidak lain adalah orang Indonesia juga. Penjajahan global akan terus bekerja hingga seluruh kekayaan negeri ini dikuasai. Dengan kesadaran itu, mestinya kita secara konsisten menolak segala bentuk Liberalisme, Kapitalisme dan Sekularisme.
2. Di sinilah relevansi yang sangat nyata dari seruan Selamatkan Indonesia dengan Syariah karena justru syariah lah satu-satunya yang mampu mengatur negeri ini dengan baik dan benar. Dalam pandangan syariah, energi (listrik, gas, batubara dan lainnya) merupakan milik rakyat. Hanya negaralah yang berhak mengelola sumber daya energi yang dilakukan untuk kesejahteraan rakyat. Menyerahkan kepada swasta apalagi swasta asing, termasuk rencana unbundling dan privatisasi PLN, jelas bertentangan dengan syariah. Karenanya harus ditolak. Dengan demikian, harus dinyatakan, bahwa syariahlah yang terbukti bisa membebaskan negeri ini dari penjajahan global.
Wassalam,
Jurubicara Hizbut Tahrir Indonesia
Muhammad Ismail Yusanto
Hp: 0811119796 Email: Ismaily@telkom.net
sumber: http://hizbut-tahrir.or.id/2009/09/08/pernyataan-hti-tolak-ruu-ketenagalistrikan/
43
Hukum dan Dunia Politik / Re:hasil Pooling 37% myqers berpikiran ekonomi komunis krn anti liberalisme
« pada: 04 Juli 2009, 19:09:29 »@pembelajarbaiklah, jadi menurut antum pengertian dari Privatisasi itu apa [antum kan anak ekonomi nih]
liat aja definisi privatisasi dari pak shiddiq itu, bener kagak?? kalo definisi aja keliru, ke bawahnya itu jadi keliru ...
mbok sekali kali ambil definisi dari UU atau expertise, jangan mentang mentang ogah produk 'sekuler' ato produk 'kafir' jadi bikin definisi baru yang malah bikin mislead.
mungkin kita bisa mem-bandingkannya dengan defenisi privatisasi berdasarkan tulisan di-atas.
Ini salah satu defenisi Privatisasi,
John Wilson menjelaskan definisi privatisasi yang terjadi di Inggris, dalam buku Public Services & The 1990s, dengan menggambarkan konsep denationalisation [denasionalisasi]. Denasionalisasi diartikan sebagai pelimpahan kepemilikan dari sektor publik ke swasta baik sebagian maupun keseluruhan.
Berdasarkan pemahaman umum, lawan dari privatisasi adalah nasionalisasi, jadi dapat dikatakan privatisasi adalah denasionalisasi.
Kedua masalah generalisasi. jelas itu kekeliruan ...saya tidak melihat dalam tulisan itu ada generalisasi, silahkan bagian mana yang meng-indikasikan adanya generalisasi.
Posting Digabung: [time]Sat Jul 4 19:48:41 2009[/time]
sekalian aja saya mau nanya ke abie, menurut defenisi privatisasi antum, apa yang dikategorikan sebagai barang "Privat" dan barang "Publik"?
44
Hukum dan Dunia Politik / Re:Indonesia, Arab Saudi, dll => Darul Kufr?
« pada: 04 Juli 2009, 18:45:05 »^ kok nuduh ane?Akhi, tulisan saya yang mana, yang antum maksud?
silakan liat postingan @pembelajar!
Antum kalau mau diskusi, lihat-lihat dulu forum-nya.
Kalau kita sedang berada di board HUKPOL, jelas bahwa diskusi itu seputar Hukum maupun Politik, jadi seputar sistem pemerintahan maupun syariah Islam, dan lain sebagai-nya
di Forum Myqur'an ini-kan board-nya dibagi-bagi berdasarkan keputusan pengelola [ada board fikih, Aqidah, Hukpol, dan sebagainya]. kita sebagai user, yah ngikut aja.
gimana?
Apalagi ketika saya masuk thread ini, yang dibuat bang haekal, saya berpendapat cuma ngikut topik yang disampaikan TS saja, supaya nanti tidak OOT.
[maaf jika ada postingan saya yang sekira-nya menyinggung, manusia tidak lepas dari kesalahan]
45
Hukum dan Dunia Politik / Re:Mohon Klarifikasi Hizbut Tahrir Indonesia
« pada: 03 Juli 2009, 23:09:38 » saya cuma mau membantu mengklarifikasi, sesuai permintaan antum [klarifikasi dari HTI]
jika antum punya source berita yang lain, silahkan diposting, sebagai pembanding, fair-kan?
jika antum punya source berita yang lain, silahkan diposting, sebagai pembanding, fair-kan?
46
Hukum dan Dunia Politik / Re:PKS - SBY dan kekuatan lain
« pada: 03 Juli 2009, 23:07:05 » Dalam debat CAPRES semalam, jelas-jelas SBY anti syariah, dengan mengkritik perda syariah [dengan mengatakan perda-perda syariah harus di-tertibkan]
gimana pendapat kader pendukung-nya nih?
cuma mau tahu aja pendapat-nya....
gimana pendapat kader pendukung-nya nih?
cuma mau tahu aja pendapat-nya....
47
Hukum dan Dunia Politik / Re:Mohon Klarifikasi Hizbut Tahrir Indonesia
« pada: 03 Juli 2009, 22:24:54 » akhi, berita itu lumayan cukup lama.
mungkin berita ini, bisa sedikit mengklarifikasi, insya-Allah
Otoritas Hamas membebaskan Semua Anggota Hizbut Tahrir
Sebuah keterangan pers dengan judul “Otoritas Hamas Membebaskan Semua Anggota Hizbut Tahrir”.
Ir. Ahmad al-Khathib, seorang Anggota Biro Informasi Hizbut Tahrir Palestina menjelaskan bahwa otoritas Hamas di Jalur Gaza telah membebaskan semua anggota Hizbut Tahrir yang mereka tahan, sepanjang beberapa waktu yang berbeda-beda, termasuk pembebasan Anggota Biro Informasi Hizbut Tahrir Palestina, Prof. Hasan al-Madhun.
Al-Khathib menambahkan bahwa Otoritas Hamas telah menahan sepuluh syabab dari beberapa rumah dan jalan-jalan menyusul penyebaran penjelasan (bayan) Hizbut Tahrir baru-baru ini, dengan judul “Otoritas Hamas Menapaki Jejak Langkah Otoritas Fatah Sejengkal demi Sejengkal dan Sehasta demi Sehasta”!!
Al-Khathib melalui beberapa pernyataannya menilai bahwa sebagian dari aparat keamanan telah melakukan tindakan keji, dengan melakukan serangan pemukulan yang kasar terhadap beberapa anggota Hizbut Tahrir, khususnya penyiksaan yang dihadapi oleh seorang syabab bernama Shuhaib al-Hajar, yang setelah disiksa dibuang di daerah yang sepi dan bukannya diobati. Al-Khathib mengatakan tindakan-tindakan yang biadab ini benar-benar jauh dari akhlak Islam yang sedang diserukan oleh Otoritas Hamas.
Al-Khathib berterima kasih sepada semua pihak, dan tokoh-tokoh berpengaruh, baik yang ada di dalam Hamas maupun yang di luar, yang telah ikut mengintervensi guna menghentikan setiap tindakan keji yang dilakukan terhadap kaum Muslim ini.
Al-Khatib berkata bahwa bagaimanapun serangan penangkapan dan penyiksaan yang dihadapi oleh syabab Hizbut Tahrir di dunia, semuanya tidak akan menghilangkan tekad semua syabab Hizbut Tahrir, justru hal itu semakin memperkuat tekad dan semangatnya dalam melangkahkan kakinya demi mengemban risalah dan dakwah sampai Allah memenangkan agama Islam ini.
www.al-aqsa.org
Sumber dari kantor berita Hizbut Tahrir 29/06/2009
sumber: http://hizbut-tahrir.or.id/2009/07/01/otoritas-hamas-membebaskan-semua-anggota-hizbut-tahrir/
mungkin berita ini, bisa sedikit mengklarifikasi, insya-Allah
Otoritas Hamas membebaskan Semua Anggota Hizbut Tahrir
Sebuah keterangan pers dengan judul “Otoritas Hamas Membebaskan Semua Anggota Hizbut Tahrir”.
Ir. Ahmad al-Khathib, seorang Anggota Biro Informasi Hizbut Tahrir Palestina menjelaskan bahwa otoritas Hamas di Jalur Gaza telah membebaskan semua anggota Hizbut Tahrir yang mereka tahan, sepanjang beberapa waktu yang berbeda-beda, termasuk pembebasan Anggota Biro Informasi Hizbut Tahrir Palestina, Prof. Hasan al-Madhun.
Al-Khathib menambahkan bahwa Otoritas Hamas telah menahan sepuluh syabab dari beberapa rumah dan jalan-jalan menyusul penyebaran penjelasan (bayan) Hizbut Tahrir baru-baru ini, dengan judul “Otoritas Hamas Menapaki Jejak Langkah Otoritas Fatah Sejengkal demi Sejengkal dan Sehasta demi Sehasta”!!
Al-Khathib melalui beberapa pernyataannya menilai bahwa sebagian dari aparat keamanan telah melakukan tindakan keji, dengan melakukan serangan pemukulan yang kasar terhadap beberapa anggota Hizbut Tahrir, khususnya penyiksaan yang dihadapi oleh seorang syabab bernama Shuhaib al-Hajar, yang setelah disiksa dibuang di daerah yang sepi dan bukannya diobati. Al-Khathib mengatakan tindakan-tindakan yang biadab ini benar-benar jauh dari akhlak Islam yang sedang diserukan oleh Otoritas Hamas.
Al-Khathib berterima kasih sepada semua pihak, dan tokoh-tokoh berpengaruh, baik yang ada di dalam Hamas maupun yang di luar, yang telah ikut mengintervensi guna menghentikan setiap tindakan keji yang dilakukan terhadap kaum Muslim ini.
Al-Khatib berkata bahwa bagaimanapun serangan penangkapan dan penyiksaan yang dihadapi oleh syabab Hizbut Tahrir di dunia, semuanya tidak akan menghilangkan tekad semua syabab Hizbut Tahrir, justru hal itu semakin memperkuat tekad dan semangatnya dalam melangkahkan kakinya demi mengemban risalah dan dakwah sampai Allah memenangkan agama Islam ini.
www.al-aqsa.org
Sumber dari kantor berita Hizbut Tahrir 29/06/2009
sumber: http://hizbut-tahrir.or.id/2009/07/01/otoritas-hamas-membebaskan-semua-anggota-hizbut-tahrir/
48
Hukum dan Dunia Politik / Re:Tegur Sapa Aktivis HukPol
« pada: 03 Juli 2009, 20:49:05 » sip, akhi.
tanggal 19, saya mesti balik kampung dulu [di sumatera], ada saudara yang nikah, padahal saya juga diperbantu-kan di panitia pusat untuk acara nanti.
tanggal 19, saya mesti balik kampung dulu [di sumatera], ada saudara yang nikah, padahal saya juga diperbantu-kan di panitia pusat untuk acara nanti.
49
Hukum dan Dunia Politik / Re:Tegur Sapa Aktivis HukPol
« pada: 03 Juli 2009, 19:38:16 » wah boleh juga tuh, akhi.
50
Hukum dan Dunia Politik / Re:hasil Pooling 37% myqers berpikiran ekonomi komunis krn anti liberalisme
« pada: 03 Juli 2009, 19:17:42 »iya.. saya farmasi 02 tp baru lulus 09hehehe, ukhti jubir-nya akhi aeonia nih
*kaburrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr
waw, gedung jurusan saya [fisika teknik] sama jurusan farmasi padahal saling bersebelahan loh, cuma dipisahkan "kolam peta Indonesia"
@abie
ini artikel-nya, bagian mana yang kata-nya antum mau kritisi.
PRIVATISASI: FAKTA DAN BAHAYANYA
Oleh: M. Shiddiq Al Jawi
PENDAHULUAN
Seperti kita ketahu, privatisasi telah menjadi salah satu program pemerintah untuk memperoleh pendapatan. Privatisasi inmi seakan-akan telah dianggap halal dan legal sehingga tak perlu dipermasalahkan. Padahal jika dicermati, privatisasi nyata-nyata adalah sebuah program penjajahan. Ia adalah salah satu bentuk imperialisme global yang dijalankan oleh negara-negara kapitalis untuk mengeruk kekayaan berbagai negara di dunia.
Masyarakat nampaknya kurang menyadari hal ini, lantaran privatisasi telah dipropagandakan sebagai sesuatu yang apik dan menarik (serta membius!). Dikatakan misalnya, kalau kita berhasil menjual 40 – 50 % saja aset BUMN, semua utang luar negeri –yang hingga Pebruari 1999 lalu tercatat US $ 67 miliar-- akan terbayar tuntas. Dalam acara Dialog RCTI Senin 10 Mei 1999, Tanri Abeng –yang tampil bersama Pande Radja Silalahi—menyebut-nyebut beberapa keuntungan privatisasi, seperti adanya transfer teknologi, manajemen, modal, dan pangsa pasar dari “strategic partner”.
Namun ada satu hal prinsip yang dilupakan. Karena privatisasi adalah penjajahan, maka tentu ia akan selalu menguntungkan sang penjajah dan merugikan si terjajah. Pihak asing akan untung, rakyat akan buntung. Sebagai contoh, belum setengah tahun pihak asing menguasai PT Pelindo II –di mana 65 % arus ekspor impor Indonesia berjalan melaluinya-- para pengguna angkutan laut sudah menjerit. Pasalnya, ada rencana kenaikan tarif angkutan laut sebesar 20 %. Padahal, biaya transportasi laut di Indonesia termasuk tinggi, yakni 10,6 % dari biaya perdagangan. Angka ini dua kali lebih mahal daripada rata-rata dunia, yang hanya 5,3 % dari total nilai perdagangan. Penyebab utamanya, karena 50 – 60 % biaya angkutan harus dibayarkan untuk jasa pelabuhan. Bayangkan, bila beban ini harus ditambah dengan kenaikan tarif angkutan laut sebesar 20 %!
Melihat contoh sekelumit ini, tak ayal privatisasi memang menjadi satu fenomena yang patut dicermati dan diawasi. Rakyat Indonesia yang mayoritas muslim, tak boleh lengah dengan imperialisme gaya baru yang sesungguhnya sangat merugikan mereka ini.
Sekilas Fakta Privatisasi
Privatisasi adalah pengubahan status kepemilikan pabrik-pabrik, badan-badan usaha, dan perusahaan-perusahaan, dari kepemilikan negara atau kepemilikan umum menjadi kepemilikan individu. Privatisasi adalah sebuah pemikiran dalam ideologi Kapitalisme, yang menetapkan peran negara di bidang ekonomi hanya terbatas pada pengawasan pelaku ekonomi dan penegakan hukum. Pemikiran ini menetapkan pula jika sektor publik dibebaskan dalam melakukan usaha, investasi, dan inovasi, maka pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat akan meningkat
Privatisasi yang dikenal pula dengan sebutan Liberalisme Baru (New Liberalism), mulai muncul pada era 80-an. Pemikiran ini dicetuskan oleh Milton Freedman, penasehat ekonomi Presiden AS saat itu, Ronald Reagan, dan Frederick High, penasehat ekonomi PM Inggris waktu itu, Margaret Thatcher. Pemikiran ini telah tersebar luas di negara-negara kapitalis, khususnya Amerika Serikat dan Eropa Barat. Di sana pun telah berlangsung proses pengubahan status kepemilikan banyak pabrik, badan usaha, dan perusahaan dari kepemilikan negara menjadi kepemilikan individu. Akibatnya, aset dan perekonomian negara-negara tersebut tersentralisasi pada beberapa gelintir individu atau perusahaan tertentu.
Negara-negara kapitalis lalu mempropagandakan pemikiran tersebut ke seluruh dunia, terutama kepada negara-negara Dunia Ketiga. Mereka mengimplementasikannya melalui IMF, sebagai sebuah program reformasi ekonomi yang dipaksakan atas negara-negara debitor. Melalui program ini, privatisasi telah melicinkan jalan bagi hadirnya penanaman modal asing. Betapa tidak, penawaran pabrik, badan usaha, dan perusahaan milik negara atau milik umum, tentu menggoda para investor asing. Apalagi jika yang ditawarkan berkaitan dengan pengelolaan bahan mentah, atau menyangkut hajat hidup orang banyak --yang menjadi tulang punggung perekonomian negara-- seperti sektor energi (minyak, gas, dan sebagainya), air minum, pertambangan, sarana transportasi laut (seperti pelabuhan), dan sebagainya.
Jadi, sebagai salah satu program reformasi IMF, privatisasi senantiasa dibarengi dengan program lainnya, yaitu penanaman modal asing untuk investasi langsung ataupun tidak langsung. Dengan kata lain, kebijakan negara-negara berkembang untuk melepaskan sektor ekonomi publik menjadi sektor privat, sebenarnya bukan demi kepentingan rakyat. Memang digembar gemborkan bahwa privatisasi akan menguntungkan rakyat, karena akan meningkatkan produktivitas dan efisiensi, akan meningkatkan kualitas barang dan jasa dengan biaya seminimal mungkin, dan seterusnya. Tetapi privatisasi hakikatnya bukan itu, melainkan semata-mata merupakan sikap tunduk dan pasrah kepada arahan-arahan dan tekanan-tekanan lembaga-lembaga keuangan internasional, terutama IMF yang bereputasi jelek itu.
Memang benar, bahwa perorangan bisa jadi lebih mampu daripada negara dalam berusaha, berinvestasi, dan berinovasi, serta melakukan kegiatan-kegiatan lainnya yang berhubungan dengan proyek-proyek ekonomi. Namun perlu disadari, bahwa perspektif negara umumnya tidak seperti perspektif individu. Sebuah negara kadang-kadang mempunyai beberapa tujuan di balik suatu proyek ekonomi di mana laba bukanlah tujuan utama. Sementara di sisi lain, memperoleh laba merupakan tujuan usaha individu, sekaligus menjadi standar untuk keberhasilan atau kegagalan usahanya.
Tetapi fakta tersebut –yaitu bahwa individu tertentu lebih mampu berbisnis daripada negara— tidak berlaku umum untuk seluruh individu. Sebab toh kegagalan dan kebangkrutan usaha individu juga banyak terjadi. Di samping itu, apa yang dikelola oleh berbagai badan usaha milik negara sebenarnya tidak terbayang untuk dapat dimiliki secara perorangan, seperti sungai, hutan, sarana transportasi air, pelabuhan-pelabuhan, tambang-tambang dengan kapasitas produksi besar, dan sebagainya.
Adapun penyebab kegagalan proyek-proyek ekonomi atau kebangkrutan ekonomi di banyak negara Dunia Ketiga, berpangkal pada kelemahan atau kegagalan sistem ekonomi yang diterapkan, serta adanya kekeliruan pada asas yang mendasari sistem tersebut. Jadi, kegagalan yang terjadi bukan semata karena satu aset merupakan kepemilikan negara atau kepemilikan individu.
Oleh sebab itu, siapa saja yang hendak mengatasi kegagalan tersebut, dia harus memulai dengan membangun aqidah yang mendasari sistem ekonomi yang akan diterapkan, kemudian menerapkan sistem ekonominya secara sempurna, dengan memperhatikan 3 (tiga) pilar utama untuk tegaknya suatu sistem, yaitu : 1) kualitas dan integritas individu, 2) kontrol dan koreksi masyarakat, dan 3) penegakan hukum dan peraturan secara konsisten oleh negara.
Bahaya-Bahaya Privatisasi
Meskipun diiklankan bahwa privatisasi akan menghasilkan keuntungan-keuntungan, namun privatisasi sebenarnya menimbulkan ekses-ekses berbahaya yang akhirnya menafikan dan menghapus keuntungan yang diperoleh. Bahaya atau kerugian yang paling menonjol adalah :
1. Tersentralisasinya aset suatu negeri --di sektor pertanian, industri, dan perdagangan-- pada segelintir individu atau perusahaan yang memiliki modal besar dan kecanggihan manajemen, teknologi, dan strategi. Artinya, mayoritas rakyat tercegah untuk mendapatkan dan memanfaatkan aset tersebut. Aset tersebut akhirnya hanya beredar di antara orang-orang kaya saja. Dengan demikian, privatisasi akan memperparah buruknya distribusi kekayaan. Hal ini telah terbukti di negeri-negeri kapitalis, khususnya Amerika Serikat dan Eropa.
2. Privatisasi di negeri-negeri Islam yang dibarengi dengan dibukanya pintu untuk para investor asing –baik perorangan maupun perusahaan— berarti menjerumuskan negeri-negeri Islam dalam cengkeraman imperialisme ekonomi. Sebab, individu atau perusahaan kapitalis itulah yang nantinya akan menguasai dan mengendalikan negeri-negeri Islam. Selanjutnya, akan terjadi perampokan kekayaan negeri-negeri Islam dan sekaligus pengokohan dominasi politik atas penguasa dan rakyat negeri-negeri Islam tersebut. Para investor asing itu jelas hanya akan mencari laba sebesar-besarnya dalam tempo sesingkat-singkatnya, tanpa mempedulikan kebutuhan rakyat terhadap barang dan jasa. Mereka juga tak akan mempedulikan upaya membangkitkan industri negeri-negeri Islam. Ironisnya, beberapa negeri Islam yang tunduk pada ketentuan privatisasi memberikan sebutan “strategic partner” (mitra strategis) kepada para investor asing tersebut. Tentu, maksudnya adalah untuk memberikan image bahwa mereka itu “baik”, seraya menyembunyikan hakikat yang sebenarnya.
3. Pengalihan kepemilikan --khususnya di sektor industri dan pertanian-- dari kepemilikan negara/umum menjadi kepemilikan individu, umumnya akan mengakitbatkan PHK, atau paling tidak pengurangan gaji pegawai. Sebab investor dalam sistem ekonomi kapitalis cenderung beranggapan bahwa PHK atau pengurangan gaji pegawai adalah jalan termudah dan tercepat untuk mengurangi biaya produksi dan meningkatkan kualitas produk. Pada gilirannya, jumlah pengangguran dan orang miskin akan bertambah. Padahal sudah diketahui bahwa pengangguran dan kemiskinan sangat berpengaruh terhadap kondisi masyarakat, tingkat produksi, dan pertumbuhan ekonomi.
4. Menghapuskan kepemilikan umum atau kepemilikan negara artinya adalah negara melepaskan diri dari kewajiban-kewajibannya terhadap rakyat. Negara tidak akan sanggup melaksanakan banyak tanggung jawab yang seharusnya dipikulnya, karena negara telah kehilangan sumber-sumber pendapatannya. Negara tak akan mampu lagi memenuhi secara sempurna kebutuhan pokok bagi rakyat yang miskin. Negara juga tak akan dapat lagi memenuhi kebutuhan rakyat dalam bidang kesehatan dan pendidikan secara layak, dan lain-lain.
5. Negara akan disibukkan untuk mencari sumber-sumber pendapatan baru untuk menggantikan sumber-sumber pendapatan yang telah dijualnya. Dan negara tak akan mendapatkan sumber lain yang layak, selain memaksakan pajak yang tinggi atas berbagai pabrik, sektor, dan badan-badan usaha yang telah dijualnya maupun yang memang dimiliki oleh individu. Jelas ini akan melambungkan harga-harga dan tarif-tarif yang membebani masyarakat. Dengan kata lain, konsumen sendirilah yang akan membayar pajak itu kepada negara, bukan para investor. Jika negara sudah tidak bertanggung jawab lagi terhadap rakyatnya, serta pengangguran terus meningkat, maka akan tercipta kondisi sosial yang rawan dan sangat membahayakan.
6. Dana yang diperoleh negara dari penjualan kepemilikan umum atau negara, umumnya tidak dikelola dalam sektor-sektor produktif. Sebagian besarnya akan habis –sesuai dikte dari lembaga-lembaga internasional seperti IMF—untuk dibelanjakan pada apa yang disebut dengan “pembangunan infrastruktur”, “pelestarian lingkungan”, “pengembangan sumber daya manusia”, dan sebagainya. Semua ini jelas merupakan pintu-pintu untuk menyerap modal asing dari luar. Ini merupakan tindakan menghambur-hamburkan kekayaan umat, dengan jalan membelanjakan harta umat untuk kepentingan investor asing.
7. Menghalangi masyarakat umumnya untuk memperoleh hak mereka, yaitu memanfaatkan aset kepemilikan umum, seperti air, minyak, sarana transportasi air, dan pelabuhan-pelabuhan. Dengan demikian, privatisasi merupakan kezhaliman yang merusak penghidupan rakyat.
8. Privatisasi media massa –khususnya televisi dan radio—akan memberi peluang masuknya serangan pemikiran dan budaya kapitalis. Ini menimbulkan bahaya peradaban bagi umat, karena umat akan dicekoki pola pikir dan pola jiwa kufur, dengan standar moral dan perilaku ala Barat yang bejat dan rendah.
Inilah beberapa dampak privatisasi yang akan menimpa umat Islam, bila program privatisasi terus dijalankan oleh negara. Dan tentunya, ini baru sebagian saja, sebab masih ada berbagai bahaya dan kemudharatan lain akibat privatisasi.
Hukum Privatisasi
Apa yang dlakukan pemerintah dengan menjual perusahaan-perusahaan, dan badan usaha milik negara kepada pihak-pihak perorangan atau kepada investor asing, adalah tindakan yang HARAM menurut syara’, karena alasan-alasan berikut :
Pertama, negara tidak berhak menjual aset-aset kepemilikan umum, karena aset ini bukan miliknya, tetapi milik umum. Islam telah melarang menjual suatu barang yang tidak dimiliki oleh penjual. Jika jual beli seperti ini terjadi, maka jual belinya batil alias tidak sah.
Islam telah menjelaskan bahwa kepemilikan umum adalah,”Izin dari Asy Syari’ (Allah) kepada masyarakat umum untuk berserikat dalam memanfaatkan barang.” Islam telah menentukan tiga jenis kepemilikan umum :
1. Barang yang menjadi kebutuhan orang banyak, yang jika tidak ada maka masyarakat akan berpencar-pencar mencarinya, seperti air, padang gembalaan, dan sumber-sumber energi. Nabi SAW bersabda,”Kaum muslimin berserikat dalam tiga barang; air, padang gembalaan, dan api.” (HR. Bukhari dan Muslim). Ada riwayat bahwa Rasulullah SAW membolehkan perorangan untuk memiliki air yang tidak dibutuhkan orang banyak. Dari hadits-hadits ini, diistimbath bahwa segala sesuatu yang menjadi kebutuhan orang banyak, yakni yang jika tidak ada maka orang-orang akan berpencar-pencar mencarinya, dipandang sebagai kepemilikan umum, baik itu termasuk dalam tiga jenis barang seperti yang disebut hadits maupun yang lain yang tidak disebut.
2. Tambang yang berkapasitas produksi besar. Telah diriwayatkan dari Abyadl bin Jamal, bahwa dia pernah datang kepada Rasulullah SAW lalu dia meminta Rasulullah agar memberinya tambang garam, dan Rasululullah pun memberinya. Ketika Abyadl pergi, seorang shahabat di majelis berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepadanya? Sesungguhnya Anda telah memberikan kepadanya sesuatu (yang bagaikan ) air mengalir.” Rasulullah kemudian menarik kembali pemberian tersebut.Orang tersebut menyerupakan tambang garam dengan air mengalir, karena banyaknya produksi pada tambang garam tersebut. Ini mencakup pula setiap tambang dengan produksi dalam kuantitas yang banyak atau menguntungkan secara ekonomis, seperti tambang minyak, gas, fosfat, tembaga, dan sebagainya.
3. Barang-barang yang dilihat dari tabiat bentuknya tidak mungkin dimiliki oleh individu, seperti laut, sungai, atmosfer udara, dan sebagainya.
Inilah ketiga jenis barang yang merupakan kepemilikan umum yang dapat dimanfaatkan secara bersama oleh seluruh individu rakyat. Dalam hal ini, peran negara hanya pengelola dan pengontrol pemanfaatannya, bukan pemilik.
Maka dari itu, negara tidak boleh menjual atau memberikan kepada pihak siapa pun, sebab ketiga jenis barang itu adalah milik umum, bukan milik negara. Andaikata negara meminta persetujuan rakyat (melalui lembaga legislatif) untuk menjualnya, dan rakyat menyetujuinya, negara tetap tidak boleh menjualnya. Sebab, status kepemilikan umum didasarkan fakta barangnya, bukan didasarkan pada faktor yang lain, seperti persetujuan, perjanjian, dan sebagainya. Jika faktanya adalah tambang minyak, misalnya, maka statusnya adalah tetap kepemilikan umum, meskipun kita mencoba mengubah statusnya menjadi kepemilikan individu.
Jika aset yang dijual adalah milik negara, bolehkah negara menjual atau memberikannya?
Perlu dipahami lebih dulu, bahwa di samping membenarkan keberadaan kepemilikan individu dan kepemilikan umum, Islam juga membenarkan kepemilikan negara. Definisinya adalah,”Setiap harta atau aset yang di dalamnya ada hak untuk seluruh kaum muslimin dan pengaturannya berada di tangan Khalifah.” Dengan demikian, pada asalnya, kepemilikan negara dimungkinkan untuk berubah statusnya menjadi kepemilikan individu. Negara boleh menjual atau memberikannya kepada individu. Namun perlu diingat, bahwa kepemilikan negara berkaitan dengan hak kaum muslimin dimana pengaturan Khalifah terhadapnya tidak boleh menimbulkan mudharat kepada kaum muslimin. Maka dari itu, meskipun hukum asalnya mubah, tetapi penjualan negara terhadap aset miliknya --sebagaimana terjadi dalam program privatisasi-- hukumnya menjadi haram, karena privatisasi telah menimbulkan berbagai kemudharatan, seperti yang telah diterangkan. Kaidah syara’ menetapkan :
“Al Wasilah ilal haram haram”
“Segala sarana kepada keharaman, hukumnya haram pula.”
Kedua, privatisasi menyebabkan harta hanya beredar di kalangan orang kaya saja, baik perorangan maupun perusahaan. Dengan demikian, orang banyak tidak dapat memanfaatakan harta tersebut dan pada gilirannya distribusi kekayaan akan semakin timpang. Hal ini tidak dibenarkan menurut Islam, sesuai firman Allah SWT :
“…supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (QS Al Hasyr : 7)
Memang, ayat di atas mengharamkan beredarnya harta hanya di kalangan orang kaya di antara umat Islam (aghniya’i minkum). Namun demikian, ayat itu juga berlaku untuk orang kaya di kalangan kaum kafir. Sebab, bila harta tak boleh hanya beredar di antara orang kaya muslim, maka kalau hanya beredar di antara orang kaya kafir jelas lebih tidak boleh lagi, sesuai dengan pengamalan mafhum muwafaqah dalam ilmu ushul fiqih.
Ketiga, privatisasi menimbulkan dominasi dan hegemoni kaum kafir atas kaum muslimin. Dengan privatisasi, individu atau perusahaan kapitalislah yang nantinya akan menguasai dan mengendalikan negeri-negeri Islam, baik di bidang ekonomi maupun politik. Negeri-negeri Islam akan terjerumus dalam cengkeraman imperialisme ekonomi. Hal ini diharamkan oleh Islam, Allah SWT berfirman :
“…dan Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mu`min.” (QS An Nisaa` : 141)
Keempat, Privatisasi merupakan perantaraan (wasilah) munculnya kemudharatan bagi kaum muslimin. Sebagaimana telah diuraikan, privatisasi akan menimbulkan pengangguran akibat PHK, memperbanyak kemiskinan akibat pengurangan gaji pegawai, menghilangkan sumber-sumber pendapatan negara, membebani konsumen dengan harga-harga atau tarif-tarif yang melambung akibat pajak tinggi atas perusahaan terprivatisasi, menghambur-hamburkan kekayaan negara pada sektor non-produktif, menghalangi rakyat untuk memanfaatkan aset kepemilikan umum, serta memberi peluang masuknya serangan pemikiran dan budaya kapitalis atas kaum muslimin. Semua ini merupakan kemudharatan yang diharamkan keberadaannya atas kaum muslimin. Dan privatisasi yang menjadi jalan ke arah itu, haram pula hukumnya. Kaidah syara’ menetapkan :
“Al Wasilah ilal haram haram”
“Segala sarana kepada keharaman, hukumnya haram pula.”
Penutup
Dengan uraian di atas, nyatalah bahwa privatisasi sebenarnya adalah program imperialis yang sangat jahat, yang dijalankan oleh negara-negara kapitalis untuk merampas harta kekayaan kaum muslimin dan menghancurkan perekonomian mereka.
Karena itu kaum muslimin hendaknya sadar, bahwa negara dan pemerintah kita yang mengimplementasikan program tersebut, hakikatnya berbuat hanya untuk memuaskan kaum penjajah yang kafir. Bukan untuk memelihara dan menjaga kepentingan rakyat dan umat.
Dengan demikian, sudah sepatutnya rezim yang berkhianat seperti ini harus secepat-cepatnya ditumbangkan dan diganti dengan rezim baru yang benar-benar menjalankan fungsinya sebagai pemelihara urusan rakyat yang selalu memperhatikan, mempedulikan, dan mengedepankan kepentingan umat dan rakyat. [ ]
[Diolah dari berbagai sumber, terutama tulisan berjudul Al Khaskhashah oleh Muhammad ‘Alaan, dalam majalah Al Wa’ie (Beirut), hal.10-12, edisi no. 141, tahun ke-12, Dzulhijjah 1418 H/April 1998 M.]
--------------------------------------
Dalam artikel diatas dikatakan bahwa memang benar, aset Negara yang menjadi kepemilikan Negara boleh dijual, tapi-kan dengan syarat, bahwa penjualan tersebut tidak boleh menyebabkan ke madharat-an, seperti penjualan aset Negara yang strategis, kepada pihak asing [Negara Kafir], contoh-nya BUMN-BUMN strategis yang memiliki peranan vital dalam perekonomian dan mengusung kepentingan nasional seperti PT Dirgantara, PT Pindad, PT Pal, PT Krakatau Steel, PT Kimia Farma, PT Indofarma, dan lain-lainnya. Jika BUMN ini dikuasai investor maka kepentingan nasional dan masyarakat berada dalam bahaya [menyebabkan kemadharat-an]. Hal ini menyebabkan lemahnya kemampuan negara melaksanakan pembangunan dan pelayanan publik, sehingga BUMN-BUMN strategis juga harus dikuasai negara dan tidak boleh diprivatisasi. Rasulullah saw. melarang kaum Muslim, termasuk pejabat negara, melakukan kebijakan yang dapat membahayakan umat. Rasul bersabda,
"Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan membahayakan orang lain."
51
Hukum dan Dunia Politik / Re:Indonesia, Arab Saudi, dll => Darul Kufr?
« pada: 03 Juli 2009, 15:41:37 »klasik juga!!!!pendapatnya kurang argumentatif,
ujung-ujungnya ayat potong tangan!
mo sampe kapan kalian begini?
jadi no comment dulu deh
52
Hukum dan Dunia Politik / Re:hasil Pooling 37% myqers berpikiran ekonomi komunis krn anti liberalisme
« pada: 03 Juli 2009, 15:08:00 »*jadi inget tetua DKM Salman yg ga berafiliasi ke HT berteriak dalam khutbah jumatnya minggu kemarin: "Harganya HARRAAM!" ( وثمنه حرام)akhi, anak ITB yah?
saya dulu kuliah di sana juga 13300xxx teknik fisika angk.2000
Posting Digabung: [time]Fri Jul 3 15:10:21 2009[/time]
@abie
tulisan ustad Siddiq yang mana?
boleh di-share?
Posting Digabung: [time]Fri Jul 3 15:18:35 2009[/time]
sumber: http://khilafah1924.org/index.php?option=com_content&task=view&id=72&Itemid=52
berdasarkan artikel ini, telah dijelaskan defenisi privatisasi oleh ustad Siddiq:
"Privatisasi adalah pengubahan status kepemilikan pabrik-pabrik, badan-badan usaha, dan perusahaan-perusahaan, dari kepemilikan negara atau kepemilikan umum menjadi kepemilikan individu."
lalu ketika, menjelaskan:
"Apa yang dlakukan pemerintah dengan menjual perusahaan-perusahaan, dan badan usaha milik negara kepada pihak-pihak perorangan atau kepada investor asing, adalah tindakan yang HARAM menurut syara’."
adalah berdasarkan pemahaman apa saja yang menjadi badan usaha milik negara, berdasarkan ketentuan defenisi diatas [berdasarkan ketentuan syara', mengenai 3 jenis kepemilikan], jadi bukan semua BUMN yang ada di negara Indonesia ini.
53
Hukum dan Dunia Politik / Re:9 kriteria Capres dari Muhammadiyah dan NU...
« pada: 03 Juli 2009, 14:40:08 » Dalam debat CAPRES semalam, jelas-jelas SBY anti syariah, dengan mengkritik perda syariah [dengan mengatakan perda-perda syariah harus di-tertibkan]
gimana pendapat kader pendukung-nya nih?
cuma mau tahu aja pendapat-nya....
gimana pendapat kader pendukung-nya nih?
cuma mau tahu aja pendapat-nya....
54
Hukum dan Dunia Politik / Re:Indonesia, Arab Saudi, dll => Darul Kufr?
« pada: 03 Juli 2009, 13:12:04 »Bagaimana pembagian periode dari zaman Rosululloh sampai Ustmani, tahun berapa sampai tahun berapa, dan meliputi wilayah(negara) mana saja ?periode apa maksud-nya?
Apakah diluar wilayah(negara) khilafah Usmani waktu itu, disebut juga Darul Khufar?
Khilafah Abasyiah ndak masuk hitungan?
kalau masalah tahun-nya, daulah Islamiyyah pertama di Madinah tentu anda tahu bukan tahun-nya [masa ngga tahu?]
kalau masa khilafah Ustmaniyah sampai tahun 1336 H [1918 M].
sejarah mencatat kevakuman pemerintahan daulah Islamiyyah [Khilafah Islam] terjadi hanya tiga tahun, ketika Baghdad dihancurkan Tartar tahun 1258 M. jikalau dalam masa tegak-nya Khilafah Islam, ada wilayah yang lepas, itu adalah termasuk urusan dalam negeri Khilafah.
pada tahun 1288 H [1870 M] mahkamah pengadilan dibagi menjadi dua, yaitu mahkamah Syari'ah [pengadilan agama] dan mahkamah Nizhamiyah [pengadilan sipil] yang kemudian dibuat undang-undangnya. Pada tahun 1295 H [1877 M] dibuat peraturan tentang pembentukan mahkamah Sipil [badan dan strukturnya].
selama tegak-nya daulah Islamiyyah, syariah Islam menjadi hukum positif negara, sampai-sampai saat itu orang-orang non muslim dari kalangan Nashrani dan Yahudi mempelajari fiqih Islam dan mengarang dalam bidang ini, seperti Salim Al-Baz yang mensyarah majalah [Al-Ahkam Al-Adliyah, yaitu perundang-undangan yang berlaku pada masa khilafah Utsmaniyah] dan lain-lain, yang mengarang berbagai buku dalam fiqih Islam di masa-masa terakhir ini.
Posting Digabung: [time]Fri Jul 3 13:18:00 2009[/time]
klasik!syariat Islam seperti muamalah, uqubat, sistem pemerintahan, sistem ekonomi memang-nya bukan bertujuan untuk Ibadah ya?
kita hidup tuh buat ibadah!
Jadi kufur terhadap ayat:
"Dirikanlah shalat",
sama saja kufur terhadap ayat:
"Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba" [TQS. Al-Baqarah [2]: 275].
atau ayat:
"Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya" [TQS. Al-Maidah [5]: 38].
55
Hukum dan Dunia Politik / Re:Indonesia, Arab Saudi, dll => Darul Kufr?
« pada: 03 Juli 2009, 12:53:43 »@pembelajaryup benar banget akhi,
Oh gt.. alhamdulillah cukup jelas.
Berarti seperti yang sudah dibahas sedari dulu, dari nama lain darul kufur (darul harb) nya saja suahketahuan konteksnya. Tapi tetap sajakan tidak bisa lantas menyebut negeri2 yang terpecah ini adalah darul Islam karena memang syaratnya tidak masuk. Lebih baik mengatakan bahwa urgensinya bukan apakah negeri2 ini darul islam atau darul kufur.. tapi bagaimana kita kembali menerapkan syariah Islam dalam naungan daulah khilafah tadi.
itu yang saya argumentasikan kepada bang haekal di postingan saya sebelum-nya.
56
Hukum dan Dunia Politik / Re:Indonesia, Arab Saudi, dll => Darul Kufr?
« pada: 02 Juli 2009, 14:57:05 »Iya neh, ane mesti belajar banyak sama pembelajar.nah itu tahu
Jawaban ane : Imperium, kekaisaran. Maka dikenal istilah "imperialisme".
Selain monarki, ada juga bentuk republik.nah itu tahu juga
Nah, sekarang giliran antum menjawab pertanyaan ane, nggak usah berkelit (balik nanya).santai bro,
makanya belajar juga sejarah.
sejak rasulullah bersama sahabat menegakkan daulah Islamiyyah pertama di Madinah sampai di akhir-akhir penghujung keruntuhan daulah Khilafah Utsmani, yang ada saat itu adalah Mahkamah syariat saja, dan syariah Islam menjadi hukum positif yang mengatur muslim maupun ahl adz-dzimmah [non-muslim], baru saat2 keruntuhan Khilafah Utsmani, Mahkamah di Negara tersebut dipecah menjadi Mahkamah syariat dan Mahkamah sipil [hukum yang diterapkan di mahkamah ini, banyak mengadopsi hukum negara barat, seperti hukum negara perancis]
57
Hukum dan Dunia Politik / Re:Indonesia, Arab Saudi, dll => Darul Kufr?
« pada: 02 Juli 2009, 14:34:12 »Pertanyaan ini harusnya dijawab oleh penanya yang punya kepentingan dengan Negara Daulah Islamiah, khilafah zaman mana yang menerapkannya syari'at Islam sebagai hukum positif negara (kerajaannya).perlu banyak belajar nih Yue....
Catatan : Konsep negara itu sendiri baru muncul, utamanya setelah muncul revolusi Perancis.
jadi Romawi dan Persia itu apa?
Negara itu banyak bentuk-nya salah satu-nya berbentuk Monarki maupun yang lain.
58
Hukum dan Dunia Politik / Re:Indonesia, Arab Saudi, dll => Darul Kufr?
« pada: 02 Juli 2009, 13:38:07 »@pembelajarafwan, akhi maksud saya wacana darul Islam dan darul Kufr, yang sering diwacanakan pemahaman-nya oleh pihak sebelah. wacana itu lebih terfokuskan dalam konteks wilayah yang menjadi darul Islam, maupun wilayah yang menjadi darul Kufr, dan wacana tersebut tidak memfokuskan sama-sekali dengan sistem yang diterapkan di negara tsb.
Memang benar yg antum katakan bahwa pembahasan ini bisa mengalihkan pemahaman kita dari hal yang substansial. Tapi kita tidak boleh terbawa suasana atau terpengaruhi oleh kekhawatiran yang tidak beralasan sehingga melenceng dari definisi darul Islam itu sendiri.
Ketika salah satu konsekuensi tinggal di darul kufur adalah wajib hijrah ke darul Islam tidak serta merta mengubah paksa status/label negeri2 muslim sebagai darul Islam. Dari kaidah ushul "wa laa yatimmu waajibu illa bihi fahuwa wajib" atau "suatu perkara yang wajib yang tidak dapat terlaksana karena suatu perkara, maka perkara itu menjadi wajib"... misalnya (kurang relevan juga sih)... kita dapatkan bahwa yang harus kita perjuangkan tentu saja mengadakan darul Islam tersebut.
Afwan, jadi tidak perlu mengabaikan definisi dan persyaratan darul Islam itu sendiri.
konteks yang dimaksud, berkenaan dalam penafsiran hadis yang saya kutip, jadi menurut saya konteks-nya hanyalah membahas wilayah, dan berkenaan erat dengan politik luar negeri daulah Islamiyyah. seperti yang pernah dibahas dalam diskusi saya dengan salah satu ikhwah di myq ini, yang mereka ajukan adalah hadis seperti:
Dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah biasa menyerang musuh di waktu fajar akan terbit sambil mendengarkan dengan seksama suara adzan. Bila beliau mendengar adzan, beliau tidak menyerangnya dan bila tidak mendengarnya beliau menyerangnya." [HR Muslim 1/288]
Imam Nawawi berkata: "Dalam hadits ini ada dalil yang menunjukkan bahwa suara adzan bisa menahan serangan kepada para penduduknya, karena itu tanda kelslaman mereka." [Syarh Muslim 4/84]
Jadi menurut saya memang konteks-nya adalah dalam masalah futuhat, dan berkaitan dengan politik luar negeri daulah Islamiyyah. sekali lagi ini berkaitan erat dengan mana yang termasuk wilayah darul Islam dan mana yang termasuk wilayah darul Kufr.
Kalau kita kembalikan dalam konteks sekarang, bahwa yang menjadi wilayah darul Islam, adalah semua negeri-negeri muslim yang saat ini lepas, dan wajib disatukan kembali. maka-nya nanti Insya Allah jika khilafah tegak, negeri-negeri muslim tersebut dianggap sebagai wilayah negara khilafah juga, yang belum disatukan, dan strategi pendekatan-nya tidak dimasukkan dalam stategi politik luar negeri daulah Khilafah.
ada sedikit artikel yang membahas ini:
Beberapa Aturan dalam Hubungan Internasional antara Negara Khilafah Islam dan Negara-negara Lain
Secara umum hubungan negara Khilafah dengan negara-negara lain yang ada di dunia ini terbagi menjadi empat macam:
dengan negara-negara di dunia Islam yang merupakan negeri-negeri Islam yang belum bergabung dengan Negara Khilafah Islam; Terhadap negeri-negeri itu Khilafah menganggapnya berada dalam satu wilayah negara. Dengan demikian, tidak termasuk dalam politik luar negeri. Negara Khilafah wajib menggabungkan negeri-negeri tersebut ke dalam satu wilayah yaitu Negara Khilafah Islam.
dengan negara-negara kafir yang memiliki perjanjian yang disebut negara kafir Mu’ahid; Perjanjian ini bisa dalam bentuk perjanjian perdagangan/ekonomi, bertetangga baik, sains dan teknologi, atau hubungan diplomatik (pembukaan kedutaan besar/konsulat). Terhadap negara kafir Mu’ahid ini, Khilafah memperlakukannya sesuai dengan butir-butir perjanjian yang telah disepakati.
dengan negara-negara kafir yang tidak terikat perjanjian apa pun; Negara kafir seperti ini dinamakan kafir harbi hukman. Terhadap mereka, negara Khilafah bersikap waspada dan tidak dibolehkan membina hubungan diplomatik. Penduduknya dibolehkan memasuki negeri-negeri Islam, tapi harus membawa paspor dan visa khusus untuk setiap perjalanan. Contoh negara ini adalah Korea Utara, Korea Selatan, Kuba, dan lain-lain.
dengan negara-negara kafir yang melakukan konfrontasi dan peperangan dengan negara Khilafah atau negeri-negeri Islam; Negara-negara seperti ini dinamakan kafir harbi fi’lan. Terhadap mereka, negara Khilafah memperlakukannya sebagai kondisi dalam perang. Seluruh penduduknya tidak dibolehkan memasuki Negara Khilafah Islam, karena mereka dianggap musuh. Contoh negara seperti ini adalah Amerika Serikat, Israel, dan Inggris.
sumber: http://hizbut-tahrir.or.id/2008/12/15/serial-syariah-politik-luar-negeri-daulah-khilafah-islam/
wallahu'alam
59
Hukum dan Dunia Politik / Re:Indonesia, Arab Saudi, dll => Darul Kufr?
« pada: 01 Juli 2009, 21:12:36 »berarti Indonesia adalah negeri muslim tapi bukan Darul Islam?أَدْعُهُمْ إِلَى اْلإِسْلاَمِ فَإِنْ أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ، ثُمَّ أَدْعُهُمْ إِلَىالتَّحَوُّلِ مِنْ دَارِهِمْ إِلَى دَارِ اْلمُهَاجِرِيْنَ وَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ إِنْ فَعَلُوْا ذَلِكَ فَلَهُمْ مَا لِلْمُهَاجِرِيْنَ وَعَلَيْهِمْ مَاعَلَى اْلمُهَاجِرِيْنَ، فَإِنْ أَبَوْا أَنْ يَّتَحَوَّلُوْا مِنْهَا فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ يَكُوْنُوْنَ كَأَعْرَابِ اْلمُسْلِمِيْنَ يَجْرِيْ عَلَيْهِمْ حُكْمُ اللهِ الَّذِيْ يَجْرِيْ عَلَى اْلمُؤْمِنِيْنَ وَلاَ يَكُوْنُ لَهُمْ فِيْ الفَيْءِ وَالْغَنِيْمَةِ شَيْءٌ إِلاَّ أَنْ يُجَاهِدُوْا مَعَ اْلمُسْلِمِيْنَ، فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَسَلْهُمُ اْلجِزْيَةَ، فَإِنْ أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ، وَإِنْ أَبَوْا فَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَقَاتِلْهُمْ
wassalam,
Haekal
Ajaklah mereka ke jalan Islam. Apabila mereka menerima seruanmu itu maka terimalah hal itu dari mereka dan hentikanlah peperangan. Kemudian, ajaklah mereka untuk mengubah negara mereka menjadi Darul Muhajirin. Beritahukan kepada mereka, bahwa jika mereka menerima hal itu maka mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan orang-orang Muhajirin. Jika mereka menolak untuk mengubah negara mereka menjadi Darul Islam maka beritahukan kepada mereka, bahwa kedudukan mereka seperti orang-orang Arab Badwi dari kaum Muslim, yaitu diterapkan hukum Allah atas mereka sebagaimana diterapkan atas kaum Muslim, dan mereka tidak mendapatkan sedikitpun dari fai’ dan ghanîmah, kecuali jika mereka turut berjihad dengan kaum Muslim. Apabila mereka menolaknya maka pungutlah atas mereka jizyah. Jika mereka menerima hal itu maka janganlah engkau memerangi mereka. Namun, apabila mereka menolak maka mohonlah pertolongan kepada Allah dan perangilah mereka. [HR Muslim dan Ahmad, dengan lafal Muslim]
sebenar-nya pemahaman darul Islam dan darul kufur, yang sering diwacanakan selama ini, berdasarkan akan penafsiran hadis diatas [kebetulan dahulu saya juga pernah diskusi dengan akhi abu al jauzza], jadi kalau menurut saya wacana yang dikemukakan diatas, dalam konteks wilayah daulah Islamiyyah yang dahulu eksis.
berdasarkan pemahaman selanjutnya, Islam telah membagi dunia ini menjadi dua, yaitu darul Islam [Daulah Islamiyah] dan darul kufur. Daulah Islamiyah [negara Islam] adalah negara yang satu, yang wajib mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.
Negara yang merupakan Daulah Islamiyyah terakhir telah runtuh, dan wilayah yang dimiliki daulah tersebut telah terpecah menjadi beberapa bagian. kalau didasarkan pemahaman berdasarkan hadis diatas jelas wilayah yang saat ini pecah, merupakan wilayah darul Islam, termasuk Indonesia.
Nah yang dikritisi dan menjadi polemik adalah seperti apa seharusnya daulah islamiyyah itu, jelas bahwa seharusnya wilayah darul Islam yang pecah tersebut wajib disatukan kembali, dan wajib diterapkan sistem islam atas negara tersebut. insya Allah inilah yang menjadi arah perjuangan HT, saya dapat menyimpulkan ada 2 tujuan:
1.berusaha menyatukan kembali wilayah darul Islam yang saat ini pecah, sekaligus umat Islam didalam-nya
2.menegakkan sistem Islam atas negara tsb, yang akan menerapkan syariah Islam secara kaffah.
(terus terang akhi, selama saya diskusi masalah darul Islam-darul Kufr pada beberapa waktu yang lalu, kebanyakan hanyalah mengaburkan banyak istilah-istilah yang pada esensinya untuk menjauhkan diskusi pada persoalan yang lebih substansial untuk didiskusikan, yaitu bagaimana seharusnya Daulah Islamiyyah [darul Islam] itu seharusnya, berdasarkan nash syara [syariat])
mungkin sedikit saya mau menyimpulkan pemaparan diatas:
berdasarkan wacana pemahaman darul Islam dan darul Kufr, negeri-negeri muslim yang dahulu bagian dari Daulah islamiyyah, jelas merupakan darul Islam [wilayah Daulah Islamiyyah], yang dipermasalahkan adalah apakah darul Islam tsb, telah mencerminkan darul Islam yang sesungguhnya, berdasarkan syariat Allah?
wallahu'alam
60
Hukum dan Dunia Politik / Re:Indonesia, Arab Saudi, dll => Darul Kufr?
« pada: 30 Juni 2009, 18:04:41 »jadi realitanya, tidak ada istilah Darul Islam dan Darul kufur?akhi, kalau kita mau membicarakan dalam konteks kekinian mengenai wacana darul kufur dan darul Islam, maka penerapan-nya sesuai dengan postingan saya di sebelah, bahwa Negeri Muslim, yaitu wilayah Islam yang dikuasai oleh penjajah pasca kehancuran Khilafah Utsmaniyah, tidak diterapkan dengan pemahaman darul Islam dan darul kufur, karena Khilafah tidak menganggap hubungan dengan negeri-negeri Muslim tersebut sebagai bagian dari politik luar negeri. Khilafah akan melakukan berbagai upaya keras untuk menyatukan kembali negeri-negeri ini menjadi sebuah negara di bawah bendera Daulah Khilafah. Dengan kata lain, metode perang [jihad fi sabilillah], dengan menawarkan alternatif seperti:
wassalam,
Haekal
(1) Memeluk Islam;
(2) Bergabung dan tunduk terhadap Daulah Islamiyah serta bagi ahl adz-dzimmah diberi kebebasan untuk menganut agamanya masing-masing dengan membayar jizyah;
(3) Jika dua pilihan tersebut ditolak, berarti secara syar'i, Daulah Islamiyah berhak memerangi mereka dengan jihad fi sabilillah
tidak akan diterapkan.
Sebab sejatinya tujuan dari politik luar negeri Islam [POLUGRI] jihad fi sabilillah adalah sebagai metode untuk menyebarluaskan Islam ke seluruh dunia.
wallahu'alam
61
Hukum dan Dunia Politik / Re:Indonesia, Arab Saudi, dll => Darul Kufr?
« pada: 30 Juni 2009, 17:27:07 »iya akh... makanya dipisahkan ke dalam thread tersendiri...yup, hanya menjadi wacana, dan kajian ilmu semata.
tentang "hubungan erat-nya tentang masalah futuhat", apakah ini berarti ketika khilafah tidak ada, maka istilah Darul Islam-Darul Kufur tidak relevan?
wassalam,
Haekal
pertanyaan mendasar-nya, apakah ada Negara di dunia saat ini, yang menggunakkan politik luar negri [POLUGRI], yang berdasarkan Islam, dengan metoda yang telah dijalankan oleh Rasulullah saw., yaitu jihad fi sabilillaah?
Titik-tolak Daulah Islamiyah untuk mengemban risalah Islam ke seluruh dunia melalui jihad bermakna bahwa negara menjadikan peperangan [al-harb] sebagai asal dalam [menjalin] hubungannya dengan negara lain. Meskipun demikian, bukan berarti Daulah Islamiyah harus selalu menyulut api peperangan secara terus-menerus dengan seluruh negara yang ada di dunia meskipun negara-negara tersebut memusuhi Islam dan melakukan konspirasi melawannya. Sebab, kadangkala negara Islam tidak memiliki kemampuan untuk berperang karena sebab-sebab tertentu, seperti tidak adanya kondisi yang tepat untuk berperang, atau karena negara sedang memfokuskan peperangan di medan [perang] lain. Bahkan, kadangkala negara terpaksa menghentikan peperangan karena satu keadaan atau beberapa keadaan.
Meskipun demikian, aktivitas jihad fi sabilillah yang dilakukan Daulah Islamiyah tetap melalui prosedur syariat, sebagaimana yang dikandung di dalam Hadis Nabi saw. berikut:
أَدْعُهُمْ إِلَى اْلإِسْلاَمِ فَإِنْ أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ، ثُمَّ أَدْعُهُمْ إِلَىالتَّحَوُّلِ مِنْ دَارِهِمْ إِلَى دَارِ اْلمُهَاجِرِيْنَ وَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ إِنْ فَعَلُوْا ذَلِكَ فَلَهُمْ مَا لِلْمُهَاجِرِيْنَ وَعَلَيْهِمْ مَاعَلَى اْلمُهَاجِرِيْنَ، فَإِنْ أَبَوْا أَنْ يَّتَحَوَّلُوْا مِنْهَا فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ يَكُوْنُوْنَ كَأَعْرَابِ اْلمُسْلِمِيْنَ يَجْرِيْ عَلَيْهِمْ حُكْمُ اللهِ الَّذِيْ يَجْرِيْ عَلَى اْلمُؤْمِنِيْنَ وَلاَ يَكُوْنُ لَهُمْ فِيْ الفَيْءِ وَالْغَنِيْمَةِ شَيْءٌ إِلاَّ أَنْ يُجَاهِدُوْا مَعَ اْلمُسْلِمِيْنَ، فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَسَلْهُمُ اْلجِزْيَةَ، فَإِنْ أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ، وَإِنْ أَبَوْا فَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَقَاتِلْهُمْ
Ajaklah mereka ke jalan Islam. Apabila mereka menerima seruanmu itu maka terimalah hal itu dari mereka dan hentikanlah peperangan. Kemudian, ajaklah mereka untuk mengubah negara mereka menjadi Darul Muhajirin. Beritahukan kepada mereka, bahwa jika mereka menerima hal itu maka mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan orang-orang Muhajirin. Jika mereka menolak untuk mengubah negara mereka menjadi Darul Islam maka beritahukan kepada mereka, bahwa kedudukan mereka seperti orang-orang Arab Badwi dari kaum Muslim, yaitu diterapkan hukum Allah atas mereka sebagaimana diterapkan atas kaum Muslim, dan mereka tidak mendapatkan sedikitpun dari fai' dan ghanimah, kecuali jika mereka turut berjihad dengan kaum Muslim. Apabila mereka menolaknya maka pungutlah atas mereka jizyah. Jika mereka menerima hal itu maka janganlah engkau memerangi mereka. Namun, apabila mereka menolak maka mohonlah pertolongan kepada Allah dan perangilah mereka. [HR Muslim dan Ahmad, dengan lafal Muslim].
Dengan kata lain, sebelum melakukan perang [jihad fi sabilillah], Daulah Islamiyah terlebih dahulu menawarkan beberapa alternatif:
(1) Memeluk Islam
(2) Bergabung dan tunduk terhadap Daulah Islamiyah, namun ahl adz-dzimmah diberi kebebasan untuk menganut agamanya masing-masing dengan membayar jizyah
(3) Jika dua pilihan tersebut ditolak, berarti secara syar'i, Daulah Islamiyah berhak memerangi mereka dengan jihad fi sabilillah.
Itulah yang Rasulullah saw. tunjukkan kepada kita melalui aktivitas beliau dengan mengirimkan belasan utusan kepada para raja maupun kaisar di darul kufur. Isi surat yang disampaikan kepada para raja tersebut menunjukkan ajakan Rasulullah saw. untuk memeluk Islam atau—jika mereka menolak— bersedia tunduk di bawah kekuasaan Islam dengan membayar jizyah [sebagai tanda ketundukan mereka terhadap Daulah Islamiyah]. Jika dua pilihan tersebut mereka tolak, Daulah Islamiyah secara syar'i berhak melakukan futuhat [invansi terbuka] untuk menghancurkan penghalang-penghalang fisik bagi sampainya Islam kepada penduduk darul kufur tersebut. Sejarah menunjukkan kepada kita bahwa futuhat Islam ke negara Persia [wilayah Iran dan Irak], Romawi [wilayah Syam], maupun Mesir didahului oleh ajakan untuk memenuhi dua alternatif tersebut.
Realitas saat ini membuktikkan tidak ada satupun negara yang menerapkan politik luar negeri seperti kaidah diatas.
[saya tambahkan dengan mengambil dari berbagai sumber]
wallahu'alam
62
Hukum dan Dunia Politik / Re:Indonesia, Arab Saudi, dll => Darul Kufr?
« pada: 30 Juni 2009, 16:00:48 » @akhi haekal
belum sempat baca secara keseluruhan.
menurut saya sebenar-nya ada 2 istilah yang agak sedikit saling bertentangan.
wacana darul Islam dan darul Kufur, yang akhi haekal kemukakan, itu menurut saya wacana pemahaman ulama yang berhubungan dengan politik luar negeri negara khilafah, dan hubungan erat-nya tentang masalah futuhat, yaitu ekspansi daerah kekuasaan [pembebasan] Khilafah Islam. Nah ada sedikit keganjilan ketika wacana ini dikemukakan ketika kita masukkan dalam diskusi dalam thread "Ilusi Negara Islam", yang kalau saya menilai ini adalah bahan diskusi kajian umum, dan padanan yang pas untuk membahas ini adalah antara negara Islam dan negara bangsa [bersistem demokrasi], dan perbedaan antara negara Islam, dan karakter-nya yang khas, dan juga nation-state yang bersistem demokrasi, yang meletakkan ikatan nasionalisme diatas segala-nya.
wallahu'alam
belum sempat baca secara keseluruhan.
menurut saya sebenar-nya ada 2 istilah yang agak sedikit saling bertentangan.
wacana darul Islam dan darul Kufur, yang akhi haekal kemukakan, itu menurut saya wacana pemahaman ulama yang berhubungan dengan politik luar negeri negara khilafah, dan hubungan erat-nya tentang masalah futuhat, yaitu ekspansi daerah kekuasaan [pembebasan] Khilafah Islam. Nah ada sedikit keganjilan ketika wacana ini dikemukakan ketika kita masukkan dalam diskusi dalam thread "Ilusi Negara Islam", yang kalau saya menilai ini adalah bahan diskusi kajian umum, dan padanan yang pas untuk membahas ini adalah antara negara Islam dan negara bangsa [bersistem demokrasi], dan perbedaan antara negara Islam, dan karakter-nya yang khas, dan juga nation-state yang bersistem demokrasi, yang meletakkan ikatan nasionalisme diatas segala-nya.
wallahu'alam
63
Hukum dan Dunia Politik / Re:Hizbut Tahrir : Yaman siap dengan sistem khilafah ?
« pada: 30 Juni 2009, 15:39:27 »@akh pembelajarhukum hijrah, didasarkan kondisi bagi tiap person, akhi.
kalo di thread ini: Indonesia, Arab Saudi, dll => Darul Kufr?
kok yang saya tangkap, bahwa HTI menganggap Indonesia sebagai Darul Kufr....
jadi frase yang ini artinya apa:
Posting Digabung: 30 Juni 2009, 15:30:19
trus, menurut akh pembelajar, seandainya Yaman menjadi kekhalifahan, maka hukum hijrah dari Indonesia ke Yaman bagaimana?
seperti sahabat yang tetap tinggal di makkah, ketika rasul dan sahabat yang lain hijrah ke madinah, dalil bagi sahabat yang tinggal menurut hukum sunnah, sesuai diriwayatkan sebuah hadits dari Nu'aim al-Nahaam. bahwasanya ia hendak hijrah ke Madinah. Lalu, kaumnya, Bani 'Adiy, mendatangi dirinya dan berkata, "Tetap tinggallah anda di negeri kami, dan anda tetap di atas agama anda. Dan kami akan melindungi anda dari orang-orang yang hendak menyakiti anda….' Beliau pun mengurungkan diri untuk berhijrah beberapa waktu lamanya, lalu setelah itu beliau berhijrah. Nabi saw berkata kepadanya, "Perlakuan kaummu terhadap dirimu lebih baik dibandingkan perlakuan kaumku kepadaku. Kaumku telah mengusirku, dan hendak membunuhku. Sedangkan kaummu, menjaga dan melindungimu.."
Imam Ibnu Qudamah dalam al-Mughniy menjelaskan sebab kesunnahan hijrah dalam keadaan tersebut, sebagai berikut, "Jika penduduk Muslim masih mampu memperkuat jihad, memobilisasi kaum Muslim, membantu mereka, dan jika ia masih mungkin melenyapkan kekuatan dan persekutuan kaum kafir, serta membinasakan panji-panji kemungkaran, maka mereka tidak wajib hijrah, karena mereka masih sanggup menegakkan kewajiban agamanya, meskipun tanpa harus berhijrah ke Daar al-Islam".
Posting Digabung: 30 Juni 2009, 15:47:55
artikel yang sangat lugas, membahas tentang hijrah.
Seputar Hijrah: Makna, Hukum, dan Aktualisasinya Kini
1. Definisi Hijrah
Secara literal, kata al-hijrah merupakan isim (kata benda) dari fi’il hajara, yang bermakna dlidd al-washl (lawan dari tetap atau sama). Bila dinyatakan “al-muhajirah min ardl ila ardl” (berhijrah dari satu negeri ke negeri lain); maknanya adalah “tark al-ulaa li al-tsaaniyyah” (meninggalkan negeri pertama menuju ke negeri yang kedua). [Imam al-Raziy, Mukhtaar al-Shihaah, hal. 690; Imam Qurthubiy, Tafsir al-Qurthubiy, juz 3, hal. 48]
Menurut istilah umum, al-hijrah bermakna berpindah (al-intiqaal) dari satu tempat atau keadaan ke tempat atau keadaan lain, dan tujuannya adalah meninggalkan yang pertama menuju yang kedua. Adapun konotasi hijrah menurut istilah khusus adalah meninggalkan negeri kufur (daar al-Kufr), lalu berpindah menuju negeri Islam (daar al-Islaam).[Al-Jurjaniy, al-Ta'rifaat, juz 1, hal. 83] Pengertian terakhir ini juga merupakan definisi syar’iy dari kata al-hijrah.
2. Hukum Hijrah
Hijrah dari Daar al-Kufr menuju Daar al-Islaam tidak hanya memiliki satu hukum saja, akan tetapi ia mempunyai beberapa hukum tergantung dari keadaan dan situasinya.
2.1. Hijrah Berhukum Wajib
Hijrah berhukum wajib dalam keadaan dan situasi sebagai berikut;
1. Ketika seseorang sudah tidak mampu lagi melaksanakan taklif-taklif syar’iyyah di tempat yang ia tinggali.[Ibnu Qudamah, Al-Mughniy, juz 10, hal. 514]
2. Khawatir jika ia tidak berpindah dari tempat itu, akan terjadi fitnah terhadap agamanya; walaupun ia masih mampu menjalankan taklif-taklif syar’iyyah. [Imam Syarbini, Mughniy al-Muhtaaj, juz 4, hal. 239]
3. Jika ada perintah dari imam untuk memperkuat kekuasaan Islam. [Imam Syaukaniy, Nail al-Authar, juz 8, hal. 29]
Adapun dalil wajibnya hijrah dalam tiga keadaan di atas adalah firman Allah swt;
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلآئِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُواْ فِيمَ كُنتُمْ قَالُواْ كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الأَرْضِ قَالْوَاْ أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُواْ فِيهَا فَأُوْلَـئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءتْ مَصِيراً
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya, “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?”. Mereka menjawab, “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)”. Para malaikat berkata, “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?”. Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali“. [TQS An Nisaa' (4):97]
Yang dimaksud dengan orang yang mendzalimi dirinya sendiri ialah kaum Muslim Mekah yang tidak mau berhijrah bersama Nabi ke Madinah, padahal mereka sanggup. Akibatnya, mereka ditindas dan dipaksa oleh kaum kafir Quraisy berperang bersama mereka di medan Badar.
Imam Ibnu Qudamah menyatakan, “Ayat ini merupakan peringatan sangat keras yang menunjukkan hukum wajib. Sebab, melaksanakan kewajiban agama merupakan kewajiban bagi orang yang mampu melaksanakannya. Hijrah sendiri termasuk kewajiban yang sangat penting, sekaligus penyempurna bagi kewajiban lain. Jika suatu kewajiban tidak tersempurna kecuali oleh sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib”. [Ibnu Qudamah, Al-Mughniy, juz 10, hal. 514]
Imam Qurthubiy dalam Tafsir Qurthubiy menyatakan, “Alasan yang dikemukakan kaum Muslim Mekah “kunnaa mustadl’afiina fi al-ardl” (kami adalah orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)” adalah alasan yang tidak benar. Sebab, mereka mampu berpindah, dan tahu jalan menuju Madinah. Lalu, malaikat mengingatkan kepada mereka tentang urusan agama mereka dengan perkataannya, ‘alam takun ardl al-Allah waasi’ah” (bukankah negeri Allah sangatlah luas?). Tanya jawab diantara mereka memberikan faedah bahwa orang-orang Muslim Mekah itu adalah kaum Muslim yang menganiaya dirinya sendiri karena telah meninggalkan kewajiban hijrah”. [Imam Qurthubiy, Tafsir al-Qurthubiy, juz 5, hal. 346]
Sebagian ulama berpendapat, siapa saja meninggalkan hijrah, padahal ia mampu melaksanakannya, maka ia telah murtad dari Islam. Al-Jashshaash dalam Ahkaam al-Quran menyatakan, “..Hasan bin Shalih berkata, “…jika kaum kafir berhasil menguasai negeri Islam; dan penduduk Muslim masih tetap tinggal di negeri tersebut, padahal mereka sanggup keluar dari negeri itu, maka mereka bukanlah kaum Muslim..” [ Al-Jashshaash, Ahkaam al-Quran, juz 3, hal. 219]. Hanya saja, Imam al-Jashshaash membantah pendapat Hasan bin Shalih, karena bertentangan dengan al-Quran dan Ijma’. Alasannya, Allah swt berfirman, artinya, “dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah..” Ayat ini tetap mensifati orang yang tidak berhijrah dengan sifat mukmin. Ini menunjukkan bahwa orang yang mampu berhijrah namun tidak melakukannya, tidak terjatuh dalam kemurtadan. Kesimpulan ini diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Sulaiman bin Buraidah, bahwasanya Nabi saw bersabda, “….Lalu ajaklah mereka berpindah dari negeri mereka menuju negeri Muhajirin…jika mereka menolaknya, beritahulah mereka bahwa mereka seperti orang-orang Arab Muslim pedusunan..” [HR. Imam Muslim]
Namun, jika orang yang tidak berhijrah itu mendapatkan fitnah dan berpaling dari agama Islam, maka ia dihukumi murtad.
2. 2. Hijrah Berhukum Sunnah
Hijrah berhukum sunnah bagi orang yang mampu melakukan hijrah namun tidak berhijrah, dan ia masih mungkin memenangkan agamanya di daar al-Kufur. Imam Ibnu Qudamah dalam al-Mughniy menjelaskan sebab kesunnahan hijrah dalam keadaan tersebut, sebagai berikut, “Jika penduduk Muslim masih mampu memperkuat jihad, memobilisasi kaum Muslim, membantu mereka, dan jika ia masih mungkin melenyapkan kekuatan dan persekutuan kaum kafir, serta membinasakan panji-panji kemungkaran, maka mereka tidak wajib hijrah, karena mereka masih sanggup menegakkan kewajiban agamanya, meskipun tanpa harus berhijrah ke Daar al-Islam”. Kemudian, beliau meriwayatkan sebuah hadits dari Nu’aim al-Nahaam, bahwasanya ia hendak hijrah ke Madinah. Lalu, kaumnya, Bani ‘Adiy, mendatangi dirinya dan berkata, “Tetap tinggallah anda di negeri kami, dan anda tetap di atas agama anda. Dan kami akan melindungi anda dari orang-orang yang hendak menyakiti anda….’ Beliau pun mengurungkan diri untuk berhijrah beberapa waktu lamanya, lalu setelah itu beliau berhijrah. Nabi saw berkata kepadanya, “Perlakuan kaummu terhadap dirimu lebih baik dibandingkan perlakuan kaumku kepadaku. Kaumku telah mengusirku, dan hendak membunuhku. Sedangkan kaummu, menjaga dan melindungimu..” [Imam Ibnu Qudamah, Al-Mughniy, juz 10, hal. 515]
2.3. Hukum Hijrah Ketiga:Gugurnya Kewajiban dan Kesunnahan Hijrah
Hukum ketiga dari hukum-hukum hijrah adalah gugurnya kewajiban dan kesunnahan hijrah bagi orang-orang yang tidak mampu melaksanakan hijrah. Ketidakmampuan di sini disebabkan karena sakit, dipaksa untuk tetap tinggal, atau orang tersebut terkategori kaum lemah (wanita dan anak-anak). Ketentuan ini didasarkan pada firman Allah swt;
إِلاَّ الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاء وَالْوِلْدَانِ لاَ يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلاَ يَهْتَدُونَ سَبِيلاً
“Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah)”. [TQS An Nisaa' (4):98]
Menurut Ibnu Qudamah, ayat ini juga tidak mengindikasikan adanya hukum sunnah; sehingga, dalam keadaan seperti ini, gugurlah hukum wajib dan sunnah dari hijrah.
2.4. Kaum Muslim Disunnahkan Tinggal di Daar al-Kufr
Hukum ini berlaku, jika tinggalnya seorang Mukmin di daar al-Kufr memberikan mashlahat kepada kaum Muslim. Imam Syarbiniy dalam Mughniy al-Muhtaaj menuturkan sebuah riwayat bahwasanya ‘Abbas ra sudah masuk Islam sebelum perang Badar, namun ia masih menyembunyikannya. ‘Abbas ra pun mengirimkan surat kepada Nabi saw dan menginformasikan keadaan kaum Musyrik kepada beliau saw, dan menyatakan bahwa kaum Muslim di Mekah masih mempercayai beliau saw sepenuhnya. ‘Abbas ra juga menyampaikan bahwa sebenarnya ia lebih suka bersua dengan Nabi saw. Nabi saw puin mengirim surat kepadanya, di mana di dalamnya tertulis, “Sesungguhnya, tinggalnya anda di Mekah itu baik”. Lalu, ‘Abbas ra menampakkan keislamannya pada saat penaklukkan Mekah”. [Imam al-Khathiib al-Syarbiniy,Mughniy al-Muhtaaj bi Syarh al-Minhaaj, juz 4, hal. 239]
2.5. Haramnya Hijrah dari Daar al-Kufr Menuju Daar al-Islaam
Seorang Muslim dilarang (haram) berhijrah dari Daar al-Kufr ke Daar al-Islam, dan ia wajib tetap tinggal di Daar al-Kufr, jika ia memiliki kesanggupan dan kekuatan untuk mengubah Daar al-Kufr yang ia tinggali menjadi Daar al-Islaam. Kesanggupan dan kekuataan ini bisa saja karena ia sendiri memang kuat dan mampu, atau bergabung dengan kaum Muslim lain yang tinggal di negerinya, atau bersekutu dengan kaum Muslim yang berada di luar, atau mendapatkan dukungan dari Daulah al-Islaamiyyah. Dalam kondisi semacam ini, ia wajib tinggal di Daar al-Kufr dan dilarang hijrah ke Daar al-Islaam. [Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah, juz 2, hal. 269-270]. Dalilnya adalah firman Allah swt;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ قَاتِلُواْ الَّذِينَ يَلُونَكُم مِّنَ الْكُفَّارِ وَلْيَجِدُواْ فِيكُمْ غِلْظَةً وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa“. [TQS At Taubah (9):123]
Berdasarkan ayat ini, setiap orang yang mampu memerangi orang kafir dan menundukkan negerinya di bawah kekuasaan Islam, maka berlakulah hukum yang terkandung dalam ayat tersebut. Pendapat semacam ini juga dikemukakan oleh Imam Syarbiniy dalam kitab Mughniy al-Muhtaaj. [Imam Syarbiniy, Mughniy al-Muhtaaj, juz 4, hal. 239]
3. Aktualisasi Hijrah Bagi Kaum Muslim
Seperti halnya hukum-hukum Islam yang lain, hijrah merupakan bagian integral dari ketaqwaan seorang Muslim kepada Allah swt. Sebab, hijrah merupakan instrumen hukum yang ditetapkan untuk melindungi agama dan jiwa kaum Muslim dari ancaman musuh-musuhnya. Dengan hijrah, seorang Muslim akan diantarkan menuju tempat atau keadaan yang menjadikan dirinya aman dan tenang dalam menjalankan taklif-taklif syariat. Tidak hanya itu saja, dengan hijrah, seorang Muslim akan merasakan betapa luasnya bumi Allah; sehingga ia rela meninggalkan negeri yang dicintainya menuju negeri yang bisa menjamin keselamatan agama dan jiwanya. Dengan hijrah pula, kesempitan dalam menjalankan perintah Allah akan berganti dengan kelapangan. Oleh karena itu, hijrah akan selalu aktual, bahkan menjadi kebutuhan bagi seorang Muslim yang peduli dengan keselamatan jiwa dan agamanya.
Seorang Muslim yang tidak berhijrah tanpa ada alasan syar’iy, tak ubahnya dengan seseorang yang tidak lagi peduli terhadap agamanya. Muslim sejati adalah orang yang selalu peduli terhadap kesempurnaan peribadahannya kepada Allah swt. Bila ia menyadari bahwa pekerjaan dan muamalatnya bertentangan dengan syariat Islam, atau akan menjerumuskan dirinya kepada kenistaan, maka ia segera meninggalkan semua itu, dan berpindah menuju ke pekerjaan dan muamalat Islamiy. Begitu pula, bila ia hidup di sebuah negeri yang menerapkan aturan–aturan kufur, maka dengan sekuat tenaga ia akan menjaga agamanya dari segala bentuk kekufuran dan kemaksiyatan. Tidak hanya itu saja, ia juga berusaha sekuat tenaga untuk mengubah aturan-aturan kufur tersebut, dan diganti dengan aturan-aturan Islam, agar ia bisa menjalankan semua perintah Allah swt tanpa ada halangan lagi. Dengan kata lain, ia selalu memikirkan berbagai macam upaya dan cara agar keadaan masyarakatnya yang kufur itu berubah (berpindah) menuju masyarakat yang Islamiy. Ia tidak hanya menunggu-nunggu tegaknya Daulah Islamiyyah di negeri lain, sehingga ia bisa pergi hijrah ke sana, akan tetapi ia berupaya keras menegakkan kekuasaan Islam di negerinya, dan turut serta berjuang bersama kaum Muslim yang lain untuk mewujudkan kembali tatanan masyarakat dan negara yang diatur dengan syariat Islam.
Atas dasar itu, aktualisasi hijrah dalam konteks sekarang harus dimaknai dengan perjuangan untuk melanjutkan kembali kehidupan Islam dalam ranah individu, masyarakat, dan negara. Dengan kata lain, aktualisasi hijrah sekarang harus diwujudkan dengan cara berjuang menegakkan kembali kekuasaan Islam (Khilafah Islamiyyah) yang akan menjamin terlaksananya hukum hijrah itu sendiri. Sebab, hijrah dalam konteks berpindahnya kaum Muslim dari Daar al-Kufr menuju Daar al-Islaam hanya akan bisa ditegakkan jika di tengah-tengah kaum Muslim telah berdiri Khilafah Islamiyyah. Dan hanya dengan Khilafah Islamiyyah semata, kaum Muslim bisa berpindah (hijrah) dari sebuah kondisi dan negeri yang kufur menuju kondisi dan negeri yang Islamiy. Dengan begitu, tujuan utama hijrah yakni penjagaan atas jiwa dan agama kaum Muslim bisa diwujudkan secara faktual. Wallahu A’lam bil Shawab. (Syamsuddin Ramadlan an Nawy –Lajnah Tsaqafiyyah, HTI).
64
Hukum dan Dunia Politik / Re:Hizbut Tahrir : Yaman siap dengan sistem khilafah ?
« pada: 30 Juni 2009, 15:16:07 »pertanyaan yang menarik...akhi haekal, mungkin saya sedikit mau menjawab 2 hal secara terpisah.
terutama kalau memang Indonesia dianggap sebagai Darul Kufr, tentunya prioritas utama adalah hijrah ke Yaman...
bukan begitu?
jadi, mungkin ikutan nanya...
bagaimana reaksi para ikhwah HTI, seandainya Yaman mendeklarasikan diri sebagai kekhalifahan?
lalu bagaimana status negara-negara yang ada saat ini (Indonesia, Arab Saudi, Malaysia, dsb)? Sasaran perang kah?
Lalu, apakah dengan status Darul Kufr yang dilekatkan HTI ke Indonesia, maka para syabab HTI yang masih tinggal di Indonesia akan berperan sebagai agen perang negara lain (kekhalifahan Yaman)?
wassalam,
Haekal
1.Soal hijrah. ini harus didasarkan dulu menurut apa hukum hijrah, untuk hal ini hukum hijrah bisa banyak kategori sesuai kondisi, dahulu saya pernah membahas hukum hijrah ini, ada yang wajib, ada juga yang sunnah, bahkan ada yang haram. jika memang kurang jelas mengenai hukum hijrah ini insya-Allah saya akan menjawab disertai dalil-nya jika memang diperlukan.
2.Hubungan Daulah Khilafah dengan negara-negara lain akan dibangun dengan pola sebagai berikut:
a. Hubungan dengan penguasa negeri-negeri Muslim
Negeri Muslim adalah wilayah Islam yang dikuasai oleh penjajah pasca kehancuran Khilafah Utsmaniyah. Dalam pandangan Islam, menyatukan negeri-negeri Muslim dalam satu kepemimpinan merupakan sebuah kewajiban. Inilah mengapa Khilafah tidak menganggap hubungan dengan negeri-negeri Muslim tersebut sebagai bagian dari politik luar negeri. Khilafah akan melakukan berbagai upaya keras untuk menyatukan kembali negeri-negeri ini menjadi sebuah negara di bawah bendera Daulah Khilafah.
b. Hubungan dengan negara-negara Kafir
* Pertama, negara yang menduduki wilayah Islam, atau negara yang terlibat secara aktif memerangi umat Islam seperti Amerika Serikat, Inggris, Israel, dan India. Hubungan dengan negara-negara ini ditetapkan berdasarkan kebijakan Harbi Fi'lan [perang riil]. Tidak boleh ada hubungan diplomatik maupun ekonomi antara Khilafah dengan negara-negara musuh ini. Warga negara mereka tidak diizinkan memasuki wilayah Daulah Khilafah. Meski tengah terjadi gencatan senjata yang bersifat temporer, negara-negara itu tetap diperlakukan sebagai harbi fi'lan. Hubungan diplomatik dan ekonomi dengan negara-negara tersebut tetap tidak dilakukan.
* Kedua, negara-negara Kafir yang tidak menduduki wilayah Islam, atau tidak sedang memerangi umat Islam, akan tetapi mereka mempunyai niat menduduki wilayah Islam. Khilafah tidak menjalin hubungan diplomatik dan ekonomi dengan negara-negara Kafir seperti ini. Tapi warga negara-negara tersebut diizinkan memasuki wilayah Daulah Khilafah dengan visa sekali jalan ([single entry].
* Ketiga, negara-negara Kafir selain kedua kategori di atas. Terhadap negara-negara seperti ini, Khilafah diizinkan membuat perjanjian. Sambil terus mengamati skenario politik internasional, Khilafah diperbolehkan menerima atau menolak perjanjian demi kepentingan dakwah Islam. Di samping itu, perjanjian diplomatik dan ekonomi dengan negara-negara Kafir jenis ini harus dilakukan sesuai dengan syariah Islam. Daulah Khilafah yang menguasai sumberdaya minyak, gas dan aneka mineral yang melimpah serta memiliki kekuatan militer yang tangguh, kedudukan yang strategis di dunia, visi politik yang cemerlang, pemahaman tentang situasi politik internasional yang mendalam serta umat yang dinamis, akan mampu menghindari isolasi politik internasional dan terus berupaya meraih kedudukan sebagai negara terkemuka di dunia.
[sedikit saya tambahkan dari berbagai sumber]
wallahu'alam
65
Hukum dan Dunia Politik / Re:Fanatik Golput dari dulu, tapi kok ngetem di HUKPOL terus...??
« pada: 14 Juni 2009, 19:43:38 »بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِkenapa masuk board hukpol.
Ada yg sedikit menjadi ganjalan saya, dari dulu 'penumpang' di hukpol banyak yg golput bahkan mengharamkan demokrasi dan politik. Tapi kok, istiqomah di hukpol ya...? Apa nggak 'terwarnai' nih dgn praktisi, aktifis dan simpatisan 'politisi' lainnya...? Kenapa ya.....
sebelumnya
kalau saya sendiri punya dua misi [alasan], yang sudah saya jalankan:
1.memberikan pemahaman kepada saudara saya satu akidah, bahwa sistem demokrasi, adalah sistem politik yang bertentangan dengan Islam, dan insya-Allah apa yang saya lakukan ini bernilai ibadah.
2.berusaha "mendakwahkan" sistem politik Islam, yaitu sistem Khilafah, yang akan menyatukan umat, dan menerapkan Islam secara kaffah, dan sekali lagi dengan melakukan hal ini, insya-Allah akan bernilai ibadah.
wallahu'alam
66
Hukum dan Dunia Politik / Re:"ILUSI NEGARA ISLAM"
« pada: 10 Juni 2009, 21:02:23 » Struktur Negara Islam
67
Fiqih, Akhlaq, & Ahkamul Islam / Re:Maqashid, Mashalih Mursalah, Kaidah Kulliah
« pada: 04 Juni 2009, 22:49:10 » yup setuju sama akhi aeonia, mungkin di thread ini kita bisa mempelajari kaidah fiqh, secara keilmuan saja, dan bisa melepaskan darimana datang-nya kaidah tsb.
tadi malam sedikit berfikir-fikir tentang 2 kaidah ini.
Al-Ashlu fi al-asy-yaa' al-ibahah maa lam yarid dalil at-tahrim [hukum asal sesuatu adalah mubah selama tidak terdapat dalil yang mengharamkannya].
nah ada 2 pendapat sebelum-nya asyya' itu adalah mencakup benda dan juga af'al [perbuatan]
mungkin kita bisa saja mengikuti pendapat ini [alur ini].
pilihan kedua kita dapat memisahkan antara assya' itu benda dan af'al adalah perbuatan.
untuk asyya' itu benda ada kaidah-nya, yaitu kaidah yang sama seperti diatas.
hukum asal benda adalah mubah selama tidak terdapat dalil yang mengharamkannya
jadi kalau dilihat disini, 2 pendapat yang menjadi polemik, ada juga irisan persamaan-nya, yaitu keduanya sama-sama berpendapat bahwa hukum asal benda adalah mubah.
Nah sekarang beralih ke perbuatan [af'al]
berdasarkan pendapat yang berbeda, hukum asal perbuatan adalah berdasarkan kaidah ini:
اَلأَصْلُ فِي اْلأَفْعَالْ التَّقَيُدُ بِاْلأَحْكَامِ الشَّرْعِيَةِ
Hukum asal perbuatan manusia adalah terikat dengan hukum syariat.
berdasarkan kaidah ini, bahwa pada hukum syara' mubah, terdapat pilihan [takhyir], dan harus didasarkan pada dalil syara', pertanyaan-nya kenapa harus didasarkan pada dalil syara'?
dari sinilah kita dapat mengungkapkan bahwa, kaidah fiqh itu kedudukan-nya bukanlah dali syara', melainkan hanya hukum syariah saja, jadi untuk menetapkan hukum-nya diperlukan dalil syara'.
kita ketahui bahwa hukum syara' itu didefenisikan dengan:
1.Perintah Asy-Syari [Pembuat hukum] yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan hamba dan berkaitan dengan iqtidha' [ketetapan], takhyir [pilihan], atau wadh'i [kondisi] [khithab asy-Syari' al-muta'allaq bi af'al al-'ibad bi al-iqtidha' aw al-takhyir, aw al-wadl'i [An-Nabhani].
2.Perintah Asy-Syari' [Pembuat hukum] yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf [khithab asy-Syari' al-muta'allaq bi af'al al-mukallafin. [Al-Amidi]
3.Perintah Asy-Syari' [Pembuat hukum] yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan hamba [khithab asy-Syari al-muta'allaq bi af'al al-'ibad [Al-Amidi].
4.Perintah Asy-Syari' [Pembuat hukum] yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan mukallaf dan berkaitan dengan iqtidha' [ketetapan], takhyir [pilihan], atau wadh'i [kondisi] [khithab asy-Syari' al-muta'allaq bi af'al al-'ibad bi al-iqtidha' aw al-takhyir, aw al-wadl'i. [Asy-Syaukani]
jadi sejati-nya untuk mengetahui hukum syara', yang lima itu diperlukan dalil [nash] syara'.
lalu perbedaan yang terjadi dengan pendapat yang bertentangan sebelum-nya adalah bahwa Ibahah dalam perbuatan tidak memerlukan dalil, saya sedikit mengerti kenapa pendapat ini bisa muncul, setelah sedikit memikirkan-nya semalam. pendapat ini bisa disebabkan karena orang yang mengikuti pendapat ini menempatkan kaidah fiqh sebagai dalil syara' [jadi kedudukan-nya memang sejajar dengan nash syara'], sehingga implementasi dari kaidah ini tidak memerlukan dalil syara' lagi, karena sejati-nya mereka berpendapat bahwa kaidah itu saja sudah dalil [dan hal ini berlaku juga masalah-nya seperti Maqashid as-Syari'ah].
jadi kayak-nya untuk mendiskusi-kan hal ini lebih jauh kita harus clear-kan dahulu, apa saja yang bisa dijadikan dalil syara'.
wallahu'alam
tadi malam sedikit berfikir-fikir tentang 2 kaidah ini.
Al-Ashlu fi al-asy-yaa' al-ibahah maa lam yarid dalil at-tahrim [hukum asal sesuatu adalah mubah selama tidak terdapat dalil yang mengharamkannya].
nah ada 2 pendapat sebelum-nya asyya' itu adalah mencakup benda dan juga af'al [perbuatan]
mungkin kita bisa saja mengikuti pendapat ini [alur ini].
pilihan kedua kita dapat memisahkan antara assya' itu benda dan af'al adalah perbuatan.
untuk asyya' itu benda ada kaidah-nya, yaitu kaidah yang sama seperti diatas.
hukum asal benda adalah mubah selama tidak terdapat dalil yang mengharamkannya
jadi kalau dilihat disini, 2 pendapat yang menjadi polemik, ada juga irisan persamaan-nya, yaitu keduanya sama-sama berpendapat bahwa hukum asal benda adalah mubah.
Nah sekarang beralih ke perbuatan [af'al]
berdasarkan pendapat yang berbeda, hukum asal perbuatan adalah berdasarkan kaidah ini:
اَلأَصْلُ فِي اْلأَفْعَالْ التَّقَيُدُ بِاْلأَحْكَامِ الشَّرْعِيَةِ
Hukum asal perbuatan manusia adalah terikat dengan hukum syariat.
berdasarkan kaidah ini, bahwa pada hukum syara' mubah, terdapat pilihan [takhyir], dan harus didasarkan pada dalil syara', pertanyaan-nya kenapa harus didasarkan pada dalil syara'?
dari sinilah kita dapat mengungkapkan bahwa, kaidah fiqh itu kedudukan-nya bukanlah dali syara', melainkan hanya hukum syariah saja, jadi untuk menetapkan hukum-nya diperlukan dalil syara'.
kita ketahui bahwa hukum syara' itu didefenisikan dengan:
1.Perintah Asy-Syari [Pembuat hukum] yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan hamba dan berkaitan dengan iqtidha' [ketetapan], takhyir [pilihan], atau wadh'i [kondisi] [khithab asy-Syari' al-muta'allaq bi af'al al-'ibad bi al-iqtidha' aw al-takhyir, aw al-wadl'i [An-Nabhani].
2.Perintah Asy-Syari' [Pembuat hukum] yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf [khithab asy-Syari' al-muta'allaq bi af'al al-mukallafin. [Al-Amidi]
3.Perintah Asy-Syari' [Pembuat hukum] yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan hamba [khithab asy-Syari al-muta'allaq bi af'al al-'ibad [Al-Amidi].
4.Perintah Asy-Syari' [Pembuat hukum] yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan mukallaf dan berkaitan dengan iqtidha' [ketetapan], takhyir [pilihan], atau wadh'i [kondisi] [khithab asy-Syari' al-muta'allaq bi af'al al-'ibad bi al-iqtidha' aw al-takhyir, aw al-wadl'i. [Asy-Syaukani]
jadi sejati-nya untuk mengetahui hukum syara', yang lima itu diperlukan dalil [nash] syara'.
lalu perbedaan yang terjadi dengan pendapat yang bertentangan sebelum-nya adalah bahwa Ibahah dalam perbuatan tidak memerlukan dalil, saya sedikit mengerti kenapa pendapat ini bisa muncul, setelah sedikit memikirkan-nya semalam. pendapat ini bisa disebabkan karena orang yang mengikuti pendapat ini menempatkan kaidah fiqh sebagai dalil syara' [jadi kedudukan-nya memang sejajar dengan nash syara'], sehingga implementasi dari kaidah ini tidak memerlukan dalil syara' lagi, karena sejati-nya mereka berpendapat bahwa kaidah itu saja sudah dalil [dan hal ini berlaku juga masalah-nya seperti Maqashid as-Syari'ah].
jadi kayak-nya untuk mendiskusi-kan hal ini lebih jauh kita harus clear-kan dahulu, apa saja yang bisa dijadikan dalil syara'.
wallahu'alam
68
Fiqih, Akhlaq, & Ahkamul Islam / Re:Maqashid, Mashalih Mursalah, Kaidah Kulliah
« pada: 04 Juni 2009, 16:54:33 »Oya, khan ada PR buat antum ... dengan menggunakan kaidah itu, apakah hukumnya NGUPIL??please fokus pada topik,
dijawab ya ...
jika antum mau nanya itu silahkan buat thread baru, supaya diskusi disini tidak terlalu melebar.
69
Fiqih, Akhlaq, & Ahkamul Islam / Re:Maqashid, Mashalih Mursalah, Kaidah Kulliah
« pada: 04 Juni 2009, 16:42:46 »Terus terang saya tidak setuju pemisahan kaidah untuk Muamalah dan Ibadah.akhi k3nj1 saya sangat sepakat sama pemahaman antum,
Kenapa karena batas antara keduanya tidak jelas ??
Apa batasan/definisi Muamalah ?
Apa batasan/difinisi Ibadah ?
Disini seringkali timbul kerancuan. contohnya : untuk kasus Maulid Nabi.
Ada yang memasukkan Maulid sbg Ibadah, maka dihukumi haram krn gak ada perintahnya
Tapi ada yang memasukkan Maulid sbg Muamalah, maka dihukumi Mubah karena gak ada larangannya.
Saya kutip dari Abie :
maka kaidah : "Hukum asal Ibadah adalah HARAM", bertentangan dengan prinsip jangan mudah meng HARAM kan diatas.
Karena akan banyak perkara yang tidak ada perintahnya akan di HARAM kan hanya dengan alasan dikategorikan sbg IBADAH.
Agar jelas dan tidak rancu maka dikotomi Muamalah-Ibadah harus dibuang, saya menawarkan kaidah yang lebih valid :
1. Hukum asal segala sesuatu adalah MUBAH, sampai ada dalil yang melarangnya.
2. Hukum asal menyandarkan kpd syariat adalah HARAM, sampai ada dalil yang mensyariatkannya.
Keuntungan terbesar dari gabungan kedua kaidah yang saya tawarkan adalah memperjelas status hukum untuk perkara yang tidak ada perintahnya, tapi juga tidak ada larangannya : yaitu MUBAH, selama tidak disandarkan kepada syariat.
Contoh : Maulid Nabi, gak ada perintahnya, juga gak ada larangannya maka hukumnya MUBAH selama tidak mengatakan maulid itu berasal dari ketentuan syariat.
Sebaliknya walaupun perkara MUBAH kalau disandarkan kepada syariat akan jelas menjadi HARAM,
contoh : rambut gundul itu perkara Mubah dan jelas bukan ibadah.
Tapi ketika seseorang mewajibkan dirinya sendiri, atau menganjurkan orang lain GUNDUL dengan mengatakan itu ketentuan dari syariat, maka perbuatan itu jelas menjadi HARAM.
HARAM nya karena menyandarkan kepada syariat, bukan karena GUNDUL nya.
Pembahasan lebih jauh silahkan ikuti di thread ini : http://myquran.org/forum/index.php/topic,57477.0.html
sebenar-nya ada kaidah yang mencakup ibadah dan muamallah, tanpa ada batasan diantara kedua-nya.
اَلأَصْلُ فِي اْلأَفْعَالْ التَّقَيُدُ بِاْلأَحْكَامِ الشَّرْعِيَةِ
Hukum asal perbuatan manusia adalah terikat dengan hukum syariat
jika fakta itu berupa perbuatan, maka hukumnya ada lima, yakni fardhu [wajib], mandub [sunnah], mubah, makruh dan haram. Misalnya, shaum Ramadhan hukumya wajib, shadaqah hukumnya sunah [mandub], makan roti mubah, berbicara di WC makruh, dan bermuamalah dengan riba itu haram.
wallahu'alam
Posting Digabung: [time]Thu Jun 4 16:45:19 2009[/time]
akhi, jika hukum asal ibadah adalah haram, menurut pemahaman akhi kurang tepat.
Nah itu saya setuju, kaidah yang gak banci, kaidah yang jelas
"Hukum asal SEGALA SESUATU adalah ibahah (boleh/mubah)"
gak pake kata : "Adat/Muamalah" tapi "Segala Sesuatu"
Kalau saya bilang, mulai sekarang buang jauh-jauh kaidah "Hukum asal IBADAH adalah HARAM" karena jelas bertentangan dengan kaidah diatas.
Karena sering disalahgunakan oleh kelompok MUBADI'AH (hoby mem-bid'ah-kan) untuk meng HARAM kan perkara-perkara yang mubah dengan alasan itu termasuk Ibadah yang hukum asalnya haram.
Padahal kaidahnya yang salah, kalau kaidahnya sudah salah maka istinbath hukum semua juz'iyah furuiyah dibawahnya juga ikut salah.
maka implikasi-nya, hukum asal muamallah adalah halal, apakah menurut akhi juga kurang layak?
mohon pendapatnya, sebab seperti diketahui 2 kaidah itu bisa dikatakan satu paket.
70
Fiqih, Akhlaq, & Ahkamul Islam / Re:Maqashid, Mashalih Mursalah, Kaidah Kulliah
« pada: 03 Juni 2009, 21:55:11 »^yup, akhi.
sabar akhi , yang disini ini, termasuk saya sendiri, kan thullab yg masih secuil ilmunya. Statusnya kan sama2 belajar. Jadi ini bisa kita eksplor lebih dalam... dari mulai analisis "siapa Al-Hakim?", "khitab syar'iy" dan "qarinah" misalnya....
klo informasi dari kitab2 tersebut bisa kita akses (mandek di kualitas bahasa arab kita sendiri; kita? sy kalee ), insya Allah lebih nyaman diskusinya.
* duh koneksi kembang kempis
cuma saya ngeri aja jika ada seseorang yang bikin pernyataan kayak ini:
"HT menolak kaidah ini, yang telah disepakati jumhur ulama', termasuk 4 Imam mazhab".
tanpa dijelaskan perbedaan-nya pada batas-batas yang mana saja.
[betul akhi bilang dahulu, berpendapat secara proporsional, jangan terlalu bombastis, bisa kena sendiri jika tidak dapat membuktikan argumentasi-nya, bahkan bisa jatuh ke fitnah].
wallahu'alam
Posting Digabung: [time]Wed Jun 3 22:24:33 2009[/time]
ngelihat itu dari isinya kang bukan analisis judulnya nih saya kutipin dari kitabnya yusuf qardhawy,kalau yang saya membaca sekali lagi artikel di situs itu.
Pegimane bisa ambil pendapat qardhawy dan menyimpulkan lainnya padahal jelas jelas beliau secara eksplisit dan vulgar menjelaskan bahwa asyya' bukan hanya mencakup benda tapi juga af'al yang bukan ibadah ...
ustad Shiddiq menjelaskan bahwa kaidah Al-Ashlu fi al-asy-yaa' al-ibahah maa lam yarid dalil at-tahrim memang sebagai kaidah yang digunakan Al-Qaradhawi dalam kitab-nya Halal dan Haram dalam Islam, dan memang asyya' itu juga termasuk benda. sedangkan asy-ya' [sesuatu] dalam kaidah itu adalah materi-materi yang digunakan manusia dalam memenuhi kebutuhannya, perbuatan atau aktivitas manusia tidak termasuk di dalamnya, itu pendapat-nya Atha Ibnu Khalil, dalam kitab-nya Taysir Wushul Ila Al-Ushul.
jadi memang tidak ada masalah dalam artikel tsb.
[saya kayak-nya nyimak mode on saja dulu, nunggu abie meng-copas-kan kitab dari salah satu 4 imam mazhab, sehingga dapat menjadi bahan diskusi yang layak, sehingga membuktikan apakah tuduhan abie benar terhadap HT, dan apakah kaidah ini, memang sebagai kaidah yang disepakati jumhur ulama', termasuk 4 imam mazhab]
wallahu'alam
71
Hukum dan Dunia Politik / Re:[Soal-Jawab] Perjanjian Hudaibiyah
« pada: 03 Juni 2009, 21:41:30 » yup mari BTT....
[TS maaf yah gara-gara saya thread antum jadi kebanyakan OOT-nya]
[TS maaf yah gara-gara saya thread antum jadi kebanyakan OOT-nya]
72
Fiqih, Akhlaq, & Ahkamul Islam / Re:Maqashid, Mashalih Mursalah, Kaidah Kulliah
« pada: 03 Juni 2009, 20:20:22 » minimal abie bisa menunjukkan bahwa ini lho dalil dari kaidah ini, didasarkan pada kitab ulama, terutama yang paling antum kampanye-kan penjelasan dari 4 Imam mujtahid mengenai kaidah ini [bukan didasarkan pada blog]. sehingga kita bisa membandingkan kaidah ini dengan kaidah:
اَلأَصْلُ فِيْ الأَفْعَالِ التَّقَيُّدُ بِالْحُكْمِ الشَّرْعِي
Asal dari perbuatan [selalu] terikat dengan hukum syara
dan satu lagi Ibahah adalah juga hukum syara'.
Posting Digabung: [time]Wed Jun 3 20:57:49 2009[/time]
Penerapan kaidah itu misalnya bagaimana status hukum hewan yang tidak ada keterangannya, apakah halal atau haram. Dalam hal ini, ditetapkan hukum asalnya, yaitu mubah. As-Subki mencontohkan, jerapah hukumnya halal, berdasarkan prinsip ini (Abdul Hamid Hakim, Mabadi` Awwaliyah, hal. 48).
wah kok bisa yah, pada kitab yang rujukan-nya sama bisa dua pengertian.
tapi kalau dilihat dari nash-nya memang merujuk kepada benda.
kalau dilihat dari judul kitab-nya "Halal dan Haram dalam Islam", juga menunjukkan hukum yang halal dan haram, dan itu juga merujuk pada benda.
wallahu'alam
اَلأَصْلُ فِيْ الأَفْعَالِ التَّقَيُّدُ بِالْحُكْمِ الشَّرْعِي
Asal dari perbuatan [selalu] terikat dengan hukum syara
dan satu lagi Ibahah adalah juga hukum syara'.
Posting Digabung: [time]Wed Jun 3 20:57:49 2009[/time]
Prinsip ini dalam rumusannya yang lengkap berbunyi Al-Ashlu fi al-asy-yaa` al-ibahah maa lam yarid dalil at-tahrim (hukum asal benda adalah mubah selama tidak terdapat dalil yang mengharamkannya). (‘Atha Ibnu Khalil, Taysir Wushul Ila Al-Ushul, hal. 16; Abdul Hamid Hakim, Mabadi` Awwaliyah, hal. 48; Al-Qaradhawi, Halam dan Haram dalam Islam, hal. 14-15). Yang dimaksud asy-ya` (sesuatu) dalam kaidah itu adalah materi-materi yang digunakan manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Perbuatan atau aktivitas manusia tidak termasuk di dalamnya (Atha Ibnu Khalil, Taysir Wushul Ila Al-Ushul, hal. 15). Kaidah ini disimpulkan dari berbagai ayat yang menyatakan bahwa segala apa yang diciptakan Allah di langit dan bumi adalah diperuntukkan bagi manusia, yaitu telah dihalalkan oleh Allah (misalnya QS Al-Baqarah [2] : 29, QS Al-Jatsiyah [45] : 13, QS Luqman [31] : 20).
Wah, kok rujukan yg dipakai sama yah...? http://www.khilafah1924.org/index.php?option=com_content&task=view&id=166&Itemid=47
Ini artikel tentang keharaman alkohol. Di bag. 2.1. kitab Halal-Haram dicatut juga oleh ust Shiddiq al-Jawi, tapi judulnya hukum asal benda mubah. Entah pencatutan sepihak, entah yg aslinya memiliki konteks itu, atau memang bersayap (mencakup af'aal atau tidak) sedari awal. Disitu ada juga beberapa rujukan lain selain Taisir Ushul-nya syaikh 'Atha bin Khalil dr HT.
----
Lafadznya memang umum, tapi kalau soal dilalah kenapa bisa berbeda ya penafsirannya. Nanti kita crosscheck dengan tafsir atau yg paham betul soal bahasa, tentang ayat2 yg mendasarinya: QS Al-Baqarah [2] : 29, QS Al-Jatsiyah [45] : 13, QS Luqman [31] : 20 serta yg antum bawa juga. Kalau soal "sesuatu", terjemah syakhsiyyah Islamiyyah juz III yang saya sajikan ini pun, asyya' ya diterjemahkan apa adanya menjadi "sesuatu". Tapi dari konteks kalimat saja dengan mudah disimpulkan itu merujuk pada benda. Disitu dijelaskan walaupun ada ayat mengenai af'aal tapi kemudian terkait benda, maka arah dalilnya ternyata hanya menunjukkan 2 hukum saja:halal dan haram. Sedangkan pembahasan perbuatan manusia, ini terkait hal yang sangat mendasar dalam ushul fiqh (sudah "ushul", pake mendasar lg.. hehe): khitab musyarri' kepada hamba/ seruan Pembuat syara' kepada hamba... silahkan cek pembahasan panjang definisi ini dalam kitab Syakhsiyyah juz III tersebut. Dari khitab ini kemudian dalam ushul fiqh dikenal ada khitab taklifi dan khitab wadh'i.. Dalam pembahasan taklif, ada yg berkenaan perintah-larangan (iqtidha') dan ada yang merupakan pilihan (takhyir). Singkatnya, mubah bukan dihasilkan dari pendiaman suatu perkara, tapi bagian dari seruan Pembuat syara' (Allah Azza wa Jalla) yang memberikan pilihan pada hamba tanpa pengganti atau celaan.
Penerapan kaidah itu misalnya bagaimana status hukum hewan yang tidak ada keterangannya, apakah halal atau haram. Dalam hal ini, ditetapkan hukum asalnya, yaitu mubah. As-Subki mencontohkan, jerapah hukumnya halal, berdasarkan prinsip ini (Abdul Hamid Hakim, Mabadi` Awwaliyah, hal. 48).
wah kok bisa yah, pada kitab yang rujukan-nya sama bisa dua pengertian.
tapi kalau dilihat dari nash-nya memang merujuk kepada benda.
kalau dilihat dari judul kitab-nya "Halal dan Haram dalam Islam", juga menunjukkan hukum yang halal dan haram, dan itu juga merujuk pada benda.
wallahu'alam
73
Hukum dan Dunia Politik / Re:[Soal-Jawab] Perjanjian Hudaibiyah
« pada: 03 Juni 2009, 19:51:39 »^ iye-iye engkong gw juge ngarti kalu ntu mah. sedih, mereh-mereh, jaim, GR, entu emosi juge pan.. trus nape?wah semakin kelihatan antum tidak mengerti.
@pembelajar, nyang bikin neh tret kage nyambung entu ye postingan elu. udeh tau lagi ngomongin hudaibiyah ame koalisi parpol eh postinganlu ngejedok dimarih, make bawe-bawe palestine segale ujungnye
dalam topik yang diajukan akhi aeonia, bahwa ada argumentasi sebagian ikhwah yang menyatakan koalisi partai Islam dan partai sekular itu didasarkan dalil dari perjanjian hudaibiyah. lalu saya mengirim artikel tambahan yang menjelaskan bahwa perjanjian hudaibiyah adalah suatu perjanjian damai antara Negara Islam dengan Negara kafir sehingga tidak relevan untuk dijadikan sebagi hujjah, dalam artikel tersebut dengan sangat terperinci penjelasan-nya berdasarkan nash syara' [pada inti-nya perjanjian hudaibiyah tidaklah bisa dijadikan dalil dalam absah-nya koalisi partai Islam dan partai sekular]
fahimtum?
74
Fiqih, Akhlaq, & Ahkamul Islam / Re:Maqashid, Mashalih Mursalah, Kaidah Kulliah
« pada: 03 Juni 2009, 17:01:11 » mau nimbrung singkat dulu, Insya-Allah nanti disambung lagi.
mengenai kaidah ini, adalah pendapat yang dipegang oleh jumhur ulama', termasuk Imam mujtahid, baru saya temui di blog [yang jadi acuan abie].
dalam blog tersebut dikatakan [http://al-atsariyyah.com/?p=195]:
Kandungan dhobith pertama ini adalah pendapat yang dipegang oleh jumhur ulama' termasuk Imam empat dan tidak ada yang menyelisihi pendapat ini kecuali Al-Abhary dari kalangan Malikiyah dan Ibnu Hazm dari Mazdhab Azh-Zhohiriyah.
apakah memang kenyataan-nya benar, belum ditela'ah.
sebagai yang mengaku muttabi', seharusnya abie berani untuk menjelaskan dalil dari kaidah ini, bukan taklid buta.
dan yang terakhir, benar-tidaknya kaidah ini, tidak ada korelasi-nya dengan kemubahan penerapan demokrasi, karena sudah jelas ada dalil qath'i yang menentang sistem demokrasi [yang jadi permasalahan-nya menurut saya, kurangnya pemahaman yang mendalam akan obyek hukum-nya, yaitu demokrasi. sebagai contoh Yusuf Al-Qaradhawi, misalnya, dalam bukunya Fikih Daulah menjelaskan bahwa demokrasi tidak bertentangan dengan Islam. Pasalnya, menurutnya, substansi demokrasi adalah hak rakyat untuk memilih penguasa, dan itu ada dalam Islam. padahal sejati-nya pemahaman mengenai demokrasi tidaklah sedangkal dan sesederhana itu, melainkan prinsip demokrasi sebagai kedaulatan ditangan rakyat, sangat bertentangan dengan dilalah dari dalil yang qath'i tsubut]
wallahu'alam
mengenai kaidah ini, adalah pendapat yang dipegang oleh jumhur ulama', termasuk Imam mujtahid, baru saya temui di blog [yang jadi acuan abie].
dalam blog tersebut dikatakan [http://al-atsariyyah.com/?p=195]:
Kandungan dhobith pertama ini adalah pendapat yang dipegang oleh jumhur ulama' termasuk Imam empat dan tidak ada yang menyelisihi pendapat ini kecuali Al-Abhary dari kalangan Malikiyah dan Ibnu Hazm dari Mazdhab Azh-Zhohiriyah.
apakah memang kenyataan-nya benar, belum ditela'ah.
sebagai yang mengaku muttabi', seharusnya abie berani untuk menjelaskan dalil dari kaidah ini, bukan taklid buta.
dan yang terakhir, benar-tidaknya kaidah ini, tidak ada korelasi-nya dengan kemubahan penerapan demokrasi, karena sudah jelas ada dalil qath'i yang menentang sistem demokrasi [yang jadi permasalahan-nya menurut saya, kurangnya pemahaman yang mendalam akan obyek hukum-nya, yaitu demokrasi. sebagai contoh Yusuf Al-Qaradhawi, misalnya, dalam bukunya Fikih Daulah menjelaskan bahwa demokrasi tidak bertentangan dengan Islam. Pasalnya, menurutnya, substansi demokrasi adalah hak rakyat untuk memilih penguasa, dan itu ada dalam Islam. padahal sejati-nya pemahaman mengenai demokrasi tidaklah sedangkal dan sesederhana itu, melainkan prinsip demokrasi sebagai kedaulatan ditangan rakyat, sangat bertentangan dengan dilalah dari dalil yang qath'i tsubut]
wallahu'alam
75
Hukum dan Dunia Politik / Re:[Soal-Jawab] Perjanjian Hudaibiyah
« pada: 02 Juni 2009, 20:22:01 »emangnye kapan gw kawin ame mpok luh? maen panggil mas aje..kenapa saya bilang, ngga sesuai dengan thread, karena tulisan saya bukan topik thread.
kage nyambung pegimane maksudluh? pan lu ndiri nyang bikin postingan perjanjian damei ame negeri kapir, gw pan emang nulis ngomentarin perjanjian damei ame negri kapir nyang lu posting! masih kage nyambung juge?
(OOT : ON)
betewe elu tau darimane gw emosi? udeh kasyaf ye? namanye doangan pembelajar, tapi kage belajar-belajar juge gaye postingan orang.. mangkanye ade ayat 'li ta'arufi minhum' entu dipake seari-ari bukan cuman buat akad nikah doangan..
kalu bangse gw ye emang kaye gini gayenye, naroh goloknye aje didepan trus gagangnye ditongolin.. iye pan? beda ame bangse jawe tengah nyang gayenye naroh keris dibelakang. ngarti kage maksudnye?
eeh penonton.. bukannye mao SARA yee, kepakse gw nulis kaye begini, soalnye ade nyang ngerase kasyaf neeh tau banget kayenye ame isi ati orang laen, (OOT : OFF)
seandai-nya tulisan saya dijadikan topik thread [saya menjadi thread starter], tulisan akhi mungkin sangat relevan.
[udahlah afwan, jika kata-kata saya menyinggung antum]
76
Hukum dan Dunia Politik / Re:Mengapa kita "menerima" Demokrasi ?
« pada: 02 Juni 2009, 18:29:06 » mod, afwan mau jawab untuk yang terakhir kali-nya membahas topik ini disini sebagai hak jawab, setelah itu memang sebaik-nya pindah ke topik yang sesuai di board sebelah.
takhyir [pilihan], sangat jelas dalam dalil [nash] syara', seperti dalam firman-Nya:
"Perempuan-perempuan kamu [istri-istrimu] adalah seperti ladang bagimu, maka datangilah ladangmu sebagaimana kamu kehendaki dan kerjakanlah kebajikan untuk dirimu, bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu akan menemui-Nya, dan sampaikanlah berita gembira untuk orang-orang yang beriman". [TQS Al Baqarah 2 : 223]
pengertian mubah bukanlah perkara yang tidak diatur oleh Islam. Mubah bukan sekedar "perbuatan yang tidak diwajibkan, tidak disunahkan, tidak dimakruhkan dan tidak diharamkan". Mubah merupakan salah satu hukum syara' yang ditunjukkan oleh dalil-dalil sam'i berupa pilihan untuk mengerjakan atau meninggalkan suatu perbuatan.
Hadits ini menunjukan atas larangan bagi kaum muslimin untuk banyak bertanya dalam banyak perkara halal atau haram dimana soal ini akan menyebabkan turunnya kesulitan di dalamnya seperti pertanya an apakah haji diwajibkan tiap tahun.
Hadis diatas, memiliki penafsiran, sesuai dengan Hadis:
"Wahai sekalian manusia sungguh Allah telah mewajibkan haji kepada kalian maka berhajilah kalian, kemudaian seorang laki-laki bertanya, "Apakah tiap tahun wahai Rasulullah ? kemudian Rasulullah shallahu 'alaihi wa salam diam sampai orang tersebut mengucapkan tiga kali, terus Rasulullah shallahu 'alaihi wa salam bersabda, "Jika seandainya aku katakan ya! Tentu akan wajib, dan kalian tidak akan sanggup kemudian beliau bersabda, "Biarkan apa yang aku tinggalkan kepada kalian, maka sesungguhnaya umat sebelum kalian dicelakakan hanyalah karena banyak bertanya dan menyelisihi para Nabinya, maka apabila aku memerintah kan kepada kelian sesuatu kerjakanlah semampunya dan apabila aku melarang kalian dari sesuatu maka tinnggalkanlah [HR.Muslim no. 1337]
wallahu'alam
Ha?? menengahi?? kagak salah baca nih ane?? bukannya ente yang nuduh abie memfitnah HT karena menolak kaidah hukum asal muamalah mubah?? Sudah ada bukti segambreng gini ente belum minta maaf lhowah antum jangan suka mencatut ini dari 4 Imam mazhab, tanpa antum cantumkan referensi-nya [silahkan jika antum benar, tolong antum tunjukkan di kitab mana kaidah tersebut sebagai kaidah dari 4 Imam mazhab]. sudah panjang lebar gini, tidak pernah antum cantumkan dalil dari kaidah ini, malah akhi aeonia selalu bertanya tentang hal ini, tapi tidak pernah di jawab sekalipun dan saya sedikit berusaha nebak-nebak mencari-nya di board sebelah.
Btw, ente tidak perlu repot repot karena tidak perlu ditengahi, masalah sudah mentoq: HT menyelisihi jumhur fuqoha' 4 mazhab dalam hal menolak kaidah fiqh "hukum asal muamalah adalah mubah hingga ada dalil yang mengharamkannya"
Bahkan jubir HTI sendiri sudah berbicara panjang lebar masalah ini di "pengantar ekonomi islam" ... Suatu pendapat yang ganjil bilamana ketiadaan dalil syariah atas suatu perkara tidak membuat hukumnya menjadi mubah. Bahkan setiap perkara wajib dicari dalil hukumnya.
Mungkin kita akan repot dan bingung hanya untuk sekedar NGUPIL kita harus mencari dalil syara'-nya dulu ...
Ato ente mo njawab berdasarkan kitabullah, apa hukumnya NGUPIL??
takhyir [pilihan], sangat jelas dalam dalil [nash] syara', seperti dalam firman-Nya:
"Perempuan-perempuan kamu [istri-istrimu] adalah seperti ladang bagimu, maka datangilah ladangmu sebagaimana kamu kehendaki dan kerjakanlah kebajikan untuk dirimu, bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu akan menemui-Nya, dan sampaikanlah berita gembira untuk orang-orang yang beriman". [TQS Al Baqarah 2 : 223]
pengertian mubah bukanlah perkara yang tidak diatur oleh Islam. Mubah bukan sekedar "perbuatan yang tidak diwajibkan, tidak disunahkan, tidak dimakruhkan dan tidak diharamkan". Mubah merupakan salah satu hukum syara' yang ditunjukkan oleh dalil-dalil sam'i berupa pilihan untuk mengerjakan atau meninggalkan suatu perbuatan.
Jah! Asyya' itu segala sesuatu ... termasuk benda dan perbuatan ...As-Sunnah yang antum jadikan dalil itu, bukan begitu pengertian-nya, akan tetapi:
dari Jabir bin Abdullah, dia berkata:
Kami biasa melakukan azl (mengeluarkan sprema di luar kemaluan wanita sewaktu melakukan hubungan biologis) sednagkan al-Quran masih turun. Seandainya hal tersebut dilarang., sudah tentu al-Quran melarangnya.
Betapa cerdasnya pemahaman sahabat. Ini menunjukkan apa apa yang didiamkan oleh wahyu adalah serta merta menjadi halal hukumnya, boleh dilakukan. Maka, ini mencakup benda dan juga perbuatan.
Saya perkuat dengan hadits,
"Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu menyia-nyiakannya dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu langgar. Dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia. Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia." (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)
Sangat jelas bahwa yang diwajibkan Allah sudah final, yang diharamkan oleh Allah sudah final, sedangkan apa apa yang didiamkan oleh Allah maka hukumnya adalah boleh dan tidak patut kita memperbincangkannya. Hadits ini juga ditujukan supaya gak kebanyakan nanya tentang perkara perkara yang sudah jelas tidak diharamkan oleh Allah.
Saya kira ini (pembicaraab masalah ushul fiqh) tidak perlu lagi diperbincangkan. Jika ikhwah HT tidak puas silahkan datangi taklim yang membahas ushul fiqh, boleh kajian muhammadiyah, persis, salafi, tarbiyah, NU atau apa saja, insyaallah sama dengan yang saya pahami karena 4 mazhab menggunakan kaidah fiqh ini. Jangan kaget jika ini memang menyelisihi apa apa yang dipahami aeonia dan HT umumnya ...
Silahkan bertanya dengan puas disitu ... jika antum menginginkan kebenaran ...
[kita nimbrung di board fiqh aja yuukk]
Hadits ini menunjukan atas larangan bagi kaum muslimin untuk banyak bertanya dalam banyak perkara halal atau haram dimana soal ini akan menyebabkan turunnya kesulitan di dalamnya seperti pertanya an apakah haji diwajibkan tiap tahun.
Hadis diatas, memiliki penafsiran, sesuai dengan Hadis:
يأيها الناس قد فرض الله عليكم الحج فحجوا فقال رجل أ كل عام يا رسول الله؟فسكت حتى قالها ثلاثا , فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لو قلت نعم,لوجبت,لما استطعثم ثم قال : ذروني ما تركتم,فإ نما أهلك من كان قبلكم بسؤالهم واختلافهم على أنبياءهم,فإذا أمرتكم بشيء, فأتوا منه ما اسطعتم, وإذا نهيتكم عن شيء ,فدعوه
"Wahai sekalian manusia sungguh Allah telah mewajibkan haji kepada kalian maka berhajilah kalian, kemudaian seorang laki-laki bertanya, "Apakah tiap tahun wahai Rasulullah ? kemudian Rasulullah shallahu 'alaihi wa salam diam sampai orang tersebut mengucapkan tiga kali, terus Rasulullah shallahu 'alaihi wa salam bersabda, "Jika seandainya aku katakan ya! Tentu akan wajib, dan kalian tidak akan sanggup kemudian beliau bersabda, "Biarkan apa yang aku tinggalkan kepada kalian, maka sesungguhnaya umat sebelum kalian dicelakakan hanyalah karena banyak bertanya dan menyelisihi para Nabinya, maka apabila aku memerintah kan kepada kelian sesuatu kerjakanlah semampunya dan apabila aku melarang kalian dari sesuatu maka tinnggalkanlah [HR.Muslim no. 1337]
wallahu'alam
77
Hukum dan Dunia Politik / Re:[Soal-Jawab] Perjanjian Hudaibiyah
« pada: 02 Juni 2009, 17:45:23 »buat HT sekarang enih perjanjian hudaibiyah jilid 2, perjanjian damai ame negare kapir kage bakalan terjadi lagi kayaknye, sebelon HT mampu bikin negare versi ndiri.. pan katenye HT kage ade negare islam satupun juge sekarang enih, semuanye darul kufur.. iye pan?mas, ngga nyambung, cobalah fahami apa yang disajikan....
kalu buat salapi perjanjian damai ame negare kapir ade kenyataannye, pan emang di arab saudi sono emang make syariat islam. kalu buat IM dipalestine nyang diwakilin ame pemerintahan HAMAS (biar kate belon jadi negare islam) ade perjanjian gencatan senjate terbatas ame zionist israel (darul kufur)
thread ini membahas perjanjian hudaibiyah yang sejatinya perjanjian dengan Negara kafir, digunakan sebagai dalil untuk koalisi partai Islam dan partai sekular dalam satu Negara, itu sangat tidak relevan.
[antum selalu emosional, dan tidak berusaha belajar]
78
Hukum dan Dunia Politik / Re:[Soal-Jawab] Perjanjian Hudaibiyah
« pada: 01 Juni 2009, 22:44:33 » artikel tambahan akhi, bolehkan....
Perjanjian Damai dengan Negara Kafir
Secara literal, al-mu’ahadah (perjanjian damai) adalah keterikatan dua belah pihak dalam sebuah kesepakatan yang mengikat keduanya (iltizaam tharfain fiimaa bainahumaa bi ‘ahd yartabithaan bi muqtadlaahu). Adapun menurut istilah syariat, ‘al-mu’ahadah’ (perjanjian damai) adalah perdamaian (mushaalahah) dengan penduduk negara kafir (ahlu al-harb) untuk menghentikan perang dalam jangka waktu tertentu, baik disertai dengan kompensasi maupun tidak.[Dr. Mohammad Khair Haekal, al-Jihad wa al-Qitaal fi Siyaasah al-Syar'iyyah, juz 3, hal. 1472-73]
Hukum mengikat perjanjian damai (al-shulh) dengan negara kafir adalah mubah, bukan wajib; dan penyelenggaraannya harus ditujukan untuk kepentingan jihad, penyebaran dakwah Islam, serta penjagaan eksistensi Daulah Islamiyyah. Imam Ibnu Hajar al-’Asqalaniy menyatakan, ”Sesungguhnya, perintah untuk menjalin perjanjian damai (dengan negara kafir) dibatasi dengan perkara-perkara yang bisa memberikan mashlahat bagi Islam. Adapun jika Islam mampu mengalahkan kekafiran, dan perjanjian damai tersebut tidak memberikan mashlahat, maka tidak perlu ada perjanjian damai”. [Al-Hafidz Ibnu Hajar al-'Asqalaniy, Fath al-Baariy, juz 6, hal. 275-276].
Bukti yang menunjukkan kebolehan Daulah Islamiyyah menjalin perjanjian damai dengan negara kafir adalah nash-nash Alquran [8:61; 8:72; 4: 89-90, 92; 9:4,7; dan lain-lain]. Ketika menafsirkan surat An Nisaa’:89-90, Imam Qurthubiy menyatakan, ”Ayat ini merupakan dalil yang menetapkan bolehnya diselenggarakan perjanjian damai antara ahlu al-harb dengan ahlu al-Islam, jika di dalam perjanjian itu ada kemashlahatan bagi kaum Muslim”.[Imam Qurthubiy, Tafsir al-Qurthubiy, hal. 5, hal. 309]. Kebolehan menjalin perjanjian damai dengan negara kafir juga ditetapkan berdasarkan perilaku Nabi SAW, semacam perjanjian Hudaibiyyah yang dijalin Rasulullah SAW dengan kaum kafir Quraisy. Imam Nawawiy tatkala mengomentari Perjanjian Hudaibiyyah, beliau berkata, ”Sesungguhnya, seorang imam (khalifah) berhak menjalin perjanjian damai (al-shulh), semampang hal itu dipandangnya bisa mewujudkan kemashlahatan bagi kaum Muslim, walaupun pada awalnya, perjanjian damai tersebut menurut sebagian orang tidak membawa kemashlahatan..”[Imam Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, juz 7, hal. 419]
Syarat-syarat Perjanjian Damai
Perjanjian damai dengan negara kafir harus memperhatikan ketentuan berikut ini;
Pertama, perjanjian damai harus selalu berorientasi kepada kepentingan jihad, penyebaran dakwah Islam, serta perlindungan terhadap eksistensi Daulah Islamiyyah dan kaum Muslim. Pasalnya, sebelum Rasulullah SAW menandatangi perjanjian Hudaibiyyah, beliau SAW mendengar persekutuan antara Khaibar dan Mekah untuk menyerang kaum Muslim. Untuk mencegah persekutuan ini, beliau SAW membuat perjanjian Hudaibiyyah untuk mencegah pihak Quraisy agar tidak menyerang kaum Muslim. Selain itu, dengan adanya perjanjian Hudaibiyyah ini, Rasulullah SAW bisa lebih berkonsentrasi mengirimkan utusan-utusannya ke seluruh kabilah Arab untuk menyebarkan Islam kepada mereka. Dengan demikian, perjanjian Hudaibiyyah benar-benar ditujukan untuk kepentingan jihad dan penyebaran dakwah Islam.
Perjanjian damai dengan negara kafir tidak boleh dibuat selain untuk kepentingan jihad dan penyebaran Islam. Sebab, perjanjian damai dengan negara kufur akan menghentikan aktivitas jihad; padahal, Khilafah Islamiyyah dilarang menghentikan jihad, kecuali jika perdamaian itu dijadikan media untuk melaksanakan jihad.
Kedua, masa berlakunya harus dibatasi. Adapun dalil yang menunjukkan hal ini adalah perjanjian Hudaibiyyah, di mana perjanjian ini ditandatangani Rasulullah SAW untuk jangka waktu tertentu. Tidak ada perjanjian abadi antara Daulah Khilafah dengan negara kafir. Alasannya, perdamaian abadi akan menghalangi jihad dan futuhat. , sedangkan jihad merupakan kewajiban negara yang tidak boleh diabaikan dan ditinggalkan.
Ketiga, tidak ada persyaratan rusak yang bertentangan dengan Islam. Rasulullah SAW bersabda, ”Kaum Muslim itu wajib berjalan di atas syarat-syarat mereka, kecuali syarat yang menghalalkan apa yang diharamkan Allah dan mengharamkan apa yang dihalalkanNya”.[HR. Imam Turmudziy]. Misalnya, syarat agar kaum kafir diperbolehkan memasuki Mekah, menampakkan syi’ar orang kafir, mengembalikan wanita muslimat kepada mereka, menyerahkan sejumlah harta kepada mereka tidak dalam kondisi darurat, dan lain-lain.
Keempat, negara kafir tersebut tidak sedang menduduki kawasan negara Islam, merampas harta kaum Muslim, memerangi, dan membunuhi kaum Muslim. Pasalnya, ketika negara kafir menyerang atau menguasai wilayah kaum Muslim, maka kaum Muslim yang ada di negeri tersebut wajib berjihad untuk mengenyahkan eksistensi dan kekuatan mereka di wilayah kaum Muslim. Menjalin perjanjian damai dengan mereka, sama artinya dengan mengakui eksistensi dan penguasaan kaum kafir atas wilayah kaum Muslim.
Atas dasar itu, menjalin perjanjian damai dengan Israel dengan segala bentuknya, yang memungkinkan mereka eksis di bumi Palestina, adalah tindakan yang jelas-jelas menyalahi syariat Islam. Pasalnya, tidak ada perjanjian damai terhadap kaum kafir yang menduduki wilayah kaum Muslim, membunuhi kaum Muslim, serta berusaha mengusir kaum Muslim dari negerinya, sebagaimana yang saat ini dilakukan oleh Israel atas kaum Muslim Palestina.
Terhadap pendudukan Israel atas Palestina, sikap yang benar hanyalah satu, yakni berjihad fi sabilillah hingga bumi Palestina bebas dari penjajahan dan teror bangsa Yahudi Israel.
syamsuddin ramadhan an nawiy
sumber: http://ayok.wordpress.com/2009/01/20/perjanjian-damai-dengan-negara-kafir/
Posting Digabung: 01 Juni 2009, 22:48:12
menjadikan perjanjian Hudaibiyah sebagai dalil atas koalisi partai Islam dengan partai sekular, sangat kurang relevan....
Perjanjian Damai dengan Negara Kafir
Secara literal, al-mu’ahadah (perjanjian damai) adalah keterikatan dua belah pihak dalam sebuah kesepakatan yang mengikat keduanya (iltizaam tharfain fiimaa bainahumaa bi ‘ahd yartabithaan bi muqtadlaahu). Adapun menurut istilah syariat, ‘al-mu’ahadah’ (perjanjian damai) adalah perdamaian (mushaalahah) dengan penduduk negara kafir (ahlu al-harb) untuk menghentikan perang dalam jangka waktu tertentu, baik disertai dengan kompensasi maupun tidak.[Dr. Mohammad Khair Haekal, al-Jihad wa al-Qitaal fi Siyaasah al-Syar'iyyah, juz 3, hal. 1472-73]
Hukum mengikat perjanjian damai (al-shulh) dengan negara kafir adalah mubah, bukan wajib; dan penyelenggaraannya harus ditujukan untuk kepentingan jihad, penyebaran dakwah Islam, serta penjagaan eksistensi Daulah Islamiyyah. Imam Ibnu Hajar al-’Asqalaniy menyatakan, ”Sesungguhnya, perintah untuk menjalin perjanjian damai (dengan negara kafir) dibatasi dengan perkara-perkara yang bisa memberikan mashlahat bagi Islam. Adapun jika Islam mampu mengalahkan kekafiran, dan perjanjian damai tersebut tidak memberikan mashlahat, maka tidak perlu ada perjanjian damai”. [Al-Hafidz Ibnu Hajar al-'Asqalaniy, Fath al-Baariy, juz 6, hal. 275-276].
Bukti yang menunjukkan kebolehan Daulah Islamiyyah menjalin perjanjian damai dengan negara kafir adalah nash-nash Alquran [8:61; 8:72; 4: 89-90, 92; 9:4,7; dan lain-lain]. Ketika menafsirkan surat An Nisaa’:89-90, Imam Qurthubiy menyatakan, ”Ayat ini merupakan dalil yang menetapkan bolehnya diselenggarakan perjanjian damai antara ahlu al-harb dengan ahlu al-Islam, jika di dalam perjanjian itu ada kemashlahatan bagi kaum Muslim”.[Imam Qurthubiy, Tafsir al-Qurthubiy, hal. 5, hal. 309]. Kebolehan menjalin perjanjian damai dengan negara kafir juga ditetapkan berdasarkan perilaku Nabi SAW, semacam perjanjian Hudaibiyyah yang dijalin Rasulullah SAW dengan kaum kafir Quraisy. Imam Nawawiy tatkala mengomentari Perjanjian Hudaibiyyah, beliau berkata, ”Sesungguhnya, seorang imam (khalifah) berhak menjalin perjanjian damai (al-shulh), semampang hal itu dipandangnya bisa mewujudkan kemashlahatan bagi kaum Muslim, walaupun pada awalnya, perjanjian damai tersebut menurut sebagian orang tidak membawa kemashlahatan..”[Imam Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, juz 7, hal. 419]
Syarat-syarat Perjanjian Damai
Perjanjian damai dengan negara kafir harus memperhatikan ketentuan berikut ini;
Pertama, perjanjian damai harus selalu berorientasi kepada kepentingan jihad, penyebaran dakwah Islam, serta perlindungan terhadap eksistensi Daulah Islamiyyah dan kaum Muslim. Pasalnya, sebelum Rasulullah SAW menandatangi perjanjian Hudaibiyyah, beliau SAW mendengar persekutuan antara Khaibar dan Mekah untuk menyerang kaum Muslim. Untuk mencegah persekutuan ini, beliau SAW membuat perjanjian Hudaibiyyah untuk mencegah pihak Quraisy agar tidak menyerang kaum Muslim. Selain itu, dengan adanya perjanjian Hudaibiyyah ini, Rasulullah SAW bisa lebih berkonsentrasi mengirimkan utusan-utusannya ke seluruh kabilah Arab untuk menyebarkan Islam kepada mereka. Dengan demikian, perjanjian Hudaibiyyah benar-benar ditujukan untuk kepentingan jihad dan penyebaran dakwah Islam.
Perjanjian damai dengan negara kafir tidak boleh dibuat selain untuk kepentingan jihad dan penyebaran Islam. Sebab, perjanjian damai dengan negara kufur akan menghentikan aktivitas jihad; padahal, Khilafah Islamiyyah dilarang menghentikan jihad, kecuali jika perdamaian itu dijadikan media untuk melaksanakan jihad.
Kedua, masa berlakunya harus dibatasi. Adapun dalil yang menunjukkan hal ini adalah perjanjian Hudaibiyyah, di mana perjanjian ini ditandatangani Rasulullah SAW untuk jangka waktu tertentu. Tidak ada perjanjian abadi antara Daulah Khilafah dengan negara kafir. Alasannya, perdamaian abadi akan menghalangi jihad dan futuhat. , sedangkan jihad merupakan kewajiban negara yang tidak boleh diabaikan dan ditinggalkan.
Ketiga, tidak ada persyaratan rusak yang bertentangan dengan Islam. Rasulullah SAW bersabda, ”Kaum Muslim itu wajib berjalan di atas syarat-syarat mereka, kecuali syarat yang menghalalkan apa yang diharamkan Allah dan mengharamkan apa yang dihalalkanNya”.[HR. Imam Turmudziy]. Misalnya, syarat agar kaum kafir diperbolehkan memasuki Mekah, menampakkan syi’ar orang kafir, mengembalikan wanita muslimat kepada mereka, menyerahkan sejumlah harta kepada mereka tidak dalam kondisi darurat, dan lain-lain.
Keempat, negara kafir tersebut tidak sedang menduduki kawasan negara Islam, merampas harta kaum Muslim, memerangi, dan membunuhi kaum Muslim. Pasalnya, ketika negara kafir menyerang atau menguasai wilayah kaum Muslim, maka kaum Muslim yang ada di negeri tersebut wajib berjihad untuk mengenyahkan eksistensi dan kekuatan mereka di wilayah kaum Muslim. Menjalin perjanjian damai dengan mereka, sama artinya dengan mengakui eksistensi dan penguasaan kaum kafir atas wilayah kaum Muslim.
Atas dasar itu, menjalin perjanjian damai dengan Israel dengan segala bentuknya, yang memungkinkan mereka eksis di bumi Palestina, adalah tindakan yang jelas-jelas menyalahi syariat Islam. Pasalnya, tidak ada perjanjian damai terhadap kaum kafir yang menduduki wilayah kaum Muslim, membunuhi kaum Muslim, serta berusaha mengusir kaum Muslim dari negerinya, sebagaimana yang saat ini dilakukan oleh Israel atas kaum Muslim Palestina.
Terhadap pendudukan Israel atas Palestina, sikap yang benar hanyalah satu, yakni berjihad fi sabilillah hingga bumi Palestina bebas dari penjajahan dan teror bangsa Yahudi Israel.
syamsuddin ramadhan an nawiy
sumber: http://ayok.wordpress.com/2009/01/20/perjanjian-damai-dengan-negara-kafir/
Posting Digabung: 01 Juni 2009, 22:48:12
menjadikan perjanjian Hudaibiyah sebagai dalil atas koalisi partai Islam dengan partai sekular, sangat kurang relevan....
79
Hukum dan Dunia Politik / Re:Mengapa kita "menerima" Demokrasi ?
« pada: 01 Juni 2009, 17:36:33 » @abie
mungkin sedikit mengetengahi diskusi yang mulai menghangat lagi.
silahkan antum beri contoh satu kasus, yang mempraktik-kan kaidah yang jadi polemik.
1.antum menjelaskan kenapa hukum syara' nya mubah, tanpa berpegang dari nash syara' [maksudnya karena tidak ada ketentuan halal, haram, mandub, makruh, lantas otomatis hukum-nya jadi mubah]
2.akhi aeonia ataupun mungkin yang lain, akan memberikan dalil hukum syara' nya mubah berdasarkan dari nash syara'
[seandai-nya memang ada hukum syara' mubah, tanpa berpegang pada nash syara', mungkin kita dapat mengerucutkan kesimpulan dari diskusi ini]
Jazakallah
Posting Digabung: [time]Mon Jun 1 21:35:27 2009[/time]
mungkin sedikit mengaitkan diskusi ini, biar clear....
ini saya dapatkan di thread-nya abizechaabizecha:
[abie tolong dikoreksi apakah kaidah yang antum maksud adalah kaidah ini, jika bukan tolong dijelaskan penjelasan kaidah dari hukum asal muamallah adalah mubah tersebut darimana, apakah ada di qaidah fiqhiyah-nya thread abizecha, supaya masalah nya clear dan bisa ditelaah satu persatu]
والأصل في عاداتنا الإباحة حتى يجيء صارف الإباحة
Wal aslu fi 'aadaatinal ibaahati hatta yajii u sooriful ibahah
Dalil dari al qur'an
Firman Allah SWT :
{ هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا } (سورة البقرة آية : 29)
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu ( QS al baqarah : 29 )
Firman allah SWT :
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ (15)
Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. ( QS al mulk : 15 )
Firman Allah SWT :
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ
Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang Telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik ( QS al a'raf: 32 ) . dari ayat ini kita dapat mengambil faedah bahwasanya hukum asal perhiasan serta apa saya yang allah anugerahkan buat hambanya adalah boleh dan halal.
semua dalil diatas menunjukkan pada asyya' bukan af'al
Kaidah yang sesuai untuk dalil diatas adalah:
"Hukum asal benda adalah mubah, selama tidak ada dalil haram yang mengharamkannya."
wallahu'alam
[silahkan dilanjutkan, cuma numpang lewat saja, sambil nyimak mode ON]
mungkin sedikit mengetengahi diskusi yang mulai menghangat lagi.
silahkan antum beri contoh satu kasus, yang mempraktik-kan kaidah yang jadi polemik.
1.antum menjelaskan kenapa hukum syara' nya mubah, tanpa berpegang dari nash syara' [maksudnya karena tidak ada ketentuan halal, haram, mandub, makruh, lantas otomatis hukum-nya jadi mubah]
2.akhi aeonia ataupun mungkin yang lain, akan memberikan dalil hukum syara' nya mubah berdasarkan dari nash syara'
[seandai-nya memang ada hukum syara' mubah, tanpa berpegang pada nash syara', mungkin kita dapat mengerucutkan kesimpulan dari diskusi ini]
Jazakallah
Posting Digabung: [time]Mon Jun 1 21:35:27 2009[/time]
Saya masih penasaran dalil al-Quran n Sunnah untuk kaidah hukum asal muamalah ini apa ya...?
mungkin sedikit mengaitkan diskusi ini, biar clear....
ini saya dapatkan di thread-nya abizechaabizecha:
[abie tolong dikoreksi apakah kaidah yang antum maksud adalah kaidah ini, jika bukan tolong dijelaskan penjelasan kaidah dari hukum asal muamallah adalah mubah tersebut darimana, apakah ada di qaidah fiqhiyah-nya thread abizecha, supaya masalah nya clear dan bisa ditelaah satu persatu]
والأصل في عاداتنا الإباحة حتى يجيء صارف الإباحة
Wal aslu fi 'aadaatinal ibaahati hatta yajii u sooriful ibahah
Dalil dari al qur'an
Firman Allah SWT :
{ هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا } (سورة البقرة آية : 29)
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu ( QS al baqarah : 29 )
Firman allah SWT :
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ (15)
Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. ( QS al mulk : 15 )
Firman Allah SWT :
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ
Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang Telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik ( QS al a'raf: 32 ) . dari ayat ini kita dapat mengambil faedah bahwasanya hukum asal perhiasan serta apa saya yang allah anugerahkan buat hambanya adalah boleh dan halal.
semua dalil diatas menunjukkan pada asyya' bukan af'al
Kaidah yang sesuai untuk dalil diatas adalah:
"Hukum asal benda adalah mubah, selama tidak ada dalil haram yang mengharamkannya."
wallahu'alam
[silahkan dilanjutkan, cuma numpang lewat saja, sambil nyimak mode ON]
80
Hukum dan Dunia Politik / Re:"ILUSI NEGARA ISLAM"
« pada: 30 Mei 2009, 20:29:38 » @ukhti qwerty
iya maaf.
kadang saya suka emosi, apalagi ditambah malam ini lagi kurang baik kondisi hati-nya.
iya maaf.
kadang saya suka emosi, apalagi ditambah malam ini lagi kurang baik kondisi hati-nya.
81
Hukum dan Dunia Politik / Re:"ILUSI NEGARA ISLAM"
« pada: 30 Mei 2009, 20:08:44 »Itu kesimpulan anda, hak anda menyimpulkan. Namun boleh donk saya juga menyimpulkan bahwa tulisan anda tentang Negara Khalifah, makin menunjukan bahwa ILUSI tentang Negara Islam itu semakin kental.
Jaminannya ini yang malahan tidak menjamin kepluralan, karena bentuk Negara Khilafah [Islamic State] itu sendiri sudah EKSLUSIF.
Itu dongeng masa lalu.
Bukan persoalan usir mengusir yang jadi persoalan. Namun konsep sistem pemerintahan [Islam] itu sendiri yang tidak prular, misal dalam hak dan kewajiban yang sama sebagai sesama warga negara.
kembalinya Negara Khilafah [Negara Islam] adalah sebuah kepastian. Rasulullah saw telah memberitakan akan kembalinya kekuasaan Negara Khilafah. Sabda Rasulullah saw:
تكون النبوة فيكم ما شاء الله أن تكون ثم يرفعها إذا شاء أن يرفعها ثم تكون خلافة على منهاج النبوة فتكون ما شاء الله أن تكون ثم يرفعها إذا شاء أن يرفعها ثم تكون ملكا عاضا فتكون ما شاء الله أن تكون ثم يرفعها إذا شاء ما يرفعها ثم تكون ملكا جبريا فتكون ما شاء الله أن تكون ثم يرفعها إذا شاء أن يرفعها ثم تكون خلافة على منهاج النبوة ثم سكت
Masa kenabian akan berlangsung di tengah-tengah kalian sesuai dengan kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya jika menghendakinya. Lalu datang masa ke-Khilafahan yang mengikuti manhaj kenabian selama masa yang diikehendaki Allah. Kemudian Allah mengangkatnya jika menghendakinya. Lalu datang masa kekuasaan yang zhalim [mulkan 'adlan] selama masa yang dikehendaki Allah. Kemudian Allah mengangkatnya jika menghendakinya. Lalu datang masa kekuasaan diktator bengis [mulkan jabariyyan] selama masa yang dikehendaki Allah. Kemudian Allah mengangkatnya jika menghendakinya. Setelah itu akan datang [kembali] masa ke-Khilafahan yang mengikuti manhaj kenabian. Kemudian Rasulullah terdiam. [HR. Ahmad]
kecuali anda tidak percaya kepada as-Sunnah, maka terserah anda mau menyebut-nya Ilusi atau tidak. saya sudah memberikan argumentasi dalam rangka berdakwah kepada anda, selebih-nya tanggung jawab anda pribadi sebagai seorang muslim.
[cukup sampai disini saya diskusi sama anda, jikalau anda sudah tidak percaya lagi sama sumber syariat]
82
Fiqih, Akhlaq, & Ahkamul Islam / Re:Maqashid, Mashalih Mursalah, Kaidah Kulliah
« pada: 30 Mei 2009, 12:36:42 » @k3nj1
1.memang-nya punya wewenang apa ketua dewan syuro dalam pemerintahan islam?
Majelis Umat, dalam sistem Islam berfungsi hanya untuk musyawarah dan muhasabah.
2.Hadiah atau hibah adalah harta yang diberikan kepada penguasa atau aparatnya sebagai pemberian.
Rasulullah saw. bersabda:
هَدَايَا الْحُكَّامِ سُحْتٌ وَهَدَايَا الْقُضَّاةِ كُفْرٌ
"Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht [haram] dan suap yang diterima hakim adalah kufur" [HR Imam Ahmad].
Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda,
"Amma ba'du, aku telah mempekerjakan beberapa orang di antara kalian untuk melaksanakan tugas yang dipercayakan Allah Swt. kepadaku. Kemudian, salah seorang dari mereka itu datang dan berkata, "Ini kuserahkan kepada Anda, sedangkan ini adalah hadiah yang diberikan orang kepadaku." Jika apa yang dikatakannya itu benar, apakah tidak lebih baik kalau ia duduk saja di rumah ayah atau ibunya sampai hadiah itu datang kepadanya? Demi Allah, siapa pun di antara kalian yang mengambil sesuatu dari zakat itu tanpa haq, maka pada hari Kiamat kelak akan menghadap Allah sambil membawa apa yang diambilnya itu".
Hadis ini menunjukan, bahwa hadiah pada umumnya diberikan orang kepada pejabat tertentu karena jabatannya. Seandainya ia tidak menduduki jabatan itu, tentulah hadiah itu tidak akan datang kepadanya.
Kesimpulan-nya haram menerima pemberian se-sen pun bagi pejabat negara.
[akhi aeoinia maaf ikutan menjawab pertanyaan yang ditujukan kepada antum]
1.memang-nya punya wewenang apa ketua dewan syuro dalam pemerintahan islam?
Majelis Umat, dalam sistem Islam berfungsi hanya untuk musyawarah dan muhasabah.
2.Hadiah atau hibah adalah harta yang diberikan kepada penguasa atau aparatnya sebagai pemberian.
Rasulullah saw. bersabda:
هَدَايَا الْحُكَّامِ سُحْتٌ وَهَدَايَا الْقُضَّاةِ كُفْرٌ
"Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht [haram] dan suap yang diterima hakim adalah kufur" [HR Imam Ahmad].
Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda,
"Amma ba'du, aku telah mempekerjakan beberapa orang di antara kalian untuk melaksanakan tugas yang dipercayakan Allah Swt. kepadaku. Kemudian, salah seorang dari mereka itu datang dan berkata, "Ini kuserahkan kepada Anda, sedangkan ini adalah hadiah yang diberikan orang kepadaku." Jika apa yang dikatakannya itu benar, apakah tidak lebih baik kalau ia duduk saja di rumah ayah atau ibunya sampai hadiah itu datang kepadanya? Demi Allah, siapa pun di antara kalian yang mengambil sesuatu dari zakat itu tanpa haq, maka pada hari Kiamat kelak akan menghadap Allah sambil membawa apa yang diambilnya itu".
Hadis ini menunjukan, bahwa hadiah pada umumnya diberikan orang kepada pejabat tertentu karena jabatannya. Seandainya ia tidak menduduki jabatan itu, tentulah hadiah itu tidak akan datang kepadanya.
Kesimpulan-nya haram menerima pemberian se-sen pun bagi pejabat negara.
[akhi aeoinia maaf ikutan menjawab pertanyaan yang ditujukan kepada antum]
83
Hukum dan Dunia Politik / Re:"ILUSI NEGARA ISLAM"
« pada: 30 Mei 2009, 10:32:56 »Pemimpin dalam agama ya Imam, sistemnya disebut imammah, biasaya berbentuk Ulama atau kumpulan Ulama.Yue Rikim
Pemimpin dalam negara ("natioan state") entah apa sebutannya, biasanya disebut Umaro.
Sistem Pemerintahan Islam dalam bentuk "nation state" inilah yang ILUSI.
Nation State itu bisa diartikan secara leterlyk adalah negara kebangsaan.
Dan terbentuknya "bangsa" ini dibentuk oleh sejarah, artinya "nation state" itu bermacam-macam dan beraneka rupa bentuknya,
Contohnya : Negara Arab dengan sistem kerajaannya, yang sudah tentu dibentuk oleh sejarah bangsa Arab, berbeda dengan Negara (bangsa) Indonesia, yang mendirikan Negara Indonesia, dibentuk dari sekumpulan
suku-suku bangsa yang berbeda-beda. Ada Sunda, ada Batak, ada Ambon, ada Padang dan suku-suku bangsa yang lainnya (ha..ha.ha.. ingat donk sama lagu H. RHOMA).
Jadi sistem pemerintahan islam itu bentuknya yang bagaimana, itulah yang ILUSI.
Anda berargumen semakin memperlihatkan ke-awaman anda.
tepat sekali pernyataan Imam Ibnu Hajar al-'Asqalani, "Idza takallama al-mar'u fi ghayri fannihi ata bi hadzihi al-'aja'ib [Jika seseorang berbicara di luar bidang keahliannya, dia akan mengucapkan kalimat yang ajaib]." [Fath al-Bari]
Coba, kita lihat pendapat Imam Ar-Razi mengenai istilah Imamah dan Khilafah dalam kitab Mukhtar ash-Shihah hlm. 186:
الخلافة أو الإمامة العظمى، أو إمارة المؤمنين كلها يؤدي معنى واحداً، وتدل على وظيفة واحدة و هي السلطة العيا للمسلمين
Khilafah, Imamah al-'Uzhma, atau Imarah al-Mukminin semuanya memberikan makna yang satu [sama] dan menunjukkan tugas yang juga satu [sama], yaitu kekuasaan tertinggi bagi kaum Muslim.
Dhiyauddin ar-Rays dalam kitabnya, An-Nazhariyat as-Siyasiyah al-Islamiyyah hlm. 92 juga mengatakan:
يلاحظ أن الخلافة والإمامة الكبرى وإمارة المؤمنين ألفاظ مترادفة بمعنى واحد
Patut diperhatikan bahwa Khilafah, Imamah al-Kubra, dan Imarah al-Mu'minin adalah istilah-istilah yang sinonim dengan makna yang sama.
Imamah dan Khilafah pengertiannya sama, demikian juga istilah Imam dan Khalifah. Keduanya sama-sama berarti pemimpin tertinggi dalam negara Khilafah, tidak berbeda. Imam Nawawi dalam Rawdhah ath-Thalibin [X/49] menegaskan hal yang sama:
يجوز أن يقال للإمام :الخليفة، والإمام، وأمير المؤمنين
Boleh saja Imam itu disebut dengan Khalifah, Imam, atau Amirul Mukminin.
Kesimpulan-nya Imam atau Khalifah itu yah pemimpin dalam Negara Khilafah [Negara Islam]
Posting Digabung: 30 Mei 2009, 10:44:58
Satu lagi, jangan dikira jika Negara Khilafah diterapkan maka masyarakat yang plural akan hilang, sejarah Kekhilafahan Islam mencatat, dalam Negara Khilafah [Islamic State], Negara akan menjamin perlindungan keamanan dan kesejahteraan pada penganut agama yang lain.
Spanyol [Andalusia] saat diterapkan Islam dikenal sebagai The Three Religion. Yang sejahtera bukan hanya yang Islam saja, tapi semua. Al-Quds, pada waktu ditaklukan oleh Salahuddin Al-Ayyubi, orang non muslim berfikir mereka akan diusir, tetapi kenyataannya mereka malah dilindungi.
84
Hukum dan Dunia Politik / Re:PKS Diduga Manipulasi Laporan Dana Kampanye
« pada: 29 Mei 2009, 15:27:15 » @abu zahid
sudah saya jawab di thread-nya, silahkan antum tanggapi.
sudah saya jawab di thread-nya, silahkan antum tanggapi.
85
Fiqih, Akhlaq, & Ahkamul Islam / Re:Tingkatan Ulama Ahli Syariah
« pada: 29 Mei 2009, 15:00:40 » Dikalangan kaum muslim terdapat 3 jenis mujtahid, yaitu mujtahid mutlaq, mujtahid mazhab dan mujtahid masalah.
Mujtahid Mazhab adalah orang yang mengikuti salah seorang mujtahid dalam satu metode ijtihad, akan tetapi ia berijtihad sendiri dalam perkara-perkara hukum dan tidak mengikuti (hukum-hukum) imam mazhabnya.
Mujtahid Masalah. Ia tidak memiliki syarat-syarat tertentu, tidak pula metode tertentu. Siapapun boleh-selama mempunyai pengetahuan berupa sebagian pengetahuan tentang syara’ dan bahasa yang memungkinkannya-memahami nash-nash syara’. Boleh baginya berijtihad dalam satu permasalahan. Juga boleh baginya menyertakan berbagai pendapat para mujtahid dan dalil-dalil mereka serta kesimpulan-kesimpulan suatu dalil, sehingga dia mampu mencapai pemahaman tertentu terhadap suatu hukum syara’ yang dianggapnya lebih mendekati pada kebenaran, dan menurut dugaannya hal itu adalah hukum syara’.
Adapun Mujtahid Mutlaq adalah orang yang berijtihad dalam huku-hukum syara’, dan berijtihad dengan cara mengistinbath hukum-hukum syara, baik dengan metodenya sendiri sebagaimana sebagian mazhab ataupun tidak. Ia berjalan dengan metode pemahaman tertentu dalam istinbath, seperti para mujtahid di masa sahabat.
Posting Digabung: 29 Mei 2009, 15:26:00
Padahal kita ketahui banyak sahabat rasul saw. seorang yang fakih tentang hukum-hukum Islam [syariah]
Mujtahid Mazhab adalah orang yang mengikuti salah seorang mujtahid dalam satu metode ijtihad, akan tetapi ia berijtihad sendiri dalam perkara-perkara hukum dan tidak mengikuti (hukum-hukum) imam mazhabnya.
Mujtahid Masalah. Ia tidak memiliki syarat-syarat tertentu, tidak pula metode tertentu. Siapapun boleh-selama mempunyai pengetahuan berupa sebagian pengetahuan tentang syara’ dan bahasa yang memungkinkannya-memahami nash-nash syara’. Boleh baginya berijtihad dalam satu permasalahan. Juga boleh baginya menyertakan berbagai pendapat para mujtahid dan dalil-dalil mereka serta kesimpulan-kesimpulan suatu dalil, sehingga dia mampu mencapai pemahaman tertentu terhadap suatu hukum syara’ yang dianggapnya lebih mendekati pada kebenaran, dan menurut dugaannya hal itu adalah hukum syara’.
Adapun Mujtahid Mutlaq adalah orang yang berijtihad dalam huku-hukum syara’, dan berijtihad dengan cara mengistinbath hukum-hukum syara, baik dengan metodenya sendiri sebagaimana sebagian mazhab ataupun tidak. Ia berjalan dengan metode pemahaman tertentu dalam istinbath, seperti para mujtahid di masa sahabat.
Posting Digabung: 29 Mei 2009, 15:26:00
Ada pertanyaan yang cukup menarik bagi saya, apakah Mujtahid Mutlaq hanya 4 Imam Mazhab saja? ataukah 4 Imam Mazhab hanya sebagian contoh Mujtahid yang termasuk Mujtahid Mutlaq?
Contoh mujtahid mutlak adalah 4 imam mazhab yang kita kenal:
Al-Imam Abu Hanifah (80-150 H)
Al-Imam Malik (93-179H)
Al-Imam Asy-Syafi'i (150-204 H)
Al-Imam Ahmad bin Hanbal
Padahal kita ketahui banyak sahabat rasul saw. seorang yang fakih tentang hukum-hukum Islam [syariah]
86
Hukum dan Dunia Politik / Re:Bayanat PKS Pilpres 2009
« pada: 29 Mei 2009, 14:47:56 »tp anggapan klu boediono bermazhab neolib udah tersebar luas ....antum kok dimana-mana ngebahas HT, bahkan pada topik yang ngga ada hubungan sama sekali dengan HT.
bahkan ada teman gak mau liqo lagi gara2 dihantam habis2an ama anak HT ...
apa ada masalah tertentu?, yah sebaiknya berkomentar sesuaikan dengan topik thread-nya....
sedikit meng-ingatkan bersikaplah proporsional....
jika ingin berdiskusi tentang HT, upayakan dalam thread yang benar dan sesuai, ada banyak kok di board hukpol ini, silahkan dipilih salah satu-nya [Insya-Allah akan ditanggapi syabab HTI yang gabung di forum ini]
87
Hukum dan Dunia Politik / Re:PKS Diduga Manipulasi Laporan Dana Kampanye
« pada: 29 Mei 2009, 14:33:55 » Mau OOT bentar, ada yang perlu ditanggapi, untuk meng-clearkan masalah ini yang berlarut larut.
Mungkin, akhi ada defenisi sendiri tentang hal ini?
Mujtahid Mutlaq adalah orang yang berijtihad dalam hukum-hukum syara', dan berijtihad dengan cara mengistinbath hukum-hukum syara, baik dengan metodenya sendiri sebagaimana sebagian mazhab ataupun tidak. Ia berjalan dengan metode pemahaman tertentu dalam istinbath, seperti para mujtahid di masa sahabat.
tp belum pernah sih mendengar klu Hasan al Banna di bilang mutjahid mutlaq bukan seperti yg lain
Mungkin, akhi ada defenisi sendiri tentang hal ini?
88
Hukum dan Dunia Politik / Re:Mengapa kita "menerima" Demokrasi ?
« pada: 29 Mei 2009, 13:40:02 » mau ikut sharing kayaknya menarik
bisa diterangkan lebih lanjut.
sepengetahuan saya syariah menerangkan hukum-nya detil sampai ke masalah teknis, dalam masalah peradilan, ekonomi, pemerintahan dll.
mungkin akhi bisa menjelaskan lebih lanjut.
Jazakallah
duh... kok ga ngerti2 ya... bhw orang muslim yg baik itu sdh setengah mati menolaknya, siapa yg bilang ia jg turut melegislasi apalagi membenarkan?syariah yang sifat-nya Muamallah hanya dasar-dasar hukum-nya saja.
kemungkaran itu unt dilawan, masalah kalah menang kan, Allah lbh tahu. dan paham ga sih... klo syariah yg sifatnya muamalah itu Allah hanya meletakkan dasar2 hukumnya saja.
rupanya cuma ...............tuuuuuuut
bisa diterangkan lebih lanjut.
sepengetahuan saya syariah menerangkan hukum-nya detil sampai ke masalah teknis, dalam masalah peradilan, ekonomi, pemerintahan dll.
mungkin akhi bisa menjelaskan lebih lanjut.
Jazakallah
89
Hukum dan Dunia Politik / Re:"ILUSI NEGARA ISLAM"
« pada: 29 Mei 2009, 13:07:53 » @Yudocun
akhi, benar sekali.
makanya saya bilang ke Yue Rikim, supaya menela'ah kembali ajaran Islam.
jangankan Negara Islam, penerapan syariah Islam dalam suatu Negara, yang bersangkutan sangat meng-ingkarinya [sudah sering saya dan beliau berdiskusi masalah ini di beberapa waktu yang lalu]
akhi, benar sekali.
makanya saya bilang ke Yue Rikim, supaya menela'ah kembali ajaran Islam.
jangankan Negara Islam, penerapan syariah Islam dalam suatu Negara, yang bersangkutan sangat meng-ingkarinya [sudah sering saya dan beliau berdiskusi masalah ini di beberapa waktu yang lalu]
90
Hukum dan Dunia Politik / Re:Mengapa masih ada saja yang tidak menerima demokrasi
« pada: 28 Mei 2009, 13:56:59 »Itu yang saya masih ragukan. Umumnya hanya sebatas mengaku-ngaku saja, Menjalankan syariat hanya "penampakan luar" tanpa memaknai secara hakikinya, hafidz atau hatam alqur'an berkali-kali tapi kelakuan masih hubuddunya, shalat jalan berjinah terus dilakoni, pun juga korupsinya. Sudah cukup banyak contohnya.yah kalau begitu, itu kan menjadi pertanggung-jawaban muslim tersebut sama Allah SWT.
wallahu'alam
91
Hukum dan Dunia Politik / Re:"ILUSI NEGARA ISLAM"
« pada: 28 Mei 2009, 12:01:03 »Surat KetetapanNYA no. berapa ayat berapa, sehingga ada SK bahwa seluruh umat manusia harus membentuk Negara Islam ?wah sudah sering dibahas di board hukpol ini, akhi.
dalil qath'i nya, silahkan antum cek kembali thread yang ada di hukpol [atau melihat kembali thread yang dulu pernah saya buat, disana sudah saya berikan dalil syar'ie nya apa yang antum minta diatas, kalau ngga salah judul threadnya sistem Islam]
Negara beda dengan Pemerintahan !Kan saya sudah bilang Negara Islam sudah diterapkan 14 abad, silahkan anda bantah itu dulu. [silahkan anda pelajari tarikh peradaban Islam, maupun boleh anda pelajari dari literatur barat]
Dan Pemerintahan selama 14 Abad itu pun patut dipertanyakan apakah benar itu adalah pemeritahan ala Islam sesuai SK di atas ?
Mohon ma'af, yang sekarang masih eksis atau kuat dari segi ketahanan ekonomi khususnya, adalah negara dengan sistem pemerintahan komunis, yaitu RRC.
Kata siapa negara Komunis Sosialis(sudah) runtuh ? Itu kan negara USSR dahulu.
Apakah sesuai syariat Islam, saya jawab Negara Islam tersebut berada dalam koridor syariat Islam, silahkan anda tunjukkan kepada saya mengapa negara tersebut bukan berada pada koridor syariat islam? [jangan menuduh, tanpa bisa memberikan bukti, jangan hanya berargumen tanpa data, akhi]
Jelas, apa yang saya maksud dengan Negara sosialis-komunis, ketika Negara tersebut menjadi pemimpin peradaban dunia, begitupun saat ini, yang memimpin peradaban dunia adalah Negara kapitalis-sekular, dan Ingat saya yakin Negara sosialis-komunis suatu saat mungkin akan bangkit kembali [bisa dari kebangkitan RRC, maybe], begitupun Negara Islam akan bangkit kembali, setelah selama 1400 tahun menjadi pemimpin peradaban dunia.
wallahu'alam
92
Obrolan Ummat / Re:Buku "Ilusi Negara Islam", NU dan Muhammadiyah Frustasi kah?
« pada: 28 Mei 2009, 11:46:11 » Menurut saya sangat jauh mengaitkan NU dan Muhammadiyah dalam penerbitan buku ini.
Buku ini diterbitkan oleh gerakan Bhinneka Tunggal Ika [yang dulu kita kenal dengan AKKBB, sebuah organisasi berfaham liberal-sekular], meskipun mungkin ada kader organisasi ini yang juga dikenal sebagai kader NU dan Muhammadiyah, tidak boleh digeneralisir bahwa, NU maupun Muhammadiyah mendukung mereka [ini sangat berbahaya, dan benar-benar mengadu domba gerakan Islam yang ada di Indonesia, karena segelintir orang yang tidak bertanggung-jawab]
Dr Din Syamsuddin maupun Ulama NU yang lain, saat KKI Hizbut Tahrir, hadir dan berorasi memberi dukungan dan sangat menghargai perjuangan Hizbut Tahrir, sebagai salah satu gerakan Islam yang ada di Indonesia.
Jadi kesimpulan-nya tidak ada "permusuhan" antara gerakan Islam di tanah air, yang ada adalah upaya "tangan-tangan asing", merekrut pemuda Islam [yang mungkin kader dari ormas Islam yang ada di Indonesia] yang dibiayai oleh mereka, untuk mempropagandakan faham liberal-sekular di Indonesia, sekaligus "menyerang" gerakan Islam yang memperjuangkan syariah islam.
wallahu'alam
Just pendapat pribadi
Buku ini diterbitkan oleh gerakan Bhinneka Tunggal Ika [yang dulu kita kenal dengan AKKBB, sebuah organisasi berfaham liberal-sekular], meskipun mungkin ada kader organisasi ini yang juga dikenal sebagai kader NU dan Muhammadiyah, tidak boleh digeneralisir bahwa, NU maupun Muhammadiyah mendukung mereka [ini sangat berbahaya, dan benar-benar mengadu domba gerakan Islam yang ada di Indonesia, karena segelintir orang yang tidak bertanggung-jawab]
Dr Din Syamsuddin maupun Ulama NU yang lain, saat KKI Hizbut Tahrir, hadir dan berorasi memberi dukungan dan sangat menghargai perjuangan Hizbut Tahrir, sebagai salah satu gerakan Islam yang ada di Indonesia.
Jadi kesimpulan-nya tidak ada "permusuhan" antara gerakan Islam di tanah air, yang ada adalah upaya "tangan-tangan asing", merekrut pemuda Islam [yang mungkin kader dari ormas Islam yang ada di Indonesia] yang dibiayai oleh mereka, untuk mempropagandakan faham liberal-sekular di Indonesia, sekaligus "menyerang" gerakan Islam yang memperjuangkan syariah islam.
wallahu'alam
Just pendapat pribadi
93
Hukum dan Dunia Politik / Re:"ILUSI NEGARA ISLAM"
« pada: 28 Mei 2009, 11:23:20 »Persoalannyakan, yang memperjuangkan agama didalam suatu negara itu, bukan hanya pemperjuangkan agama sebagai agama, atau mengusung akhlak baik , namun juga islam sebagai pemerintah(an) dalam suatu negara.Ilusi?
Konsep Islam sebagai pemerintah(an) dalam suatu negara inilah yang ILUSI.
1.Yang menganggap Ilusi ketetapan Allah SWT, untuk memperjuangkan kehidupan Islam, sebaik-nya memahami ajaran Islam sebaik-baiknya dan jangan hanya mengikuti sesuatu yang tidak Ia ketahui kebenaran-nya [tentunya pemahaman sesuai syariat Islam]
2.Ilusi Negara Islam, berarti mereka belum pernah belajar sejarah peradaban Islam, maupun sejarah peradaban dunia, karena sejatinya Negara Islam itu sudah pernah diterapkan hampir selama 14 abad, bahkan lebih lama dari Negara sosialis-komunis yang bertahan hanya sampai 100 tahun, dan juga Negara kapitalis-sekular yang baru diterapkan selama 200 tahun, dan sekarang mulai tampak akan keruntuhan-nya [Insya-Allah, dalam waktu dekat Negara tersebut mengikuti jejak keruntuhan Negara komunis-sosialis]
wallahu'alam
94
Hukum dan Dunia Politik / Re:Mengapa kita "menerima" Demokrasi ?
« pada: 26 Mei 2009, 23:28:46 »qath'iy nashnya mana ... qath'iy dilalahnya mana ...abie jangan emosi gitu, saya cuma memberikan pemahaman yang benar, jika antum menolak, yah terserah antum.
secara nash jelas bukan qath'iy, wong istilah demokrasi aja ga ada. Dikenal aja enggak bilang penunjukkannya (dilalah) qath'iy ...
coba tunjuk ulama tafsir yang menafsirkan ayat yang antum maksud itu dilalahnya adalah kepada demokrasi ...
ah udah ah ... jadi kebanyakan dosa ngetawain orang mulu' ...
Astaghfirullah ...
Mangnya antum dilarang ya menjalankan syraiat islam di alam demokrasi ...?
mangnya sejarah kekhalifahan islam itu gak kenal voting ya
perasaan saya udah berbusa ya bilang di sisi pemikir demokrasi, demokrasi itu =! majority rule, tahu kan tanda "=!" artinya apa ...
Lantas, yang manyusun undang undang dalam khilafah itu bukan rakyat ya ...
Heran aja ada yang bilang demokrasi itu haram karena kedaulatan di tangan rakyat, di satu sisi bilang yang bener itu kekuasaan/otoritas berada di tangan umat
oya, sekedar mo nunjukin pada ingatan antum yang cukup kuat ituh ...
tidak ada perkataan meninggalkan hukpol koq ... wong yang dibicarain tret itu ... sudah segarkah ingatan antum?? ini intermezzo aja, gak usah ditanggapi ya ...
tuh khan mencla mencle ... kalo demokrasi haram, maka aktivitas apapun di dalamnya jadi haram tho .. koq sekarang ngeper ...
dasar ga punya pendirian ...
dalil qath'i diatas menunjuk seluruh sistem, yang penafsiran-nya [penunjukan-nya] bertentangan dengan makna dari nash tersebut, jadi ingat itu bukan hanya demokrasi [bisa sistem komunisme, maupun yang lain]
dalam sistem khilafah, ada 3 metode:
1.jika itu ada syariat-nya, maka hukum yang dipakai berdasarkan kekuatan dalil [jadi suara satu orang yang kuat dalilnya, bisa mengalahkan suara mayoritas], ini didasarkan pada perjanjian hudaibiyah.
2.jika untuk masalah strategi atau kepakaran, maka pendapat yang dipakai adalah sesuai dengan pakar strategi tersebut, bukan suara mayoritas, ini didasarkan pada kisah perang badar.
3.jika hanya untuk masalah cara saja, ini dengan suara mayoritas. ini didasarkan pada kisah perang uhud.
pertanyaan-nya kaidah ini adakah dalam sistem demokrasi?
yang membuat hukum adalah Allah SWT
yang melegislasi hukum adalah khalifah.
kekuasaan di tangan umat, berarti umat yang berhak mengangkat khalifah.
siapa yang ngeper, akhi.
sudah baca buku Demokrasi Sistem Kufur, haram menerapkannya, menyebarkannya, maka pendapat saya sebelumnya itu pendapat yang saya dapatkan sesuai dengan isi dan judul kitab tersebut....
wallahu'alam
[yah cukup sekian dulu untuk malam ini, Insya-Allah besok dilanjutkan, akhi aeonia juga sudah mau pamit]
95
Hukum dan Dunia Politik / Re:Mengapa kita "menerima" Demokrasi ?
« pada: 26 Mei 2009, 23:08:35 »@pembelajaryup benar akhi,
Dalam hal ini perlu ditekankan.. bahwa pembahasan tersebut berbeda konteks dengan keterlibatan atau bahkan keberadaan seseorang dalam suatu sistem. Maka masuk berdakwah ke dalam sistem (tentu saja dalam kasus demokrasi berarti masuk ke parlemen) tanpa melakukan aktivitas keharaman khas demokrasi yaitu legislasi hukum sekuler, tidak lah haram. (Kalau bicara kenyataan lain lagi urusannya )
penekanan keharaman ini adalah legislasi hukum dalam sistem demokrasi ini, dan juga pengangkatan kepala negara.
[yang saya heran dari lawan diskusi, keharaman penerapan demokrasi ini kan, sudah sering dibahas, artinya keharaman legislasi hukum, akan tetapi kok dipersoalkan lagi, apa pada waktu itu saya sedang berdiskusi sama member yang lain yah]
96
Hukum dan Dunia Politik / Re:Mengapa kita "menerima" Demokrasi ?
« pada: 26 Mei 2009, 22:53:40 »sebaiknya antum periksa kembali teks wawancara tersebut, ga ada koq yang bilang demokrasi adalah ajaran islam tidak satupun dari ketiganya ...makanya saya menanyakan antum dalil qath'i itu apa, dilihat dari nash-nya atau dilalah-nya?
bukan ijtihad ulama maksudnya bukan ijtihad ulama antum ya ... pantasss ...
btw, kalo demokrasi haram, masuk kedalamnya juga haram yee ... berarti dolo ada orang HT ikut pemilihan lagi khilaf yak
Mangnya ente hidup di alam demokrasi ga bisa atau ga boleh menjalankan syariat islam
Duuh mana seh dalil qath'iy-nya berinteraksi denga demokrasi istilahnya aja baru ...
ini lagi ... saya lagi nunggu boarding itu kenyataan, saya tidak sedang berdusta atau berkilah ... ya elahhh kalo cuman mau berkilah, ngeles biar ga kelihatan salah di hadapan antum, anggap saja abie salah deh, beres tho gitu aja koq repott ... yang bener khan cuman antum ... sepakat deh pokoknya ...
dilihat dari nash dan dilalah-nya, dalil tersebut qath'i artinya nash tersebut adalah qath'i tsubut [al-Qur'an dan hadis mutawatir], dan dilihat dari dilalahnya jelas, tidak ada penafsiran lain, belum pernah saya menemukan pendapat yang lain [terjadi perbedaan pendapat]
menghukumi penerapan sistem demokrasi, dengan dalil qath'i diatas.
source of law, artinya sumber hukum dalam sebuah negara.
syariah menjadi sumber hukum negara, yang mengatur interaksi manusia [muslim dan non-muslim], apakah ini diberlakukan dalam sistem demokrasi?
sistem yang dipakai dalam demokrasi adalah kesepakatan rakyat yang majemuk, yang metode mekanisme-nya, cuma satu yaitu dengan cara voting [mencari suara mayoritas]
indikator gampang-nya negara ini yang menganut demokrasi sumber hukum-nya apa?, yaitu UUD 1945, yang sejatinya dibuat, berdasarkan kesepakatan rakyat yang majemuk [melalui perwakilan rakyat]
97
Hukum dan Dunia Politik / Re:Mengapa kita "menerima" Demokrasi ?
« pada: 26 Mei 2009, 22:16:02 »tidak perlu ngetes segala lah ... kalo cuma mo dibilang ngerti, pinter, paham, itu buat antum deh ... abie ngalah aja ... wong antum yang suka tebar, "antum gak ngerti", "antum tidak paham persoalan" dsb ... moso saya mo rebutan, borong dehh ...makanya mas, hati-hati dalam berkomentar, sehingga tidak memfitnah [lebih baik antum cek kembali ke thread-nya kalau antum lupa, akan tetapi ingatan saya lumayan kuat nih]
Saya memang gak ngerasa inget antum ngakuin kalo salah but anyway syukurlah kalo antum memang mengakuinya, maka dengan ini saya tarik ucapan saya ...
Tapi koq ya aneh ya ... ngakuin salah tapi masih keukeuh aja demokrasi itu ada dalil qath'iy-nya
Saya ulangi, pintu ijtihad itu tidak terbuka untuk perkara2 yang mempunyai dalil qath'iy baik tsubut maupun dilalah-nya.
Pertanyaanya, bagaimana pendapat alim ulama mengenai demokrasi dan penyikapannya?? gak satu pendapat khan ... pak ismail aja mengklasifikasikannya jadi 3. Artinya ini debatable, ini masalah khilafiyah ...
Perkara perkara yang diperselisihkan itu karena perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat ini tidak akan muncul dalam perkara perkara yang mempunyai dalil qath'iy ... So ... (simpulkan sendiri ya ... jangan malas minta disuapin)
wah kalau masalah wawancara dengan ustad Ismail, itu bukan merujuk ijtihad ulama mas, baik-baiklah dalam memahami tulisan. beliau mengatakan itu penyikapan yang terjadi di dunia Islam [masak ada yang bilang, demokrasi adalah ajaran Islam, itu adalah ijtihad, emang ulama mana yang pernah bilang demokrasi adalah ajaran Islam]
antum harus melihat dalil yang saya cantumkan diatas.
bahwa menjadikan syariah sebagi source of law dalam sebuah negara adalah hukumnya wajib. ini dalil qath'i atau tidak?
semua ulama tidak ada perbedaan pendapat dalam dilalah akan nash syar'i yang ini.
syariah hukum-nya wajib, menjadi hukum yang mengatur interaksi manusia [baik muslim dan non-muslim]
jadi ini berimplikasi pada hukum sebaliknya, suatu sistem yang source of law-nya bukan syariah [tapi yang lain, seperti kesepakatan rakyat yang majemuk] adalah haram untuk diterapkan.
Saya sih ga berjanji ga balik ke hukpol ya tapi gak balik ke tret itu, dan kenyataannya saya emang gak balik koqyah udahlah [yang tahu kebenaran-nya hanya Allah SWT]
Tidak akh ... saya tidak mudah tersinggung yang saya pun ga kenal siapa ... antum lumayan menghibur koq ...
Dihibur saja saya merasa senang apalagi bisa mengambil ilmunya ...
Mohon maaf juga kalo saya terlalu offense sebenernya itu juga bermula karena ucapan antum yang mudah mengumbar "antum tidak paham persoalan", sekedar mo ngicipin seberapa paham sih antum sebenarnya ...
silahkan antum cek kembali tulisan antum di thread yang bersangkutan. satu lagi ketika saya menyinggung antum balik ke hukpol disalah satu thread, antum berkilah sedang nunggu boarding [artinya antum menyadari kesalahan antum]
maaf sebelumnya, sikap saya yang bilang seperti itu, hanyalah sikap emosional semata, karena lawan diskusi suka melakukan personal attack, yang belum pernah saya temui dalam diskusi di hukpol ini sebelumnya, jadi itu bukanlah apa yang saya beri penilaian sesungguhnya.
wallahu'alam
98
Hukum dan Dunia Politik / Re:Mengapa kita "menerima" Demokrasi ?
« pada: 26 Mei 2009, 20:17:21 »^ya, akhi.
Hukum KUHP juga bertentangan dengan Islam.
Tapi khan mau tidak mau harus dipake juga.
Kecuali kalau kita dalam posisi bisa memilih: "Mau pake hukum mana nih kita ?"
Kalau posisinya begitu sih jelas apa pilihan kita.
untuk masalah ini kita sebagai muslim harus bersikap berdasarkan petunjuk syariat.
1.Setelah kita mengetahui keharaman "menerapkan demokrasi", maka kita wajib memperjuangkan sistem Islam, yang menjadi tuntunan syariat [dengan kata lain mengganti sistem demokrasi ini].
Imam at-Tirmidzi, an-Nasa'i dan Ibnu Majah telah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوُا الْمُنْكَرَ لاَ يُغَيِّرُونَهُ أَوْشَكَ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللَّهُ بِعِقَابِهِ
Sesungguhnya jika manusia melihat kemungkaran tetapi mereka tidak mengubahnya maka Allah akan menimpakan siksa atas mereka secara umum.
Dalam konteks ini kita harus meninggalkan yang haram dan melakukan pilihan lain yang bahkan adalah wajib bagi kita, yaitu kita harus menggencarkan dakwah, melakukan amar makruf nahi mungkar, berusaha mewujudkan sistem Islam dan berusaha mengubah kondisi yang ada secara menyeluruh melalui dakwah. Sebab, yang wajib adalah kita tidak boleh menghukumi atau dihukumi, kecuali dengan Islam.
2.Seandainya kita diminta memilih dua perkara, yaitu melakukan yang diharamkan atau tidak melakukan apapun [tidak ada pilihan ketiga, yakni melakukan yang baik] maka yang wajib dilakukan adalah kita harus berdiam diri dan menjaga diri dari melakukan perbuatan yang membahayakan orang lain, dan kita harus menjaga lisan dari mengubah agama Allah. Bukankah Rasulullah saw. pernah bersabda,
"Siapa saja yang mengimani Allah dan Hari Akhir hendaklah mengatakan kebaikan atau diam."
wallahu'alam
Posting Digabung: 26 Mei 2009, 20:22:13
yah baiklah saya tanya antum apa itu dalil qath'i, dilihat dari nash-nya atau dari dilalah-nya?
halaahh rekkk guayamu ... syangnya abie sama sekali gak tersepona ...
apa itu dalil qath'iy aja ente entah ngeh ato enggak ...
Saya sih ogah mendebat orang yang ngengkel, alias keukeuh ketika saya bilangin, "pintu ijtihad tertutup untuk perkara yang memiliki dalil qath'iy", maksa bilang "termasuk dzanni maupun qath'iy" ...
Padahal udah jelas saya ngutip juga dari sumber ushul fiqh-nya HT ... namanya bebal ogah ruju' ya modelnya begini ini ...
Yang bantu ngakuin salah malah aeon ...
udahlah mas abie, saya sudah mengakui salah saat itu, jadi antum jangan fitnah [karena saya memahami tidak ada manusia yang lepas dari kesalahan]
tapi ada satu hal yang menjadi prinsip saya, yang benar-benar saya pegang teguh.
saya tidak pernah meninggalkan diskusi, jika saya salah [apalagi berjanji tidak kembali ke board hukpol], akan tetapi setelah beberapa lama, postingan-nya bertebaran dimana-mana di board hukpol ini, sikap ini menunjukkan kemunafikan dan kelemahan dalam bersikap dan berkomitmen.
saya bisa bersikap lemah-lembut, juga bersikap tegas pada lawan diskusi yang kurang santun.
maaf jika kata-kata ini akan menyinggung antum
wallahu'alam
99
Hukum dan Dunia Politik / Re:Benarkah mereka sudah berjuang ? (misteri dibalik Biaya Sekolah Gratis)
« pada: 26 Mei 2009, 18:24:22 » @aeonia
baik, akhi.
nanti saya juga mau nimbrung tentang masalah "sekolah gratis" di thread ini, kok sepertinya berlarut-larut.
padahal sebelumnya kayak-nya dah selesai.
wallahu'alam
baik, akhi.
nanti saya juga mau nimbrung tentang masalah "sekolah gratis" di thread ini, kok sepertinya berlarut-larut.
padahal sebelumnya kayak-nya dah selesai.
wallahu'alam
100
Hukum dan Dunia Politik / Re:Mengapa kita "menerima" Demokrasi ?
« pada: 26 Mei 2009, 18:07:23 »bicara nash ya ... mana ada nashnya demokrasiwah demokrasi ngga ada dalil [nash syariah] yang mengharamkan penerapan-nya....
Kira kira antum yang bekerja di bidang farmasi, bisa menakar ga maslahat-mudaharat dari formalin?? Pan ga ada di nash tuh ...
Halah. wong bunyi kaidahnya pun mo antum bantah koq
darimana coba pembicaraan "menghukumi syariat" ya dari antum ...
Doohhh ... makin jauh aje diskusinya ...
Lho, piye tho ...
Kalo gak ada dalil qath'iy, maka kesimpulan hukumnya dipastikan dari istimbath. Istimbath itu macem-macem metodenya ...
Karena demokrasi tidak memiliki dalil qath'iy bagaimana hukumnya maka terbuka lebar beristimbath (termasuk menggunakan masalih mursalah)
Ini juga yang dipakai hujjatul islam imam ghazali, imam malik, imam abu hanifah dsb ...
simple sekali khan ...
tidak ada, atau antum yang tidak tahu dalil pengharaman-nya.
jika dikatakan tidak ada dalil qath'i nya itu juga tidak betul.
sudah jelas ada dalil qath'i nya yang mengharamkan menerapkan demokrasi.
tidak ada satu pun kasus yang tidak ada hukum-nya dalam syariat [hukum syara']
Karena itu, tidak ada sama sekali dalil yang mendiamkan suatu kasus, karena itu berarti, kasus tersebut tidak mempunyai status hukum di dalam Islam. Itu jelas tidak mungkin.
Dalam Islam sangat jelas bahwa kedaulatan bukanlah di tangan rakyat [seperti dalam demokrasi], tetapi di tangan syariah. Sumber hukum satu-satunya [mashdar al-hukmi], atau source of law adalah al-Quran dan as-Sunnah. Allah Swt. berfirman:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
Jika kalian berselisih paham dalam suatu perkara, hendaklah kalian merujuk kepada Allah [al-Quran] dan Rasul-Nya [as-Sunnah] [QS an-Nisa' [4]: 59].
Dengan berpegang teguh pada dua perkara ini kita tidak akan tersesat. Inilah yang disabdakan Rasulullah saw.:
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللهِ وَسُنَّتِيْ
Aku meninggalkan untuk kalian dua perkara dan kalian tidak akan sesat selama berpegang teguh pada keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku [HR al-Hakim].
Karena itu, demokrasi dengan Islam bertentangan. Perbedaan secara mendasar demokrasi dengan Islam dilihat dari sumber kedaulatan ini.
wallahu'alam
101
Hukum dan Dunia Politik / Re:Benarkah mereka sudah berjuang ? (misteri dibalik Biaya Sekolah Gratis)
« pada: 26 Mei 2009, 17:35:35 »Tampaknya melihat tretnya kang abizecha cuma lips service saja, antum tidak benar benar melihatnya, atau antum melihatnya tapi tak benar benar mencernanya, bahkan mungkin antum tidak membaca keseluruhan bunyi kaidahnya ...bisa antum bawa referensi-nya, bahwa HT menolak kaidah ini.
Sulit memang berdiskusi dengan orang yang tidak mau terbuka, mengunci mati pemikirannya dengan pemikiran hizbnya saja sehingga qawaid fiqh yang telah digunakan berabad abad dalam khazanah keilmuan islam ditolak hanya karena tidak sesuai dengan hawa nafsunya!
Ini adalah qawaid yang sangat sangat populer ... bahkan untuk thulab yang baru belajar ushul fiqh ...
الْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلُّ الدَّلِيلُ عَلَى التَّحْرِيمِ
Dibaca baik baik: ... ibahah HATTA YADULLU DALIIL 'ALA TAHRIIM ...
Ibahah (boleh) hingga ada dalil yang mengharamkan. Jadi dalil pengharaman itu adalah pembatas atau pengecualian atau pemalingan dari hukum asal.
Datangkan hujjahmu untuk menolak qaidah ini ... atau datangkan satu saja pendapat fuqoha yang menolak kaidah ini!
Niscaya antum hanya temukan dalam satu golongan yang menolaknya: HIZBUTTAHRIIR!
jika antum tidak bisa membawa referensi-nya, argumentasi antum bisa jadi fitnah.
padahal sudah jelas kaidah ini dijelaskan oleh akhi aeonia,
"kaidah hukum asal perbuatan adalah terikat dengan hukum syara"
wallahu'alam
102
Hukum dan Dunia Politik / Re:Mengapa masih ada saja yang tidak menerima demokrasi
« pada: 26 Mei 2009, 17:06:25 »Sejatinya, syariat dalam arti luas, adalah pedoman, petunjuk (hidup) di dunia. Supaya berakhlaq baik !?ya, akhi.
Benar pula bahwa, ibadah itu bukanlah "hanya" ibadah ritual belaka [ibadah mahdah] saja.
Titik point saya disini : Sedangkan beragama, intinya adalah untuk ibadah, dan sebelum beribadah seharusnya tau dan "kenal" dahulu siapa yang diibadahinya, Allah SWT.
Karena kalau tidak demikian, dapat kepeleset beribadah karena [ikut] kelompok.
Berpolitik penuh intrik, karena berebutan kekuasaan, jabatan, tahta, kadang-2 harta dam juga wanita.
kalau seseorang itu muslim, saya meyakini mereka ber-ibadah kepada Allah SWT.
ini sesuatu yang membedakan aqidah Islam dengan aqidah agama yang lain, begitupun yang membedakan muslim dan non-muslim.
wallahu'alam
103
Hukum dan Dunia Politik / Re:Mengapa masih ada saja yang tidak menerima demokrasi
« pada: 26 Mei 2009, 16:36:10 »Tujuan berpolitik adalah mencapai dan atau meraih kekuasaan (tertinggi) dalam suatu negara. Sedangkan definisi poltik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan melalui orang lain.akhi, kalau kita biasa bilang syariat, itu jelas mengacu kepada sumber syariat, yaitu al-Qur'an dan as-Sunnah. kalau sumber hukum agama lain disebut syariat, saya belum pernah dengar.
Kalau definisi politik disamakan dengan siasat (siasah) ya agak kurang tepat, karena itu hanya salah satu bagian saja dari politik.
Sedangkan beragama, intinya adalah untuk ibadah, dan sebelum beribadah seharusnya tau dan "kenal" dahulu siapa yang diibadahinya.
Menjalankan syariat belum tentu sudah "beribadah dan beragama", karena tiap-tiap agama juga punya syariat versi masing-masing(agama apapun, sepertinya). Bahkan agama "komunis" pun punya "syariat".
nah karena antum dan saya adalah muslim, maka sejati-nya tujuan berpolitik adalah dalam rangka untuk ber-ibadah [pengabdian] kepada Allah SWT. jadi ibadah itu bukanlah "hanya" ibadah ritual belaka [ibadah mahdah] saja, seperti sholat, puasa, zakat, dll, melainkan juga pada aspek diluar itu, seperti dalam ekonomi, peradilan, pergaulan, pemerintahan, dsb. semua aspek kehidupan manusia sejati-nya harus dalam rangka ibadah kepada Allah SWT [dan harus mengikuti ketentuan syariat]
wallahu'alam
Posting Digabung: 26 Mei 2009, 16:41:43
saya kasih contoh, untuk masalah ekonomi.
Al-Quran dengan sharih [jelas] telah menjelaskan keharaman riba dalam berbagai bentuknya dan seberapapun banyak ia dipungut. Allah SWT berfirman:
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبا لا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
"Orang-orang yang makan [mengambil] riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran [tekanan] penyakit gila keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata [berpendapat], "Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba," padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti [dari mengambil riba], maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu [sebelum datang larangan]' dan urusannya [terserah] kepada Allah. Orang yang kembali [mengambil riba], maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya". [TQS Al Baqarah [2]: 275].
ketika kita mentaati ketentuan syariat diatas, maka kita sejati-nya telah menjalankan ibadah [pengabdian] kepada Allah SWT, dalam aspek bidang ekonomi.
wallahu'alam
104
Hukum dan Dunia Politik / Re:Mengapa masih ada saja yang tidak menerima demokrasi
« pada: 26 Mei 2009, 16:02:52 »Tanya :Mengapa masih ada saja yang tidak menerima demokrasi ?bisa dijelaskan apa yang dimaksud "membedakan mana berpolitik dan mana beragama".
Jawab: Karena ada banyak orang yang tidak bisa membedakan mana berpolitik dan mana beragama.
karena sejati-nya orang yang sedang berpolitik, adalah seharusnya orang yang sedang menjalankan perintah syariat [orang beragama], itu jika dia muslim yang taat, entah kalau dia punya tujuan yang lain, berarti dapat disimpulkan sendiri dia muslim yang seperti apa.
wallahu'alam
105
Hukum dan Dunia Politik / Re:"ILUSI NEGARA ISLAM"
« pada: 26 Mei 2009, 15:53:41 »
http://www.bhinnekatunggalika.org/galeri.html
organisasi diatas, adalah organisasi yang kita kenal dulu dengan AKKBB.
AKKBB organisasi pendukung ahmadiyah, yang juga organisasi ini menjadi aktor [provokator], dalam peristiwa monas.
mereka menolak gerakan Islam transnasional, padahal sejatinya mereka adalah antek gerakan Ideologi transnasional [yang kufur menurut syariat], yaitu Ideologi Sekularisme [liberalisme], yang sudah difatwakan haram oleh MUI beberapa waktu yang lalu.
wallahu'alam
106
Hukum dan Dunia Politik / Re:Mengapa masih ada saja yang tidak menerima demokrasi
« pada: 26 Mei 2009, 13:55:50 » kenapa politik dipisahkan dari agama?
apakah muslim tersebut tidak memahami syariat Islam?
wallahu'alam
apakah muslim tersebut tidak memahami syariat Islam?
wallahu'alam
107
Hukum dan Dunia Politik / Re:ketika anda memilih golput, apa langkah anda untuk perbaiki Islam & Negeri ini ?
« pada: 26 Mei 2009, 13:53:09 » pertanyaan-nya, apakah dengan memilih pemimpin sekular, sesuai dengan petunjuk syariat Islam?
kaidah apa yang digunakan?
hati-hati menempatkan kaidah ahwan asy-syarrayn [keburukan yang lebih ringan di antara dua keburukan] sebagai dalil, tanpa meng-indahkan batasan-batasan yang digunakan dalam penggunaan kaidah Qa'idah Kulliyyah atau Qa'idah Fiqhiyah tersebut.
wallahu'alam
kaidah apa yang digunakan?
hati-hati menempatkan kaidah ahwan asy-syarrayn [keburukan yang lebih ringan di antara dua keburukan] sebagai dalil, tanpa meng-indahkan batasan-batasan yang digunakan dalam penggunaan kaidah Qa'idah Kulliyyah atau Qa'idah Fiqhiyah tersebut.
wallahu'alam
108
Hukum dan Dunia Politik / Re:Relevankah kaidah fuqoha' untuk pilpres mendatang
« pada: 26 Mei 2009, 13:37:48 » mau nyumbang artikel yang berkaitan dengan kaidah ini, mudah-mudahan bermanfaat.
Kaidah Ahwan Asy-Syarrayn
Salah satu kaidah yang sering dipakai saat ini adalah kaidah ahwan asy-syarrayn (keburukan yang lebih ringan di antara dua keburukan). Kaidah ini sering digunakan untuk melegalisasi sesuatu yang haram; atau menjadikan sesuatu yang dilarang berubah menjadi sesuatu halal. Contoh:
1. Lokalisasi zina dan judi dibolehkan dengan alasan, jika tidak dilokalisasi akan timbul bahaya yang lebih besar, yaitu perzinaan dan perjudian akan menyebarluas.
2. Boleh terlibat/masuk ke dalam sistem kufur, karena jika tidak, akan muncul bahaya yang lebih besar, yaitu kepemimpinan akan dikuasai oleh orang kafir.
3. Solusi masalah Palestina adalah dengan mendirikan dua negara, untuk Israel dan untuk Palestina. Sebab, jika tidak, bahaya lebih besar akan menimpa penduduk Palestina; peperangan akan terus-menerus berlangsung dan akan menimbulkan darar yang lebih besar daripada bahaya akibat dibentuknya dua negara: Palestina dan Israel.
4. Mengambil demokrasi, meski di baliknya ada bahaya, merupakan keniscayaan bagi kaum Muslim. Sebab, jika tidak mengambil demokrasi, rakyat akan dikuasai oleh pemerintahan otoriter yang madaratnya lebih besar.
5. Pemimpin wanita boleh, alasannya memiliki pemimpin wanita jauh lebih baik daripada tidak memiliki pemimpin sama sekali. Bahaya akibat kepemimpinan wanita lebih ringan daripada bahaya tidak adanya pemimpin bagi rakyat.
Mendudukan Kaidah
Perlu dipahami, kaidah Ahwan asy-syarrayn termasuk Qâ’idah Kulliyyah atau Qâ’idah Fiqhiyah. Qâ’idah Kuliyyah bukan nash (dalil) syariah. Qâ’idah Kulliyyah hanyalah hukum syariah yang digali dari nash syariah (al-Quran dan as-Sunnah). Menurut Mahmud Abdul Karim Hasan, Qâ’idah Kulliyyah merupakan al-hukm asy-syar’i al-kulli (hukum syariah yang bersifat global). Sebagai hukum syariah yang bersifat umum dan global, ia bisa meliputi dan diterapkan pada bagian-bagiannya (juz’iyatihi) atau yang termasuk jenisnya (afrâdihi). Sebagai hukum syariah, Qâ’idah Kuliyyah harus disandarkan pada dalil syariah, baik al-Quran, as-Sunnah, Qiyas maupun Ijmak Sahabat.
Makna dan Penerapan Kaidah
Makna kaidah ini, dengan redaksi yang berbeda-beda, menurut ulama yang mengadopsinya adalah bolehnya mengambil salah satu dari dua perkara haram yang lebih sedikit keharamannya atau lebih sedikit keburukan/mafsadatnya. Menurut Imam as-Suyuthi, kaidah ini adalah cabang dari kaidah, “Adh-Dharar yuzâlu (bahaya harus dihilangkan).” Lalu dari kaidah ini lahir kaidah, Adh-Dharar lâ yuzâlu bi adh-dharar (Bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya yang lain).”
Hanya saja, jika dua bahaya/madarat bertemu dan tidak mungkin keduanya dihindari sekaligus—dengan kata lain salah satunya harus dijalani—maka bahaya/madarat yang lebih besar harus dihilangkan (dihindari) dengan mengambil bahaya/madarat yang lebih kecil. Menurut Imam as-Suyuthi redaksi lengkapnya adalah:
إِذَا تَعَارَضَا مَفْسَدَتَانٍ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِاِرْتِكَابِ أَخَفِهِمَا
Jika dua bahaya bertentangan maka bahaya yang lebih besar harus dihindari dengan cara menempuh bahaya yang lebih ringan.1
Kaidah ini populer dengan istilah: ahwan asy-syarrayn (memilih keburukan yang paling ringan di antara dua keburukan); aqalu adh-dhararayn (memilih bahaya yang lebih kecil di antara dua bahaya); akhafu al-mafsadatayn (memilih kemafsadatan yang lebih ringan di antara dua kemafsadatan), dar’ al-mafsadah al-akbar bi al-mafsadah al-ashghar (menangkal mafsadat yang lebih besar dengan memilih mafsadat yang lebih kecil). yukhtâr ahwan asy-syarrayn aw akhafu adh-dhararayn (dipilih keburukan yang lebih kecil atau bahaya yang lebih ringan); adh-dharar al-asyadd yuzâl bi adh-dharar al-akhafu (bahaya yang lebih serius dihilangkan dengan bahaya yang lebih ringan).2
Menurut Imam as-Suyuthi, Izzuddin bin Abdus Salam dan al-Qarafi, kaidah ini hanya diterapkan dalam kondisi ‘emergensi’ (darurat/terpaksa). Sebab, kaidah ini merupakan cabang dari kaidah Adh-Dhararu Yuzâlu (Bahaya harus dihilangkan)”. Kita tidak bisa beralih ke hukum cabang (kaidah cabang) apabila hukum asal (kaidah asal) masih bisa diberlakukan. Hukum pokoknya adalah: segala kemadaratan, mafsadat dan keharaman harus dihilangkan; kecuali jika dua bahaya bertentangan dan tidak mungkin keduanya dihindari sekaligus maka bahaya yang lebih besar harus dihindari dengan terpaksa menempuh bahaya yang lebih kecil atau lebih ringan.
Dalil Kaidah
Menurut Imam Shalahudiin al-‘Ala’I, di antara dalil kaidah ini adalah Perjanjian Hudaibiyah. Saat itu Nabi saw. menyetujui klausul: jika ada dari penduduk Makkah datang kepada Nabi saw. dalam keadaan beriman maka ia akan dikembalikan ke Makkah. Jika ada kaum Muslim dari Madinah datang ke Makkah maka mereka tidak harus dikembalikan ke Madinah. Nabi saw. menyetujuinya—meski bisa membahayakan, yaitu melemahkan posisi kaum Muslim dan agama Islam—untuk menghindari bahaya yang jauh lebih besar, yaitu akan terbunuhnya kaum Muslim yang tinggal di Makah.3
Imam ‘Izzuddin bin Abdis Salam mengetengahkan dalil kaidah ini. Beliau menyatakan, “Namimah adalah mafsadat yang diharamkan, tetapi boleh dilakukan atau diperintahkan jika mengatakannya mengandung maslahat yang lebih besar bagi orang yang diberitahunya. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah QS al-Qashash [28]: 20. Berita yang disampaikan kepada Nabi saw. oleh para Sahabat tentang kaum munafik adalah juga dalil tentang hal ini. 4
Dalil yang lain adalah hadis yang diriwayatkan Imam Muslim dari Anas bin Malik, bahwa pernah ada seorang Arab Baduwi (pedalaman) berdiri di salah satu sudut masjid, lalu kencing di situ. Para Sahabat berteriak (hendak menghentikannya). Namun, Nabi saw bersabda, “Biarkanlah ia.” Ketika orang itu sudah selesai, Nabi saw. memerintahkan untuk menyiram air kencingnya dengan seember air. Imam an-Nawawi berkata, “Apa yang dilakukan oleh Nabi saw. adalah upaya untuk menghindari bahaya yang lebih besar. Menghentikan kencingnya di tengah-tengah akan menyebabkan menyebarnya najis pada pakaian, badannya dan pada beberapa tempat di masjid. Beliau mencegah bahaya yang lebih besar ini dengan mengambil bahaya yang lebih ringan (yaitu terkotorinya bagian tertentu dari masjid dengan air kencingnya).”
Menurut pengarang kitab, Nazhm al-Qawâ’id al-Fiqhiyah,5di antara dalil kaidah ini adalah QS al-Baqarah:173. Pada ayat ini disinggung dua bahaya. Pertama: bahaya yang mengancam jiwa. Kedua: adalah bahaya memakan bangkai. Kemudian Allah memberikan petunjuk untuk menghindari bahaya yang lebih besar, yaitu bahaya yang mengancam jiwa dengan cara menempuh bahaya yang lebih ringan: memakan bangkai.
Syarat Penerapan Kaidah
Dr. Mahmud Abdul Karim Hasan menyatakan, kaidah Ahwan asy-Syarrayn tidak bisa diberlakungan secara serampangan. Kaidah ini hanya diberlakukan pada dua kondisi:
1. Tidak bisa menghindari dua perkara yang diharamkan atau yang mengandung bahaya (dharar), kecuali dengan melakukan salah satunya. Kita tidak mungkin meninggalkan kedua-duanya secara bersamaan karena sangat sulit dan di luar batas kemampuan kita.
2. Bisa menghindari dua perkara yang diharamkan (berbahaya) itu, tetapi jika keduanya dihindari, akan terjadi keharaman lain yang lebih besar lagi.
Hanya saja, penentuan mana bahaya yang lebih besar dan yang lebih kecil tidak boleh diserahkan pada akal dan hawa nafsu, tetapi harus merujuk pada syariah. Sebab, selain menjelaskan halal dan haram, syariah juga menjelaskan mana yang lebih ringan keharamannya.
Dalam konteks ini Imam Izzuddin bin Abdis Salam berkata:
Ketika berkumpul beberapa bahaya, jika mungkin untuk meninggalkannya, maka kita harus meninggalkan semuanya. Jika tidak mungkin, kita harus meninggalkan yang paling besar bahayanya, kemudian yang di bawahnya dan seterusnya. Jika derajat bahayanya sama, harus ditangguhkan. Kadangkala di antara bahaya-bahaya itu ada yang bisa dipilih, ada yang diperselisihkan dalam kesamaan dan perbedaannya. Dalam bahaya ini tidak ada perbedaan antara yang diharamkan dengan yang dimakruhkan (artinya sama-sama harus ditinggalkan).
Berikut ini beberapa contoh penerapan kaidah Ahwan asy-Syarrayn yang tepat sesuai dengan syarat-syaratnya: 6
1. Jika ada seorang ibu yang hamil atau sulit melahirkan dan dokter tidak bisa menyelamatkan ibu dan janinnya sekaligus, sementara harus segera diputuskan antara: menyelamatkan ibu, tetapi akan mengakibatkan kematian janin; atau menyelamatkan janin, tetapi akan mengakibatkan kematian ibu. Jika kondisi itu dibiarkan, ia akan mengakibatkan bahaya yang lebih besar, yaitu keduanya akan mati. Berdasarkan kaidah Ahwan asy-Syarrayn, harus diputuskan menyelamatkan ibu meski berakibat pada kematian janin.
2. Jika kita melihat ada seorang yang diancam akan dibunuh, atau dianiaya atau ada seorang wanita yang akan diperkosa, dan kita mampu mencegah hal itu, namun pada saat yang sama kita harus menunaikan shalat wajib yang hampir habis waktunya, sementara tidak mungkin melakukan keduanya sekaligus. Dalam hal ini, syariah menetapkan bahwa menghilangkan keharaman seperti itu lebih diutamakan daripada menunaikan kewajiban. Yang harus dilakukan adalah mendahulukan untuk menyelamatkan orang yang akan dibunuh atau wanita yang akan diperkosa itu.
3. Boleh melakukan operasi cesar untuk mengeluarkan janin jika tidak bisa lahir secara normal meski dengan bantuan sekalipun.
4. Jika seseorang diancam agar membunuh si Fulan, kalau tidak mau ia akan dibunuh; ia tidak memiliki pilihan ketiga. Dalam kondisi seperti itu ia harus merelakan dirinya terbunuh untuk menghindari bahaya yang lebih besar, yaitu membunuh orang lain.
Jadi, penerapan kaidah harus memenuhi ketentuan, syarat dan batasan yang telah dijelaskan oleh para ulama ushul. Penggunaan kaidah tersebut untuk membolehkan perkara yang haram, seperti yang belakangan ini terjadi, sebenarnya hanya memperalat kaidah tersebut, menyalahi syariah dan tidak pernah dikatakan oleh para ulama yang jujur.
Misal: pendapat yang mengatakan (tentang Pemilu), “Kita harus memilih si A meski sekular, jangan memilih si B; karena si A mendukung kita, sedangkan si B tidak,” atau semisalnya. Pendapat ini secara syar’i tertolak. Yang harus dikatakan dalam masalah ini adalah kedua pilihan adalah perkara yang diharamkan. Kita tidak boleh memilih orang yang sekular dan menjadikannya sebagai wakil bagi kaum Muslim dalam menyampaikan pendapat, karena ia tidak terikat dengan Islam dan karena ia melakukan perkara-perkara yang diharamkan, yang tidak boleh dilakukan oleh orang yang mewakilkan seperti: membuat hukum (tasyrî, legislasi); menyetujui program-program yang diharamkan; menuntut, menerima dan melakukan perkara yang diharamkan. Karena itu, kita tidak boleh memilih kedua-duanya; karena memilih si A atau si B sama saja haramnya dan karena tidak memilih si A atau si B masih ada dalam batas kemampuan kita. Lebih dari itu, masih ada pilihan aktivitas lainnya yang bahkan hukumnya wajib. Jadi dalam hal ini kaidah Ahwan asy-Syarrayn tidak bisa diamalkan.
Dalam konteks ini tidak bisa dikatakan: jika kita tidak memilih si A atau si B maka nanti akan terpilih orang yang tidak berpihak kepada kita, yang akan menimbulkan bahaya lebih besar lagi. Hal itu sebagaimana kita tidak boleh mengatakan jika kita tidak memanfaatkan bar yang menjual khamr maka bar itu akan dimanfaatkan oleh orang lain yang tidak berpihak kepada kita. Yang harus dilakukan adalah meninggalkan dua perkara haram tersebut dan mengajak orang lain untuk meninggalkannya.
Imam at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan Ibnu Majah telah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوُا الْمُنْكَرَ لاَ يُغَيِّرُونَهُ أَوْشَكَ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللَّهُ بِعِقَابِهِ
Sesungguhnya jika manusia melihat kemung-karan tetapi mereka tidak mengubahnya maka Allah akan menimpakan siksa atas mereka secara umum.
Bisa jadi ada yang berkata: kalau kita tidak memilih salah satunya berarti kita berdiam diri, tidak melakukan apapun. Jawabannya, “Seandainya kita diminta memilih dua perkara, yaitu melakukan yang diharamkan atau tidak melakukan apapun—tidak ada pilihan ketiga, yakni melakukan yang baik—maka yang wajib dilakukan adalah kita harus berdiam diri dan menjaga diri dari melakukan perbuatan yang membahayakan orang lain, dan kita harus menjaga lisan dari mengubah agama Allah. Bukankah Rasulullah saw. pernah bersabda, “Siapa saja yang mengimani Allah dan Hari Akhir hendaklah mengatakan kebaikan atau diam.”
Dalam konteks ini kita harus meninggalkan keduanya dan melakukan pilihan ketiga yang bahkan adalah wajib bagi kita, yaitu kita harus menggencarkan dakwah, melakukan amar makruf nahi mungkar, berusaha mewujudkan orang yang layak untuk dipilih dan berusaha mengubah kondisi yang ada secara menyeluruh melalui dakwah. Sebab, yang wajib adalah kita tidak boleh menghukumi atau dihukumi, kecuali dengan Islam.
Kondisi tersebut sama seperti kondisi saat kepada seseorang disodorkan dua jenis makanan: bangkai dan daging babi. Apakah serta-merta ia boleh menerapkan kaidah Ahwan asy-Syarrayn? Tentu tidak. Yang harus ia lakukan adalah meninggalkan keduanya dan bersungguh-sungguh mencari makanan yang halal, serta bersabar tidak memakan keduanya, kecuali jika sampai taraf darurat yang jika tidak memakan salah satunya ia akan binasa. Wallâhu a’lam bi ash-Shawab.
Posting Digabung: 26 Mei 2009, 13:39:42
satu lagi artikel yang berkaitan dengan kaidah ini.
Kaidah Raf’u Al-Haraj
Di antara kaidah ushul yang sering digunakan secara tidak proporsional adalah kaidah Raf’u al-Haraj (menghilangkan kesempitan). Tidak jarang kaidah ini dipakai sebagai justifikasi untuk menghalalkan sesuatu yang haram, seperti beberapa kaidah lain semisal: Akhafu ad-Dhararayn, Ahwanu asy-Syarrayn atau Mashâlih al-Mursalah. Penggunaan kaidah-kaidah ini secara keliru boleh jadi akibat kekurangpahaman dalam memahami implementasi kaidah ini; bisa juga karena kedangkalan dalam memahami realitas/obyek hukumnya; boleh jadi pula karena faktor kesengajaan dari pihak-pihak yang memang punya niat yang tidak baik untuk semakin menguatkan realitas buruk yang ada.
Berikut ini adalah telaah kritis atas penggunaan kaidah Raf’u al-Haraj yang juga dibahas dalam Kitab Syakhshiyyah al-Islamiyyah Jilid III halaman [483-485] karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani.
Asal-usul Kaidah Raf’u al-Haraj
Pada dasarnya, kaidah raf’u al-haraj (menghilangkan kesukaran) adalah derivasi (turunan) dari kaidah ma’âlât al-af’âl. Ma’âlât al-af’âl bermakna sumber atau tempat merujuknya perbuatan-perbuatan manusia. Kata ma’âl berasal dari kata âla yang bermakna raja’a. Kata al-ma’âl bermakna al-marja’ (tempat kembali), an-nâtijah (kesimpulan atau inti).
Yang dimaksud dengan ma’âlât al-af’âl adalah sumber, inti atau tempat merujuknya perbuatan manusia. Dalam konteks ushul fikih, kaidah ma’âlât al-af’âl diterapkan pada perbuatan-perbuatan yang telah ditetapkan kehalalannya oleh syariah. Namun, tatkala perbuatan itu menimbulkan mafsadat, perbuatan itu akhirnya dilarang. Sebaliknya, ada perbuatan yang konteks asalnya dilarang oleh syariah, tetapi larangan itu akhirnya ditinggalkan tatkala ada mashlahat di dalamnya. Menurut orang yang menggunakan kaidah ini, hukum syariah itu diturunkan untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak mafsadat (jalbu al-mashâlih wa dar‘u al-mafâsid). Jika ketetapan syariah justru menimbulkan mafsadat maka hukum syariah itu harus ditinggalkan. Sebaliknya, jika ada larangan syariah yang berseberangan dengan kemaslahatan maka larangan itu harus diganti dengan kebolehan. Pasalnya, asal dari penetapan hukum syariah adalah jalbu al-mashâlih wa dar’u al-mafâsid (meraih maslahat dan menolak mafsadat).
Dari kaidah ma’âlât al-af’âl ini dibangunlah beberapa kaidah lain, semacam kaidah raf’u al-haraj, sadd al-dzarâi’, al-hayl, dan lain sebagainya. Bahkan penganut kaidah ini menetapkan bahwa ma’âlâtu al-af’âl adalah asal-muasal dari istinbâth hukum syariah, dan penetapan hukum syariah harus selalu mengacu pada kaidah ini.
Berkaitan dengan kaidah raf’u al-haraj, maksud dari kaidah ini adalah, ada perbuatan-perbuatan yang pada konteks awalnya ghayru masyruu’ (bertentangan dengan hukum syariah), namun jika perbuatan-perbuatan tersebut ditinggalkan akan menyebabkan kesukaran dan kesulitan pada manusia, maka dalam kondisi semacam ini, seseorang dibolehkan melakukan perbuatan ghayru masyrû’ tersebut demi menghindarkan dirinya dari kesulitan dan kesukaran. Begitu pula sebaliknya. Jika perintah syariah justru berpotensi menyebabkan kesulitan dan kesukaran, maka perintah tersebut boleh dianulir demi apa yang disebut dengan raf’u al-haraj. Alasannya, syariah itu ditetapkan untuk mempermudah manusia, bukan untuk menyulitkan.
Dalil Kaidah Raf’u al-Haraj
Sebagian orang yang mengamalkan kaidah ini berhujjah dengan firman Allah Swt.:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesukaran atas kalian (QS al-Baqarah [2]:185).
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kalian dalam agama suatu kesempitan (QS al-Hajj [22]: 78).
Mereka juga mengetengahkan hadis riwayat Imam Ahmad, yakni sabda Rasulullah saw.:
وَلَكِنِّي بُعِثْتُ بِالْحَنِيفِيَّةِ السَّمْحَةِ
Hanya saja, aku diutus dengan kelurusan yang lapang (toleran) (HR Ahmad).
Menurut mereka, nash-nash di atas menunjukkan bahwa Allah Swt. tidak menghendaki adanya kesulitan dan kesukaran pada syariah-Nya. Sebaliknya, syariah Allah diturunkan untuk merealisasikan kemudahan dan kelapangan bagi umat manusia. Atas dasar itu, jika ada ketetapan syariah yang justru menimbulkan kesulitan atau kesukaran pada manusia, maka ketetapan syariah itu harus ditinggalkan. Sebab, hal ini tentu akan bertentangan dengan maksud yang ingin diraih dalam pensyariatan hukum Islam, yakni mempermudah manusia dalam mewujudkan maslahat dan menolak mafsadat.
Argumentasi-argumentasi di atas jelas-jelas keliru dan bertentangan dengan maksud dan kandungan nash-nash yang mereka jadikan sebagai hujjah. Kekeliruan tersebut tampak pada hal-hal berikut ini:
Pertama, firman Allah Swt. dalam surat al-Baqarah ayat 185 di atas khusus berbicara pada konteks rukhshah (keringanan) yang telah ditetapkan oleh Allah kepada kaum Muslim, yakni bolehnya seorang Muslim berbuka puasa ketika tengah berada dalam perjalanan (safar) atau sakit, dan sama sekali tidak berhubungan dengan kaidah raf’u al-haraj. Pasalnya, penetapan rukhshah atas suatu perbuatan merupakan hak prerogatif dari Asy-Syâri’ (Pembuat Hukum). Penetapan apakah suatu perbuatan mengandung rukhshah atau tidak harus didukung oleh dalil. Tidak ada hak bagi akal manusia untuk menetapkan keringanan (rukhshah) pada perintah Allah Swt. dan Rasul-Nya. Dari sini dapat disimpulkan, bahwa menjadikan kaidah raf’u al-haraj sebagai dalil sama artinya dengan telah menempatkan manusia sejajar dengan Allah Swt. Na’ûdzu billâhi min dzâlik.
Kedua, firman Allah Swt. surah al-Hajj (22) ayat 78 hanya berhubungan masalah taklif yang dibebankan Allah kepada manusia, yakni Allah tidak membebani manusia dengan suatu perintah (taklif syariah) yang tidak sanggup dipikul oleh manusia. Ayat di atas juga tidak berhubungan dengan kaidah raf’u al-haraj. Jika kita memperhatikan ayat sebelumnya, makna ayat tersebut akan tersingkap dengan jelas.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ، وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
Hai orang-orang yang beriman, rukuklah kalian, sujudlah kalian, sembahlah Tuhan kalian dan perbuatlah kebajikan, supaya kalian mendapat kemenangan; dan berjihadlah kalian di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kalian dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kalian dalam agama suatu kesempitan (QS al-Hajj [22]: 77-78).
Makna haraj pada ayat ini adalah adh-dhayq (kesulitan). Dengan demikian, pengertian ayat di atas adalah, sesungguhnya Allah tidak membebani manusia untuk melaksanakan ibadah dan perbuatan-perbuatan baik lainnya, kecuali sekadar dengan kesanggupan manusia. Ayat ini tidak mengandung pengertian bahwa sebab pensyariatan hukum adalah kemudahan sehingga dinyatakan jika ketetapan Allah Swt. dirasa memberatkan maka hukum itu bisa diganti menurut keinginan manusia. Pasalnya, ayat tersebut sama sekali tidak menunjukkan adanya ’illat atas sebuah hukum. Surah al-Hajj ayat 78 hanya menunjukkan pengertian bahwa Allah Swt. tidak membebani manusia dengan taklif yang tidak sanggup dipikul oleh manusia. Pengertian ayat ini sejalan dengan firman Allah Swt.:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya (QS al-Baqarah [2]: 286).
Ketiga, terkait dengan makna hadis riwayat Imam Ahmad di atas adalah, sesungguhnya Nabi saw diutus oleh Allah Swt. dengan membawa agama lurus yang bisa dilaksanakan oleh manusia. Beliau tidak datang dengan agama yang ditujukan untuk memberatkan manusia. Dengan demikian, makna al-hanifiyyah as-samhah pada hadis di atas adalah lurus dan bisa dilaksanakan oleh manusia. Kata samhah di sini selalu terkait dengan kata al-hanifiyyah (lurus), dan tidak berdiri sendiri. Susunan semacam ini menunjukkan bahwa toleransi dan kelapangan dalam hukum Islam harus selalu dikaitkan dan disandarkan dengan dalil syariah, bukan toleransi dan kelapangan yang didasarkan pada hawa nafsu dan kecenderungan akal. Dengan kata lain, hadis di atas sama sekali tidak menganjurkan umat Islam untuk toleran dengan apa yang diharamkan Allah Swt., apalagi sampai mengubah yang haram menjadi halal, dan yang halal menjadi haram, dengan dilandaskan pada kaidah ma’âlât al-af’âl dan derivatnya, di antaranya kaidah raf’u al-haraj.
Orang yang mengamalkan kaidah raf’u al-haraj telah terbiasa meninggalkan sejumlah taklif syariah dengan alasan menghilangkan kesulitan dan kesukaran. Lalu mengapa mereka tidak meninggalkan keseluruhan taklif syariah dengan alasan yang sama? Bukankah pada dasarnya seluruh taklif syariah itu sulit dan berat? Bukankah kata taklif—yang berasal dari kata al-kallafah—bermakna al-masyaqqah (kesulitan)? Jika demikian kenyataannya, maka seluruh taklif yang dibebankan Allah kepada manusia pasti mengandung unsur kesulitan dan berat. Jika kaidah raf’u al-haraj diakui kebenarannya, maka seluruh taklif syariah harus ditinggalkan karena di dalamnya terkandung unsur kesulitan dan kesukaran. Padahal meninggalkan taklif berat dan sulit yang telah ditetapkan oleh syariat jelas-jelas bertentangan dengan tujuan asal dari taklif syariah. Sebab, taklif dibebankan oleh Allah kepada umat manusia untuk dilaksanakan, bukan untuk ditinggalkan. Meninggalkan taklif dari Allah Swt. sama artinya dengan telah menentang dan melanggar perintah-perintah-Nya. Untuk itu, mengambil kaidah raf’u al-haraj sebagai dalil syariah sama artinya dengan telah mewajibkan seseorang untuk meninggalkan taklif yang dibebankan Allah kepada manusia. Perbuatan ini jelas-jelas bertentangan dengan nash-nash qath’i tsubût dan dilâlah. Dari sini dapat dipahami, bahwa seorang Muslim tidak boleh mendasarkan amal perbuatannya berdasarkan kaidah ini. Ia harus tetap berpegang teguh dan mencukupkan diri pada batas dan ketentuan yang telah ditetapkan oleh dalil-dalil syariah yang terperinci tanpa memperhatikan lagi faktor “kesulitan dan kesukaran”. Ia tidak boleh mengembalikan amal perbuatannya pada kaidah ini seraya meninggalkan ketentuan dan batas yang telah dijelaskan oleh nash-nash yang bersifat rinci. Misalnya, ketika dalil yang rinci menyatakan haramnya mengangkat wanita sebagai kepala negara dan memilih pemimpin sekular, maka ia dituntut untuk tetap berpegang teguh pada batas dan ketetapan tersebut. Ia tidak boleh meninggalkan ketentuan ini dengan alasan, “kesulitan dan kesukaran”. Bahkan hukum ini tetap harus diberlakukan di tengah kondisi sulit maupun sukar, kecuali ada nash syariah yang menjelaskan adanya rukhshah (keringanan) atas hukum tersebut.
Keempat, kesalahan mendasar lain adalah, mereka telah memposisikan kesulitan (al-haraj) sebagai ’illat syar’iyyah untuk keseluruhan hukum syariah. Oleh karena itu, ada-tidaknya hukum syariah ditentukan berdasarkan ada tidaknya al-haraj (kesulitan). Jika hukum syariah tidak sesuai dan sejalan dengan prinsip kemudahan, maka tidak ada lagi hukum syariah. Artinya, hukum syariah bisa diubah dan tidak diterapkan jika justru menimbulkan kesulitan atau tidak bisa mewujudkan kemudahan bagi manusia. Padahal al-haraj (kesulitan) bukanlah ’illat untuk keseluruhan hukum syariah. Penetapan ada-tidak adanya ’illat harus selalu mengacu pada dalil itu sendiri. Jika sebuah dalil khusus tidak mengandung ’illat maka seorang Muslim wajib terikat dan tunduk dengan ketetapan yang ada di dalam dalil khusus tersebut. Ia tidak diperkenankan mencari-cari ’illat-nya, atau mengembalikan ketentuan hukumnya pada dalil-dalil umum.
Kelima, penggunaan kaidah ini secara langsung telah mengubah struktur berpikir kaum Muslim dari struktur berpikir yang berpatokan pada nash-nash syariah menjadi struktur berpikir pragmatis. Penetapan halal-haram tidak lagi mengacu kepada nash-nash syariah, tetapi mengacu pada kecenderungan akal dan hawa nafsu. Lebih dari itu, kaidah ini telah menggiring kaum Muslim untuk mengubah-ubah hukum syariah jika dianggap tidak lagi bisa mewujudkan kemudahan bagi manusia. Dengan demikian, penggunaan kaidah ini telah memperkokoh realitas rusak, serta meminggirkan hukum syariah dari tengah-tengah masyarakat. Akhirnya, tidak bisa lagi dibedakan mana hukum syariah dan mana hawa nafsu. Jika hukum syariah ditetapkan berdasarkan kecenderungan akal dan hawa nafsu, niscaya binasalah kehidupan yang ada di muka bumi ini.
Wallâhu a’lam bi ash-shawâb. []
Kaidah Ahwan Asy-Syarrayn
Salah satu kaidah yang sering dipakai saat ini adalah kaidah ahwan asy-syarrayn (keburukan yang lebih ringan di antara dua keburukan). Kaidah ini sering digunakan untuk melegalisasi sesuatu yang haram; atau menjadikan sesuatu yang dilarang berubah menjadi sesuatu halal. Contoh:
1. Lokalisasi zina dan judi dibolehkan dengan alasan, jika tidak dilokalisasi akan timbul bahaya yang lebih besar, yaitu perzinaan dan perjudian akan menyebarluas.
2. Boleh terlibat/masuk ke dalam sistem kufur, karena jika tidak, akan muncul bahaya yang lebih besar, yaitu kepemimpinan akan dikuasai oleh orang kafir.
3. Solusi masalah Palestina adalah dengan mendirikan dua negara, untuk Israel dan untuk Palestina. Sebab, jika tidak, bahaya lebih besar akan menimpa penduduk Palestina; peperangan akan terus-menerus berlangsung dan akan menimbulkan darar yang lebih besar daripada bahaya akibat dibentuknya dua negara: Palestina dan Israel.
4. Mengambil demokrasi, meski di baliknya ada bahaya, merupakan keniscayaan bagi kaum Muslim. Sebab, jika tidak mengambil demokrasi, rakyat akan dikuasai oleh pemerintahan otoriter yang madaratnya lebih besar.
5. Pemimpin wanita boleh, alasannya memiliki pemimpin wanita jauh lebih baik daripada tidak memiliki pemimpin sama sekali. Bahaya akibat kepemimpinan wanita lebih ringan daripada bahaya tidak adanya pemimpin bagi rakyat.
Mendudukan Kaidah
Perlu dipahami, kaidah Ahwan asy-syarrayn termasuk Qâ’idah Kulliyyah atau Qâ’idah Fiqhiyah. Qâ’idah Kuliyyah bukan nash (dalil) syariah. Qâ’idah Kulliyyah hanyalah hukum syariah yang digali dari nash syariah (al-Quran dan as-Sunnah). Menurut Mahmud Abdul Karim Hasan, Qâ’idah Kulliyyah merupakan al-hukm asy-syar’i al-kulli (hukum syariah yang bersifat global). Sebagai hukum syariah yang bersifat umum dan global, ia bisa meliputi dan diterapkan pada bagian-bagiannya (juz’iyatihi) atau yang termasuk jenisnya (afrâdihi). Sebagai hukum syariah, Qâ’idah Kuliyyah harus disandarkan pada dalil syariah, baik al-Quran, as-Sunnah, Qiyas maupun Ijmak Sahabat.
Makna dan Penerapan Kaidah
Makna kaidah ini, dengan redaksi yang berbeda-beda, menurut ulama yang mengadopsinya adalah bolehnya mengambil salah satu dari dua perkara haram yang lebih sedikit keharamannya atau lebih sedikit keburukan/mafsadatnya. Menurut Imam as-Suyuthi, kaidah ini adalah cabang dari kaidah, “Adh-Dharar yuzâlu (bahaya harus dihilangkan).” Lalu dari kaidah ini lahir kaidah, Adh-Dharar lâ yuzâlu bi adh-dharar (Bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya yang lain).”
Hanya saja, jika dua bahaya/madarat bertemu dan tidak mungkin keduanya dihindari sekaligus—dengan kata lain salah satunya harus dijalani—maka bahaya/madarat yang lebih besar harus dihilangkan (dihindari) dengan mengambil bahaya/madarat yang lebih kecil. Menurut Imam as-Suyuthi redaksi lengkapnya adalah:
إِذَا تَعَارَضَا مَفْسَدَتَانٍ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِاِرْتِكَابِ أَخَفِهِمَا
Jika dua bahaya bertentangan maka bahaya yang lebih besar harus dihindari dengan cara menempuh bahaya yang lebih ringan.1
Kaidah ini populer dengan istilah: ahwan asy-syarrayn (memilih keburukan yang paling ringan di antara dua keburukan); aqalu adh-dhararayn (memilih bahaya yang lebih kecil di antara dua bahaya); akhafu al-mafsadatayn (memilih kemafsadatan yang lebih ringan di antara dua kemafsadatan), dar’ al-mafsadah al-akbar bi al-mafsadah al-ashghar (menangkal mafsadat yang lebih besar dengan memilih mafsadat yang lebih kecil). yukhtâr ahwan asy-syarrayn aw akhafu adh-dhararayn (dipilih keburukan yang lebih kecil atau bahaya yang lebih ringan); adh-dharar al-asyadd yuzâl bi adh-dharar al-akhafu (bahaya yang lebih serius dihilangkan dengan bahaya yang lebih ringan).2
Menurut Imam as-Suyuthi, Izzuddin bin Abdus Salam dan al-Qarafi, kaidah ini hanya diterapkan dalam kondisi ‘emergensi’ (darurat/terpaksa). Sebab, kaidah ini merupakan cabang dari kaidah Adh-Dhararu Yuzâlu (Bahaya harus dihilangkan)”. Kita tidak bisa beralih ke hukum cabang (kaidah cabang) apabila hukum asal (kaidah asal) masih bisa diberlakukan. Hukum pokoknya adalah: segala kemadaratan, mafsadat dan keharaman harus dihilangkan; kecuali jika dua bahaya bertentangan dan tidak mungkin keduanya dihindari sekaligus maka bahaya yang lebih besar harus dihindari dengan terpaksa menempuh bahaya yang lebih kecil atau lebih ringan.
Dalil Kaidah
Menurut Imam Shalahudiin al-‘Ala’I, di antara dalil kaidah ini adalah Perjanjian Hudaibiyah. Saat itu Nabi saw. menyetujui klausul: jika ada dari penduduk Makkah datang kepada Nabi saw. dalam keadaan beriman maka ia akan dikembalikan ke Makkah. Jika ada kaum Muslim dari Madinah datang ke Makkah maka mereka tidak harus dikembalikan ke Madinah. Nabi saw. menyetujuinya—meski bisa membahayakan, yaitu melemahkan posisi kaum Muslim dan agama Islam—untuk menghindari bahaya yang jauh lebih besar, yaitu akan terbunuhnya kaum Muslim yang tinggal di Makah.3
Imam ‘Izzuddin bin Abdis Salam mengetengahkan dalil kaidah ini. Beliau menyatakan, “Namimah adalah mafsadat yang diharamkan, tetapi boleh dilakukan atau diperintahkan jika mengatakannya mengandung maslahat yang lebih besar bagi orang yang diberitahunya. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah QS al-Qashash [28]: 20. Berita yang disampaikan kepada Nabi saw. oleh para Sahabat tentang kaum munafik adalah juga dalil tentang hal ini. 4
Dalil yang lain adalah hadis yang diriwayatkan Imam Muslim dari Anas bin Malik, bahwa pernah ada seorang Arab Baduwi (pedalaman) berdiri di salah satu sudut masjid, lalu kencing di situ. Para Sahabat berteriak (hendak menghentikannya). Namun, Nabi saw bersabda, “Biarkanlah ia.” Ketika orang itu sudah selesai, Nabi saw. memerintahkan untuk menyiram air kencingnya dengan seember air. Imam an-Nawawi berkata, “Apa yang dilakukan oleh Nabi saw. adalah upaya untuk menghindari bahaya yang lebih besar. Menghentikan kencingnya di tengah-tengah akan menyebabkan menyebarnya najis pada pakaian, badannya dan pada beberapa tempat di masjid. Beliau mencegah bahaya yang lebih besar ini dengan mengambil bahaya yang lebih ringan (yaitu terkotorinya bagian tertentu dari masjid dengan air kencingnya).”
Menurut pengarang kitab, Nazhm al-Qawâ’id al-Fiqhiyah,5di antara dalil kaidah ini adalah QS al-Baqarah:173. Pada ayat ini disinggung dua bahaya. Pertama: bahaya yang mengancam jiwa. Kedua: adalah bahaya memakan bangkai. Kemudian Allah memberikan petunjuk untuk menghindari bahaya yang lebih besar, yaitu bahaya yang mengancam jiwa dengan cara menempuh bahaya yang lebih ringan: memakan bangkai.
Syarat Penerapan Kaidah
Dr. Mahmud Abdul Karim Hasan menyatakan, kaidah Ahwan asy-Syarrayn tidak bisa diberlakungan secara serampangan. Kaidah ini hanya diberlakukan pada dua kondisi:
1. Tidak bisa menghindari dua perkara yang diharamkan atau yang mengandung bahaya (dharar), kecuali dengan melakukan salah satunya. Kita tidak mungkin meninggalkan kedua-duanya secara bersamaan karena sangat sulit dan di luar batas kemampuan kita.
2. Bisa menghindari dua perkara yang diharamkan (berbahaya) itu, tetapi jika keduanya dihindari, akan terjadi keharaman lain yang lebih besar lagi.
Hanya saja, penentuan mana bahaya yang lebih besar dan yang lebih kecil tidak boleh diserahkan pada akal dan hawa nafsu, tetapi harus merujuk pada syariah. Sebab, selain menjelaskan halal dan haram, syariah juga menjelaskan mana yang lebih ringan keharamannya.
Dalam konteks ini Imam Izzuddin bin Abdis Salam berkata:
Ketika berkumpul beberapa bahaya, jika mungkin untuk meninggalkannya, maka kita harus meninggalkan semuanya. Jika tidak mungkin, kita harus meninggalkan yang paling besar bahayanya, kemudian yang di bawahnya dan seterusnya. Jika derajat bahayanya sama, harus ditangguhkan. Kadangkala di antara bahaya-bahaya itu ada yang bisa dipilih, ada yang diperselisihkan dalam kesamaan dan perbedaannya. Dalam bahaya ini tidak ada perbedaan antara yang diharamkan dengan yang dimakruhkan (artinya sama-sama harus ditinggalkan).
Berikut ini beberapa contoh penerapan kaidah Ahwan asy-Syarrayn yang tepat sesuai dengan syarat-syaratnya: 6
1. Jika ada seorang ibu yang hamil atau sulit melahirkan dan dokter tidak bisa menyelamatkan ibu dan janinnya sekaligus, sementara harus segera diputuskan antara: menyelamatkan ibu, tetapi akan mengakibatkan kematian janin; atau menyelamatkan janin, tetapi akan mengakibatkan kematian ibu. Jika kondisi itu dibiarkan, ia akan mengakibatkan bahaya yang lebih besar, yaitu keduanya akan mati. Berdasarkan kaidah Ahwan asy-Syarrayn, harus diputuskan menyelamatkan ibu meski berakibat pada kematian janin.
2. Jika kita melihat ada seorang yang diancam akan dibunuh, atau dianiaya atau ada seorang wanita yang akan diperkosa, dan kita mampu mencegah hal itu, namun pada saat yang sama kita harus menunaikan shalat wajib yang hampir habis waktunya, sementara tidak mungkin melakukan keduanya sekaligus. Dalam hal ini, syariah menetapkan bahwa menghilangkan keharaman seperti itu lebih diutamakan daripada menunaikan kewajiban. Yang harus dilakukan adalah mendahulukan untuk menyelamatkan orang yang akan dibunuh atau wanita yang akan diperkosa itu.
3. Boleh melakukan operasi cesar untuk mengeluarkan janin jika tidak bisa lahir secara normal meski dengan bantuan sekalipun.
4. Jika seseorang diancam agar membunuh si Fulan, kalau tidak mau ia akan dibunuh; ia tidak memiliki pilihan ketiga. Dalam kondisi seperti itu ia harus merelakan dirinya terbunuh untuk menghindari bahaya yang lebih besar, yaitu membunuh orang lain.
Jadi, penerapan kaidah harus memenuhi ketentuan, syarat dan batasan yang telah dijelaskan oleh para ulama ushul. Penggunaan kaidah tersebut untuk membolehkan perkara yang haram, seperti yang belakangan ini terjadi, sebenarnya hanya memperalat kaidah tersebut, menyalahi syariah dan tidak pernah dikatakan oleh para ulama yang jujur.
Misal: pendapat yang mengatakan (tentang Pemilu), “Kita harus memilih si A meski sekular, jangan memilih si B; karena si A mendukung kita, sedangkan si B tidak,” atau semisalnya. Pendapat ini secara syar’i tertolak. Yang harus dikatakan dalam masalah ini adalah kedua pilihan adalah perkara yang diharamkan. Kita tidak boleh memilih orang yang sekular dan menjadikannya sebagai wakil bagi kaum Muslim dalam menyampaikan pendapat, karena ia tidak terikat dengan Islam dan karena ia melakukan perkara-perkara yang diharamkan, yang tidak boleh dilakukan oleh orang yang mewakilkan seperti: membuat hukum (tasyrî, legislasi); menyetujui program-program yang diharamkan; menuntut, menerima dan melakukan perkara yang diharamkan. Karena itu, kita tidak boleh memilih kedua-duanya; karena memilih si A atau si B sama saja haramnya dan karena tidak memilih si A atau si B masih ada dalam batas kemampuan kita. Lebih dari itu, masih ada pilihan aktivitas lainnya yang bahkan hukumnya wajib. Jadi dalam hal ini kaidah Ahwan asy-Syarrayn tidak bisa diamalkan.
Dalam konteks ini tidak bisa dikatakan: jika kita tidak memilih si A atau si B maka nanti akan terpilih orang yang tidak berpihak kepada kita, yang akan menimbulkan bahaya lebih besar lagi. Hal itu sebagaimana kita tidak boleh mengatakan jika kita tidak memanfaatkan bar yang menjual khamr maka bar itu akan dimanfaatkan oleh orang lain yang tidak berpihak kepada kita. Yang harus dilakukan adalah meninggalkan dua perkara haram tersebut dan mengajak orang lain untuk meninggalkannya.
Imam at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan Ibnu Majah telah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوُا الْمُنْكَرَ لاَ يُغَيِّرُونَهُ أَوْشَكَ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللَّهُ بِعِقَابِهِ
Sesungguhnya jika manusia melihat kemung-karan tetapi mereka tidak mengubahnya maka Allah akan menimpakan siksa atas mereka secara umum.
Bisa jadi ada yang berkata: kalau kita tidak memilih salah satunya berarti kita berdiam diri, tidak melakukan apapun. Jawabannya, “Seandainya kita diminta memilih dua perkara, yaitu melakukan yang diharamkan atau tidak melakukan apapun—tidak ada pilihan ketiga, yakni melakukan yang baik—maka yang wajib dilakukan adalah kita harus berdiam diri dan menjaga diri dari melakukan perbuatan yang membahayakan orang lain, dan kita harus menjaga lisan dari mengubah agama Allah. Bukankah Rasulullah saw. pernah bersabda, “Siapa saja yang mengimani Allah dan Hari Akhir hendaklah mengatakan kebaikan atau diam.”
Dalam konteks ini kita harus meninggalkan keduanya dan melakukan pilihan ketiga yang bahkan adalah wajib bagi kita, yaitu kita harus menggencarkan dakwah, melakukan amar makruf nahi mungkar, berusaha mewujudkan orang yang layak untuk dipilih dan berusaha mengubah kondisi yang ada secara menyeluruh melalui dakwah. Sebab, yang wajib adalah kita tidak boleh menghukumi atau dihukumi, kecuali dengan Islam.
Kondisi tersebut sama seperti kondisi saat kepada seseorang disodorkan dua jenis makanan: bangkai dan daging babi. Apakah serta-merta ia boleh menerapkan kaidah Ahwan asy-Syarrayn? Tentu tidak. Yang harus ia lakukan adalah meninggalkan keduanya dan bersungguh-sungguh mencari makanan yang halal, serta bersabar tidak memakan keduanya, kecuali jika sampai taraf darurat yang jika tidak memakan salah satunya ia akan binasa. Wallâhu a’lam bi ash-Shawab.
Posting Digabung: 26 Mei 2009, 13:39:42
satu lagi artikel yang berkaitan dengan kaidah ini.
Kaidah Raf’u Al-Haraj
Di antara kaidah ushul yang sering digunakan secara tidak proporsional adalah kaidah Raf’u al-Haraj (menghilangkan kesempitan). Tidak jarang kaidah ini dipakai sebagai justifikasi untuk menghalalkan sesuatu yang haram, seperti beberapa kaidah lain semisal: Akhafu ad-Dhararayn, Ahwanu asy-Syarrayn atau Mashâlih al-Mursalah. Penggunaan kaidah-kaidah ini secara keliru boleh jadi akibat kekurangpahaman dalam memahami implementasi kaidah ini; bisa juga karena kedangkalan dalam memahami realitas/obyek hukumnya; boleh jadi pula karena faktor kesengajaan dari pihak-pihak yang memang punya niat yang tidak baik untuk semakin menguatkan realitas buruk yang ada.
Berikut ini adalah telaah kritis atas penggunaan kaidah Raf’u al-Haraj yang juga dibahas dalam Kitab Syakhshiyyah al-Islamiyyah Jilid III halaman [483-485] karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani.
Asal-usul Kaidah Raf’u al-Haraj
Pada dasarnya, kaidah raf’u al-haraj (menghilangkan kesukaran) adalah derivasi (turunan) dari kaidah ma’âlât al-af’âl. Ma’âlât al-af’âl bermakna sumber atau tempat merujuknya perbuatan-perbuatan manusia. Kata ma’âl berasal dari kata âla yang bermakna raja’a. Kata al-ma’âl bermakna al-marja’ (tempat kembali), an-nâtijah (kesimpulan atau inti).
Yang dimaksud dengan ma’âlât al-af’âl adalah sumber, inti atau tempat merujuknya perbuatan manusia. Dalam konteks ushul fikih, kaidah ma’âlât al-af’âl diterapkan pada perbuatan-perbuatan yang telah ditetapkan kehalalannya oleh syariah. Namun, tatkala perbuatan itu menimbulkan mafsadat, perbuatan itu akhirnya dilarang. Sebaliknya, ada perbuatan yang konteks asalnya dilarang oleh syariah, tetapi larangan itu akhirnya ditinggalkan tatkala ada mashlahat di dalamnya. Menurut orang yang menggunakan kaidah ini, hukum syariah itu diturunkan untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak mafsadat (jalbu al-mashâlih wa dar‘u al-mafâsid). Jika ketetapan syariah justru menimbulkan mafsadat maka hukum syariah itu harus ditinggalkan. Sebaliknya, jika ada larangan syariah yang berseberangan dengan kemaslahatan maka larangan itu harus diganti dengan kebolehan. Pasalnya, asal dari penetapan hukum syariah adalah jalbu al-mashâlih wa dar’u al-mafâsid (meraih maslahat dan menolak mafsadat).
Dari kaidah ma’âlât al-af’âl ini dibangunlah beberapa kaidah lain, semacam kaidah raf’u al-haraj, sadd al-dzarâi’, al-hayl, dan lain sebagainya. Bahkan penganut kaidah ini menetapkan bahwa ma’âlâtu al-af’âl adalah asal-muasal dari istinbâth hukum syariah, dan penetapan hukum syariah harus selalu mengacu pada kaidah ini.
Berkaitan dengan kaidah raf’u al-haraj, maksud dari kaidah ini adalah, ada perbuatan-perbuatan yang pada konteks awalnya ghayru masyruu’ (bertentangan dengan hukum syariah), namun jika perbuatan-perbuatan tersebut ditinggalkan akan menyebabkan kesukaran dan kesulitan pada manusia, maka dalam kondisi semacam ini, seseorang dibolehkan melakukan perbuatan ghayru masyrû’ tersebut demi menghindarkan dirinya dari kesulitan dan kesukaran. Begitu pula sebaliknya. Jika perintah syariah justru berpotensi menyebabkan kesulitan dan kesukaran, maka perintah tersebut boleh dianulir demi apa yang disebut dengan raf’u al-haraj. Alasannya, syariah itu ditetapkan untuk mempermudah manusia, bukan untuk menyulitkan.
Dalil Kaidah Raf’u al-Haraj
Sebagian orang yang mengamalkan kaidah ini berhujjah dengan firman Allah Swt.:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesukaran atas kalian (QS al-Baqarah [2]:185).
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kalian dalam agama suatu kesempitan (QS al-Hajj [22]: 78).
Mereka juga mengetengahkan hadis riwayat Imam Ahmad, yakni sabda Rasulullah saw.:
وَلَكِنِّي بُعِثْتُ بِالْحَنِيفِيَّةِ السَّمْحَةِ
Hanya saja, aku diutus dengan kelurusan yang lapang (toleran) (HR Ahmad).
Menurut mereka, nash-nash di atas menunjukkan bahwa Allah Swt. tidak menghendaki adanya kesulitan dan kesukaran pada syariah-Nya. Sebaliknya, syariah Allah diturunkan untuk merealisasikan kemudahan dan kelapangan bagi umat manusia. Atas dasar itu, jika ada ketetapan syariah yang justru menimbulkan kesulitan atau kesukaran pada manusia, maka ketetapan syariah itu harus ditinggalkan. Sebab, hal ini tentu akan bertentangan dengan maksud yang ingin diraih dalam pensyariatan hukum Islam, yakni mempermudah manusia dalam mewujudkan maslahat dan menolak mafsadat.
Argumentasi-argumentasi di atas jelas-jelas keliru dan bertentangan dengan maksud dan kandungan nash-nash yang mereka jadikan sebagai hujjah. Kekeliruan tersebut tampak pada hal-hal berikut ini:
Pertama, firman Allah Swt. dalam surat al-Baqarah ayat 185 di atas khusus berbicara pada konteks rukhshah (keringanan) yang telah ditetapkan oleh Allah kepada kaum Muslim, yakni bolehnya seorang Muslim berbuka puasa ketika tengah berada dalam perjalanan (safar) atau sakit, dan sama sekali tidak berhubungan dengan kaidah raf’u al-haraj. Pasalnya, penetapan rukhshah atas suatu perbuatan merupakan hak prerogatif dari Asy-Syâri’ (Pembuat Hukum). Penetapan apakah suatu perbuatan mengandung rukhshah atau tidak harus didukung oleh dalil. Tidak ada hak bagi akal manusia untuk menetapkan keringanan (rukhshah) pada perintah Allah Swt. dan Rasul-Nya. Dari sini dapat disimpulkan, bahwa menjadikan kaidah raf’u al-haraj sebagai dalil sama artinya dengan telah menempatkan manusia sejajar dengan Allah Swt. Na’ûdzu billâhi min dzâlik.
Kedua, firman Allah Swt. surah al-Hajj (22) ayat 78 hanya berhubungan masalah taklif yang dibebankan Allah kepada manusia, yakni Allah tidak membebani manusia dengan suatu perintah (taklif syariah) yang tidak sanggup dipikul oleh manusia. Ayat di atas juga tidak berhubungan dengan kaidah raf’u al-haraj. Jika kita memperhatikan ayat sebelumnya, makna ayat tersebut akan tersingkap dengan jelas.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ، وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
Hai orang-orang yang beriman, rukuklah kalian, sujudlah kalian, sembahlah Tuhan kalian dan perbuatlah kebajikan, supaya kalian mendapat kemenangan; dan berjihadlah kalian di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kalian dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kalian dalam agama suatu kesempitan (QS al-Hajj [22]: 77-78).
Makna haraj pada ayat ini adalah adh-dhayq (kesulitan). Dengan demikian, pengertian ayat di atas adalah, sesungguhnya Allah tidak membebani manusia untuk melaksanakan ibadah dan perbuatan-perbuatan baik lainnya, kecuali sekadar dengan kesanggupan manusia. Ayat ini tidak mengandung pengertian bahwa sebab pensyariatan hukum adalah kemudahan sehingga dinyatakan jika ketetapan Allah Swt. dirasa memberatkan maka hukum itu bisa diganti menurut keinginan manusia. Pasalnya, ayat tersebut sama sekali tidak menunjukkan adanya ’illat atas sebuah hukum. Surah al-Hajj ayat 78 hanya menunjukkan pengertian bahwa Allah Swt. tidak membebani manusia dengan taklif yang tidak sanggup dipikul oleh manusia. Pengertian ayat ini sejalan dengan firman Allah Swt.:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya (QS al-Baqarah [2]: 286).
Ketiga, terkait dengan makna hadis riwayat Imam Ahmad di atas adalah, sesungguhnya Nabi saw diutus oleh Allah Swt. dengan membawa agama lurus yang bisa dilaksanakan oleh manusia. Beliau tidak datang dengan agama yang ditujukan untuk memberatkan manusia. Dengan demikian, makna al-hanifiyyah as-samhah pada hadis di atas adalah lurus dan bisa dilaksanakan oleh manusia. Kata samhah di sini selalu terkait dengan kata al-hanifiyyah (lurus), dan tidak berdiri sendiri. Susunan semacam ini menunjukkan bahwa toleransi dan kelapangan dalam hukum Islam harus selalu dikaitkan dan disandarkan dengan dalil syariah, bukan toleransi dan kelapangan yang didasarkan pada hawa nafsu dan kecenderungan akal. Dengan kata lain, hadis di atas sama sekali tidak menganjurkan umat Islam untuk toleran dengan apa yang diharamkan Allah Swt., apalagi sampai mengubah yang haram menjadi halal, dan yang halal menjadi haram, dengan dilandaskan pada kaidah ma’âlât al-af’âl dan derivatnya, di antaranya kaidah raf’u al-haraj.
Orang yang mengamalkan kaidah raf’u al-haraj telah terbiasa meninggalkan sejumlah taklif syariah dengan alasan menghilangkan kesulitan dan kesukaran. Lalu mengapa mereka tidak meninggalkan keseluruhan taklif syariah dengan alasan yang sama? Bukankah pada dasarnya seluruh taklif syariah itu sulit dan berat? Bukankah kata taklif—yang berasal dari kata al-kallafah—bermakna al-masyaqqah (kesulitan)? Jika demikian kenyataannya, maka seluruh taklif yang dibebankan Allah kepada manusia pasti mengandung unsur kesulitan dan berat. Jika kaidah raf’u al-haraj diakui kebenarannya, maka seluruh taklif syariah harus ditinggalkan karena di dalamnya terkandung unsur kesulitan dan kesukaran. Padahal meninggalkan taklif berat dan sulit yang telah ditetapkan oleh syariat jelas-jelas bertentangan dengan tujuan asal dari taklif syariah. Sebab, taklif dibebankan oleh Allah kepada umat manusia untuk dilaksanakan, bukan untuk ditinggalkan. Meninggalkan taklif dari Allah Swt. sama artinya dengan telah menentang dan melanggar perintah-perintah-Nya. Untuk itu, mengambil kaidah raf’u al-haraj sebagai dalil syariah sama artinya dengan telah mewajibkan seseorang untuk meninggalkan taklif yang dibebankan Allah kepada manusia. Perbuatan ini jelas-jelas bertentangan dengan nash-nash qath’i tsubût dan dilâlah. Dari sini dapat dipahami, bahwa seorang Muslim tidak boleh mendasarkan amal perbuatannya berdasarkan kaidah ini. Ia harus tetap berpegang teguh dan mencukupkan diri pada batas dan ketentuan yang telah ditetapkan oleh dalil-dalil syariah yang terperinci tanpa memperhatikan lagi faktor “kesulitan dan kesukaran”. Ia tidak boleh mengembalikan amal perbuatannya pada kaidah ini seraya meninggalkan ketentuan dan batas yang telah dijelaskan oleh nash-nash yang bersifat rinci. Misalnya, ketika dalil yang rinci menyatakan haramnya mengangkat wanita sebagai kepala negara dan memilih pemimpin sekular, maka ia dituntut untuk tetap berpegang teguh pada batas dan ketetapan tersebut. Ia tidak boleh meninggalkan ketentuan ini dengan alasan, “kesulitan dan kesukaran”. Bahkan hukum ini tetap harus diberlakukan di tengah kondisi sulit maupun sukar, kecuali ada nash syariah yang menjelaskan adanya rukhshah (keringanan) atas hukum tersebut.
Keempat, kesalahan mendasar lain adalah, mereka telah memposisikan kesulitan (al-haraj) sebagai ’illat syar’iyyah untuk keseluruhan hukum syariah. Oleh karena itu, ada-tidaknya hukum syariah ditentukan berdasarkan ada tidaknya al-haraj (kesulitan). Jika hukum syariah tidak sesuai dan sejalan dengan prinsip kemudahan, maka tidak ada lagi hukum syariah. Artinya, hukum syariah bisa diubah dan tidak diterapkan jika justru menimbulkan kesulitan atau tidak bisa mewujudkan kemudahan bagi manusia. Padahal al-haraj (kesulitan) bukanlah ’illat untuk keseluruhan hukum syariah. Penetapan ada-tidak adanya ’illat harus selalu mengacu pada dalil itu sendiri. Jika sebuah dalil khusus tidak mengandung ’illat maka seorang Muslim wajib terikat dan tunduk dengan ketetapan yang ada di dalam dalil khusus tersebut. Ia tidak diperkenankan mencari-cari ’illat-nya, atau mengembalikan ketentuan hukumnya pada dalil-dalil umum.
Kelima, penggunaan kaidah ini secara langsung telah mengubah struktur berpikir kaum Muslim dari struktur berpikir yang berpatokan pada nash-nash syariah menjadi struktur berpikir pragmatis. Penetapan halal-haram tidak lagi mengacu kepada nash-nash syariah, tetapi mengacu pada kecenderungan akal dan hawa nafsu. Lebih dari itu, kaidah ini telah menggiring kaum Muslim untuk mengubah-ubah hukum syariah jika dianggap tidak lagi bisa mewujudkan kemudahan bagi manusia. Dengan demikian, penggunaan kaidah ini telah memperkokoh realitas rusak, serta meminggirkan hukum syariah dari tengah-tengah masyarakat. Akhirnya, tidak bisa lagi dibedakan mana hukum syariah dan mana hawa nafsu. Jika hukum syariah ditetapkan berdasarkan kecenderungan akal dan hawa nafsu, niscaya binasalah kehidupan yang ada di muka bumi ini.
Wallâhu a’lam bi ash-shawâb. []
109
Hukum dan Dunia Politik / Re:Mengapa masih ada saja yang tidak menerima demokrasi
« pada: 26 Mei 2009, 13:19:37 »Ada apa dengan Demokrasi, sehingga ada saja pihak yang menolaknya, apakah karena Demokrasi lahir dari komunitas barat sehingga hal2 yang berbau barat kita tolak, apakah yang dari timur dapat dikatakan baik semua, tentu tidak.sudah banyak lho, yang membahas sistem khilafah di board hukpol ini, saya juga sudah buat thread tersendiri mengenai sistem pemerintahan Islam, coba akhi cek lagi. kalau mau pendalaman yang lebih kritis dan mendalam tentang sistem khilafah, ada juga e-book nya, coba akhi dapatkan dengan meng-unduh di signature-nya akhi aeonia [syabab HTI]
Alternatif apa yang ditawarkan oleh pihak penolak demokrasi..? Oligarki, sosialis, syariat islam, dll
katakanlah di forum ini, sebagian besar yang menolak sistem demokrasi,menawarkan syariat islam sebagai solusi-nya.
namu ada 2 hal yang kami amati kecendrungan jawaban yang tidak relevan antara pertanyaan dan argumen jawaban, yaitu :
misal :
A : "Kenapa anda menolak Demokrasi..?".
B : "..Andakah muslim, sewajarnya anda menolak demokrasi dan memilih sistem khilafah sebagai penggantinya.."
"Anda sebagai muslim tidak menjadikan syariat islam sebagai acuan berarti anda sudah murtad dan penghianat"
"Demkorasi itu kah produk dari barat, tidak cocok dengan kita"
ketika ditanya lebih detail tentang sistem khilafah itu sendiri sebagai alternatif menurut pihak yang menolak Demokrasi, tak ada yang benar-benar memahami sistem khalifah secara detail dan menyeluruh..!!
ibarat mempromsikan obat, si penjual tak tahu menahu tentang manfaat, bahan2,cara pemakaian,kontraindikasi,takaran peminumnya, dll., tahunya hanya menjual...titik..
A : "..Oke lah sistem khilafah sebagai solusi menggantikan sistem demokrasi yang ada, apa dan bagaimana sistemakhi, bahkan sudah ada kitab yang membahas 2 hal ini:
khilafah itu bekerja..?"
B. : "..sistem klhilafah itu yang seperti jaman nya nabi dan sahabat2nya"
" ..sistem khilafah itu yang terdiri dari ini...itu...ini....itu..dst.."
"..kalau mau tahu jelasnya sistem khalifah, langsung tanya dengan utz..aaa, utz....vvv. utz dkd,...dst.., karena
pastinya secata detail saya kurang paham.."
so jangankan diterima oleh orang udik, orang terdidik pun masih belum memahami konsep dan format kekhilafahan itu sendiri sebagaimana yang di cetuskan oleh saudara2 muslim lainnya yang menawarkan kekhilafahan sebagai solusi.
intinya, jangan tanggung2 pemahamannya sistem kekhilafan bagi para kader muslim yang menjadikan kekhalifahan sebagai solusi pengganti sistem demokrasi..
1.Demokrasi sistem kufur, membahas secara mendalam penyimpangan demokrasi dari syariat Islam [karya syaikh Abdul Qadim Zallum], bisa antum unduh di signature-nya akhi aeonia
2.Pendalaman tentang sistem Pemerintahan Islam [daulah Islam], antum bisa unduh dari website http:www.hizbut-tahrir.or.id, Insya-Allah bisa bermanfaat.
btw, pembahasan tentang demokrasi dan khilafah, sudah sering banget didiskusikan di board hukpol, secara mendalam, tanyakan saja dengan moderator [bang haekal]
wallahu'alam
110
Hukum dan Dunia Politik / Re:Kenapa HTI dan PKS sering saling serang? Ini (mungkin) jawabannya
« pada: 16 Mei 2009, 22:01:28 » sedikit mau memberi pendapat untuk thread ini.
pertama, mungkin ada benar dan salah atas apa yang terjadi di board hukpol ini. jika dikatakan HTI dan PKS sedang "saling serang", ini bisa dikatakan tidak sepenuhnya betul. sebagai forum on-line, tentu setiap member hukpol punya tujuan masing-masing untuk bergabung di forum ini, salah-satunya tujuan untuk berdiskusi. tujuan berdiskusi itu bukan saja benar, malah diwajibkan oleh Islam, untuk dakwah fardhiyah [individu].
mengemban dakwah adalah bagian dari ibadah [pengabdian] kita kepada Allah SWT. itu harus kita lakukan tanpa henti dan tanpa mengenal kata istirahat. hanya kematianlah yang boleh menghentikan aktivitas ibadah kita, termasuk dakwah kita. itulah yang Allah telah perintahkan kepada kita, sebagaimana firman-Nya [yang artinya]:
Sembahlah Tuhanmu hingga datang kematian [TQS al-Hijr [15]: 99].
kedua, yang jadi permasalahan sebenarnya adalah bagaimana interaksi diskusi ini tidak membuat "konflik", sehingga ukhuwah islamiyah bisa tetap terjaga, mengingat sebenarnya diskusi di dunia maya ini kita tidak saling memahami karakter dari teman diskusi, sehingga mudah sekali "emosi" tersebut terpancing, apalagi jika nafsiyah islamiyah-nya belum cukup baik. yah mudah-mudahan interaksi diskusi di kemudian hari bisa lebih "konstruktif ", sesuai dengan tujuan diskusinya adalah untuk dakwah, tetapi tetap menjaga ukhuwah islamiyah sebaik mungkin.
ketiga, secara pribadi saya meminta maaf apabila ada kata-kata saya yang sekiranya kurang berkenan dalam interaksi diskusi selama ini di board hukpol.
keempat, saya melihat dari komentar-komentar yang muncul, thread ini kok sepertinya dapat menjadi sumber "konflik" baru, jadi saya setuju sama pendapat ikhwah sebelumnya, yang menyatakan alangkah baiknya jika thread ini dapat di-closed saja.
wallahu'alam
pertama, mungkin ada benar dan salah atas apa yang terjadi di board hukpol ini. jika dikatakan HTI dan PKS sedang "saling serang", ini bisa dikatakan tidak sepenuhnya betul. sebagai forum on-line, tentu setiap member hukpol punya tujuan masing-masing untuk bergabung di forum ini, salah-satunya tujuan untuk berdiskusi. tujuan berdiskusi itu bukan saja benar, malah diwajibkan oleh Islam, untuk dakwah fardhiyah [individu].
mengemban dakwah adalah bagian dari ibadah [pengabdian] kita kepada Allah SWT. itu harus kita lakukan tanpa henti dan tanpa mengenal kata istirahat. hanya kematianlah yang boleh menghentikan aktivitas ibadah kita, termasuk dakwah kita. itulah yang Allah telah perintahkan kepada kita, sebagaimana firman-Nya [yang artinya]:
Sembahlah Tuhanmu hingga datang kematian [TQS al-Hijr [15]: 99].
kedua, yang jadi permasalahan sebenarnya adalah bagaimana interaksi diskusi ini tidak membuat "konflik", sehingga ukhuwah islamiyah bisa tetap terjaga, mengingat sebenarnya diskusi di dunia maya ini kita tidak saling memahami karakter dari teman diskusi, sehingga mudah sekali "emosi" tersebut terpancing, apalagi jika nafsiyah islamiyah-nya belum cukup baik. yah mudah-mudahan interaksi diskusi di kemudian hari bisa lebih "konstruktif ", sesuai dengan tujuan diskusinya adalah untuk dakwah, tetapi tetap menjaga ukhuwah islamiyah sebaik mungkin.
ketiga, secara pribadi saya meminta maaf apabila ada kata-kata saya yang sekiranya kurang berkenan dalam interaksi diskusi selama ini di board hukpol.
keempat, saya melihat dari komentar-komentar yang muncul, thread ini kok sepertinya dapat menjadi sumber "konflik" baru, jadi saya setuju sama pendapat ikhwah sebelumnya, yang menyatakan alangkah baiknya jika thread ini dapat di-closed saja.
wallahu'alam
111
Hukum dan Dunia Politik / Re:Apa pengertian demokrasi menurut anda?
« pada: 15 Mei 2009, 21:27:02 »kl kayak gene sih, bukan salah ilmu lagi
pertama,org ini g tau tahun hijriah -kl budaya Islam aja g diterapin sehari-hari,ngapain ngemengin soal khalifah?
kedua, org ini g tau sejarah Rasulullah - kl sejarah Nabi Muhammad SAW aj belon ngelotok, mending g usah ngemeng macem2 daaaaaah
kesimpulan: belajar lg dah y bener,drpd bikin malu ajah!
[afwan kl agak keras ]
Posting Digabung: 15 Mei 2009, 16:49:07
eh 1 lg,
ketiga, org ini g tau pengetahuan umum - mo coba2 ngemeng soal pemerintahan dunia?
ya ya ya
pake alesan segala lage
nih, gw kutipin lage ya:
kata2 sebelum masehi artinya apa?
sebelum kelahiran Isa AS. Muhammad SAW kok lahir sebelum Isa AS?
apal nama en urutan 25 nabi kan?
kl belum, belajar dl sama anak SD, sebelum ngemeng khilafah!
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلا تَنَابَزُوا بِالألْقَابِ بِئْسَ الاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الإيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain. Boleh jadi mereka yang diolok-olok lebih baik daripada mereka yang mengolok-olok. Jangan pula para wanita mengolok-olok wanita-wanita lain. Boleh jadi wanita-wanita yang diolok-olok lebih baik daripada para wanita yang mengolok-olok. Janganlah kalian mencela diri kalian sendiri. Jangan pula kalian saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman. Siapa saja yang yang tidak bertobat, mereka itulah orang-orang yang zalim (QS al-Hujurat [49]: 11).
Dalam ayat ini kita diperintahkan agar menjauhi tindakan as-sukhriyyah [bentuk mashdar dari kata yaskhar].
Menurut asy-Syaukani dan Ibnu 'Athiyah, as-sukhriyyah bermakna al-istihza [menertawakan]. Makna itu dapat dijumpai dalam QS al-An'am [6]: 10 dan al-Anbiya' [21]: 41. Dalam kedua ayat itu, kata as-sukhriyyah dan al-istihza digunakan saling menggantikan.
Adapun Ibnu Katsir memaknainya dengan al-ihtiqar wa al-istihza [meremehkan dan mengolok-olok]. Menurut al-Qurthubi, as-sukhriyyah juga bermakna mengumumkan aib dan kekurangan orang lain untuk dijadikan bahan tertawaan, kadang diceritakan dengan ucapan, perbuatan, atau isyarat, bisa pula diumumkan atau ditertawakan dengan perkataan yang biasa digunakan untuk melecehkan.
Ditegaskan oleh Abu Hayyan al-andalusi, kendati digunakan bentuk jamak [qawm dan nisa], kandungan ayat itu juga berlaku untuk tiap-tiap individu. Penggunaan bentuk jamak itu seolah-olah ada seseorang yang mengejek atau mengolok-olok pihak lain dalam suatu majelis, lalu orang-orang lain ikut tertawa dengan ucapannya, atau dia menyampaikan kepada banyak orang, lalu mereka turut tertawa. Haramnya tindakan tercela itu dijelaskan dalam hadis.
Ibnu Mas'ud menuturkan bahwa Rasululllah saw. pernah bersabda:
الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
Kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia [HR Muslim].
Menurut Ibnu Katsir, ghamth an-nas dalam hadis ini berarti ihtiqaruhum wa istigharuhum [meremehkan dan menyepelekan mereka]. Tindakan tersebut termasuk haram. Ibnu Jarir ath-Thabari menegaskan, hukum itu mencakup semua tindakan yang termasuk dalam cakupan makna as-sukhriyyah. Karena itu, haram seorang Mukmin mengolok-olok Mukmin lainnya, baik disebabkan oleh kemiskinan, dosa yang dikerjakan maupun sebab lainnya.
wallahu'alam
112
Hukum dan Dunia Politik / Re:Benarkah mereka sudah berjuang ? (misteri dibalik Biaya Sekolah Gratis)
« pada: 13 Mei 2009, 18:26:42 » sedikit mau nimbrung....
sebenarnya saya sedikit ganjil sama thread ini, makanya malas juga berkomentar di sini.
pertama, TS [tombogati] membuat thread untuk mendikusikan tentang "misteri dibalik biaya sekolah gratis", lalu postingan balasan pertama atas thread ini:
lalu saya berfikir, kenapa akhi upil, langsung menyinggung HT, atas balasan thread ini, apa korelasi-nya gitu?, apakah antum merasa TS adalah bagian dari HT [apakah antum sudah bertanya kepada beliau, apakah beliau syabab HTI?]. walaupun jika antum sudah bertanya kepada beliau, bahwa beliau adalah syabab HTI, apakah ada korelasi-nya antara apa yang ditanyakan oleh TS, dengan jawaban antum.
sekian unek-unek dari saya, diskusinya silahkan dilanjutkan
[mohon maaf jika ada kata-kata yang kurang berkenan]
sebenarnya saya sedikit ganjil sama thread ini, makanya malas juga berkomentar di sini.
pertama, TS [tombogati] membuat thread untuk mendikusikan tentang "misteri dibalik biaya sekolah gratis", lalu postingan balasan pertama atas thread ini:
DAN FAKTANYA.... SELAIN PKS TDK ADA YG KONSENTRASI TERHADAP PENDIRIAN SDIT2 TERSEBUT.... TIDAK JUGA PARTAI PEMBEBASAN
lalu saya berfikir, kenapa akhi upil, langsung menyinggung HT, atas balasan thread ini, apa korelasi-nya gitu?, apakah antum merasa TS adalah bagian dari HT [apakah antum sudah bertanya kepada beliau, apakah beliau syabab HTI?]. walaupun jika antum sudah bertanya kepada beliau, bahwa beliau adalah syabab HTI, apakah ada korelasi-nya antara apa yang ditanyakan oleh TS, dengan jawaban antum.
sekian unek-unek dari saya, diskusinya silahkan dilanjutkan
[mohon maaf jika ada kata-kata yang kurang berkenan]
113
Hukum dan Dunia Politik / Re:Tantangan HTI ke depan pasca pemilu 2009
« pada: 13 Mei 2009, 17:54:29 »SAYA HARAP YANG NON HTI TIDAK MEMBERI KOMENTAR....pertama, janganlah begitu, setiap member hukpol berhak untuk berpendapat, begitupun antum. diskusi itu 2 arah akhi, bukan satu arah, dan menurut saya jelas, TS membuat thread ini untuk membuat alur diskusi yang 2 arah.
SUPAYA JELAS.... HTI KE DEPAN MAUNYA APA.... MURNI DRI INTERNAL HTI
kedua, kalau ingin mengetahui apa yang akan dilakukan oleh HTI, maka harus difahami dulu fikrah [pemikiran] dan thariqah [metode perjuangan] yang mendasari gerakan ini, dengan begitu antum, maupun ikhwah yang lain, mampu mendapat gambaran umum apa yang sedang dan akan dilakukan gerakan dakwah ini.
ketiga, mesti disadari bahwa perjuangan HTI tidak lepas dari perjuangan HT global, karena sejatinya HT adalah satu kesatuan jamaah, dengan satu kepemimpinan [satu amir], sehingga setiap gerak perjuangan HT di seluruh dunia, merupakan satu langkah perjuangan yang sama. dalam hal ini langkah-langkah untuk memperjuangkan kehidupan Islam, dengan penerapan syariah Islam secara total, dalam naungan daulah khilafah.
wallahu'alam
114
Hukum dan Dunia Politik / Re:Mengapa kita "menerima" Demokrasi ?
« pada: 12 Mei 2009, 18:30:31 »sedang dipertimbangkan untuk digabungkan saja....kayaknya thread ini baik-nya dipisah saja, akhi.
dalam thread yang lalu, pembahasan-nya kurang mengena pada inti pembahasan, antara demokrasi sesuai Islam atau demokrasi bertentangan dengan Islam, selanjutnya bagaimana penyikapan umat akan sistem demokrasi, yang sedang diterapkan di hampir seluruh dunia Islam, menurut ketentuan syariat.
mudah-mudahan kalau di thread ini, yang ikut diskusi, bisa menyertakan hujjah dengan dalil syariah yang kuat [kalau di thread sebelah kebanyakan hanya pakai akal semata]
akan tetapi jika menurut akhi baiknya digabung, yah silahkan ngga apa-apa.
ninggalkan jejak dulu sementara ini, diskusinya silahkan dilanjutkan.
115
Hukum dan Dunia Politik / Re:Hukum Musyarakah (Partisipasi) Dalam Pemerintahan Non Islami
« pada: 11 Mei 2009, 18:36:37 » Hukum Musyarakah (Partisipasi) Dalam Pemerintahan Non Islami?
ya, akhi [TS]
pertanyaan yang terpatri di benak ini adalah,
1.seperti apa sistem pemerintahan Islam itu?
2.seperti apa sistem pemerintahan non-Islam itu?
Jazakallah [sebelumnya]
Pro kontra aktifis Islam ikut aktif dalam pemerintahan non Islam, dalam rangka mengawasi, mengawal, dan meluruskan, setiap potensi kecurangan, mudharat, yang akan pemerintahan tersebut hasilkan melalui undang-undang keputusan mereka, telah menyita perhatian para penggiat kebangkitan Islam.
Apa yang diterangkan Syaikh as Sa’di ini adalah jika kaum muslimin tinggal di negara yang jelas-jelas menggunakan hukum kafir dan wilayah kafir pula, di mana dia membolehkan bermusyarakah (berpartisipasi) dengan dalil dan renungan yang sangat brilian, Hal itu tentunya lebih-lebih di negeri yang sudah muslim, yang hanya tinggal sistemnya yang masih non islami.
Syaikh Nashir Sulaiman al Umar berkata dalam salah satu fatwanya tentang berpartisipasi dalam pemerintahan yang non islami, yang berjudul Dhawabith al Musyarakah fil Majalis an Niyabiyah (Patokan Berpartisipasi Dalam Majelis Perwakilan):
4. Partisipasi ini tidak boleh justru memperlama keberadaan system dan penguasa non islami tersebut, apalagi memperkuatnya, para aktifis harus bisa mendakwahinya, merubahnya dan mengajak mereka ke jalan Allah Ta’ala, bukan justru mendukung dan bersekutu dengan ideologi sesat mereka.dan banyak lagi pembahasan tentang sistem pemerintahan non-Islam dan sistem pemerintahan Islam
ya, akhi [TS]
pertanyaan yang terpatri di benak ini adalah,
1.seperti apa sistem pemerintahan Islam itu?
2.seperti apa sistem pemerintahan non-Islam itu?
Jazakallah [sebelumnya]
116
Hukum dan Dunia Politik / Re:Tantangan HTI ke depan pasca pemilu 2009
« pada: 10 Mei 2009, 23:10:14 » @tombogati [TS]
Afwan sebelumnya saya mempertanyakan ini [terus terang saya sedikit penasaran]
OOT ON
apakah akhi/ukhti tombogati adalah syabab HTI [daris/anggota]?
OOT OFF
kalau dilihat dari thread ini, saya belum bisa mengidentifikasi-nya, maupun tulisan-tulisan akhi.
kalau di lihat di beberapa thread yang ada, banyak member yang lain bilang akhi/ukhti adalah syabab HTI....
Jazakallah....
Afwan sebelumnya saya mempertanyakan ini [terus terang saya sedikit penasaran]
OOT ON
apakah akhi/ukhti tombogati adalah syabab HTI [daris/anggota]?
OOT OFF
kalau dilihat dari thread ini, saya belum bisa mengidentifikasi-nya, maupun tulisan-tulisan akhi.
kalau di lihat di beberapa thread yang ada, banyak member yang lain bilang akhi/ukhti adalah syabab HTI....
Jazakallah....
117
Hukum dan Dunia Politik / Seputar Hizbut Tahrir
« pada: 10 Mei 2009, 22:47:19 » Saya berusaha untuk membuat thread baru, dengan melihat perkembangan baru di board HUKPOL yang banyak berusaha untuk mencari tahu dan mempertanyakan tentang Hizbut Tahrir, mudah-mudahan bahasan di thread ini, bisa memperjelas berita yang simpang-siur. saya berharap thread ini bisa bermanfaat untuk ikhwah yang aktif di board HUKPOL.
Apa itu Hizbut Tahrir?
Hizbut Tahrir adalah organisasi politik Islam global yang didirikan pada 1953 di bawah pimpinan pendirinya – seorang ulama, pemikir, politisi ulung, dan hakim Pengadilan Banding di al-Quds (Yerusalem), Taqiuddin an-Nabhani. Hizbut Tahrir beraktivitas di seluruh lapisan masyarakat di Dunia Islam mengajak kaum Muslim untuk melanjutkan kehidupan Islam di bawah naungan Negara Khilafah.
Hizbut Tahrir beraktivitas di seluruh dunia Islam untuk memperkuat komunitas Muslim yang hidup secara islami dalam pikiran dan perbuatannya, dengan terikat pada hukum-hukum Islam dan menciptakan identitas Islam yang kuat. Hizbut Tahrir juga beraktivitas bersama-sama komunitas Muslim di Barat untuk mengingatkan mereka agar menyambut seruan perjuangan mengembalikan Khilafah dan menyatukan kembali umat Islam secara global. Hizbut Tahrir juga berupaya menjelaskan citra Islam yang positif kepada masyarakat Barat dan terlibat dalam dialog dengan para pemikir, pembuat kebijakan dan akademisi Barat.
Mengapa Hizbut Tahrir menyebut dirinya sebagai "partai politik Islam"?
Berbeda dengan tradisi sekular, dalam Islam tidak ada dikotomi antara agama dan politik. Aktivitas yang Hizbut Tahrir lakukan adalah aktivitas politik, karena dengan aktivitas ini Hizbut Tahrir berupaya memelihara kemaslahatan umat sesuai dengan hukum-hukum dan solusi-solusi Islam; Islam memandang politik sebagai aktivitas memelihara kepentingan masyarakat dengan aturan dan solusi Islam.
Apa metodologi Hizbut Tahrir?
Hizbut Tahrir mengadopsi metodologi yang digunakan oleh Nabi Muhammad saw untuk mendirikan Negara Islam pertama di Madinah. Nabi Muhammad saw membatasi aktivitas penegakan Negara Islam pada ranah intelektual dan politik. Beliau saw mendirikan negara Islam tanpa menempuh jalan kekerasan. Beliau saw berjuang memobilisasi opini publik agar mendukung Islam dan berupaya mempengaruhi kelompok elit intelektual dan politik pada masanya. Meskipun mengalami beragam penyiksaan dan pemboikotan, Nabi Muhammad saw dan golongan Muslim perdana tidak pernah mengambil jalan kekerasan.
Kami mengadopsi perjuangan intelektual dan politik ini karena kami yakin ini merupakan jalan yang benar dan efektif untuk menegakkan kembali Khilafah Islam. Karena itu, Hizbut Tahrir secara proaktif menyebarkan pemikiran-pemikiran Islam, baik yang bersifat intelektual maupun politik, secara luas di masyarakat-masyarakat Muslim sembari menantang status quo yang ada.
Hizbut Tahrir menyuarakan Islam sebagai jalan hidup yang komprehensif yang mampu menangani seluruh urusan bermasyarakat dan bernegara. Hizbut Tahrir juga mengemukakan pandangan-pandangannya terhadap peristiwa-peristiwa politik dan menganalisisnya dari perspektif Islam.
Hizbut Tahrir menyebarkan pemikiran-pemikirannya melalui diskusi dengan masyarakat, lingkar studi, ceramah, seminar, pendistribusian leaflet, penerbitan buku dan majalah dan via Internet.
Metodologi Hizbut Tahrir dijelaskan secara rinci dalam buku The Methodology of Hizb ut-Tahrir for Change.
Di mana Hizbut Tahrir beraktivitas?
Hizbut Tahrir beraktivitas di Eropa, Asia Tengah, Timur Tengah, anak benua India, Australasia dan Amerika.
Apakah Hizbut Tahrir menganjurkan kekerasan dan apakah Hizbut Tahrir menjadi kepanjangan tangan para teroris?
Hizbut Tahrir berkeyakinan bahwa perubahan yang dicita-citakan harus dimulai dari pemikiran orang-orang dan kami yakin orang-orang atau masyarakat tidak dapat dipaksa untuk berubah dengan kekerasan dan teror. Konsekuensinya, Hizbut Tahrir tidak menganjurkan atau terlibat dalam kekerasan. Hizbut Tahrir sangat terikat terhadap hukum Islam dalam seluruh aspek perjuangannya. Hizbut Tahrir adalah entitas intelektual dan politik Islam yang berupaya mengubah pemikiran umat melalui diskusi dan debat intelek. Kami memandang bahwa hukum Islam melarang penggunaan kekerasan atau perjuangan bersenjata melawan rezim penguasa sebagai metoda untuk menegakkan kembali Negara Islam.
Banyak sekali artikel yang dipublikasi di beragam saluran media, termasuk di antaranya Reuters, Itar-Tass, Pravda, AFP, Al-Hayat, AP dan RFERL, yang dengan jelas menyatakan bahwa Hizbut Tahrir adalah organisasi nonkekerasan yang menolak perjuangan bersenjata atau kekerasan sebagai bagian dari metodologi partai.
Apakah Hizbut Tahrir kelompok ekstrimis?
Kelompok-kelompok ekstrimis mengeksploitasi rasa takut umat dan memberikan argumen-argumen mentah berdasarkan pemikiran yang lemah dan salah. Kami tidak bersembunyi di balik polemik dan slogan – kami yakin kekuatan pemikiran-pemikiran kami terlihat jelas dalam literatur kami. Para anggota kami telah berdiskusi dan berdebat dengan beberapa pemikir terbaik di dunia seperti Noam Chomsky, Daniel Bennett dan Flemming Larsen dari IMF, karena kami yakin satu-satunya cara untuk memajukan manusia ialah dengan terlibat dalam diskusi dan debat global. Kami yakin sekarang ini sudah saatnya menghapuskan label kuno ‘ekstrimis’ dan ‘moderat’ dan kami pun yakin bahwa setiap orang yang memiliki pandangan yang berbeda bisa terlibat dalam dialog yang rasional. Jika Anda ingin salah seorang anggota kami berpartisipasi dalam debat atau diskusi panel yang Anda selenggarakan, silahkan kontak kami.
Apakah Hizbut Tahrir memiliki hubungan dengan kelompok-kelompok lain?
Hizbut Tahrir tidak ada hubungan dengan gerakan, partai atau organisasi Islam atau non-islam, baik dari segi nama maupun aktivitasnya.
Mengapa Hizbut Tahrir dilarang di banyak negara?
Hizbut Tahrir berada pada garis terdepan dalam aktivitas politik di Dunia Islam. Hizbut Tahrir telah menantang dan menjadi perhatian para penguasa tiran di Dunia Islam. Rezim-rezim tiran itu merespon aktivitas Hizbut Tahrir dengan cara memenjarakan, menyiksa dan membunuhi para anggota kami. Meskipun tantangan kami terhadap rezim-rezim ini berada pada tataran intelektual dan politik, yakni dengan melakukan debat dan diskusi, rezim-rezim ini mengambil langkah melarang dan membungkam partai, karena mereka tidak punya pemikiran intelektualnya sendiri. Karena rezim-rezim ini tidak menoleransi setiap oposisi, maka partai-partai yang beroposisi lainnya juga dilarang. Meskipun ada pelarangan dan intimidasi terhadap anggota-anggotanya, pemikiran-pemikiran Hizbut Tahrir terus menyebar di masyarakat.
Siapa yang mendanai Hizbut Tahrir?
Organisasi ini didanai sepenuhnya oleh anggota-anggotanya dan kami tidak menerima segala bentuk bantuan dana dari pemerintahan manapun. Karena perjuangan Hizbut Tahrir terfokus pada penyebaran pemikiran, maka biaya operasinya sangat minim, karena pemikiran tidak perlu biaya.
Siapa dan di mana pemimpin Hizbut Tahrir?
Pemimpin global Hizbut Tahrir, Ata Abu Rushta, berada di dunia Islam. Beliau menulis sejumlah buku politik dan hukum Islam dan sebelumnya pernah menjadi juru bicara resmi partai. Selama menjadi juru bicara partai di Yordania beliau pernah ditahan selama beberapa tahun sebagai tahanan politik. Sejak memangku amanah sebagai pemimpin partai beliau pernah berbicara dalam konferensi di Yaman dan Pakistan. Beliau juga rutin berbicara di website resmi Kantor Media Hizbut Tahrir, www.hizb-ut-tahrir.info. Dengan adanya penganiayaan terhadap para anggota kami di Dunia Islam, kami tidak ingin membantu para penguasa tiran dengan menunjukkan keberadaan pemimpin partai.
Dapatkah saya mengikuti pertemuan Hizbut Tahrir?
Semua pertemuan kami dilakukan secara terbuka dan siapapun yang tertarik, tanpa melihat pandangan politik dan intelektual mereka, berhak untuk berperan serta. Setiap peserta kami berikan hak untuk berpartisipasi dalam mendiskusikan isi pertemuan, apapun sikap dan pandangan mereka terhadap Islam atau apapun materi pertemuan tersebut. Untuk mengetahui rincian pertemuan yang terdekat dengan Anda, silahkan hubungi kami.
Bagaimana caranya bergabung dengan Hizbut Tahrir?
Keanggotaan Hizbut Tahrir bersifat terbuka bagi seluruh Muslim, pria maupun wanita, tanpa memandang suku bangsa, ras dan aliran pemikiran, karena partai melihat mereka semua dari sudut pandang Islam. Seseorang dapat menjadi anggota partai setelah melakukan kajian dan perenungan mendalam tentang pemikiran-pemikiran dan pendapat-pendapat partai. Keanggotaan seseorang didasarkan pada kematangan individu dalam menguasai tsaqofah partai dan mengadopsi pemikiran dan pendapat partai.
Apakah wanita terlibat dalam Hizbut Tahrir?
Di Hizbut Tahrir wanita memainkan peran aktif dalam rangka mencapai tujuan partai. Mereka melakukan perjuangan intelektual dan politik termasuk menyeru para penguasa di Dunia Islam untuk bangkit dan berjuang melawan penindasan dan ketidakadilan. Banyak anggota wanita di Hizbut Tahrir yang dipenjara sebagai tahanan politik oleh sejumlah rezim di Dunia Islam. Sesuai dengan hukum Islam, aktivitas wanita terpisah dari aktivitas pria.
Apa pandangan Hizbut Tahrir terhadap peristiwa 11/9 atau 7/7 dan pembunuhan atas warga sipil?
Hukum Islam melarang segala bentuk serangan terhadap warga sipil. Islam melarang pembunuhan atas anak-anak, orang tua dan wanita yang tidak berperang, bahkan di medan perang sekalipun. Islam melarang aksi pembajakan pesawat sipil yang membawa warga sipil tak bersalah dan Islam juga melarang penghancuran rumah dan kantor yang di dalamnya ada warga sipil tak bersalah. Semua tindakan semacam ini adalah bentuk serangan yang Islam larang.
Ariel Cohen dari Heritage Foundation menuduh Hizbut Tahrir menyuburkan sikap kekerasan anti-Amerika? Benarkah begitu?
Usaha absurd dari sejumlah think tank AS untuk mendiskreditkan kaum Muslim yang menolak model politik Barat sebagai ‘teroris’ adalah tanda keputusasaan ideologis. Meskipun Hizbut Tahrir menentang kepentingan kolonial Amerika dan menawarkan ideologi alternatif, tapi terlalu dangkal jika hanya sibuk membangkitkan perasaan anti-Amerika karena perasaan semacam itu sekarang ini sudah menjadi gejala umum di dunia.
Meskipun Ariel Cohen berusaha menjadikan dirinya sebagai pakar tentang Hizbut Tahrir, ‘penelitiannya’ terhadap partai penuh dengan ketidakakuratan. Dia belum pernah bertemu dengan satupun anggota Hizbut Tahrir, jadi bagaimana dia bisa mengetahui ideologi partai dengan baik?
Jika Anda bekerja untuk sebuah think tank dan tertarik dengan perjuangan Hizbut Tahrir, silahkan Anda mengontak kami untuk informasi lebih lanjut – kami dapat menyediakan pakar untuk berbicara di seminar, diskusi, sarasehan, dan konferensi.
Ahmed Rashid, dalam bukunya yang berjudul Jihad – the rise of militant Islam in Central Asia mengungkapkan bahwa kelak Hizbut Tahrir akan menjadi kelompok militan. Benarkah demikian?
Kami tidak setuju dengan penilaian Ahmed Rashid dan kami telah mengeluarkan penolakan atas banyak klaim yang ia buat di dalam bukunya. Buku tersebut mengandung banyak sekali ketidakakuratan faktual perihal Hizbut Tahrir dan jelas sekali dia tidak melakukan penelitian yang laik untuk menulis topik tersebut. Meskipun partai telah dengan jelas mengemukakan pandangannya dalam literatur resmi dan meskipun partai memiliki juru bicara di seluruh dunia, Ahmed Rashid malah memilih untuk mengandalkan sumber-sumber ‘anonim’ yang kredibilitasnya sangat dipertanyakan.
Argumen bahwa kami akan terprovokasi menjadi kelompok militan dengan adanya penindasan atas para anggota kami jelas bertentangan dengan sejarah partai. Sejak didirikan pada 1953, para anggota partai sudah pernah mengalami penyiksaan, penganiayaan dan pembunuhan oleh beragam rezim di Dunia Islam, termasuk di antaranya Yordania, Suriah, Mesir, Turki, Tunisia, Arab Saudi, Libia, Sudan, Irak, Kyrgyzstan, Tajikistan dan Uzbekistan. Meskipun selama beberapa dekade mengalami provokasi yang intensif dan tindakan represif dari para penguasa di Dunia Islam, partai tetap teguh pada metodologi tanpa kekerasan yang dijalani.
Apakah Hizbut Tahrir anti-Semit?
Kami dengan tegas menolak tuduhan anti-Semit karena Islam adalah sebuah risalah bagi seluruh umat manusia. Akan tetapi, pada saat yang sama kami juga secara tegas menolak Zionisme yang terejawantahkan dalam bentuk negara Israel. Dan Hizbut Tahrir, seperti halnya mayoritas organisasi Muslim lainnya, menentang keras pendudukan berkelanjutan atas Palestina oleh Israel.
Negara Israel didirikan di atas wilayah yang dirampasnya secara paksa, setelah mereka mengusir penduduk di sana, baik yang Muslim maupun yang Kristen. Ini merupakan bentuk ketidakadilan, yang dari sudut pandang Islam tidak akan pernah kami terima, tanpa memandang ras pelakunya. Di Palestina, Islam terlibat konflik dengan Israel – bukan dalam kapasitas mereka sebagai Yahudi yang secara historis pernah hidup berdampingan dengan kaum Muslim dalam damai dan tentram selama berabad-abad – tapi dalam kapasitas mereka sebagai penjajah dan agresor.
Sejarah menjadi saksi bahwa dulu kaum Yahudi dan Muslim hidup bersama di bawah naungan Islam selama hampir tiga belas abad. Selama periode itu kaum Yahudi memiliki standar hidup yang sama tingginya dengan kaum Muslim. Mereka menikmati hak-hak, kesejahteraan, kebahagiaan, ketentraman dan keamanan yang sama.
Apa pandangan Anda tentang demokrasi?
Sistem pemerintahan Islam, Khilafah, membolehkan dan mendorong pertanggungjawaban penguasa dan memiliki aturan tersendiri ihwal pemilihan dan konsultasi. Islam tidak menerima kebijakan negara dipengaruhi atau diarahkan oleh elit pengusaha. Islam mewajibkan warga negara Khilafah untuk terlibat dalam aktivitas politik dan mengawasi jalannya pemerintahan.
Demokrasi dalam negara kapitalis ialah sistem pemerintahan yang berbeda dengan sistem pemerintahan Islam. Ini karena Islam dan Kapitalisme dibangun di atas filosofi dasar yang sangat berbeda. Bila sistem kapitalis menyematkan kedaulatan untuk membuat hukum pada manusia, sistem Islam memandang bahwa kedaulatan hukum ada di tangan Sang Pencipta. Karena alasan inilah, demokrasi tidak sesuai dengan sistem Islam.
Demokrasi adalah sistem yang rusak, yang dikendalikan oleh korporasi-korporasi besar dan tidak peduli pada kepentingan rakyat. Jumlah para pemilih (voter) di Barat selama ini begitu rendah dan orang-orang harus turun ke jalan untuk menyuarakan rasa frustrasi mereka. Meskipun setiap orang punya ‘kebebasan’ untuk mengkritik dan menentang para politisi mereka di Barat, realitas menunjukkan bahwa siapapun politisi yang terpilih, mereka berasal dari elit ekonomi dan mereka memerintah untuk kepentingan para elit ekonomi itu.
KHILAFAH
Apa itu Khilafah?
Khilafah merupakan sistem pemerintahan dalam Islam yang digali dari sumber hukum Islam. Khilafah bertanggungjawab atas penerapan sistem Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Khilafah memberlakukan aturan-aturan hukum pidana Islam dalam masalah peradilan, pemerintahan, ekonomi, sistem sosial, pendidikan, dan kebijakan luar negeri. Khilafah bertanggungjawab untuk menyampaikan dan mempropagandakan Islam ke seluruh dunia melalui kebijakan luar negerinya. Khilafah sangat berbeda dari model pemerintahan yang lain seperti demokrasi, teokrasi atau monarki.
Khilafah akan melakukan rekonsiliasi antara seluruh umat Islam dan akan menghapus segala bentuk kesukuan dan kebangsaan. Negara Khilafah bukan negara untuk faksi atau kelompok orang tertentu. Khilafah akan memandang seluruh warganegaranya, baik yang Muslim maupun yang non-Muslim, dengan pandangan yang sama. Khilafah akan menerapkan Islam sesuai dengan dalil-dalil terkuat dari sumber hukum Islam. Khilafah bukanlah negara untuk etnis atau ras tertentu. Setiap orang, apakah dia Arab atau non-Arab, putih atau hitam, memiliki kedudukan yang sama sebagai warganegara. Meskipun Khilafah adalah Negara Islam akan tetapi Khilafah tidak hanya mengurusi kaum Muslim, tetapi juga setiap orang yang menyandang status warganegara Negara Islam, baik dia Muslim ataupun non-Muslim. Saat mengurusi kepentingan warganegara yang non-Muslim, Negara Islam berkewajiban memperlakukan mereka sebagai warganegara dan bukan sebagai ‘etnis minoritas’.
Di mana Khilafah sekarang?
Saat ini Khilafah tidak eksis. Khilafah terakhir di Turki diruntuhkan oleh Mustafa Kemal setelah Perang Dunia I. Pada 24 Juli 1924, saat mengomentari keruntuhan Khilafah, Lord Curzon, menteri luar negeri Inggris saat itu, mengatakan kepada Majelis Rendah, ” … Turki (sebagai pusat Khilafah) telah mati dan tidak akan pernah bangkit kembali karena kita telah menghancurkan kekuatan moralnya, Khilafah dan Islam.”
Bagaimana dengan Arab Saudi, Iran, Pakistan dan Sudan?
Untuk bisa disebut sebagai Negara Islam, setiap pasal dalam konstitusi negara, setiap aturan dan perundang-undangan, harus berasal dari hukum Islam. Negara-negara yang Anda sebutkan itu sama sekali tidak memenuhi kriteria itu. Di negara-negara tersebut, hukum Islam hanya sekadar label sebagai sumber legislasi negara tersebut, dengan segala bentuk legislasi sekular dan adat istiadat yang ada, sementara konstitusi lebih condong pada sistem demokrasi, sosialisme, kapitalisme dan semacamnya. Semua itu adalah konsep-konsep yang tidak bersumber dari Islam dan berasal dari filosofi dasar yang sangat berbeda. Karena itu, tidak bisa diklaim bahwa setiap negara Muslim adalah representasi dari Islam dan sistem pemerintahan Islam, yakni Khilafah Islamiyah.
Siapa yang akan menjadi penguasa dalam sistem Khilafah dan apakah ia akan memiliki akuntabilitas?
Khalifah memimpin negara berdasarkan perintah Allah swt sebagaimana termaktub dalam al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw. Rakyat memilih dan menunjuk Khalifah. Sebagai warganegara Negara Islam, baik pria maupun wanita, Muslim ataupun non-Muslim, Anda bisa mendatangi Khalifah untuk alasan apapun, entah mendorongnya agar takut kepada Allah swt atau meminta hak-hak Anda dipenuhi. Rakyat wajib mengganti Khalifah jika ia menerapkan sistem selain Islam.
Bagaimana Khilafah memperlakukan non-Muslim?
Seorang ulama salaf, Imam Qarafi, mengatakan, “Menjadi tanggung jawab kaum Muslim terhadap orang-orang Zhimmi [warganegara yang non-Muslim] untuk memelihara mereka, memenuhi kebutuhan rakyat miskin, memberi makan orang-orang yang kelaparan, menyediakan pakaian, menyapa mereka dengan baik dan bahkan menoleransi kesalahan mereka meskipun datangnya dari seorang tetangga, dan meskipun kaum Muslim berada pada posisi tangan di atas [sebagai pemberi]. Kaum Muslim juga harus menasehati mereka dalam urusan mereka dan melindungi mereka dari siapapun yang berusaha menyakiti mereka atau keluarganya, mencuri harta mereka atau siapapun yang melanggar hak-hak mereka.”
Banyak non-Muslim yang pernah hidup dengan kaum Muslim di bawah naungan Islam selama hampir tiga belas abad. Selama periode itu orang-orang non-Muslim memiliki standar hidup yang sama. Mereka menikmati hak-hak, kesejahteraan, kebahagiaan, ketentraman dan keamanan yang sama.
Bagaimana posisi wanita dalam Khilafah?
Dalam sistem Khilafah, wanita memiliki peran aktif untuk membangun negara yang tidak hanya memiliki karakter moral yang unggul, tetapi juga secara ekonomi sejahtera dan maju secara teknologi. Khilafah wajib memberikan pendidikan gratis kepada anak laki-laki dan perempuan pada tingkat dasar dan menengah serta memberikan pendidikan gratis pada level pendidikan tinggi untuk bidang-bidang tertentu seperti sains dan kesehatan. Ini akan membuat wanita bisa menjalani profesi sebagai ahli kesehatan, insinyur, sains, arsitektur, akademisi dan semacamnya. Wanita diperbolehkan untuk berdagang, menginvestasikan harta, memiliki harta sendiri, menjalankan usaha dan menjadi pegawai atau atasan. Wanita bisa, misalnya, menduduki jabatan administratif dalam negara atau ditunjuk menjadi hakim, menyewa properti dan melakukan transaksi sosial lainnya. Selain itu, wanita akan menjalani peran vital sebagai istri dan ibu, menciptakan kehidupan keluarga yang tentram, merawat anak-anak dan keluarga dan membina generasi masa depan. Wanita memiliki peran politik yang aktif dan juga punya suara politik yang kuat dalam mengingatkan penguasa atas setiap bentuk ketidakadilan dan korupsi di masyarakat serta memelihara kepentingan komunitasnya.
Bagaimana interaksi pria dan wanita dalam sistem Khilafah?
Pria dan wanita berinteraksi dalam rangka memenuhi kebutuhan kehidupan publik mereka tapi tetap dalam koridor sistem sosial Islam yang mengatur hubungan antara pria dan wanita. Ini menciptakan lingkungan yang memfasilitasi kerja sama lintas jender dan membuat mereka bisa memenuhi hak dan kewajiban publik mereka tanpa mempengaruhi kondisi moral negara. Dengan begitu kehormatan dan kesucian setiap orang akan terlindungi dan aspek seksual dari hubungan pria dan wanita terbatas pada pernikahan. Misalnya, Islam telah menentukan pakaian publik khusus untuk wanita Muslimah serta mewajibkan mereka untuk menyembunyikan kecantikan mereka dari hadapan kaum pria yang bukan mahramnya dan Islam juga melarang pria dan wanita berkhalwat. Islam melarang hubungan yang bebas antara pria dan wanita yang tidak punya hubungan darah, serta segala bentuk perbuatan yang bisa menjurus pada perzinaan. Wanita memiliki kedudukan terhormat dalam sistem Khilafah dan karena itu tidak akan ada tindakan apapun yang diperbolehkan untuk mengkompromikan masalah ini.
Mengapa wanita tidak bisa menjadi penguasa dalam sistem Khilafah?
Konsep ini bersumber dari dalil-dalil Islam yang melarang wanita memegang jabatan kekuasaan. Orang-orang yang gagal mengkaji Islam secara mendalam mengklaim bahwa ini terjadi karena Islam memandang wanita secara fisik tidak mampu memangku jabatan tersebut dan karena itu mereka menganggap Islam mendiskriminasikan wanita. Islam tidak memberikan alasan spesifik tentang hal ini. Islam hanya melarang posisi-posisi tersebut untuk diemban oleh wanita.
Kekuasaan dalam Islam bukanlah posisi yang bergengsi, melainkan jabatan yang mengandung tanggung jawab. Dalam Islam, kedudukan sesorang tidak ditakar dari jabatan atau tanggung jawabnya, tetapi dari bagaimana ia memenuhi segala kewajibannya. Karena itu, seorang penguasa tidak otomatis lebih superior ketimbang seorang ibu. Masing-masing memiliki kewajiban yang harus dipenuhi untuk menjamin kemakmuran masyarakat.
Di dalam Khilafah, wanita boleh memilih penguasa. Secara historis, bahkan wanita turut hadir dalam delegasi pertama yang memberikan bai’at kepada Nabi Muhammad saw, menerimanya sebagai pemimpin pertama Negara Islam. Wanita boleh masuk ke dalam Majelis Ummah yang memberikan nasehat kepada penguasa dalam beragam urusan. Wanita wajib terlibat dalam kehidupan politik masyarakat Islam dan mengingatkan penguasa jika mereka melihat adanya korupsi atau ketidakadilan yang dilakukan oleh negara. Wanita juga bisa dipilih menjadi pejabat negara untuk posisi-posisi yang non-kekuasaan.
Akankah Khilafah menerima inovasi ilmiah dan teknologi?
Ketika Islam datang untuk pertama kalinya sebagai sistem kehidupan, Nabi Muhammad saw mengirim beberapa orang Muslim dalam misi khusus ke Syam (wilayah yang kini menjadi Suriah, Yordania, dan Palestina). Pada saat itu Syam tidak diperintah oleh sistem Islam dan justru dikuasai oleh negara adikuasa saat itu, Romawi, yang notabene Kristen. Orang-orang Romawi sangat terampil dalam teknologi militer dan telah mengembangkan dua alat pelontar (cikal bakal meriam). Kaum Muslim juga memperoleh teknologi parit dari negara adikuasa kedua saat itu, Persia, melalui Salman al-Farisi dan teknologi itu dimanfaatkan pada saat Perang Khandaq. Ini diperbolehkan dalam Islam karena kaum Muslim tidak mengambil sistem hidup dari Romawi dan Persia. Kaum Muslim tidak mengambil keyakinan, nilai dan sistem kehidupan Romawi dan Persia. Kaum Muslim hanya mengambil teknologi mereka, yang secara faktual tidak berasal dari keyakinan tertentu dan karena itu terbuka bagi seluruh umat manusia untuk menemukannya, dengan seizin Allah swt. Muhammad saw memberikan teladan bahwa mengadopsi teknologi adalah sesuatu yang diperbolehkan dalam Islam, tapi dengan catatan bahwa teknologi itu hanya boleh dimanfaatkan untuk sesuatu yang diperbolehkan menurut hukum Islam. Maka, pisau bedah boleh digunakan untuk menyembuhkan, tapi tidak untuk melakukan aborsi terhadap bayi yang tak berdosa. Televisi, internet dan DVD bisa dimanfaatkan untuk mempropagandakan kebenaran atau untuk tujuan-tujuan pendidikan, tetapi tidak boleh digunakan untuk mengeksploitasi wanita sebagai objek materi.
Apakah Khilafah sistem monarki?
Sistem monarki bukanlah sistem Islam dan Islam tidak memperbolehkannya, entah raja yang hanya menjadi simbol tapi tak berkuasa, seperti dalam kasus Inggris dan Spanyol, karena Khalifah bukanlah simbol. Khalifah adalah penguasa dan pelaksana hukum-hukum Allah swt yang bertindak untuk kepentingan umat; Demikian pula jika raja menjadi kepala negara dan penguasa sekaligus, seperti dalam kasus Arab Saudi dan Yordania. Ini karena Khalifah tidak mengenal sistem pewarisan kekuasaan seperti yang terjadi dalam sistem monarki. Khalifah dipilih dan diberi bai’at. Islam tidak memperkenankan sistem pewarisan. Khalifah tidak memiliki hak-hak istimewa dibandingkan warganegara yang lain dan Khalifah tidak berkedudukan di atas hukum seperti halnya raja yang kebal hukum. Khalifah tunduk pada hukum Allah swt dan bisa dimintai pertanggungjawaban atas segala tindakan yang dilakukannya.
Apakah Khilafah sistem yang imperialis?
Wilayah-wilayah yang diperintah oleh Islam – meskipun terdiri atas beragam ras dan terhubung ke satu tempat yang menjadi sentralnya – tidak diperintah berdasarkan sistem imperialis, tetapi oleh sistem yang sangat bertentangan dengan sistem imperialis. Sistem imperialis tidak memperlakukan kelompok-kelompok ras secara setara, tetapi memberikan hak istimewa dalam pemerintahan, keuangan dan ekonomi kepada ras tertentu.
Sistem pemerintahan Islam memberikan kesetaraan antara rakyat di seluruh wilayah negara. Setiap non-Muslim yang menjadi warganegara memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warganegara yang Muslim. Mereka memperoleh keadilan yang sama dan mereka juga tunduk pada hukum yang sama. Selain itu, setiap warganegara, tanpa memandang keyakinannya, memiliki hak-hak yang bahkan tidak dimiliki oleh seorang Muslim di luar negeri yang tidak memiliki status warganegara. Dengan konsep kesetaraan seperti ini, sistem Islam sangat berbeda dengan sistem imperial. Sistem Islam tidak membeda-bedakan wilayahnya menjadi wilayah koloni, wilayah eksploitasi, atau wilayah sumber kekayaan yang diperas untuk kepentingan pusat. Khilafah memandang semua wilayah secara adil, tidak peduli betapa jauh jarak wilayah itu, dan tidak jadi soal betapa berbedanya ras di sana. Khilafah menganggap setiap jengkal wilayah sebagai bagian integral dari negara dan warganegara di setiap wilayah itu memiliki hak yang sama dengan warganegara yang ada di wilayah pusat kekuasaan. Khilafah juga menjadikan otoritas kekuasaan, sistem dan perundang-undangannya berlaku sama di seluruh wilayah.
sumber: http://konsultasi.wordpress.com/2008/04/15/tanya-jawab-seputar-hizbut-tahrir-part-1-2/
Apa itu Hizbut Tahrir?
Hizbut Tahrir adalah organisasi politik Islam global yang didirikan pada 1953 di bawah pimpinan pendirinya – seorang ulama, pemikir, politisi ulung, dan hakim Pengadilan Banding di al-Quds (Yerusalem), Taqiuddin an-Nabhani. Hizbut Tahrir beraktivitas di seluruh lapisan masyarakat di Dunia Islam mengajak kaum Muslim untuk melanjutkan kehidupan Islam di bawah naungan Negara Khilafah.
Hizbut Tahrir beraktivitas di seluruh dunia Islam untuk memperkuat komunitas Muslim yang hidup secara islami dalam pikiran dan perbuatannya, dengan terikat pada hukum-hukum Islam dan menciptakan identitas Islam yang kuat. Hizbut Tahrir juga beraktivitas bersama-sama komunitas Muslim di Barat untuk mengingatkan mereka agar menyambut seruan perjuangan mengembalikan Khilafah dan menyatukan kembali umat Islam secara global. Hizbut Tahrir juga berupaya menjelaskan citra Islam yang positif kepada masyarakat Barat dan terlibat dalam dialog dengan para pemikir, pembuat kebijakan dan akademisi Barat.
Mengapa Hizbut Tahrir menyebut dirinya sebagai "partai politik Islam"?
Berbeda dengan tradisi sekular, dalam Islam tidak ada dikotomi antara agama dan politik. Aktivitas yang Hizbut Tahrir lakukan adalah aktivitas politik, karena dengan aktivitas ini Hizbut Tahrir berupaya memelihara kemaslahatan umat sesuai dengan hukum-hukum dan solusi-solusi Islam; Islam memandang politik sebagai aktivitas memelihara kepentingan masyarakat dengan aturan dan solusi Islam.
Apa metodologi Hizbut Tahrir?
Hizbut Tahrir mengadopsi metodologi yang digunakan oleh Nabi Muhammad saw untuk mendirikan Negara Islam pertama di Madinah. Nabi Muhammad saw membatasi aktivitas penegakan Negara Islam pada ranah intelektual dan politik. Beliau saw mendirikan negara Islam tanpa menempuh jalan kekerasan. Beliau saw berjuang memobilisasi opini publik agar mendukung Islam dan berupaya mempengaruhi kelompok elit intelektual dan politik pada masanya. Meskipun mengalami beragam penyiksaan dan pemboikotan, Nabi Muhammad saw dan golongan Muslim perdana tidak pernah mengambil jalan kekerasan.
Kami mengadopsi perjuangan intelektual dan politik ini karena kami yakin ini merupakan jalan yang benar dan efektif untuk menegakkan kembali Khilafah Islam. Karena itu, Hizbut Tahrir secara proaktif menyebarkan pemikiran-pemikiran Islam, baik yang bersifat intelektual maupun politik, secara luas di masyarakat-masyarakat Muslim sembari menantang status quo yang ada.
Hizbut Tahrir menyuarakan Islam sebagai jalan hidup yang komprehensif yang mampu menangani seluruh urusan bermasyarakat dan bernegara. Hizbut Tahrir juga mengemukakan pandangan-pandangannya terhadap peristiwa-peristiwa politik dan menganalisisnya dari perspektif Islam.
Hizbut Tahrir menyebarkan pemikiran-pemikirannya melalui diskusi dengan masyarakat, lingkar studi, ceramah, seminar, pendistribusian leaflet, penerbitan buku dan majalah dan via Internet.
Metodologi Hizbut Tahrir dijelaskan secara rinci dalam buku The Methodology of Hizb ut-Tahrir for Change.
Di mana Hizbut Tahrir beraktivitas?
Hizbut Tahrir beraktivitas di Eropa, Asia Tengah, Timur Tengah, anak benua India, Australasia dan Amerika.
Apakah Hizbut Tahrir menganjurkan kekerasan dan apakah Hizbut Tahrir menjadi kepanjangan tangan para teroris?
Hizbut Tahrir berkeyakinan bahwa perubahan yang dicita-citakan harus dimulai dari pemikiran orang-orang dan kami yakin orang-orang atau masyarakat tidak dapat dipaksa untuk berubah dengan kekerasan dan teror. Konsekuensinya, Hizbut Tahrir tidak menganjurkan atau terlibat dalam kekerasan. Hizbut Tahrir sangat terikat terhadap hukum Islam dalam seluruh aspek perjuangannya. Hizbut Tahrir adalah entitas intelektual dan politik Islam yang berupaya mengubah pemikiran umat melalui diskusi dan debat intelek. Kami memandang bahwa hukum Islam melarang penggunaan kekerasan atau perjuangan bersenjata melawan rezim penguasa sebagai metoda untuk menegakkan kembali Negara Islam.
Banyak sekali artikel yang dipublikasi di beragam saluran media, termasuk di antaranya Reuters, Itar-Tass, Pravda, AFP, Al-Hayat, AP dan RFERL, yang dengan jelas menyatakan bahwa Hizbut Tahrir adalah organisasi nonkekerasan yang menolak perjuangan bersenjata atau kekerasan sebagai bagian dari metodologi partai.
Apakah Hizbut Tahrir kelompok ekstrimis?
Kelompok-kelompok ekstrimis mengeksploitasi rasa takut umat dan memberikan argumen-argumen mentah berdasarkan pemikiran yang lemah dan salah. Kami tidak bersembunyi di balik polemik dan slogan – kami yakin kekuatan pemikiran-pemikiran kami terlihat jelas dalam literatur kami. Para anggota kami telah berdiskusi dan berdebat dengan beberapa pemikir terbaik di dunia seperti Noam Chomsky, Daniel Bennett dan Flemming Larsen dari IMF, karena kami yakin satu-satunya cara untuk memajukan manusia ialah dengan terlibat dalam diskusi dan debat global. Kami yakin sekarang ini sudah saatnya menghapuskan label kuno ‘ekstrimis’ dan ‘moderat’ dan kami pun yakin bahwa setiap orang yang memiliki pandangan yang berbeda bisa terlibat dalam dialog yang rasional. Jika Anda ingin salah seorang anggota kami berpartisipasi dalam debat atau diskusi panel yang Anda selenggarakan, silahkan kontak kami.
Apakah Hizbut Tahrir memiliki hubungan dengan kelompok-kelompok lain?
Hizbut Tahrir tidak ada hubungan dengan gerakan, partai atau organisasi Islam atau non-islam, baik dari segi nama maupun aktivitasnya.
Mengapa Hizbut Tahrir dilarang di banyak negara?
Hizbut Tahrir berada pada garis terdepan dalam aktivitas politik di Dunia Islam. Hizbut Tahrir telah menantang dan menjadi perhatian para penguasa tiran di Dunia Islam. Rezim-rezim tiran itu merespon aktivitas Hizbut Tahrir dengan cara memenjarakan, menyiksa dan membunuhi para anggota kami. Meskipun tantangan kami terhadap rezim-rezim ini berada pada tataran intelektual dan politik, yakni dengan melakukan debat dan diskusi, rezim-rezim ini mengambil langkah melarang dan membungkam partai, karena mereka tidak punya pemikiran intelektualnya sendiri. Karena rezim-rezim ini tidak menoleransi setiap oposisi, maka partai-partai yang beroposisi lainnya juga dilarang. Meskipun ada pelarangan dan intimidasi terhadap anggota-anggotanya, pemikiran-pemikiran Hizbut Tahrir terus menyebar di masyarakat.
Siapa yang mendanai Hizbut Tahrir?
Organisasi ini didanai sepenuhnya oleh anggota-anggotanya dan kami tidak menerima segala bentuk bantuan dana dari pemerintahan manapun. Karena perjuangan Hizbut Tahrir terfokus pada penyebaran pemikiran, maka biaya operasinya sangat minim, karena pemikiran tidak perlu biaya.
Siapa dan di mana pemimpin Hizbut Tahrir?
Pemimpin global Hizbut Tahrir, Ata Abu Rushta, berada di dunia Islam. Beliau menulis sejumlah buku politik dan hukum Islam dan sebelumnya pernah menjadi juru bicara resmi partai. Selama menjadi juru bicara partai di Yordania beliau pernah ditahan selama beberapa tahun sebagai tahanan politik. Sejak memangku amanah sebagai pemimpin partai beliau pernah berbicara dalam konferensi di Yaman dan Pakistan. Beliau juga rutin berbicara di website resmi Kantor Media Hizbut Tahrir, www.hizb-ut-tahrir.info. Dengan adanya penganiayaan terhadap para anggota kami di Dunia Islam, kami tidak ingin membantu para penguasa tiran dengan menunjukkan keberadaan pemimpin partai.
Dapatkah saya mengikuti pertemuan Hizbut Tahrir?
Semua pertemuan kami dilakukan secara terbuka dan siapapun yang tertarik, tanpa melihat pandangan politik dan intelektual mereka, berhak untuk berperan serta. Setiap peserta kami berikan hak untuk berpartisipasi dalam mendiskusikan isi pertemuan, apapun sikap dan pandangan mereka terhadap Islam atau apapun materi pertemuan tersebut. Untuk mengetahui rincian pertemuan yang terdekat dengan Anda, silahkan hubungi kami.
Bagaimana caranya bergabung dengan Hizbut Tahrir?
Keanggotaan Hizbut Tahrir bersifat terbuka bagi seluruh Muslim, pria maupun wanita, tanpa memandang suku bangsa, ras dan aliran pemikiran, karena partai melihat mereka semua dari sudut pandang Islam. Seseorang dapat menjadi anggota partai setelah melakukan kajian dan perenungan mendalam tentang pemikiran-pemikiran dan pendapat-pendapat partai. Keanggotaan seseorang didasarkan pada kematangan individu dalam menguasai tsaqofah partai dan mengadopsi pemikiran dan pendapat partai.
Apakah wanita terlibat dalam Hizbut Tahrir?
Di Hizbut Tahrir wanita memainkan peran aktif dalam rangka mencapai tujuan partai. Mereka melakukan perjuangan intelektual dan politik termasuk menyeru para penguasa di Dunia Islam untuk bangkit dan berjuang melawan penindasan dan ketidakadilan. Banyak anggota wanita di Hizbut Tahrir yang dipenjara sebagai tahanan politik oleh sejumlah rezim di Dunia Islam. Sesuai dengan hukum Islam, aktivitas wanita terpisah dari aktivitas pria.
Apa pandangan Hizbut Tahrir terhadap peristiwa 11/9 atau 7/7 dan pembunuhan atas warga sipil?
Hukum Islam melarang segala bentuk serangan terhadap warga sipil. Islam melarang pembunuhan atas anak-anak, orang tua dan wanita yang tidak berperang, bahkan di medan perang sekalipun. Islam melarang aksi pembajakan pesawat sipil yang membawa warga sipil tak bersalah dan Islam juga melarang penghancuran rumah dan kantor yang di dalamnya ada warga sipil tak bersalah. Semua tindakan semacam ini adalah bentuk serangan yang Islam larang.
Ariel Cohen dari Heritage Foundation menuduh Hizbut Tahrir menyuburkan sikap kekerasan anti-Amerika? Benarkah begitu?
Usaha absurd dari sejumlah think tank AS untuk mendiskreditkan kaum Muslim yang menolak model politik Barat sebagai ‘teroris’ adalah tanda keputusasaan ideologis. Meskipun Hizbut Tahrir menentang kepentingan kolonial Amerika dan menawarkan ideologi alternatif, tapi terlalu dangkal jika hanya sibuk membangkitkan perasaan anti-Amerika karena perasaan semacam itu sekarang ini sudah menjadi gejala umum di dunia.
Meskipun Ariel Cohen berusaha menjadikan dirinya sebagai pakar tentang Hizbut Tahrir, ‘penelitiannya’ terhadap partai penuh dengan ketidakakuratan. Dia belum pernah bertemu dengan satupun anggota Hizbut Tahrir, jadi bagaimana dia bisa mengetahui ideologi partai dengan baik?
Jika Anda bekerja untuk sebuah think tank dan tertarik dengan perjuangan Hizbut Tahrir, silahkan Anda mengontak kami untuk informasi lebih lanjut – kami dapat menyediakan pakar untuk berbicara di seminar, diskusi, sarasehan, dan konferensi.
Ahmed Rashid, dalam bukunya yang berjudul Jihad – the rise of militant Islam in Central Asia mengungkapkan bahwa kelak Hizbut Tahrir akan menjadi kelompok militan. Benarkah demikian?
Kami tidak setuju dengan penilaian Ahmed Rashid dan kami telah mengeluarkan penolakan atas banyak klaim yang ia buat di dalam bukunya. Buku tersebut mengandung banyak sekali ketidakakuratan faktual perihal Hizbut Tahrir dan jelas sekali dia tidak melakukan penelitian yang laik untuk menulis topik tersebut. Meskipun partai telah dengan jelas mengemukakan pandangannya dalam literatur resmi dan meskipun partai memiliki juru bicara di seluruh dunia, Ahmed Rashid malah memilih untuk mengandalkan sumber-sumber ‘anonim’ yang kredibilitasnya sangat dipertanyakan.
Argumen bahwa kami akan terprovokasi menjadi kelompok militan dengan adanya penindasan atas para anggota kami jelas bertentangan dengan sejarah partai. Sejak didirikan pada 1953, para anggota partai sudah pernah mengalami penyiksaan, penganiayaan dan pembunuhan oleh beragam rezim di Dunia Islam, termasuk di antaranya Yordania, Suriah, Mesir, Turki, Tunisia, Arab Saudi, Libia, Sudan, Irak, Kyrgyzstan, Tajikistan dan Uzbekistan. Meskipun selama beberapa dekade mengalami provokasi yang intensif dan tindakan represif dari para penguasa di Dunia Islam, partai tetap teguh pada metodologi tanpa kekerasan yang dijalani.
Apakah Hizbut Tahrir anti-Semit?
Kami dengan tegas menolak tuduhan anti-Semit karena Islam adalah sebuah risalah bagi seluruh umat manusia. Akan tetapi, pada saat yang sama kami juga secara tegas menolak Zionisme yang terejawantahkan dalam bentuk negara Israel. Dan Hizbut Tahrir, seperti halnya mayoritas organisasi Muslim lainnya, menentang keras pendudukan berkelanjutan atas Palestina oleh Israel.
Negara Israel didirikan di atas wilayah yang dirampasnya secara paksa, setelah mereka mengusir penduduk di sana, baik yang Muslim maupun yang Kristen. Ini merupakan bentuk ketidakadilan, yang dari sudut pandang Islam tidak akan pernah kami terima, tanpa memandang ras pelakunya. Di Palestina, Islam terlibat konflik dengan Israel – bukan dalam kapasitas mereka sebagai Yahudi yang secara historis pernah hidup berdampingan dengan kaum Muslim dalam damai dan tentram selama berabad-abad – tapi dalam kapasitas mereka sebagai penjajah dan agresor.
Sejarah menjadi saksi bahwa dulu kaum Yahudi dan Muslim hidup bersama di bawah naungan Islam selama hampir tiga belas abad. Selama periode itu kaum Yahudi memiliki standar hidup yang sama tingginya dengan kaum Muslim. Mereka menikmati hak-hak, kesejahteraan, kebahagiaan, ketentraman dan keamanan yang sama.
Apa pandangan Anda tentang demokrasi?
Sistem pemerintahan Islam, Khilafah, membolehkan dan mendorong pertanggungjawaban penguasa dan memiliki aturan tersendiri ihwal pemilihan dan konsultasi. Islam tidak menerima kebijakan negara dipengaruhi atau diarahkan oleh elit pengusaha. Islam mewajibkan warga negara Khilafah untuk terlibat dalam aktivitas politik dan mengawasi jalannya pemerintahan.
Demokrasi dalam negara kapitalis ialah sistem pemerintahan yang berbeda dengan sistem pemerintahan Islam. Ini karena Islam dan Kapitalisme dibangun di atas filosofi dasar yang sangat berbeda. Bila sistem kapitalis menyematkan kedaulatan untuk membuat hukum pada manusia, sistem Islam memandang bahwa kedaulatan hukum ada di tangan Sang Pencipta. Karena alasan inilah, demokrasi tidak sesuai dengan sistem Islam.
Demokrasi adalah sistem yang rusak, yang dikendalikan oleh korporasi-korporasi besar dan tidak peduli pada kepentingan rakyat. Jumlah para pemilih (voter) di Barat selama ini begitu rendah dan orang-orang harus turun ke jalan untuk menyuarakan rasa frustrasi mereka. Meskipun setiap orang punya ‘kebebasan’ untuk mengkritik dan menentang para politisi mereka di Barat, realitas menunjukkan bahwa siapapun politisi yang terpilih, mereka berasal dari elit ekonomi dan mereka memerintah untuk kepentingan para elit ekonomi itu.
KHILAFAH
Apa itu Khilafah?
Khilafah merupakan sistem pemerintahan dalam Islam yang digali dari sumber hukum Islam. Khilafah bertanggungjawab atas penerapan sistem Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Khilafah memberlakukan aturan-aturan hukum pidana Islam dalam masalah peradilan, pemerintahan, ekonomi, sistem sosial, pendidikan, dan kebijakan luar negeri. Khilafah bertanggungjawab untuk menyampaikan dan mempropagandakan Islam ke seluruh dunia melalui kebijakan luar negerinya. Khilafah sangat berbeda dari model pemerintahan yang lain seperti demokrasi, teokrasi atau monarki.
Khilafah akan melakukan rekonsiliasi antara seluruh umat Islam dan akan menghapus segala bentuk kesukuan dan kebangsaan. Negara Khilafah bukan negara untuk faksi atau kelompok orang tertentu. Khilafah akan memandang seluruh warganegaranya, baik yang Muslim maupun yang non-Muslim, dengan pandangan yang sama. Khilafah akan menerapkan Islam sesuai dengan dalil-dalil terkuat dari sumber hukum Islam. Khilafah bukanlah negara untuk etnis atau ras tertentu. Setiap orang, apakah dia Arab atau non-Arab, putih atau hitam, memiliki kedudukan yang sama sebagai warganegara. Meskipun Khilafah adalah Negara Islam akan tetapi Khilafah tidak hanya mengurusi kaum Muslim, tetapi juga setiap orang yang menyandang status warganegara Negara Islam, baik dia Muslim ataupun non-Muslim. Saat mengurusi kepentingan warganegara yang non-Muslim, Negara Islam berkewajiban memperlakukan mereka sebagai warganegara dan bukan sebagai ‘etnis minoritas’.
Di mana Khilafah sekarang?
Saat ini Khilafah tidak eksis. Khilafah terakhir di Turki diruntuhkan oleh Mustafa Kemal setelah Perang Dunia I. Pada 24 Juli 1924, saat mengomentari keruntuhan Khilafah, Lord Curzon, menteri luar negeri Inggris saat itu, mengatakan kepada Majelis Rendah, ” … Turki (sebagai pusat Khilafah) telah mati dan tidak akan pernah bangkit kembali karena kita telah menghancurkan kekuatan moralnya, Khilafah dan Islam.”
Bagaimana dengan Arab Saudi, Iran, Pakistan dan Sudan?
Untuk bisa disebut sebagai Negara Islam, setiap pasal dalam konstitusi negara, setiap aturan dan perundang-undangan, harus berasal dari hukum Islam. Negara-negara yang Anda sebutkan itu sama sekali tidak memenuhi kriteria itu. Di negara-negara tersebut, hukum Islam hanya sekadar label sebagai sumber legislasi negara tersebut, dengan segala bentuk legislasi sekular dan adat istiadat yang ada, sementara konstitusi lebih condong pada sistem demokrasi, sosialisme, kapitalisme dan semacamnya. Semua itu adalah konsep-konsep yang tidak bersumber dari Islam dan berasal dari filosofi dasar yang sangat berbeda. Karena itu, tidak bisa diklaim bahwa setiap negara Muslim adalah representasi dari Islam dan sistem pemerintahan Islam, yakni Khilafah Islamiyah.
Siapa yang akan menjadi penguasa dalam sistem Khilafah dan apakah ia akan memiliki akuntabilitas?
Khalifah memimpin negara berdasarkan perintah Allah swt sebagaimana termaktub dalam al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw. Rakyat memilih dan menunjuk Khalifah. Sebagai warganegara Negara Islam, baik pria maupun wanita, Muslim ataupun non-Muslim, Anda bisa mendatangi Khalifah untuk alasan apapun, entah mendorongnya agar takut kepada Allah swt atau meminta hak-hak Anda dipenuhi. Rakyat wajib mengganti Khalifah jika ia menerapkan sistem selain Islam.
Bagaimana Khilafah memperlakukan non-Muslim?
Seorang ulama salaf, Imam Qarafi, mengatakan, “Menjadi tanggung jawab kaum Muslim terhadap orang-orang Zhimmi [warganegara yang non-Muslim] untuk memelihara mereka, memenuhi kebutuhan rakyat miskin, memberi makan orang-orang yang kelaparan, menyediakan pakaian, menyapa mereka dengan baik dan bahkan menoleransi kesalahan mereka meskipun datangnya dari seorang tetangga, dan meskipun kaum Muslim berada pada posisi tangan di atas [sebagai pemberi]. Kaum Muslim juga harus menasehati mereka dalam urusan mereka dan melindungi mereka dari siapapun yang berusaha menyakiti mereka atau keluarganya, mencuri harta mereka atau siapapun yang melanggar hak-hak mereka.”
Banyak non-Muslim yang pernah hidup dengan kaum Muslim di bawah naungan Islam selama hampir tiga belas abad. Selama periode itu orang-orang non-Muslim memiliki standar hidup yang sama. Mereka menikmati hak-hak, kesejahteraan, kebahagiaan, ketentraman dan keamanan yang sama.
Bagaimana posisi wanita dalam Khilafah?
Dalam sistem Khilafah, wanita memiliki peran aktif untuk membangun negara yang tidak hanya memiliki karakter moral yang unggul, tetapi juga secara ekonomi sejahtera dan maju secara teknologi. Khilafah wajib memberikan pendidikan gratis kepada anak laki-laki dan perempuan pada tingkat dasar dan menengah serta memberikan pendidikan gratis pada level pendidikan tinggi untuk bidang-bidang tertentu seperti sains dan kesehatan. Ini akan membuat wanita bisa menjalani profesi sebagai ahli kesehatan, insinyur, sains, arsitektur, akademisi dan semacamnya. Wanita diperbolehkan untuk berdagang, menginvestasikan harta, memiliki harta sendiri, menjalankan usaha dan menjadi pegawai atau atasan. Wanita bisa, misalnya, menduduki jabatan administratif dalam negara atau ditunjuk menjadi hakim, menyewa properti dan melakukan transaksi sosial lainnya. Selain itu, wanita akan menjalani peran vital sebagai istri dan ibu, menciptakan kehidupan keluarga yang tentram, merawat anak-anak dan keluarga dan membina generasi masa depan. Wanita memiliki peran politik yang aktif dan juga punya suara politik yang kuat dalam mengingatkan penguasa atas setiap bentuk ketidakadilan dan korupsi di masyarakat serta memelihara kepentingan komunitasnya.
Bagaimana interaksi pria dan wanita dalam sistem Khilafah?
Pria dan wanita berinteraksi dalam rangka memenuhi kebutuhan kehidupan publik mereka tapi tetap dalam koridor sistem sosial Islam yang mengatur hubungan antara pria dan wanita. Ini menciptakan lingkungan yang memfasilitasi kerja sama lintas jender dan membuat mereka bisa memenuhi hak dan kewajiban publik mereka tanpa mempengaruhi kondisi moral negara. Dengan begitu kehormatan dan kesucian setiap orang akan terlindungi dan aspek seksual dari hubungan pria dan wanita terbatas pada pernikahan. Misalnya, Islam telah menentukan pakaian publik khusus untuk wanita Muslimah serta mewajibkan mereka untuk menyembunyikan kecantikan mereka dari hadapan kaum pria yang bukan mahramnya dan Islam juga melarang pria dan wanita berkhalwat. Islam melarang hubungan yang bebas antara pria dan wanita yang tidak punya hubungan darah, serta segala bentuk perbuatan yang bisa menjurus pada perzinaan. Wanita memiliki kedudukan terhormat dalam sistem Khilafah dan karena itu tidak akan ada tindakan apapun yang diperbolehkan untuk mengkompromikan masalah ini.
Mengapa wanita tidak bisa menjadi penguasa dalam sistem Khilafah?
Konsep ini bersumber dari dalil-dalil Islam yang melarang wanita memegang jabatan kekuasaan. Orang-orang yang gagal mengkaji Islam secara mendalam mengklaim bahwa ini terjadi karena Islam memandang wanita secara fisik tidak mampu memangku jabatan tersebut dan karena itu mereka menganggap Islam mendiskriminasikan wanita. Islam tidak memberikan alasan spesifik tentang hal ini. Islam hanya melarang posisi-posisi tersebut untuk diemban oleh wanita.
Kekuasaan dalam Islam bukanlah posisi yang bergengsi, melainkan jabatan yang mengandung tanggung jawab. Dalam Islam, kedudukan sesorang tidak ditakar dari jabatan atau tanggung jawabnya, tetapi dari bagaimana ia memenuhi segala kewajibannya. Karena itu, seorang penguasa tidak otomatis lebih superior ketimbang seorang ibu. Masing-masing memiliki kewajiban yang harus dipenuhi untuk menjamin kemakmuran masyarakat.
Di dalam Khilafah, wanita boleh memilih penguasa. Secara historis, bahkan wanita turut hadir dalam delegasi pertama yang memberikan bai’at kepada Nabi Muhammad saw, menerimanya sebagai pemimpin pertama Negara Islam. Wanita boleh masuk ke dalam Majelis Ummah yang memberikan nasehat kepada penguasa dalam beragam urusan. Wanita wajib terlibat dalam kehidupan politik masyarakat Islam dan mengingatkan penguasa jika mereka melihat adanya korupsi atau ketidakadilan yang dilakukan oleh negara. Wanita juga bisa dipilih menjadi pejabat negara untuk posisi-posisi yang non-kekuasaan.
Akankah Khilafah menerima inovasi ilmiah dan teknologi?
Ketika Islam datang untuk pertama kalinya sebagai sistem kehidupan, Nabi Muhammad saw mengirim beberapa orang Muslim dalam misi khusus ke Syam (wilayah yang kini menjadi Suriah, Yordania, dan Palestina). Pada saat itu Syam tidak diperintah oleh sistem Islam dan justru dikuasai oleh negara adikuasa saat itu, Romawi, yang notabene Kristen. Orang-orang Romawi sangat terampil dalam teknologi militer dan telah mengembangkan dua alat pelontar (cikal bakal meriam). Kaum Muslim juga memperoleh teknologi parit dari negara adikuasa kedua saat itu, Persia, melalui Salman al-Farisi dan teknologi itu dimanfaatkan pada saat Perang Khandaq. Ini diperbolehkan dalam Islam karena kaum Muslim tidak mengambil sistem hidup dari Romawi dan Persia. Kaum Muslim tidak mengambil keyakinan, nilai dan sistem kehidupan Romawi dan Persia. Kaum Muslim hanya mengambil teknologi mereka, yang secara faktual tidak berasal dari keyakinan tertentu dan karena itu terbuka bagi seluruh umat manusia untuk menemukannya, dengan seizin Allah swt. Muhammad saw memberikan teladan bahwa mengadopsi teknologi adalah sesuatu yang diperbolehkan dalam Islam, tapi dengan catatan bahwa teknologi itu hanya boleh dimanfaatkan untuk sesuatu yang diperbolehkan menurut hukum Islam. Maka, pisau bedah boleh digunakan untuk menyembuhkan, tapi tidak untuk melakukan aborsi terhadap bayi yang tak berdosa. Televisi, internet dan DVD bisa dimanfaatkan untuk mempropagandakan kebenaran atau untuk tujuan-tujuan pendidikan, tetapi tidak boleh digunakan untuk mengeksploitasi wanita sebagai objek materi.
Apakah Khilafah sistem monarki?
Sistem monarki bukanlah sistem Islam dan Islam tidak memperbolehkannya, entah raja yang hanya menjadi simbol tapi tak berkuasa, seperti dalam kasus Inggris dan Spanyol, karena Khalifah bukanlah simbol. Khalifah adalah penguasa dan pelaksana hukum-hukum Allah swt yang bertindak untuk kepentingan umat; Demikian pula jika raja menjadi kepala negara dan penguasa sekaligus, seperti dalam kasus Arab Saudi dan Yordania. Ini karena Khalifah tidak mengenal sistem pewarisan kekuasaan seperti yang terjadi dalam sistem monarki. Khalifah dipilih dan diberi bai’at. Islam tidak memperkenankan sistem pewarisan. Khalifah tidak memiliki hak-hak istimewa dibandingkan warganegara yang lain dan Khalifah tidak berkedudukan di atas hukum seperti halnya raja yang kebal hukum. Khalifah tunduk pada hukum Allah swt dan bisa dimintai pertanggungjawaban atas segala tindakan yang dilakukannya.
Apakah Khilafah sistem yang imperialis?
Wilayah-wilayah yang diperintah oleh Islam – meskipun terdiri atas beragam ras dan terhubung ke satu tempat yang menjadi sentralnya – tidak diperintah berdasarkan sistem imperialis, tetapi oleh sistem yang sangat bertentangan dengan sistem imperialis. Sistem imperialis tidak memperlakukan kelompok-kelompok ras secara setara, tetapi memberikan hak istimewa dalam pemerintahan, keuangan dan ekonomi kepada ras tertentu.
Sistem pemerintahan Islam memberikan kesetaraan antara rakyat di seluruh wilayah negara. Setiap non-Muslim yang menjadi warganegara memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warganegara yang Muslim. Mereka memperoleh keadilan yang sama dan mereka juga tunduk pada hukum yang sama. Selain itu, setiap warganegara, tanpa memandang keyakinannya, memiliki hak-hak yang bahkan tidak dimiliki oleh seorang Muslim di luar negeri yang tidak memiliki status warganegara. Dengan konsep kesetaraan seperti ini, sistem Islam sangat berbeda dengan sistem imperial. Sistem Islam tidak membeda-bedakan wilayahnya menjadi wilayah koloni, wilayah eksploitasi, atau wilayah sumber kekayaan yang diperas untuk kepentingan pusat. Khilafah memandang semua wilayah secara adil, tidak peduli betapa jauh jarak wilayah itu, dan tidak jadi soal betapa berbedanya ras di sana. Khilafah menganggap setiap jengkal wilayah sebagai bagian integral dari negara dan warganegara di setiap wilayah itu memiliki hak yang sama dengan warganegara yang ada di wilayah pusat kekuasaan. Khilafah juga menjadikan otoritas kekuasaan, sistem dan perundang-undangannya berlaku sama di seluruh wilayah.
sumber: http://konsultasi.wordpress.com/2008/04/15/tanya-jawab-seputar-hizbut-tahrir-part-1-2/
118
Hukum dan Dunia Politik / Pandangan Barat tentang tegaknya kembali Khilafah
« pada: 10 Mei 2009, 18:20:29 » 1.Peradaban dan Ideologi Islam disebut-sebut Perdana Menteri Inggris, Tony Blair, di hadapan Kongres Partai Buruh sebagai Ideologi Iblis. Perdana Menteri Toni Blair: "Islam merupakan Ideologi 'Iblis/jahat' [evil ideologi] dengan ciri:
1. Ingin mengeliminasi Israel
2. Menjadikan Syariat Islam sebagai sumber hukum
3. Menegakkan Khilafah
4. Bertentangan dengan nilai-nilai liberal.
[BBC News, 16 Juli 2005].
2.Direktur The International Security and Energy Program Nixon Center yaitu Zeyno Baran, mengatakan:
"Hingga beberapa tahun yang lalu, sebagian besar kelompok Islam menganggap upaya penegakkan Khilafah yang baru adalah tujuan yang utopis. Sekarang semakin banyak orang yang mempertimbangkan pendirian kembali Khilafah sebagai tujuan yang serius".
3.News BBC memberitakan:
"In Solving all the problems of the current world today, muslim in muslim countries agree to reestablish/restore Islamic State [Daulah Khilafah Islam] Dalam menyelesaikan semua permasalahan yang dialami oleh dunia sekarang, kaum muslim di negeri-negeri muslim setuju untuk menegakkan kembali Negara Islam [Daulah Khilafah Islam]".
[BBC News, 25/4/2007].
4.Charles Hill, Kepala Staff Departemen Luar Negeri di Era pemerintahan AS Reagen, menyuarakan:
"Negara-negara di kawasan itu [Timur Tengah] 'terancam bahaya' oleh tata pemerintahan ['bad' governance] yang 'buruk' dan Ideologi Islam yang akan menghapuskan negara-negara dan membangun kembali Khilafah".
5.Dalam pidatonya di Herritage Foundation tanggal 6 Oktober 2005, Menteri Dalam Negeri Inggris Charles Clarke mengatakan:
"Tidak [mungkin] ada tawar menawar [kompromi] tentang perjuangan Pendirian kembali Khilafah dan tidak ada ruang diskusi tentang penerapan hukum-hukum Syariat Islam…"
6.Bukan hanya itu, bahkan Perdana Menteri Inggris, ketika memberikan sambutan pada Kongres Tahunan Partai Buruh, tanggal 16/7/2005 M, seputar Ledakan London, tanggal 7/7/2005 M, telah menjadikan Khilafah sebagai pusat perhatian, dan bukannya Ledakan itu sendiri. Dia sampai mengatakan:
"Kita akan memerangi gerakan yang berusaha melenyapkan negara Israel, mengeluarkan Barat dari Dunia Islam, dan mendirikan satu Negara Khilafah Islam, yang akan menerapkan Syariat Islam di dunia Islam dengan cara mendirikan Khilafah untuk seluruh umat Islam".
7.David Brooks menulis di New York Times:
"Di atas segalanya, kita perlu melihat bahwa realitas sudah berubah. Di masa lalu, kita memerangi gerakan ideologis yang mengendalikan negara. Kebijakan luar negeri kita diarahkan pada hubungan dengan negara-negara itu, bernegosiasi dengan negara, berkonfrontasi dengan negara. Kini kita dihadapkan pada suatu sistem keyakinan yang bertentangan dengan sistem negara dan kembalinya Khilafah. Kita akan membutuhkan seperangkat institusi baru untuk menghadapi realitas baru ini, dan pelatihan baru untuk memahami orang-orang yang tidak tertarik dengan kepentingan nasional, menurut pengertian tradisional. Pekan lalu Saya bertemu dengan seorang pejabat militer yang bertugas di Afganistan dan Irak, yang observasinya pas sekali dengan ketua komisi 911. Ia mengatakan bahwa apa yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini sudah salah arah, mulai sekarang hanya 10% dari upaya kita yang bersifat militer, sisanya ideologis. Ia mengamati bahwa kita berada dalam perang melawan 'ekstrimisme Islam, seperti kita pernah berperang melawan komunisme di tahun 1880.
8.Dalam pidatonya kepada publik di sebuah diskusi di Virginia 28 Oktober 2005, Presiden Amerika Serikat George Walker Bush, menegaskan:
"Para pejuang militan itu meyakini bahwa kalau mereka menguasai satu negeri, mereka akan memimpin seluruh bangsa Islam dan akan mengakibatkan kaum Militan mampu mendongkel kekuasaan seluruh pemerintahan moderat di kawasan tersebut dan tak lama kemudian mereka akan mendirikan Imperium Islam radikal yang terbentang dari Spanyol hingga Indonesia".
9.Pada Konferensi Keamanan ke 42 yang berlangsung di Munich, menteri pertahanan Amerika Serikat, Donald Rumsfeld menjelaskan:
"Mereka mencoba mengambilalih pemerintahan dari Afrika Utara hingga ke Asia Tenggara dan menegakkan kembali Khilafah yang mereka inginkan dan hal ini pada suatu hari nanti akan meliputi setiap benua" ujarnya "Mereka telah membuat dan menyebarkan peta yang menghapuskan batas-batas negara dan menggantinya dengan suatu imperium dunia". [Sunday Times, 6/02/2006].
10.Pernyataan yang sama dilontarkan oleh Tony Blair saat merespon pemboman di London. Kala itu Blair menyatakan dengan emosi:
"Mereka memiliki jaringan di setiap negara dan ribuan kawan yang terus bepergian. Mereka memiliki support dana yang baik. Lihatlah website mereka. Mereka memiliki propaganda yang canggih. Mereka merekrut siapapun dengan cara apapun dengan mudah. Mereka memiliki tuntutan…. ini disebabkan ideologi agama mereka… Mereka melakukan apa yang diperintahkan Tuhan mereka, mereka akan mendapat surga. Mereka menuntut pembubaran Israel, penarikan Barat dari negeri-negeri Islam, 'mengabaikan' harapan masyarakat dan pemerintah, mendirikan 'negara Taliban' dan hukum Syariah di Dunia Arab menuju Satu Kekhilafahan untuk semua kaum Muslim."
11.Wakil Presiden Amerika Serikat di bulan Februari 2007 dalam kunjungan ke Australia pasca Konferensei Internasional Khilafah Islamiyyah di Australia pada bulan yang sama mengatakan:
"Tegaknya Khilafah sudah tidak bias dibendung lagi".
12.Menteri Pertahanan Amerika Serikat Donald Rumsfle pun pernah mengatakan:
"Jika tentara Amerika Serikat keluar dari Irak segera, Irak akan menjadi surga bagi militan dan menjadi basis penyebaran Negara Adidaya Islam yang akan 'mengancam' dunia… Irak akan menjadi basis Negara Khilafah yang baru, yang akan meluas ke Timur Tengah". [Washingtonpost.com, 5/12/2005].
13.Dalam kesempatan yang lain, tanggal 5 Desember 2005, Menteri Pertahanan AS Donald Rumsfeld dalam komentarnya tentang masa depan Irak di Universitas John Hopkins, juga menyatakan:
"Irak akan menjadi pondasi Khilafah Islam yang baru yang akan membentang ke seluruh Timur Tengah dan akan mengancam pemerintahan yang sah di Eropa, Afrika dan Asia. Inilah rancangan mereka. Mereka [gerakan Islam fundamentalis] telah menyatakan hal itu. Kita akan melakukan kesalahan mengerikan jika kita gagal mendengar dan belajar".
14.Desember 2004 lalu, National Intelelligence Council's [NIC] merilis sebuah laporan yang berjudul "Mapping Global Future". Dalam laporan ini diprediksi empat skenario dunia tahun 2020, diantaranya:
A New Chaliphate: Berdirinya kembali Khilafah Islam, sebuah pemerintahan Islam global yang mampu memberikan tantangan pada norma-norma dan nilai-nilai global Barat.
15.Dan akhirnya, Pusat Studi Kerajaan Belanda di awal tahun 2007 merekomendasikan kepada Kerajaan Belanda:
Tegaknya Khilafah adalah sebuah keniscayaan. Kerajaan Belanda harus menerima kenyataan bahwa Khilafah akan segera tegak kembali & Kerajaan Belanda harus mulai menyusun kebijakan-kebijakan yang akan diambil ketika Khilafah tegak nanti.
Wallahu A'lam bish-Showwab.
1. Ingin mengeliminasi Israel
2. Menjadikan Syariat Islam sebagai sumber hukum
3. Menegakkan Khilafah
4. Bertentangan dengan nilai-nilai liberal.
[BBC News, 16 Juli 2005].
2.Direktur The International Security and Energy Program Nixon Center yaitu Zeyno Baran, mengatakan:
"Hingga beberapa tahun yang lalu, sebagian besar kelompok Islam menganggap upaya penegakkan Khilafah yang baru adalah tujuan yang utopis. Sekarang semakin banyak orang yang mempertimbangkan pendirian kembali Khilafah sebagai tujuan yang serius".
3.News BBC memberitakan:
"In Solving all the problems of the current world today, muslim in muslim countries agree to reestablish/restore Islamic State [Daulah Khilafah Islam] Dalam menyelesaikan semua permasalahan yang dialami oleh dunia sekarang, kaum muslim di negeri-negeri muslim setuju untuk menegakkan kembali Negara Islam [Daulah Khilafah Islam]".
[BBC News, 25/4/2007].
4.Charles Hill, Kepala Staff Departemen Luar Negeri di Era pemerintahan AS Reagen, menyuarakan:
"Negara-negara di kawasan itu [Timur Tengah] 'terancam bahaya' oleh tata pemerintahan ['bad' governance] yang 'buruk' dan Ideologi Islam yang akan menghapuskan negara-negara dan membangun kembali Khilafah".
5.Dalam pidatonya di Herritage Foundation tanggal 6 Oktober 2005, Menteri Dalam Negeri Inggris Charles Clarke mengatakan:
"Tidak [mungkin] ada tawar menawar [kompromi] tentang perjuangan Pendirian kembali Khilafah dan tidak ada ruang diskusi tentang penerapan hukum-hukum Syariat Islam…"
6.Bukan hanya itu, bahkan Perdana Menteri Inggris, ketika memberikan sambutan pada Kongres Tahunan Partai Buruh, tanggal 16/7/2005 M, seputar Ledakan London, tanggal 7/7/2005 M, telah menjadikan Khilafah sebagai pusat perhatian, dan bukannya Ledakan itu sendiri. Dia sampai mengatakan:
"Kita akan memerangi gerakan yang berusaha melenyapkan negara Israel, mengeluarkan Barat dari Dunia Islam, dan mendirikan satu Negara Khilafah Islam, yang akan menerapkan Syariat Islam di dunia Islam dengan cara mendirikan Khilafah untuk seluruh umat Islam".
7.David Brooks menulis di New York Times:
"Di atas segalanya, kita perlu melihat bahwa realitas sudah berubah. Di masa lalu, kita memerangi gerakan ideologis yang mengendalikan negara. Kebijakan luar negeri kita diarahkan pada hubungan dengan negara-negara itu, bernegosiasi dengan negara, berkonfrontasi dengan negara. Kini kita dihadapkan pada suatu sistem keyakinan yang bertentangan dengan sistem negara dan kembalinya Khilafah. Kita akan membutuhkan seperangkat institusi baru untuk menghadapi realitas baru ini, dan pelatihan baru untuk memahami orang-orang yang tidak tertarik dengan kepentingan nasional, menurut pengertian tradisional. Pekan lalu Saya bertemu dengan seorang pejabat militer yang bertugas di Afganistan dan Irak, yang observasinya pas sekali dengan ketua komisi 911. Ia mengatakan bahwa apa yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini sudah salah arah, mulai sekarang hanya 10% dari upaya kita yang bersifat militer, sisanya ideologis. Ia mengamati bahwa kita berada dalam perang melawan 'ekstrimisme Islam, seperti kita pernah berperang melawan komunisme di tahun 1880.
8.Dalam pidatonya kepada publik di sebuah diskusi di Virginia 28 Oktober 2005, Presiden Amerika Serikat George Walker Bush, menegaskan:
"Para pejuang militan itu meyakini bahwa kalau mereka menguasai satu negeri, mereka akan memimpin seluruh bangsa Islam dan akan mengakibatkan kaum Militan mampu mendongkel kekuasaan seluruh pemerintahan moderat di kawasan tersebut dan tak lama kemudian mereka akan mendirikan Imperium Islam radikal yang terbentang dari Spanyol hingga Indonesia".
9.Pada Konferensi Keamanan ke 42 yang berlangsung di Munich, menteri pertahanan Amerika Serikat, Donald Rumsfeld menjelaskan:
"Mereka mencoba mengambilalih pemerintahan dari Afrika Utara hingga ke Asia Tenggara dan menegakkan kembali Khilafah yang mereka inginkan dan hal ini pada suatu hari nanti akan meliputi setiap benua" ujarnya "Mereka telah membuat dan menyebarkan peta yang menghapuskan batas-batas negara dan menggantinya dengan suatu imperium dunia". [Sunday Times, 6/02/2006].
10.Pernyataan yang sama dilontarkan oleh Tony Blair saat merespon pemboman di London. Kala itu Blair menyatakan dengan emosi:
"Mereka memiliki jaringan di setiap negara dan ribuan kawan yang terus bepergian. Mereka memiliki support dana yang baik. Lihatlah website mereka. Mereka memiliki propaganda yang canggih. Mereka merekrut siapapun dengan cara apapun dengan mudah. Mereka memiliki tuntutan…. ini disebabkan ideologi agama mereka… Mereka melakukan apa yang diperintahkan Tuhan mereka, mereka akan mendapat surga. Mereka menuntut pembubaran Israel, penarikan Barat dari negeri-negeri Islam, 'mengabaikan' harapan masyarakat dan pemerintah, mendirikan 'negara Taliban' dan hukum Syariah di Dunia Arab menuju Satu Kekhilafahan untuk semua kaum Muslim."
11.Wakil Presiden Amerika Serikat di bulan Februari 2007 dalam kunjungan ke Australia pasca Konferensei Internasional Khilafah Islamiyyah di Australia pada bulan yang sama mengatakan:
"Tegaknya Khilafah sudah tidak bias dibendung lagi".
12.Menteri Pertahanan Amerika Serikat Donald Rumsfle pun pernah mengatakan:
"Jika tentara Amerika Serikat keluar dari Irak segera, Irak akan menjadi surga bagi militan dan menjadi basis penyebaran Negara Adidaya Islam yang akan 'mengancam' dunia… Irak akan menjadi basis Negara Khilafah yang baru, yang akan meluas ke Timur Tengah". [Washingtonpost.com, 5/12/2005].
13.Dalam kesempatan yang lain, tanggal 5 Desember 2005, Menteri Pertahanan AS Donald Rumsfeld dalam komentarnya tentang masa depan Irak di Universitas John Hopkins, juga menyatakan:
"Irak akan menjadi pondasi Khilafah Islam yang baru yang akan membentang ke seluruh Timur Tengah dan akan mengancam pemerintahan yang sah di Eropa, Afrika dan Asia. Inilah rancangan mereka. Mereka [gerakan Islam fundamentalis] telah menyatakan hal itu. Kita akan melakukan kesalahan mengerikan jika kita gagal mendengar dan belajar".
14.Desember 2004 lalu, National Intelelligence Council's [NIC] merilis sebuah laporan yang berjudul "Mapping Global Future". Dalam laporan ini diprediksi empat skenario dunia tahun 2020, diantaranya:
A New Chaliphate: Berdirinya kembali Khilafah Islam, sebuah pemerintahan Islam global yang mampu memberikan tantangan pada norma-norma dan nilai-nilai global Barat.
15.Dan akhirnya, Pusat Studi Kerajaan Belanda di awal tahun 2007 merekomendasikan kepada Kerajaan Belanda:
Tegaknya Khilafah adalah sebuah keniscayaan. Kerajaan Belanda harus menerima kenyataan bahwa Khilafah akan segera tegak kembali & Kerajaan Belanda harus mulai menyusun kebijakan-kebijakan yang akan diambil ketika Khilafah tegak nanti.
Wallahu A'lam bish-Showwab.
119
Hukum dan Dunia Politik / Re:Mengapa kita "menerima" Demokrasi ?
« pada: 09 Mei 2009, 20:09:33 »“Dari Sa’id bin Jamhan, ia berkata: Telah menghabarkan kepadaku Safinah, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah SAW,: Khilafah pada umatku tiga puluh tahun, kemudian kerajaan sesudah itu. Lalu berkata kepadaku Safinah: Peganglah kekhalifahan Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Usman. Dan berkata kepadaku Safinah: Peganglah kekhalifahan ‘Ali. Berkata Safinah: Maka kami dapatkan Khilafah itu tiga puluh tahun. Berkata Sa’id: Maka saya berkata kepada Safinah: Sesungguhnya Bani ‘Umayyah mengaku Khalifah itu ada pada mereka. Safinah berkata: Berdusta Bani Az-Zarqai, bahkan mereka itu raja dari sejelek-jelek raja”. (HR. At- Tirmidzi )Rasulullah saw bersabda [hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi]:
Dalam sebuah Arsar dari ‘Abdurrahman bin Abi Bakrah disebutkan, Mu’awiyyah berkata pada Abi Bakrah: “Apakah kamu mengatakan kami raja? Maka kami sungguh ridha dengan Raja”. (Musnad Ahmad, Jilid V:50).
wallahua'lam,
wassalam,
Haekal
Posting Digabung: [time]Sat May 9 10:43:44 2009[/time]
«الْخِلاَفَةُ ثَلاَثُونَ عَامًا ثُمَّ يَكُوْنُ بَعْدَ ذَلِكَ الْمُلْكُ»
Khilafah itu tiga puluh tahun, kemudian setelah itu terdapat al-mulk. (HR Ahmad).
«خِلاَفَةُ النُّبُوَّةِ ثَلاَثُوْنَ عَامًا ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكٌ»
Khilafah Nubuwwah itu tiga puluh tahun, kemudian setelah itu terdapat mulk. (HR al-Hakim).
«خِلاَفَةُ النُّبُوَّةِ ثَلاَثُوْنَ سَنَةً ثُمَّ يُؤْتِي اللهُ الْمُلْكَ أَوْ مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ»
Khilafah Nubuwwah itu tiga puluh tahun, kemudian Allah memberikan kekuasaan atau kekuasaan-Nya kepada orang yang Dia kehendaki. (HR Abu Dawud).
wallahu'alam,
wassalam,
Haekal
"Khilafah di tengah kaumku setelah aku akan berlangsung selama 30 tahun. Kemudian akan ada Mulkan Aduudan (Penguasa Monarki) setelahnya".
[Narasi yang sama dapat ditemukan dalam Sunan Abu Dawud (2/264) dan Musnad Ahmad (1/169)]
Menurut tafsiran jumhur ulama, hadits ini tidak berarti bahwa Negara Khilafah langsung lenyap setelah tiga puluh tahun, karena hal itu berarti bertentangan dengan nash lainnya.
Jabir bin Samurah ra meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda:
"Islam akan tetap ada hingga Hari Akhir terjadi, atau saat kalian telah diperintah oleh dua belas Khalifah, mereka semua dari golongan Quraisy". [Shahih Muslim].
Hadits ini mengindikasikan bahwa umat tidak akan hanya memiliki empat atau lima Khalifah, ini berarti Khilafah tidak hanya akan berlangsung selama tiga puluh tahun. Sehubungan dengan hadits ini, Imam Qadhi Iyad [wafat 544 H.] berkata:
"…Dijelaskan dalam hadits lainnya, 'Khilafah setelahku akan berlangsung selama tiga puluh tahun, kemudian akan ada penguasa monarki' Hadits ini tentu bertentangan dengan hadits yang menyebut ada dua belas Khalifah, karena dalam masa tiga puluh tahun hanya ada Khulafaur Rasyidin dan beberapa bulan saat bai'at diberikan kepada Hasan bin Ali. Jawabannya ialah: Apa yang dimaksud dengan 'Khilafah akan berlangsung selama tigapuluh tahun' adalah Khilafah Nubuwwah (Khilafah yang berlandaskan kenabian…)" [Sebagaimana dikutip oleh Imam an-Nawawi [wafat 676 H.] dalam Syarah Shahih Muslim, 1821]
Sementara dalam hal rujukan pada dua belas Khalifah yang dimaksud, tidak berarti bahwa Khalifah hanya terbatas pada dua belas orang, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Qadhi Iyad:
"Mungkin apa yang dimaksud dengan dua belas Khalifah dalam hadits ini dan hadits lain yang sejenis ialah bahwa mereka adalah para Khalifah pada masa terkuat Khilafah, Kekuasaan Islam, saat segala urusan dijalankan dengan benar dan rakyat bersatu di bawah mereka yang menduduki jabatan Khalifah." [Tarikh al-Khulafa, karya Imam as-Suyuthi [wafat 911 H.], p.14].
Ibnu Hajar [wafat 852 H.] dalam syarah al-Bukhari berkata:
"Apa yang dikatakan oleh Qadhi Iyad merupakan pendapat terbaik diantara pendapat lain yang mengomentari hadits yang sama. Saya kira inilah pendapat terkuat karena didukung oleh sabda Nabi saw melalui sanad yang jelas: 'Dan umat akan bersatu di bawah mereka…' [Fathul Baari].
120
Hukum dan Dunia Politik / Re:Demokrasi itu Hipokrat (kecuali calon dari kita)
« pada: 05 Mei 2009, 16:32:49 » @tuing-tuing
memang benar yang saya katakan di thread sebelah kisah nabi yusuf a.s. adalah sebuah syariat yang menjelaskan aspek aqidah [dan antum pun tidak bisa membantah tentang hal ini, sampai-sampai antum meminta diskusi dihentikan. saya mau saja melanjutkan diskusinya, tapi yah akan menyebabkan antum makin tersudut dan semakin emosional. saya minta nash syariat [al-Qur'an dan Hadis] tentang raja najasyi pun antum tidak bisa memberikan-nya pada saya]
yah, afwan saya sedikit kecewa, jika lawan diskusi tidak mempersiapkan diri dengan pemahaman yang baik, ketika berdiskusi. bukan bermaksud "meninggi", atau apapun namanya-lah, sebab yang terjadi hanya diskusi yang "emosional', dan kurang sopan santun [terus terang saya juga terbawa emosional]
memang agak susah, diskusi via dunia maya [online], kita tidak tahu karakter lawan diskusi, apakah bertipe seperti ini dan itu, malah bisa-bisa bukan kebenaran yang didapatkan, malah menjadi diskusi yang "tidak konstruktif", dan menambah permusuhan yang sejatinya tidak perlu ada, diantara sesama saudara seakidah.
[memang diskusi yang efektif via tatap muka kali yah]
afwan, jika ada kata yang sekiranya menyinggung.
memang benar yang saya katakan di thread sebelah kisah nabi yusuf a.s. adalah sebuah syariat yang menjelaskan aspek aqidah [dan antum pun tidak bisa membantah tentang hal ini, sampai-sampai antum meminta diskusi dihentikan. saya mau saja melanjutkan diskusinya, tapi yah akan menyebabkan antum makin tersudut dan semakin emosional. saya minta nash syariat [al-Qur'an dan Hadis] tentang raja najasyi pun antum tidak bisa memberikan-nya pada saya]
yah, afwan saya sedikit kecewa, jika lawan diskusi tidak mempersiapkan diri dengan pemahaman yang baik, ketika berdiskusi. bukan bermaksud "meninggi", atau apapun namanya-lah, sebab yang terjadi hanya diskusi yang "emosional', dan kurang sopan santun [terus terang saya juga terbawa emosional]
memang agak susah, diskusi via dunia maya [online], kita tidak tahu karakter lawan diskusi, apakah bertipe seperti ini dan itu, malah bisa-bisa bukan kebenaran yang didapatkan, malah menjadi diskusi yang "tidak konstruktif", dan menambah permusuhan yang sejatinya tidak perlu ada, diantara sesama saudara seakidah.
[memang diskusi yang efektif via tatap muka kali yah]
afwan, jika ada kata yang sekiranya menyinggung.
121
Hukum dan Dunia Politik / Re:Demokrasi itu Hipokrat (kecuali calon dari kita)
« pada: 05 Mei 2009, 16:10:41 »blm pernah tuh diskusi ttg sejarah HT..wah @abie masih ada di hukpol, katanya udah ngga mau diskusi disini lagi.
dah dijawab aj antrian pertanyaan ntuh! jgn demen ngutang njawab,utang ente njawab blm dbayar semua! giliran nanya aj,minta cepet ..
tapi ngga apa-apalah kalau ngga ada antum ngga rame [mirip iklan apa nih?]
padahal sudah dijelaskan dahulu, oleh akhi @aeonia, yah kalau belum tahu, akan saya beritahu.
memang benar, pernah ada syabab [anggota HT] yang mencalonkan diri di parlemen, apakah hal ini haram atau mubah? [silahkan antum jawab?]
kenapa masuk parlemen?
wakalah dalam konteks pengawasan, koreksi dan kontrol terhadap pemerintah dibolehkan, selama tujuannya adalah untuk amar makruf dan nahi mungkar (menegakkan kemakrufan dan mencegah kemunkaran). Wakalah dalam konteks ini merupakan wakalah untuk melaksanakan perkara yang dibenarkan oleh syariat Islam. Maka, pencalonan anggota legislatif dalam rangka melaksanakan fungsi pengawasan tadi dibolehkan sepanjang memenuhi syarat-syarat syar’iy. Bukan dibolehkan secara mutlak. Syarat-syarat tersebut adalah:
1. Harus menjadi calon dari partai Islam, bukan dari partai sekular. Dan dalam proses pemilihan tidak menempuh cara-cara haram seperti penipuan, pemalsuan dan penyuapan, serta tidak bersekutu dengan orang-orang sekular.
2. Harus menyuarakan secara terbuka tujuan dari pencalonan itu, yaitu untuk menegakkan sistem Islam, mengubah sistem sekular menjadi sistem Islam, melawan dominasi asing dan membebaskan negeri ini dari pengaruh asing. Dengan kata lain, calon wakil rakyat itu menjadikan parlemen sebagai mimbar (sarana) dakwah Islam, yakni menegakkan sistem Islam, menghentikan sistem sekular dan mengoreksi penguasa.
3. Dalam kampanyenya harus menyampaikan ide-ide dan program-program yang bersumber dari ajaran Islam.
4. Harus konsisten melaksanakan poin-poin di atas
122
Hukum dan Dunia Politik / Re:Seperti apa sistem Islam menurut syariat?
« pada: 05 Mei 2009, 15:41:35 »Mau nanya nih ke syabab HTI.Ketika syara’ mewajibkan umat Islam untuk mengangkat seorang Khalifah, syara’ juga telah menentukan metode yang harus dilaksanakan untuk mengangkat Khalifah. Metode ini ditetapkan dengan al-Kitab, as-Sunah dan Ijmak Sahabat. Metode itu adalah baiat. Maka pengangkatan Khalifah itu dilakukan dengan baiat kaum muslim kepadanya untuk (memerintah) berdasarkan Kitabullah dan Sunah Rasulullah. Yang dimaksud kaum muslim disini adalah kaum muslim yang menjadi rakyat Khalifah sebelumnya jika Khalifah sebelumnya itu ada. Atau kaum muslim penduduk suatu wilayah yang disitu diangkat seorang Khalifah, jiak sebelumnya tidak ada Khalifah.
Proses pengangkatan khulafaur rasyidin kan berbeda-beda ya... Ada yang tau gak yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah itu yang mana? Atau yang sesuai menurut HTI itu yang mana?
Kedudukan baiat sebagai metode pengangkatan Khalifah telah ditetapkan dari baiat kaum muslim kepada Rasulullah saaw dan dari perintah beliau kepada kita untuk membaiat seorang imam. Baiat kaum muslim kepada Rasul saw, sesungguhnya bukanlah bait atas kenabian, melainkan baiat atas pemerintahan. Karena baiat itu adalah baiat atas amal dan bukan baiat untuk mempercayai kenabian. Beliau dibaiat tidak lain dalam kapasitas sebagai penguasa, bukan dalam kapasitas sebagai nabi dan rasul. Sebab pengakuan atas kenabian dan kerasulan adalah masalah iman, bukan baiat. Maka baiat kepada Beliau itu tidak lain adalah baiat dalam kapasitas beliau sebagai kepala negara.
Masalah baiat itu telah tercantum dalam al-Quran dan hadits. Allah Swt telah berfirman :
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا جَاءَكَ الْمُؤْمِنَاتُ يُبَايِعْنَكَ عَلَى أَنْ لاَ يُشْرِكْنَ بِاللهِ شَيْئًا وَلَا يَسْرِقْنَ وَلاَ يَزْنِينَ وَلاَ يَقْتُلْنَ أَوْلاَدَهُنَّ وَلاَ يَأْتِينَ بِبُهْتَانٍ يَفْتَرِينَهُ بَيْنَ أَيْدِيهِنَّ وَأَرْجُلِهِنَّ وَلاَ يَعْصِينَكَ فِي مَعْرُوفٍ
Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatupun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik. (QS. Muhtahanah : 12)
إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللهَ يَدُ اللهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ
Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka. (QS. al-Fath : 10)
Imam Bukhari meriwayatkan : Ismail telah menyampaikan kepada kami, Malik telah menyampaikan kepadaku dari Yahya bin Sa’id, ia berkata : “Ubadah bin Walid telah memberitahuku, Bapakku telah memberitahuku dari Ubadah bin Shamit yang mengakatakan :
بَايَعْنَا رَسُولَ اللهِ r عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي الْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ اْلأَمْرَ أَهْلَهُ وَأَنْ نَقُومَ أَوْ نَقُولَ بِالْحَقِّ حَيْثُمَا كُنَّا لاَ نَخَافُ فِي اللهِ لَوْمَةَ لاَئِمٍ
Kami telah membaiat Rasulullah saw untuk senantiasa mendengar dan mentaatinya, baik dalam keadaan yang kami senangi maupun yang tidak kami senangi dan agar kami tidak akan merebut kekuasaan dari orang yang berhak dan agar kami senantiasa mengerjakan atau mengatakan yang haq di mana saja kami berada tidak takut karena Allah kepada celaan orang-orang yang suka mencela (HR. Bukhari)
Dalam riwayat Imam Muslim dari Abdullah bin Amr bin al-‘Ash bahwa Rasulullah saw pernah bersabda :
وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَ ثَمْرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ اِسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرٌ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوْا عُنُقَ اْلآخَرِ
Dan siapa saja yang telah membaiat seorang imam lalu ia telah memberikan genggaman tangannya dan buah hatinya, maka hendaklah ia mentaatinya sesuai dengan kemampuannya, dan jika datang orang lain yang hendak merebut kekuasaannya maka penggallah orang lain itu (HR. Muslim)
Juga di dalam Shahih Muslim, dari Abu Sa’id al-Khudzri yang mengatakan : Rasulullah saw pernah bersabda :
إِذَا بُوْيِعَ لِخَلِيْفَتَيْنِ فَاقْتُلُوْا اْلآخِرَ مِنْهُمَا
Jika dibaiat dua orang Khalifah, maka bunuhlah yang paling akhir dari keduanya (HR. Muslim)
Imam Muslim juga meriwayatkan dari Abiy Hazim yang berkata : “aku mengikuti mejelis Abu Hurairah selama lima tahun, dan aku mendengar ia menyampaikan hadits dari Nabi saw, Beliau pernah bersabda :
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ اْلأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُرُ، قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا؟ قَالَ: فُوْا بِبَيْعَةِ اْلأَوَّلِ فَاْلأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
Dahulu Bani Israel diurusi dan dipelihara oleh para nabi, setiap kali seorang nabi meninggal digantikan oleh nabi, dan sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku, dan akan ada para Khalifah, dan mereka banyak, para sahabat bertanya : “lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Nabi bersabda : “penuhilah baiat yang pertama dan yang pertama, berikanlah kepada mereka hak mereka, dan sesungguhnya Allah akan meminta pertanggung-jawaban mereka atas apa yang mereka diminta untuk mengatur dan memeliharanya (HR. Muslim)
Nas-nas al-Quran dan as-Sunah di atas secara jelas menunjukkan bahwa satu-satunya metode mengangkat Khalifah adalah baiat. Seluruh sahabat telah memahami hal itu dan bahkan mereka telah melaksanakannya. Baiat Khulafa’ur Rasyidin sangat jelas dalam masalah ini.
Posting Digabung: 05 Mei 2009, 15:44:26
Prosedur Praktis Pengangkatan dan Baiat Khalifah masa Khulafa’ur Rasyidin
Prosedur praktis untuk mencalonkan Khalifah sebelum di baiat boleh menggunakan bentuk yang berbeda-beda. Hal itu sebagaimana yang terjadi kepada Khulafa’ur Rasyidin yang datang pasca wafatnya Rasulullah secara langsung. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman dan ‘Ali –radhiyaLlâh ‘anhum–. Seluruh sahabat mendiamkan dan menyetujui tata cara itu. Padahal tata cara itu termasuk perkara yang harus diingkari seandainya bertentangan dengan syara’. Karena perkara tersebut berkaitan dengan perkara terpenting yang menjadi sandaran keutuhan insitusi kaum muslim dan kelestarian pemerintahan yang melaksanakan hukum Islam. Dari penelitian terhadap peristiwa yang terjadi dalam pengangkatan keempat Khalifah itu, kami mendapati bahwa sebagian kaum muslim telah berdiskusi di Saqifah Bani Sa’idah. Mereka yang dicalonkan adalah Sa’ad, Abu Ubaidah, Umar dan Abu Bakar. Hanya saja Umar bin Khaththab dan Abu Ubaidah tidak rela menjadi pesaing Abu Bakar. Maka seakan-akan perkaranya berada hanya diantara Abu Bakar dan Sa’ad bin Ubadah, bukan yang lain. Hasil diskusi itu adalah dibaiatnya Abu Bakar. Kemudian pada hari kedua, kaum muslim diundang ke Masjid Nabawi lalu mereka membaiat Abu Bakar di sana. Maka baiat di Saqifah adalah baiat in’iqad sehingga dengan itu Abu Bakar menjadi Khalifah kaum muslim. Dan baiat di Masjid pada hari kedua merupakan baiat taat.
Ketika Abu Bakar merasa bahwa sakitnya akan membawa maut, dan khususnya karena pasukan kaum muslim sedang berada di medan perang melawan negara besar kala itu, Persia dan Rumawi, Abu Bakar memanggil kaum muslim meminta pendapat mereka tentang siapa yang akan menjadi Khalifah kaum muslim sepeninggalnya. Proses musyarawah itu berlangsung selama tiga bulan. Ketika Abu Bakar telah selesai meminta pendapat kaum muslim itu dan ia akhirnya mengetahui pendapat mayoritas kaum muslim, maka Abu Bakar mewasiatkan Umar, yakni mencalonkan sesuai dengan bahasa kala itu, agar Umar menjadi Khalifah setelahnya. Wasiat atau pencalonan itu bukan merupakan akad pengangkatan Umar sebagai Khalifah setelah Abu Bakar. Karena setelah wafatnya Abu Bakar, kaum muslim datang ke masjid dan membaiat Umar untuk memangku jabatan Khilafah. Dengan baiat inilah Umar sah menjadi Khalifah kaum muslim, bukan karena musyawarah yang dilakukan oleh Abu Bakar. Juga bukan karena wasiat Abu Bakar. Karena seandainya wasiat dari Abu Bakar merupakan akad khilafah kepada Umar, pastilah tidak lagi memerlukan baiat kaum muslim. Terlebih lagi nas-nas yang telah kami sebutkan sebelumnya telah menunjukkan secara jelas bahwa seseorang tidak akan menjadi Khalifah kecuali melalui baiat kaum muslim.
Ketika Umar tertikam, kaum muslim memintanya untuk menunjuk pengganti, namun Umar menolak. Setelah mereka terus mendesak, Beliau menunjuk enam orang yakni mengajukan calon sebanyak enam orang kepada kaum muslim. Kemudian Beliau menunjuk Suhaib untuk mengimami manusia dan untuk memimpin enam orang yang telah Beliau calonkan sehingga terpilih Khalifah dari mereka dalam jangka waktu tiga hari sebagaimana yang telah Beliau tentukan bagi mereka. Beliau berkata kepada Suhaib : “…. jika lima orang bersepakat dan rela dengan satu orang, dan yang menolak satu orang maka penggallah orang yang menolak itu dengan pedang …”. Peristiwa itu sebagaimana yang diceritakan oleh ath-Thabari dalam Târîkh ath-Thabariy, oleh Ibn Qutaibah pengarang buku al-Imâmah wa as-Siyâsah yang lebih dikenal dengan sebutan Târîkh al-Khulafâ’, oleh Ibn Sa’ad dalam Thabaqât al-Kubrâ. Kemudian beliau menunjuk Abu Thalhah al-Anshari bersama lima puluh orang untuk menjaga mereka. Beliau menugasi Miqdad untuk memilih tempat bagi para calon itu mengadakan pertemuan.
Kemudian setelah Beliau wafat dan setelah para calon berkumpul, Abdurrahman bin ‘Awf berkata : “…. siapa diantara kalian yang bersedia mengundurkan diri dan bersedia menyerahkan urusannya untuk dipimpin oleh orang yang terbaik diantara kalian?” Semuanya diam. Abdurrahman bin ‘Awf berkata : ” aku mengundurkan diri.” Lalu Abdurrahman mulai meminta pendapat mereka satu persatu. Ia menanyai mereka, seandainya perkara itu diserahkan kepada masing-masingnya, siapa diantara mereka yang lebih berhak. Maka jawabannya terbatas pada dua orang : Ali dan Utsman. Setelah itu, Abdurrahman mulai merujuk kepada pendapat kaum muslim dengan menanyai mereka siapa diantara kedua orang itu (Ali dan Utsman) yang mereka kehendaki. Ia menanyai baik laki-laki maupun perempuan dalam rangka menggali pendapat masyarakat. Abdurrahman bin ‘Awf melakukannya siang dan malam. Imam Bukhari mengeluarkan riwayat dari jalan al-Miswar bin Mukhrimah yang berkata : “.. Abdurrahman mengetuk pintu rumahku pada tengah malam, Ia mengetuk pintu hingga aku terbangun, ia berkata : “aku lihat engkau tidur, dan demi Allah jangan engkau habiskan tiga hari ini dengan banyak tidur.” Yakni tiga malam. Ketika orang-orang melaksanakan shalat subuh, sempurnalah dilangsungkan bait kepada Utsman. Maka dengan baiat kaum muslim itu, Utsman menjadi Khalifah, bukan dengan penetapan Umar kepada enam orang.
Kemudian Utsman terbunuh. Lalu mayoritas kaum muslim di Madinah dan Kufah membaiat ‘Ali bin Abiy Thalib. Maka dengan baiat kaum muslim itu, Ali menjadi seorang Khalifah.
Dengan meneliti tata cara pembaiatan mereka –radhiyaLlâh ‘anhum– jelaslah bahwa orang-orang yang dicalonkan itu diumumkan kapada masyarakat. Dan jelas pula bahwa syarat in’iqad terpenuhi dalam diri masing-masing dari mereka. Kemudian diambil pendapat dari ahl al-halli wa al-’aqdi diantara kaum muslim, yaitu mereka yang merepresentasikan umat. Mereka yang dicalonkan itu dikenal luas pada masa Khulafa’ur Rasyidin, karena mereka adalah para sahabat –radhiyaLlâh ‘anhum– atau penduduk Madinah. Siapa yang dikehendaki oleh para sahabat atau mayoritas para sahabat, maka orang itu dibaiat dengan baiat in’iqad dan dengan itu ia menjadi Khalifah dan kaum muslim menjadi wajib untuk mentaatinya. Lalu kaum muslim secara umum membaiatnya dengan baiat taat. Demikianlah terwujud Khalifah dan ia menjadi wakil umat dalam menjalankan pemerintahan dan kekuasaan.
Inilah yang dapat dipahami dari apa yang terjadi pada baiat Khulafa’ur Rasyidin –radhiyaLlâh ‘anhum–. Dari sana juga terdapat dua perkara lain yang dapat dipahami dari pencalonan Umar kepada enam orang dan dari prosedur pembaitan Utsman. Dua perkara itu adalah : adanya amir sementara yang memimpin selama jangka waktu pengangkatan Khalifah yang baru dan pembatasan calon sebanyak enam orang sebagai jumlah paling banyak.
123
Hukum dan Dunia Politik / Re:Demokrasi itu Hipokrat (kecuali calon dari kita)
« pada: 05 Mei 2009, 15:22:14 »@pembelajarakhi, berarti antum yang ketinggalan berita.
jangan lari ke mana-mana. Inti dari tred ini bukan nyari-nyari fatwa dan dalil-dalil... mulut anta sudah penuh dengan dalil.
taon 1951 pendirinye syekh Taqi juge ngikut pemilu die nyalonin dirinye sendiri dapet (2300 suare), ==> bener gak berita ini?
taon 1954 dibawe kekuasaan jordanie, Dawud Hamdan ngikut juge pemilu die dicalonin (atawe yalonin diri) buat kote Al-Quds trus Abdul-Qadim Zallum, As`ad Tamimi ame Abdulqadir Al-Khatib in Al-Khalil; ame Ahmad Ad-Da`ur dicalonin buat wilaye tulkarem. tapi cuman ad-daur nyang lolos, ==> bener gak ni?
Ad-daur nerime juge sumpeh setie ke Raje ame taneh air. die cuman nambain kate Kepade Allah SWT juge. ==> bener gak nie?
itu dulu diklarifikasi...
kalau benar... berarti ...berarti... ooo...oooo..
masa demokrasi haram... main dengan demokrasi juga haram... tapi giliran "orang sendiri" jadi halal? ===> kalimat ini yang perlu diklarifikasi...
hal ini sudah dibahas diskusi antara @aeonia dan @abie, beberapa waktu yang lalu.
antum tanya @abie tuh sana, gimana?
bukan bermaksud tidak sopan, tetapi "gerah" juga jika diskusi dimulai dengan tuduh sana-sini [hujatan], padahal permasalahannya pada kurang pahamnya TS pada permasalahan yg dikritisi.
wallahu'alam
124
Hukum dan Dunia Politik / Re:Demokrasi itu Hipokrat (kecuali calon dari kita)
« pada: 05 Mei 2009, 14:57:42 » @TS
janganlah antum copy-paste dari blog, lalu membuat thread tersendiri, tanpa antum memahami dulu seperti apa penjelasannya. lalu menuduh ini-itu, padahal sejatinya permasalahan-nya adalah, pada kurang pahamnya antum akan masalah yg antum kritisi tsb. kalau mau klarifikasi, janganlah dimulai dengan hujatan, tetapi minta secara baik-baik penjelasannya.
pertama, jelas sistem demokrasi, adalah sistem kufur, dan hal ini sudah tidak terbantahkan lagi. kalau mau menelaah secara lebih kritis untuk masalah ini, silahkan antum baca kitab Demokrasi Sistem Kufur [karya Syekh Abdul Qadim Zallum], bisa antum dapatkan dengan meng-unduh yang ada di sigi-nya akhi @aeonia.
saya mau tanya antum masuknya muslim dalam parlemen [sistem demokrasi] apakah hukumnya haram, atau mubah?
jika anda telah mampu menjawab pertanyaan ini, Insya-Allah pertanyaan antum dalam thread ini akan terjawab.
wallahu'alam
Posting Digabung: [time]Tue May 5 15:03:34 2009[/time]
Pemilu legislatif [masuk dalam parlemen] pada dasarnya bisa disamakan dengan hukum wakalah, yang hukum asalnya adalah mubah (boleh), berdasarkan hadits Nabi:
«وَعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: اَرَدْتُ الْخُرُوْجَ اِلىَ خَيْبَرَ فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَقَالَ: إِذَا أَتَيْتَ وَكِيْلِيْ بِخَيْبَرَ فَخُذْ مِنْهُ خَمْسَةَ عَشَرَ وَسَقًا» (رواه ابو داود و صححه).
Dari jabir bin Abdillah radliyallâhu ‘anhumâ, dia berkata: Aku hendak berangkat ke Khaibar, lantas aku menemui Nabi SAW. Seraya beliau bersabda: “Jika engkau menemui wakilku di Khaibar maka ambillah olehmu darinya lima belas wasaq” (HR. Abu Dawud yang menurutnya shahih).
Selain itu, dalam Bai’atul ‘Aqabah II, Rasulullah SAW meminta 12 orang sebagai wakil dari 75 orang Madinah yang menghadap beliau saat itu yang dipilih oleh mereka sendiri.
Kedua hadits di atas menunjukkan bahwa hukum asal wakalah adalah mubah, selama rukun-rukunnya sesuai dengan syariah Islam. Rukun wakalah terdiri dari: Dua pihak yang berakad yaitu, pihak yang mewakilkan (muwakkil) dan pihak yang mewakili (wakîl); perkara yang diwakilkan atau amal yang akan dilakukan oleh wakil atas perintah muwakkil; dan redaksi akad perwakilannya (shigat taukîl).
Bila semua rukun tersebut terpenuhi, maka yang menentukan apakah wakalah itu Islami atau tidak adalah amal atau kegiatan yang akan dilakukan oleh wakil. Dalam konteks anggota legislatif, wakil rakyat di parlemen akan menjalankan tiga fungsi pokok, yaitu (1) fungsi legislasi untuk membuat UUD dan UU, (2) melantik presiden/wakil presiden, dan (3) fungsi pengawasan, koreksi dan kontrol terhadap pemerintah. Melihat fungsi-fungsi tersebut, hukum wakalah terhadap ketiganya tentu berbeda. Wakalah untuk membuat perundang-undangan sekular dan wakalah untuk melantik presiden/wakil presiden yang akan menjalankan sistem sekular tentu berbeda hukumnya dengan wakalah untuk melakukan pengawasan, koreksi dan kontrol terhadap pemerintah.
Berkaitan dengan fungsi legislasi, harus diingatkan bahwa setiap muslim yang beriman kepada Allah SWT, wajib taat kepada syariah Islam yang bersumber dari al-Quran dan As-Sunnah, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, maupun dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tidak ada pilihan lain bagi seorang muslim kecuali menerapkan hukum syariah Allah SWT. Allah SWT telah menegaskan,
إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلّهِ
Keputusan (hukum) itu hanyalah kepunyaan Allah. (TQS. Yusuf [12]: 40)
Allah Swt juga menyatakan bahwa konsekuensi iman adalah dengan taat pada syariat-Nya,
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجاً مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيماً
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (TQS. an-Nisa [4]: 65)
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْراً أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالاً مُّبِيناً
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata (TQS. Al Ahzab[33]: 36).
Tidak boleh seorang muslim mengharamkan apa yang telah dihalalkan Allah atau menghalalkan apa yang telah diharamkan-Nya. Tentang hal ini, At-Tirmidzi, dalam kitab Sunan-nya, telah mengeluarkan hadits dari ’Adi bin Hatim –radhiya-Llahu ’anhu— berkata: ’Saya mendatangi Nabi saw. ketika baginda sedang membaca surat Bara’ah:
اتَّخَذُواْ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَاباً مِّن دُونِ اللّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ
”Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) al-Masih putera Maryam.” (TQS. At-Taubah [9]: 31)
Seraya bersabda: ’Mereka memang tidak beribadah kepadanya, tetapi jika mereka menghalalkan sesuatu untuknya, mereka pun menghalalkannya; jika mereka mengharamkan sesuatu untuknya, maka mereka pun mengharamkannya.”
Karena itu, menetapkan hukum yang tidak bersumber dari al-Quran dan As-Sunnah adalah perbuatan yang bertentangan dengan akidah Islam. Bahkan dapat dikategorikan perbuatan menyekutukan Allah SWT. Seorang muslim wajib terikat kepada syariah Allah, wajib mengambil hukum dari wahyu Allah semata, dan menolak undang-undang atau peraturan buatan manusia yang bertentangan dengan hukum Allah SWT. Dengan demikian, wakalah dalam fungsi legislasi yang akan menghasilkan hukum atau peraturan perundangan sekular atau yang bertentangan dengan syariah Islam tidak diperbolehkan, karena hal tersebut merupakan aktivitas yang bertentangan dengan akidah Islam.
Wakalah untuk melantik presiden/wakil presiden juga tidak diperbolehkan, karena wakalah ini akan menjadi sarana untuk melaksanakan keharaman, yakni pelaksanaan hukum atau peraturan perundangan sekular yang bertentangan dengan syariat Islam oleh presiden/wakil presiden yang dilantik tersebut. Larangan ini berdasar pada kaedah syara’ yang menyatakan:
(اَلْوَسِيْلَةُ اِلَى الْحَرَامِ حَرَامٌ)
“Wasilah (perantaraan) yang pasti menghantarkan kepada perbuatan haram adalah juga haram”
Adapun wakalah dalam konteks pengawasan, koreksi dan kontrol terhadap pemerintah dibolehkan, selama tujuannya adalah untuk amar makruf dan nahi mungkar (menegakkan kemakrufan dan mencegah kemunkaran). Wakalah dalam konteks ini merupakan wakalah untuk melaksanakan perkara yang dibenarkan oleh syariat Islam. Maka, pencalonan anggota legislatif dalam rangka melaksanakan fungsi pengawasan tadi dibolehkan sepanjang memenuhi syarat-syarat syar’iy. Bukan dibolehkan secara mutlak. Syarat-syarat tersebut adalah:
1. Harus menjadi calon dari partai Islam, bukan dari partai sekular. Dan dalam proses pemilihan tidak menempuh cara-cara haram seperti penipuan, pemalsuan dan penyuapan, serta tidak bersekutu dengan orang-orang sekular.
2. Harus menyuarakan secara terbuka tujuan dari pencalonan itu, yaitu untuk menegakkan sistem Islam, mengubah sistem sekular menjadi sistem Islam, melawan dominasi asing dan membebaskan negeri ini dari pengaruh asing. Dengan kata lain, calon wakil rakyat itu menjadikan parlemen sebagai mimbar (sarana) dakwah Islam, yakni menegakkan sistem Islam, menghentikan sistem sekular dan mengoreksi penguasa.
3. Dalam kampanyenya harus menyampaikan ide-ide dan program-program yang bersumber dari ajaran Islam.
4. Harus konsisten melaksanakan poin-poin di atas
janganlah antum copy-paste dari blog, lalu membuat thread tersendiri, tanpa antum memahami dulu seperti apa penjelasannya. lalu menuduh ini-itu, padahal sejatinya permasalahan-nya adalah, pada kurang pahamnya antum akan masalah yg antum kritisi tsb. kalau mau klarifikasi, janganlah dimulai dengan hujatan, tetapi minta secara baik-baik penjelasannya.
pertama, jelas sistem demokrasi, adalah sistem kufur, dan hal ini sudah tidak terbantahkan lagi. kalau mau menelaah secara lebih kritis untuk masalah ini, silahkan antum baca kitab Demokrasi Sistem Kufur [karya Syekh Abdul Qadim Zallum], bisa antum dapatkan dengan meng-unduh yang ada di sigi-nya akhi @aeonia.
saya mau tanya antum masuknya muslim dalam parlemen [sistem demokrasi] apakah hukumnya haram, atau mubah?
jika anda telah mampu menjawab pertanyaan ini, Insya-Allah pertanyaan antum dalam thread ini akan terjawab.
wallahu'alam
Posting Digabung: [time]Tue May 5 15:03:34 2009[/time]
Pemilu legislatif [masuk dalam parlemen] pada dasarnya bisa disamakan dengan hukum wakalah, yang hukum asalnya adalah mubah (boleh), berdasarkan hadits Nabi:
«وَعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: اَرَدْتُ الْخُرُوْجَ اِلىَ خَيْبَرَ فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَقَالَ: إِذَا أَتَيْتَ وَكِيْلِيْ بِخَيْبَرَ فَخُذْ مِنْهُ خَمْسَةَ عَشَرَ وَسَقًا» (رواه ابو داود و صححه).
Dari jabir bin Abdillah radliyallâhu ‘anhumâ, dia berkata: Aku hendak berangkat ke Khaibar, lantas aku menemui Nabi SAW. Seraya beliau bersabda: “Jika engkau menemui wakilku di Khaibar maka ambillah olehmu darinya lima belas wasaq” (HR. Abu Dawud yang menurutnya shahih).
Selain itu, dalam Bai’atul ‘Aqabah II, Rasulullah SAW meminta 12 orang sebagai wakil dari 75 orang Madinah yang menghadap beliau saat itu yang dipilih oleh mereka sendiri.
Kedua hadits di atas menunjukkan bahwa hukum asal wakalah adalah mubah, selama rukun-rukunnya sesuai dengan syariah Islam. Rukun wakalah terdiri dari: Dua pihak yang berakad yaitu, pihak yang mewakilkan (muwakkil) dan pihak yang mewakili (wakîl); perkara yang diwakilkan atau amal yang akan dilakukan oleh wakil atas perintah muwakkil; dan redaksi akad perwakilannya (shigat taukîl).
Bila semua rukun tersebut terpenuhi, maka yang menentukan apakah wakalah itu Islami atau tidak adalah amal atau kegiatan yang akan dilakukan oleh wakil. Dalam konteks anggota legislatif, wakil rakyat di parlemen akan menjalankan tiga fungsi pokok, yaitu (1) fungsi legislasi untuk membuat UUD dan UU, (2) melantik presiden/wakil presiden, dan (3) fungsi pengawasan, koreksi dan kontrol terhadap pemerintah. Melihat fungsi-fungsi tersebut, hukum wakalah terhadap ketiganya tentu berbeda. Wakalah untuk membuat perundang-undangan sekular dan wakalah untuk melantik presiden/wakil presiden yang akan menjalankan sistem sekular tentu berbeda hukumnya dengan wakalah untuk melakukan pengawasan, koreksi dan kontrol terhadap pemerintah.
Berkaitan dengan fungsi legislasi, harus diingatkan bahwa setiap muslim yang beriman kepada Allah SWT, wajib taat kepada syariah Islam yang bersumber dari al-Quran dan As-Sunnah, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, maupun dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tidak ada pilihan lain bagi seorang muslim kecuali menerapkan hukum syariah Allah SWT. Allah SWT telah menegaskan,
إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلّهِ
Keputusan (hukum) itu hanyalah kepunyaan Allah. (TQS. Yusuf [12]: 40)
Allah Swt juga menyatakan bahwa konsekuensi iman adalah dengan taat pada syariat-Nya,
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجاً مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيماً
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (TQS. an-Nisa [4]: 65)
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْراً أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالاً مُّبِيناً
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata (TQS. Al Ahzab[33]: 36).
Tidak boleh seorang muslim mengharamkan apa yang telah dihalalkan Allah atau menghalalkan apa yang telah diharamkan-Nya. Tentang hal ini, At-Tirmidzi, dalam kitab Sunan-nya, telah mengeluarkan hadits dari ’Adi bin Hatim –radhiya-Llahu ’anhu— berkata: ’Saya mendatangi Nabi saw. ketika baginda sedang membaca surat Bara’ah:
اتَّخَذُواْ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَاباً مِّن دُونِ اللّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ
”Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) al-Masih putera Maryam.” (TQS. At-Taubah [9]: 31)
Seraya bersabda: ’Mereka memang tidak beribadah kepadanya, tetapi jika mereka menghalalkan sesuatu untuknya, mereka pun menghalalkannya; jika mereka mengharamkan sesuatu untuknya, maka mereka pun mengharamkannya.”
Karena itu, menetapkan hukum yang tidak bersumber dari al-Quran dan As-Sunnah adalah perbuatan yang bertentangan dengan akidah Islam. Bahkan dapat dikategorikan perbuatan menyekutukan Allah SWT. Seorang muslim wajib terikat kepada syariah Allah, wajib mengambil hukum dari wahyu Allah semata, dan menolak undang-undang atau peraturan buatan manusia yang bertentangan dengan hukum Allah SWT. Dengan demikian, wakalah dalam fungsi legislasi yang akan menghasilkan hukum atau peraturan perundangan sekular atau yang bertentangan dengan syariah Islam tidak diperbolehkan, karena hal tersebut merupakan aktivitas yang bertentangan dengan akidah Islam.
Wakalah untuk melantik presiden/wakil presiden juga tidak diperbolehkan, karena wakalah ini akan menjadi sarana untuk melaksanakan keharaman, yakni pelaksanaan hukum atau peraturan perundangan sekular yang bertentangan dengan syariat Islam oleh presiden/wakil presiden yang dilantik tersebut. Larangan ini berdasar pada kaedah syara’ yang menyatakan:
(اَلْوَسِيْلَةُ اِلَى الْحَرَامِ حَرَامٌ)
“Wasilah (perantaraan) yang pasti menghantarkan kepada perbuatan haram adalah juga haram”
Adapun wakalah dalam konteks pengawasan, koreksi dan kontrol terhadap pemerintah dibolehkan, selama tujuannya adalah untuk amar makruf dan nahi mungkar (menegakkan kemakrufan dan mencegah kemunkaran). Wakalah dalam konteks ini merupakan wakalah untuk melaksanakan perkara yang dibenarkan oleh syariat Islam. Maka, pencalonan anggota legislatif dalam rangka melaksanakan fungsi pengawasan tadi dibolehkan sepanjang memenuhi syarat-syarat syar’iy. Bukan dibolehkan secara mutlak. Syarat-syarat tersebut adalah:
1. Harus menjadi calon dari partai Islam, bukan dari partai sekular. Dan dalam proses pemilihan tidak menempuh cara-cara haram seperti penipuan, pemalsuan dan penyuapan, serta tidak bersekutu dengan orang-orang sekular.
2. Harus menyuarakan secara terbuka tujuan dari pencalonan itu, yaitu untuk menegakkan sistem Islam, mengubah sistem sekular menjadi sistem Islam, melawan dominasi asing dan membebaskan negeri ini dari pengaruh asing. Dengan kata lain, calon wakil rakyat itu menjadikan parlemen sebagai mimbar (sarana) dakwah Islam, yakni menegakkan sistem Islam, menghentikan sistem sekular dan mengoreksi penguasa.
3. Dalam kampanyenya harus menyampaikan ide-ide dan program-program yang bersumber dari ajaran Islam.
4. Harus konsisten melaksanakan poin-poin di atas
125
Hukum dan Dunia Politik / Re:Kudeta dan HT
« pada: 05 Mei 2009, 14:40:32 »ana gak tahu pasti .. tapi beliau punya buletin jumat yg seringkali mengkritisi kebijakan pemerintah dan yang pasti saudara kandungnya adalah pucuk pimpinan tertinggi HT di Provinsi tempat ana tinggal ....sudah sering dibahas akhi, di board hukpol ini.
ini yg seringkali ana bingungkan ama HT ini ... klu non kekerasan pakai apa dunk mengambil alih kekuasaan
secara sederhana, saya meminta antum menjawab pertanyaan ini:
ketika rasulullah saw. menjadi penguasa [kepala negara] madinah, apakah beliau sebelumnya melakukan kudeta [people power], atau melakukan metode yang berbeda, sehingga tidak ada pertumpahan darah sedikitpun dalam proses pendirian daulah Islam madinah, dan rasulullah saw. sebagai kepala negara-nya?
Posting Digabung: 05 Mei 2009, 14:41:07
Soal Jawab:
Dalam soal jawab yang lalu, dinyatakan bahwa proses perubahan melalui people power adalah salah. Karena tidak sesuai dengan metode Rasulullah, yaitu Thalab an-Nushrah. Pertanyaannya, di mana letak kesalahannya? Bukankah people power juga bisa digunakan untuk menekan ahl an-nushrah agar mereka mendukung dakwah, karena adanya desakan umat melalui people power tersebut?
Jawab:
Memang benar, jika dikatakan bahwa ahl an-nushrah bisa saja memberi dukungan kepada dakwah, karena adanya desakan umat melalui people power. Namun, yang harus dicatat, bahwa dukungan mereka dalam kondisi seperti ini, bukanlah dukungan karena lahir dari keyakinan, melainkan dukungan karena faktor preassure (tekanan). Dukungan seperti ini sangat lemah, dan tidak akan bisa menjadi pilar tegaknya negara. Ketika kita memahami, bahwa negara adalah entitas pelaksana teknis yang mengimplementasikan kumpulan pemahaman, standarisasi dan keyakinan yang diterima oleh umat. Pertanyaannya, mungkinkah negara seperti ini bisa tegak, jika penopang kekuasaannya ternyata tidak menerima pemahaman, standarisasi dan keyakinan tersebut? Jawabannya jelas tidak mungkin. Dukungan seperti ini bisa kita sebut sebagai dukungan semu, bukan dukungan hakiki. Padahal, yang dibutuhkan adalah dukungan yang hakiki.
Itulah, mengapa Rasulullah menolak tawaran pemuka kabilah Arab Quraisy, yang menawarkan kekuasaan kepada Nabi, tetapi ditolak oleh Nabi, ketika mereka dengan nyata tidak meyakini risalah yang diemban oleh Nabi saw. Dan, itulah yang disebutkan dalam soal jawab yang lalu, bahwa salah satu syarat dalam nushrah adalah agar ahl an-nushrah yang memberikan dukungannya haruslah mengimani Islam, dan meyakininya.
Ini satu hal. Hal lain, bahwa proses perubahan melalui people power ini salah karena cara seperti ini bertentangan dengan metode Rasulullah jelas sekali bisa diteliti melalui sejumlah riwayat yang menjelaskan tentang Thalab an-Nushrah. Antara lain, sebagai berikut:
[1] Nabi saw. meminta orang yang hendak diambil nushrah-nya untuk kepentingan Islam agar mereka pertama kali mengimani dan membenarkan Islam, sebagaimana yang telah dinyatakan dalam nas-nas sebelumnya. Misalnya: Beliau pun meminta mereka agar mereka membenarkan beliau dan bersedia melindungi beliau.[1] Dengan syarat ini, jelas ada perbedaan antara mencari dukungan untuk pribadi Rasul saw. minus dukungan terhadap dakwah yang beliau emban, dengan dukungan terhadap beliau dalam kapasitasnya sebagai pengemban dakwah, dalam arti perlindungan —bukan saja terhadap pribadi beliau, tetapi juga— terhadap dakwah yang diembannya. Karena, konsekuensi dari nushrah ini adalah adanya kesiapan untuk menghadapi musuh-musuh dakwah, serta menghalangi mereka agar tidak menimpakan penganiayaan terhadap dakwah dan para pengikutnya.
Semua nas yang ada membuktikan, bahwa Rasulullah saw. telah mengajukan syarat kepada orang yang akan dimintai nushrah agar pertama-tama mereka memeluk Islam, baru kemudian nushrah tersebut bisa diminta dari mereka. Ini merupakan konsekuensi logis. Sebab, bagaimana mungkin keikhlasan dan konsistensi salah satu pihak terhadap dakwah serta dukungan mereka terhadapnya bisa dijamin, sementara pihak yang mendukung dakwah itu ternyata tidak meyakini dakwah tersebut? Dari sinilah, maka Nabi saw. begitu konsisten dalam setiap negosiasi yang beliau lakukan untuk mencari nushrah —dengan menetapkan syarat— agar ahl an-nushrah (para penolong) tersebut terlebih dahulu memeluk Islam, sebelum yang lain.
[2] Dalam sirah Nabi saw. terutama yang berkaitan dengan thalab an-nushrah, terbukti bahwa beliau selalu mencari nushrah dengan dua tujuan:
Pertama, beliau mencari nushrah dalam rangka melindungi penyampaian dakwah, sehingga dakwah tersebut tersebar dengan mudah di tengah masyarakat, sementara dakwahnya tetap terpelihara, jauh dari perlakuan buruk, baik terhadap dakwah maupun para pengikutnya.
Kedua, beliau selalu mencari nushrah dalam rangka mengambilalih kendali pemerintahan dan kekuasaan berdasarkan asas dakwah tersebut. Ini merupakan urut-urutan yang alami dalam perkara tersebut.
Alasannya, karena perlindungan untuk menyampaikan dakwah pertama kali memang mengharuskan terbentuknya apa yang kemudian dikenal dengan istilah basis massa (qâ’idah sya’biyyah), yang menopang ide yang menjadi landasan dakwah. Itu dilakukan melalui orang-orang yang telah meyakini ide tersebut di bawah payung dukungan yang telah diberikannya. Ketika orang-orang yang meyakini ide tersebut dan mereka yang siap berkorban di jalannya semakin banyak, berarti telah terbentuk landasan yang mantap dan basis yang luas, yang bisa menjadi sandaran pemerintahan dan kekuasaan.
Ini merujuk pada uraian Ibn Ishaq ihwal aktivitas Rasul saw. pasca perjalanan beliau dari Thâ’if untuk mencari nushrah. Juga seperti yang terlihat dengan jelas dalam riwayat al-Hâkim dalam al-Mustadrak ‘alâ as-Shahîhayn:
Dari Jâbir ra. berkata: Rasulullah saw. telah menawarkan diri beliau kepada banyak orang tentang sikap tertentu, seraya bersabda: Apakah masih ada seseorang yang bisa membawaku kepada kaumnya? Sebab, kaum Quraisy telah menghalangiku menyampaikan firman tuhanku. Berkata (Jâbir): Beliau kemudian didatangi seorang lelaki dari Bani Hamdân, seraya berkata: Saya! Beliau kemudian bertanya: Apakah kaummu mempunyai kekuatan? Dia menjawab: Iya! Beliau pun bertanya kepadanya: Dari mana dia? Berkata (seorang sahabat): Dari Hamdân. Kemudian, lelaki asal Hamdan itu pun khawatir jangan-jangan dia akan ditangkap oleh kaumnya —maksudnya, mereka membatalkan komitmennya dengan Rasul— maka, dia pun mendatangi Rasul saw. seraya berkata: Saya akan mendatangi kaum saya, dan saya pun akan menyampaikan kepada mereka. Kemudian, saya akan menemui Anda tahun depan. Beliau menjawab: Baik! [2]
Jadi, nushrah (pertolongan) yang diminta di sini tak lain adalah dalam rangka melindungi Rasul, dalam kapasitas beliau sebagai pemilik risalah dakwah, agar beliau bisa menyampaikan risalah Allah tersebut kepada banyak orang dalam suasana terlindungi, aman dan tenang. Sesuatu yang pada akhirnya memungkinkan terbentuknya basis yang meyakini ide ini agar setelah itu, peralihan ke bentuk thalab an-nushrah yang lain benar-benar bisa berlangsung dengan sempurna. Yaitu, mencari nushrah dalam rangka mengambilalih kekuasaan di negeri yang telah memberikan nushrah tersebut. Dan, itu tak lain adalah untuk mendirikan negara berdasarkan asas dakwah Islam.
Ini terlihat dengan jelas melalui negosiasi yang telah berlangsung antara Rasul saw. dengan para pemuka Bani ‘Amir bin Sha’sha’ah, dalam kaitannya dengan permintaan yang diajukan oleh Rasul saw. kepada mereka. Seorang tokoh Bani ‘Amir bin Sha’sha’ah kemudian menuturkan kepada syaikh (ketua suku) mereka kriteria permintaan ini, dengan ungkapan mereka: Kami telah didatangi oleh seorang pemuda, yang menganggap dirinya sebagai Nabi. Dia menyerukan kepada kami, agar kami melindunginya, dan berdiri di pihaknya, serta kami membawanya masuk ke negeri kami.[3]
Bani ‘Amir paham benar, bahwa implikasi memenuhi permintaan nushrah ini akan menjadikan Nabi saw. sebagai pemegang pemerintahan dan kekuasaan atas seluruh bangsa Arab, ketika Allah telah memenangkan beliau atas mereka, karena beliau telah menggunakan nushrah yang telah mereka berikan ini. Di sinilah, maka mereka pun menginginkan urusan ini. Dengan kata lain, pemerintahan dan kekuasaan pasca Nabi saw. itu tak lain harus menjadi milik Bani ‘Amir secara sah, sebagai harga —yang harus dibayar— atas pengorbanan yang telah mereka berikan. Ini tampak dalam ungkapan juru runding Bani ‘Amir, yang bernama Bayharah bin Firâs.[4]
[3] Dari kasus di atas, juga bisa disimpulkan, bahwa beliau saw. menolak kekuatan yang siap memberikan nushrah dengan kompensasi apapun, misalnya dengan syarat tokoh-tokoh mereka akan memerintah dan berkuasa, dengan harga atau kompensasi tertentu. Inilah yang terlihat dengan jelas pada point sebelumnya, dalam negosiasi antara Nabi saw. dengan Bani ‘Amir bin Sha’sha’ah.[5]
Alasannya, karena dakwah ini merupakan dakwah kepada Allah, maka syarat mendasar orang yang mengimani dakwah dan siap menolongnya adalah ikhlas semata karena Allah, serta mengharapkan ridha-Nya. Keduanya merupakan tujuan yang hendak diraih di balik nushrah dan pengorbanan tersebut, bukan ambisi untuk berkuasa, ataupun mendambakan kekuasaan. Sebab, tujuan yang ditetapkan oleh manusia terhadap sesuatu akan menentukan perjalanan aktivitasnya, serta menentukan sejauh mana ia dipertahankan, termasuk besar-kecilnya pengorbanan untuk mewujudkannya.
[4] Dari sirah Nabi saw. yang berkaitan dengan thalab an-nushrah, tampak bahwa Nabi saw. tidak pernah mencari nushrah para tokoh-tokoh itu semata-mata karena mereka adalah para pemuka kabilah dan bangsawan. Namun, beliau mencari kekuatan yang dimiliki para pemuka itu di negeri mereka, yang bisa digunakan untuk menghadapi musuh-musuh negara yang hendak dibangun. Jika beliau tidak menemukan sesuatu yang bisa digunakan untuk melindungi dakwah pada kekuatan tersebut, maka beliau tidak akan mengajukan kepada mereka permintaan nushrah, selain hanya mengingatkan mereka akan kewajiban mereka kepada Allah.
Ini telah dibuktikan melalui beberapa riwayat sirah, dengan redaksi: Ketika kabilah Bakar bin Wâ’il datang ke Makkah untuk menunaikan haji, Rasulullah saw. meminta Abû Bakar: Datangilah mereka, kemudian bawalah aku kepada mereka. Maka, dia pun mendatangi mereka, dan membawa beliau kepada mereka. Beliau bertanya kepada mereka: Bagaimana dengan jumlah kalian? Mereka menjawab: Banyak, seperti embun pagi. Beliau bertanya: Bagaimana dengan kekuatannya? Mereka menjawab: Tanpa kekuatan! Kami bertetangga dengan Persia, dan kami tidak mampu mempertahankan diri (dari serangan) mereka, dan kami tidak mampu melindungi dari terhadap mereka.[6] Di sni, Rasulullah hanya perlu mengingatkan mereka pada Allah, serta memberitahukan kepada mereka, bahwa beliau adalah utusan Allah.
[5] Nushrah yang diminta oleh Rasul dari para pemuka kabilah untuk kepentingan dakwah juga disyaratkan tidak terikat dengan perjanjian internasional, yang bertentangan dengan dakwah, sedangkan mereka tidak bisa melepaskan diri dari perjanjian tersebut. Alasannya, karena mereka telah menerima dakwah, sementara kondisi ini membuka peluang dakwah menghadapi ancaman dihancurleburkan oleh negara-negara yang terikat perjanjian dengannya, yang juga melihat dakwah Islam sebagai ancaman baginya, dan juga mengancam kepentingan mereka.
Inilah yang ditunjukkan oleh keterangan yang telah dinyatakan dalam kitab ar-Rawdh an-Anf, ketika mengomentari as-Sîrah an-Nabawiyyah, karya Ibn Hisyâm, seputar dialog yang berkisar soal pencarian nushrah, antara Rasul saw. dan Abû Bakar di satu pihak, dengan para pemuka Bani Syaybân di pihak lain.
Abû Bakar berkata kepada salah seorang pemuka Bani Syaybân, namanya Mafrûq: Bagaimana dengan jumlah kalian? Mafrûq menjawab: Kami tidak lebih dari seribu, dan seribu orang tak akan pernah kalah, karena jumlahnya yang minim! Abû Bakar bertanya lagi: Lalu, bagaimana dengan pertahanan kalian? Mafrûq menjawab: Kita harus bekerja keras. Dan, tiap kaum mempunyai peluang dan kesempatan![7] Abû Bakar bertanya lagi: Bagaimana peperangan yang terjadi di antara kalian dengan musuh kalian? Mafrûq menjawab: Kami akan sangat marah, ketika kami benar-benar bertemu, dan kami sangat ingin bertemu, ketika kami sedang marah. Kami sangat mementingkan kebaikan ketimbang anak-anak kami, dan lebih mementingkan senjata ketimbang makanan! Kemenangan itu datangnya dari Allah; sekali waktu dipergilirkan kepada kami, dan sekali waktu kami kalah! Tampaknya Anda saudara Quraisy? (yang dimaksud Mafrûq: Apakah Anda Muhammad saw. orang Quraisy, pemilik risalah dakwah?) Abû Bakar menjawab: Apakah beritanya benar-benar telah sampai kepada kalian, bahwa beliau adalah utusan Allah? Itu dia orangnya (sembari menunjuk ke arah Rasulullah saw.) Mafrûq menjawab: Memang beritanya telah sampai kepada kami, bahwa beliau disebut-sebut seperti itu (Mafrûq mengalamatkannya kepada Rasulullah saw. sembari berkata lagi): Mau dibawah ke manakah dakwah Anda, wahai saudara Quraisy? Maka Rasulullah saw. maju seraya bersabda: Aku mengajak untuk bersaksi, bahwa tidak ada Dzat yang berhak disembah kecuali Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, dan aku adalah utusan Allah, dan agar kalian bersamaku dan menolongku. Sebab, kaum Quraisy telah bersikap arogan terhadap perintah Allah, mendustakan utusan-Nya, menghalangi kebenaran dengan kebatilan. Dan, Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji..[8]
Tampaknya, lelaki Bani Syaybân ini benar-benar yakin pada Rasulullah saw. dan terkagum-kagum dengan dakwah yang beliau bawa, setelah banyak meminta penjelasan ihwal dakwah tersebut. Dia telah menemukan sesuatu yang bisa mengobati kegundahannya dalam jawaban-jawaban Nabi saw. Di sinilah, lelaki Bani Syaybân itu menjadi terasah. Dia kemudian berkata kepada Nabi saw.: Demi Allah, sungguh dusta kaum yang telah mendustakan Anda, dan arogan terhadap Anda!
Kemudian berkata Hâni’ bin Qubayshah, tetua Bani Syaybân, dan pemangku adat mereka: Saya telah mendengarkan ucapan Anda, wahai saudara Quraisy. Saya berpendapat, bahwa dengan meninggalkan agama kami, kemudian kami mengikuti agama Anda, karena satu forum yang telah Anda adakan dengan kami ini —baik yang pertama dan kapan saja— tidak mampu menggelincirkan pandangan, dan juga tidak cukup untuk melihat implikasi (ke depan). Tetapi, ketergelinciran itu justru terjadi karena ketergesa-gesaan! Di belakang kami ada kaum, dimana kami tidak suka mengikat mereka dengan suatu perjanjian. Namun, jika mereka merujuknya kami juga sama, dan jika mereka menganggapnya, maka kami pun sama.
Al-Mutsnî bin Hâritsah, salah seorang tetua Bani Syaybân, dan penentu peperangan mereka, kemudian berbicara. Dia menyatakan, bahwa Bani Syaybân itu terletak di suatu negeri, antara sungai Kisra dan perairan bangsa Arab —maksudnya, berbatasan dengan negeri Persia— Dia kemudian mengemukakan apa yang menjadi kemampuan kaumnya untuk diberikan kepada Nabi saw. dalam soal nushrah yang beliau minta dari mereka, dengan mempertimbangkan posisi negerinya dan hubungan kaumnya dengan negara Persia. Dia berkata: Mengenai sungai Kisra, pada dasarnya kesalahan pemiliknya tidak bisa dimaafkan, dan alasannya juga tidak bisa diterima, sementara perairan Arab, kesalahan (pemilik)-nya bisa dimaafkan, dan alasannya pun bisa diterima! Dan, kami harus mengakhiri sebuah perjanjian yang telah diambil oleh Raja Kisra terhadap diri kami, dimana kami tidak boleh membuat ulah,[9] dan kami tidak akan mengakomodasi orang yang membuat ulah! Saya melihat, bahwa perkara yang Anda serukan kepada kami adalah sesuatu yang dibenci oleh raja-raja. Jika Anda berkenan agar kami bisa mengakomodasi Anda, dan menolong Anda, termasuk perairan Arab, maka pasti akan kami lakukan!
Rasulullah saw. menjawab:
Kalian tidak menolak dengan cara yang buruk, sebab kalian sengat jelas dalam mengutarakan kejujuran. Sesungguhnya agama Allah ini tidak akan pernah Dia tolong, kecuali melalui orang yang menguasainya dari seluruh aspek! [10]
Persia baru saja terlibat dalam peperangan sengit dengan negara Romawi, sementara ia akan memetik kemenangan, sebagaimana yang diisyaratkan pada permulaan surat ar-Rûm dalam al-Qur’an al-Karim.[11] Lebih-lebih telah ada perjanjian internasional antara Bani Syaybân —dimana mereka kedudukannya sama dengan negara kecil— dengan negara besar Persia, agar mereka (Bani Syaybân) tidak membuat ulah, dan mengakomodasi orang yang membuat ulah. Dalam hal ini, Rasul saw. telah memuji kejujuran mereka, serat menjelaskan kepada mereka, bahwa pertolongan (nushrah) yang diminta itu melampaui batas-batas yang mampu mereka berikan: Sesungguhnya agama Allah ini tidak akan pernah Dia tolong, kecuali melalui orang yang menguasainya dari semua aspek.[12]
Garis besar yang telah dikemukakan ini cukup untuk memberikan gambaran global tentang thalab an-nushrah yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Dari sini jelas, bahwa cara-cara people power tersebut jelas tidak sesuai dengan langkah-langkah praktis yang dilakukan oleh Nabi saw. dalam meraih menegakkan pemerintahan dengan metode thalab an-nushrah.
[1] As-Suhayli, as-Sirah an-Nabawiyyah li ibn Hisyam, juz II, hal. 173.
[2] Al-Hâkim, Op. Cit., juz II, hal. 612-613. Beliau berkomentar: Ini adalah hadits sahih berdasarkan syarat al-Bukhâri dan Muslim, meski mereka tidak mengeluarkannya.
[3] As-Suhayli, Op. Cit., juz II, hal. 174; at-Thabari, Op. Cit., juz II, hal. 350.
[4] As-Suhayli, ibid, juz II, hal. 174; at-Thabari, ibid, juz II, hal. 350.
[5] As-Suhayli, ibid, juz II, hal. 174; at-Thabari, ibid, juz II, hal. 350.
[6] As-Sîrah al-Halabiyah, juz II, hal. 5.
[7] Maksudnya mempunyai peluang dan kebahagiaan; maksunya, kita harus bekerja keras. Kita tidak bisa memastikan, bahwa kemenangan itu pasti akan memihak kita. Sebab, kemenangan itu datangnya dari Allah, yang akan Dia berikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Lihat, ibid, juz II, hal. 4.
[8] As-Suhayli, ibid, juz II, hal. 181.
[9] Teks aslinya hadats, yaitu perkara munkar yang lazim. Lihat, kamus al-Munjid.
[10] As-Suhayli, ibid, juz II, hal. 182.
[11] Q.s. ar-Rûm: 1-6.
[12] As-Suhayli, ibid, juz II, hal. 182.
126
Hukum dan Dunia Politik / Re:Kudeta dan HT
« pada: 05 Mei 2009, 14:20:05 »bolehlah antum membantah semua itu ...tapi akhi, thariqah dakwah HT itu prinsipnya la 'unfiyah (non-kekerasan).
tapi pernah seorang kader HT ngomong ke ana klu revolusi adalah suatu pilihan yang pasti...
liat aja semua negara2 maju setelah melakukan revolusi , baru mereka bangkit dari keterpurukan begitulah apa yang dibilang kader HT tsb.................. untunglah cuma ngomong ama abu zahid... coba klu ngomong ama intel.... wah bisa2 diintelinterus tuh
silahkan antum tanya semua syabab [dalam negeri maupun luar negeri], Insya-Allah jawabannya sama, sebab dalam halqah yang dipelajari adalah kitab yang sama.
antum tanya kembali teman antum tsb, beliau benar-benar syabab atau bukan?
wallahu'alam
127
Hukum dan Dunia Politik / Re:Kudeta dan HT
« pada: 05 Mei 2009, 14:07:37 » jawabannya anda percaya atau tidak [atau itu hanya bualan]
begini saja, sudah jelas thariqah dakwah HT, dengan mengikuti dakwah rasulullah saw.
sebagai gerakan dakwah, Hizbut Tahrir, salah satu prinsip dakwahnya adalah la 'unfiyah (non-kekerasan).
bagaimana mungkin tahun 69 terjadi kudeta, padahal saat itu Syeikh Taqiyyuddin an Nabhani masih hidup, bagaimana mungkin antara apa yang digariskan dengan apa yang dilakukan tidak sesuai. seandainya itu terjadi, sudah lama gerakan dakwah ini hancur, tetapi bukti-nya gerakan ini makin menyebar ke seluruh penjuru dunia, hingga tidak satu pun yang tidak mengenal dakwah HT, yang bertujuan untuk melanjutkan kehidupan Islam, dengan berusaha menegakkan syariah dan khilafah.
wallahu'alam
begini saja, sudah jelas thariqah dakwah HT, dengan mengikuti dakwah rasulullah saw.
sebagai gerakan dakwah, Hizbut Tahrir, salah satu prinsip dakwahnya adalah la 'unfiyah (non-kekerasan).
bagaimana mungkin tahun 69 terjadi kudeta, padahal saat itu Syeikh Taqiyyuddin an Nabhani masih hidup, bagaimana mungkin antara apa yang digariskan dengan apa yang dilakukan tidak sesuai. seandainya itu terjadi, sudah lama gerakan dakwah ini hancur, tetapi bukti-nya gerakan ini makin menyebar ke seluruh penjuru dunia, hingga tidak satu pun yang tidak mengenal dakwah HT, yang bertujuan untuk melanjutkan kehidupan Islam, dengan berusaha menegakkan syariah dan khilafah.
wallahu'alam
128
Hukum dan Dunia Politik / Re:Kudeta dan HT
« pada: 05 Mei 2009, 13:48:04 » kudeta yang disampaikan tersebut adalah fitnah. [silahkan tunjukkan pada saya buku referensi-nya jika ada, atau itu bualan dari seseorang yang tidak tahu kebenaran faktanya]
mulai dari awal perjuangan dakwah yang dilakukan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah, di sekitar Masjid Al-Aqsa, sampai dakwahnya menyebar ke seluruh penjuru dunia, tidak ada satu-pun tindak kekerasan yang pernah dilakukan HT sampai saat ini, dan ini merupakan sejarah yang dicatat dengan tinta emas, perjuangan yang manis untuk dikenang.
wallahu'alam
mulai dari awal perjuangan dakwah yang dilakukan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah, di sekitar Masjid Al-Aqsa, sampai dakwahnya menyebar ke seluruh penjuru dunia, tidak ada satu-pun tindak kekerasan yang pernah dilakukan HT sampai saat ini, dan ini merupakan sejarah yang dicatat dengan tinta emas, perjuangan yang manis untuk dikenang.
wallahu'alam
129
Hukum dan Dunia Politik / Re:[tanya] Berapa lama HTI bisa mendirikan KHILAFAH ...?
« pada: 05 Mei 2009, 13:37:12 »eh iye nambain, bentar lagi mo kudeta pakistan.. soalnye ade klaim dari syababnye kalu setengah dari jendral nyang ade di angkatan bersenjate pakistan entu udeh ngaji ame HT, jadi kite liat aje..bang, antum pelajari dululah thariqah dakwah HT, baru mengkritisi.
supaya jangan fitnah sana-sini.
sudah sering kok, dijelasin thariqah dakwah HT di board hukpol ini. saya lihat antum member aktif hukpol yang cukup lama, tetapi kok untuk masalah ini belum tahu.
padahal di halaman-halaman sebelumnya dalam thread ini sudah dibahas masalah ini, silahkan antum lihat halaman belakang.
baiklah, mungkin untuk mempersingkat waktu antum [jika antum punya waktu], silahkan baca kembali penjelasan tentang thariqah dakwah HT di bawah ini.
Ada dua landasan utama penetapan metode perubahan yang digunakan oleh Hizbut Tahrir, yakni Pertama, pengikatan pada hukum syara’ dan Kedua, ittiba’ pada bagaimana Rasulullah berdakwah serta pada bagaimana beliau menerapkan syariat dalam pengaturan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tentang keterikatan pada syariat, Hizb berpendapat bahwa konsekuensi dari iman seorang muslim kepada Allah adalah kewajiban terikat pada syariat dalam semua aspek kehidupan, termasuk dalam melaksanakan dakwah. Dan tentang ittiba’ pada jalan dakwah Rasul, secara normatif memang terdapat tuntunan untuk ittiba’ pada nabi. Lagi pula, siapa lagi yang akan dicontoh dalam berdakwah bila bukan dakwah Nabi yang menghantarkan tegaknya Islam?
Berdasarkan pada sirah dakwah Rasulullah Muhammad Saw, Hizbut Tahrir menetapkan langkah operasional dakwahnya dalam tiga tahap atau marahil. Tahap Pertama, Marhalah Tastqif, yakni tahap pembinaan dan pengkaderan individu untuk melahirkan kader yang bersyakhsiyyah islamiyyah (memiliki akliyah dan nafsiyah Islam) dan meyakini fikrah serta thariqah Hizbut Tahrir untuk pada akhirnya bersedia bergabung ke dalam Hizb. Marhalah ini dilakukan oleh Rasulullah di Makkah selama tiga tahun, hingga datang perintah untuk berdakwah secara terang-terangan.
Tahap Kedua, Marhalah Tafa’ul ma’a al-Ummah, yakni tahap berinteraksi dengan ummat untuk mendorongnya berperan serta dalam dakwah hingga mewujudkan Islam dalam realitas kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Caranya dengan menggugah kesadaran umat dan membentuk pendapat umum di tengah masyarakat, hingga ide-ide, pendapat dan hukum-hukum yang telah ditabanni oleh Hizb menjadi pendapat umat. Dan umat terdorong untuk merealisasikan itu semua dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara bersama Hizb.
Pada tahap ini Hizb disamping tetap melakukan kegiatan pembinaan tsaqafah murakkazah untuk para kader-kadernya melalui halqah-halqah secara intensif dan pembinaan tsaqafah jama’iyyah dengan cara menyampaikan ide, pendapat dan hukum yang ditabanni Hizb secara terbuka kepada masyarakat luas melalui berbagai cara dan sarana, juga melakukan al-shira’u al-fikriy (pergolakan pemikiran) menentang idiologi, ide-ide, pendapat, sistem, perundangan dan peraturan-peraturan kufur dengan cara menjelaskan kesalahannya, menunjukkan pengaruh buruknya dan menjelaskan pendapat yang benar. Sementara perjuangan politik (al-kifaahu al-siyasiy) pada tahap ini mencakup perjuangan melawan negara-negara imperialis, membongkar rencana jahat mereka dan membebaskan umat dari pengaruh mereka. Lalu melakukan perlawanan terhadap penguasa di negeri-negeri muslim dan menasehati agar berpihak pada Islam, serta berusaha keras untuk mengambil alih kekuasaannya, sebagai awal berjalannya tahap ketiga. Di sisi lain, pada tahap ini Hizb juga melakukan tabbani mashalihu al-ummah, dengan cara melayani dan mengatur seluruh urusan dan kepentingan ummat sesuai dengan hukum syara’.
Tahap Ketiga, Marhalah Istilamu al-Hukmi, yakni tahap pengambilalihan kekuasaan guna penerapan syariat Islam secara utuh dan menyeluruh dan mengemban risalah Islam ke seluruh penjuru dunia.
Semua kegiatan dakwah Hizb dilakuan dengan prinsip dakwah fikriyah, yakni melalui perubahan bahkan revolusi pemikiran (inqilabu al-fikriy) dan dakwah politis. Hizb menjauhi penggunaan cara-cara kekerasan, karena sebagaimana dikatakan Rasulullah, pada tahap pertama dan kedua, dilarang menggunakan kekerasan. Dakwah pada tahap dua juga ditempuh melalui aktivitas mencari pertolongan (thalabu al-nushrah) kepada ahlu al-quwwah, sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah yang meminta pertolongan kepada kabilah Kindah dan penduduk Madinah saat keadaan dakwah bertambah genting menyusul tekad tokoh-tokoh Quraisy untuk menghabisi Rasulullah dan para shahabat. Pertolongan itu diperlukan guna mendapatkan perlindungan (himayah) agar aktivitas dakwah tetap berjalan dan untuk mencapai pengambilalihan kekuasan sebagai jalan penerapan syariat Islam.
130
Hukum dan Dunia Politik / Re:Seperti apa sistem Islam menurut syariat?
« pada: 30 April 2009, 17:00:39 »@pembelajarbenar juga ukhti,
okeh d............................ .....
bhs'y jgn d'sn y?
bkn thread br aj, soal khalifah.
or, bkn thread: "Ini sistem Islam versi HTI, apa sistem Islam versi PKS"?
saya ubah saja judul threadnya.
mudah-mudahan dapat mengurangi "gesekan" diantara ikhwah yang ikut berpartisipasi di thread ini, dan dapat saling berargumentasi dengan sikap santun dan saling menghargai.
Posting Digabung: 30 April 2009, 17:07:59
@YUE
anda pelajari dulu sejarah khilafah turki utsmani. salah satu kehancuran khilafah terakhir umat itu adalah karena "rongrongan" partai politik nasionalis [partai turki muda], yang "mendakwahkan" semangat nasionalisme dalam tubuh masyarakat Islam.
dalam sistem sosialisme-komunisme apakah ngga ada partai?
apakah anda tahu partai pertama yang ada di nusantara, sebelum kemerdekaan Indonesia?
[silahkan dilanjutkan diskusinya]
131
Hukum dan Dunia Politik / Re:Seperti apa syariah versi PKS?
« pada: 30 April 2009, 12:26:01 »PKS bukan seperti HT yang menjadi mahzab fiqh sendiri akh. PKS juga tidak menjadikan Hasan AlBanna, Sayyid Quthb, ataupun Yusuf Qardhawi menjadi mujtahid mutlak seperti HT yang menisbatkan Taqiyudin Albani menjadi mujtahid mutlak.mungkin akhi, salah persepsi.
apakah Hizbut Tahrir itu suatu mazhab atau bukan? Jawabnya, Hizbut Tahrir bukanlah sebuah mazhab, melainkan sebuah partai politik yang berideologi Islam. Hizbut Tahrir adalah sebuah kelompok yang berdiri di atas dasar ideologi Islam yang diyakini para anggotanya, yang diperjuangkan untuk menjadi pengatur interaksi masyarakat dalam segala aspek kehidupan.
Disebutkan dalam kitab Hizbut Tahrir [1995: 22] bab Keanggotaan Hizbut Tahrir, bahwa Hizbut Tahrir adalah partai bagi seluruh kaum Muslim tanpa melihat lagi faktor kebangsaan, warna kulit, dan mazhab mereka, karena Hizbut Tahrir memandang mereka semua dengan pandangan Islam.
Sumber rujukan fiqh/syariat PKS ya para imam2 mahzab terdahulu. Fiqh Sunnah sendiri bukan kitab fiqh resmi PKS kok. Nggak juga situs syariahonline. Kader2 PKS juga gak segan kok mengambil pendapatnya Syaikh Utsaimin, Syaikh bin Baaz, dlsb. Pendapat mereka bisa diambil atau ditolak. Mereka menjadi rujukan dalam masalah2 yang datang terkini.Ihsan Sammarah dalam kitabnya Mafhm Al-'Adalah Al-Ijtima’'yah [1991: 267] berkata, "Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani adalah seorang mujtahid yang mengikuti metode para fukaha dan mujtahidin, namun beliau tidak mengikuti satu mazhab dari mazhab-mazhab yang telah dikenal." [mengikuti satu mazhab tertentu], walaupun telah diketahui as-Syafi'i adalah orang yang menggariskan dasar-dasar istinbat dan mensistematikakannya dengan kaidah-kaidah umum secara menyeluruh (qa'idah 'ammah kulliyyah), sehingga bisa disebut sebagai peletak dasar ilmu Ushul al-Fiqh.
Yang nggak ada.... antara lain ya... rumusan fiqh Islam Liberal. Gak banget. Juga pendapat2 fiqh Taqiyudin Nabani, belum pernah ane denger kayaknya dipake oleh kader PKS. gak tau ya kenapa... mungkin mereka lebih percaya 4 imam mahzab.
Gak ada versi2an kok di PKS. Ya itulah syariah versi PKS (kalau lah syariah ada versi), mengambil dari kalangan ahlu sunnah wal jama'ah. Kalau ada perbedaan, semua dinamis aja dan dalam kerangka tasamuh.mungkin akhi perlu membaca isi awal thread, maupun keseluruhan. sejatinya, pertanyaan ini hanya ditujukan untuk mencari tahu tentang konsep piagam madinah yang diperjuangkan oleh PKS, beberapa waktu yang lalu. sebab menurut saya konsep yang ditawarkan tesb bertentangan dengan syariah, akan tetapi kalau kita mau melanjutkan pembahasannya sampai ke ushul fiq, mungkin yang pas bahasannya tentang siapa yang menjadi obyek hukum syara' (al-Mahkum 'alayh), yang lazim disebut mukallaf?
Yang saya yakini dan fahami adalah semua orang, baik Muslim maupun non-Muslim, dengan syarat: baligh, berakal dan mampu. Ini tentu berlaku dalam konteks khithab, dan bukan dalam konteks tathbiq. Sebab, sebagai obyek seruan (al-mukhathab), baik Muslim maupun non-Muslim sama, yaitu sama-sama terkena seruan hukum, tanpa pengecualian sedikitpun. Hanya saja, dalam tataran implementasi (tathbiq)-nya, tetap dibedakan.
Ane akuin... PKS gak punya kitab fiqh baku seperti HT.wah pandangan seperti ini, kayaknya saya kurang sependapat, akhi.
(gak apa apa lah.. toh Imam Malik juga gak mau Al-Muwatho' dijadikan satu2nya pegangan. Gak ada ceritanya para imam ahlu sunnah menetapkan pandangan fiqhnya sebagai pandangan yang mutlak. ga tau ya kalo pergerakan yang lahir belakangan ini).
Bolehkan kita bertaklid (mengikuti) mazhab tertentu? Menjawab pertanyaan ini, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani [1994:232] menyatakan, sesungguhnya Allah SWT tidak memerintahkan kita mengikuti seorang mujtahid, seorang imam, ataupun suatu mazhab. Yang diperintahkan Allah SWT kepada kita adalah mengikuti hukum syariat dan mengamalkannya. Itu berarti, kita tidak diperintahkan kecuali mengambil apa saja yang dibawa Rasulullah Saw kepada kita dan meninggalkan apa saja yang dilarangnya atas kita (Qs. al-Hasyr [59]: 7).
jadi jika dikatakan anggota HT fanatik, pada pendapat ulama tertentu, itu tidaklah benar.
wallahu'alam
[mungkin thread ini saya closed dulu, sedang mencari judul thread yang baru, sehingga tidak terjadi kesalah-pahaman dalam diskusi, mudah-mudahan nanti diskusi dalam thrad ini bisa lebih fokus, dari obyek masalah yang ditanyakan]
132
Hukum dan Dunia Politik / Re:Seperti apa sistem Islam versi PKS?
« pada: 29 April 2009, 19:51:13 »@TSsedikit mau share, apa yang saya yakini kepada ukhti.
s'tau gw si, Islam g pny rujukan baku sistem p'merintahan.......
jd, sistem apapun, mo k'rajaan, presidensial, or else, slama m'nerapkan syariat Islam dlm hkmy, g mslah........................ ................
emg y blg sistem after muawiyah adl sistem Islam sapa? bkny kerajaan? Imam 4 mazhab g mslah tu......
Sistem Pemerintahan Islam yang diwajibkan oleh Allah SWT adalah sistem Khilafah. Di dalam sistem Khilafah ini Khalifah diangkat melalui baiat berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya untuk memerintah sesuai dengan wahyu yang Allah turunkan. Dalil-dalil yang menunjukkan kenyataan ini sangat banyak, diambil dari al-Qur'an, as-Sunnah, dan Ijmak Sahabat.
Dalil dari al-Qur'an di antaranya bahwa Allah SWT telah berfirman menyeru Rasul saw.:
Karena itu, putuskanlah perkara di antara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. (TQS al-Maidah [5]: 48).
Seruan Allah SWT kepada Rasul saw. untuk memutuskan perkara di tengah-tengah mereka sesuai dengan wahyu yang telah Allah turunkan juga merupakan seruan bagi umat Beliau. Mafhum-nya adalah hendaknya kaum Muslim mewujudkan seorang hakim (penguasa) setelah Rasulullah saw. untuk memutuskan perkara di tengah-tengah mereka sesuai dengan wahyu yang telah Allah turunkan. Perintah dalam seruan ini bersifat tegas karena yang menjadi obyek seruan adalah wajib.
Sebagaimana dalam ketentuan ushul, ini merupakan indikasi yang menunjukkan makna yang tegas. Hakim (penguasa) yang memutuskan perkara di tengah-tengah kaum Muslim setelah wafatnya Rasulullah saw. adalah Khalifah, sedangkan sistem pemerintahannya adalah sistem Khilafah. Apalagi penegakan hukum-hukum hudud dan seluruh ketentuan hukum syariah adalah wajib. Kewajiban ini tidak akan terlaksana tanpa adanya penguasa [hakim], sedangkan ada kaidah syara yang menyatakan bahwa:
"kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengan adanya sesuatu maka keberadaan sesuatu itu hukumnya menjadi wajib".
Artinya, mewujudkan penguasa yang menegakkan syariah hukumnya adalah wajib. Dalam hal ini, penguasa yang dimaksud adalah Khalifah dan sistem pemerintahannya adalah sistem Khilafah.
mungkin segini dulu penjelasannya, mudah-mudahan nanti bisa diberikan penjelasan lanjutan [yang kontinyu]
Posting Digabung: 29 April 2009, 20:02:33
Adapun dalil dari as-Sunnah, di antaranya adalah apa yang pernah diriwayatkan dari Nafi'. Ia berkata: Abdullah bin Umar telah berkata kepadaku: Aku mendengar Rasulullah saw. pernah bersabda:
Siapa saja yang melepaskan tangan dari ketaatan, ia akan menjumpai Allah pada Hari Kiamat kelak tanpa memiliki hujjah, dan siapa saja yang mati, sedangkan di pundaknya tidak terdapat baiat (kepada Khalifah), maka ia mati seperti kematian Jahiliah. (HR Muslim).
Nabi saw. telah mewajibkan kepada setiap Muslim agar di pundaknya terdapat baiat. Beliau juga menyifati orang yang mati, yang di pundaknya tidak terdapat baiat, sebagai orang yang mati seperti kematian Jahiliah. Baiat tidak akan terjadi setelah Rasulullah saw. kecuali kepada Khalifah, bukan kepada yang lain. Hadis tersebut mewajibkan adanya baiat di atas pundak setiap Muslim, yakni adanya Khalifah yang dengan eksistensinya itu terealisasi adanya baiat di atas pundak setiap Muslim.
Imam Muslim menuturkan riwayat dari al-A'raj, dari Abu Hurairah, dari Nabi saw., bahwa Nabi saw. pernah bersabda:
Sesungguhnya Imam [Khalifah] itu laksana perisai, tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya. (HR Muslim).
Posting Digabung: 29 April 2009, 20:19:06
Sistem Pemerintahan Islam (Khilafah) berbeda dengan seluruh bentuk pemerintahan yang dikenal di seluruh dunia, baik dari segi asas yang mendasarinya, dari segi pemikiran, pemahaman, maqayis (standar), dan hukum-hukumnya untuk mengatur berbagai urusan, dari segi konstitusi dan undangundangnya yang dilegislasi untuk diimplementasikan dan diterapkan, ataupun dari segi bentuknya yang mencerminkan Daulah Islam sekaligus yang membedakannya dari semua bentuk pemerintahan yang ada di dunia ini.
Adapun masalah umat memilih penguasa atau memilih Khalifah, hal itu merupakan perkara yang telah dinyatakan di dalam nash-nash syariah. Kedaulatan di dalam Islam ada di tangan syariah. Akan tetapi, baiat dari rakyat kepada Khalifah merupakan syarat mendasar agar seseorang menjadi khalifah.
Sesungguhnya struktur negara Khilafah berbeda dengan struktur semua sistem yang dikenal di dunia saat ini, meski ada kemiripan dalam sebagian penampakannya. Struktur negara Khilafah diambil (ditetapkan) dari struktur negara yang ditegakkan oleh Rasulullah saw. di Madinah setelah Beliau hijrah ke Madinah dan mendirikan Daulah Islam di sana. Struktur negara Khilafah adalah struktur yang telah dijalankan oleh Khulafaur Rasyidin setelah Rasulullah saw. wafat.
Dengan penelitian dan pendalaman terhadap nash-nash yang berkaitan dengan struktur negara itu, jelaslah bahwa struktur negara Khilafah dalam bidang pemerintahan dan administrasinya adalah sebagai berikut:
1. Khalifah.
2. Para Mu'awin at-Tafwidh (Wuzara' at-Tafwidh).
3. Wuzara' at-Tanfidz.
4. Para Wali.
5. Amir al-Jihad.
6. Keamanan Dalam Negeri,
7. Urusan Luar Negeri.
8. Industri.
9. Peradilan.
10. Mashalih an-Nas (Kemaslahatan Umum).
11. Baitul Mal.
12. Lembaga Informasi.
13. Majelis Umat (Syura dan Muhasabah).
Mungkin nanti dapat dirinci struktur tersebut beserta dalil-dalilnya pada postingan selanjutnya [Insya-Allah]
133
Hukum dan Dunia Politik / Re:Seperti apa syariah versi PKS?
« pada: 29 April 2009, 19:05:11 » bang @andaleh
menarik penjelasan antum,
sebenarnya jawaban dari thread ini memang sederhana akhi, tetapi memang banyak yang ngejawab tidak sesuai dengan yang ditanyakan. makanya saya mau menanyakan pada ikhwah yang memahami apa yang ditanyakan. terus terang saya belum mempelajari ushul fiqh yang dipakai dalam istinbath-nya, yang menjadi rujukan PKS [belum pernah membaca kitab fiqh nya pula]. mudah-mudahan antum mau berbaik hati, untuk menshare-nya disini? [atau punya link yang bisa di share]
kalau ushul fiqh HT, yah yang seperti akhi LAB katakan, tertuang dalam kitab Syakhsiyah Islamiyah juz III [karya As-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani]
sekalian minta pendapat antum, tentang pertanyaan di awal thread [sejatinya pertanyaan mendasar saya dalam thread ini adalah masalah ini, karena kalau menanyakan ushul fiqh, agaknya terlalu panjang pembahasannya]:
Apakah memang opsi yang ditawarkan PKS tentang "konsep piagam madinah" itu murni adalah hanya metode tadarruj, atau apakah itu tujuan akhir, dari konsep syariah yang ingin diwujudkan?
kenapa saya menanyakan hal ini?
saya ingin menyandingkan thread ini dengan thread sebelah yang saya buat. sehingga mungkin kita dapat melihat secara komprehensive, seperti apa hukum Islam itu, dan bagaimana agar hukum Islam itu dapat diterapkan secara kaffah [sempurna], dengan sistem pemerintahan yang seperti apa?. mudah-mudahan saya mendapatkan pemahaman baik tentang hal ini [perbandingan antar harakah], dan juga bermanfaat bagi ikhwah yang aktif di board hukpol ini.
menarik penjelasan antum,
sebenarnya jawaban dari thread ini memang sederhana akhi, tetapi memang banyak yang ngejawab tidak sesuai dengan yang ditanyakan. makanya saya mau menanyakan pada ikhwah yang memahami apa yang ditanyakan. terus terang saya belum mempelajari ushul fiqh yang dipakai dalam istinbath-nya, yang menjadi rujukan PKS [belum pernah membaca kitab fiqh nya pula]. mudah-mudahan antum mau berbaik hati, untuk menshare-nya disini? [atau punya link yang bisa di share]
kalau ushul fiqh HT, yah yang seperti akhi LAB katakan, tertuang dalam kitab Syakhsiyah Islamiyah juz III [karya As-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani]
sekalian minta pendapat antum, tentang pertanyaan di awal thread [sejatinya pertanyaan mendasar saya dalam thread ini adalah masalah ini, karena kalau menanyakan ushul fiqh, agaknya terlalu panjang pembahasannya]:
Apakah memang opsi yang ditawarkan PKS tentang "konsep piagam madinah" itu murni adalah hanya metode tadarruj, atau apakah itu tujuan akhir, dari konsep syariah yang ingin diwujudkan?
kenapa saya menanyakan hal ini?
saya ingin menyandingkan thread ini dengan thread sebelah yang saya buat. sehingga mungkin kita dapat melihat secara komprehensive, seperti apa hukum Islam itu, dan bagaimana agar hukum Islam itu dapat diterapkan secara kaffah [sempurna], dengan sistem pemerintahan yang seperti apa?. mudah-mudahan saya mendapatkan pemahaman baik tentang hal ini [perbandingan antar harakah], dan juga bermanfaat bagi ikhwah yang aktif di board hukpol ini.
134
Hukum dan Dunia Politik / Re:Galeri meretas jalan menuju tegaknya khilafah
« pada: 28 April 2009, 21:56:53 » Mantan Kepala BIN : Hanya Sistem Khilafah yang Bisa Mengatur dan Mensejahterakan Dunia
Abdullah Mahmud Hendropriyono, mantan Kepala BIN, menyatakan : “Semestinya, setelah tesis Liberal-Kapitalisme gagal mensejahterakan dunia, kekhalifahan seharusnya muncul sebagai penggantinya. Karenanya, Islam perlu menjawab tantangan globalisasi dengan membangun “Kekhalifahan Universal”. Hanya sistem ini yang bisa mengatur dan mensejahterakan dunia, karena tatanan Sekuler-Kapitalisme telah gagal”.
Lebih lanjut, ketika wartawan Sabili bertanya :”Apakah Anda sepakat dengan konsep khilafah?”, Hendropriyono menjawab :”Khilafah itu adalah tujuan, bukan strategi”. Hendropriyono juga menyatakan : “Yang jelas, di masa datang Kekhalifahan akan menjadi new nation state, menggantikan sistem lama yang gagal.
Pernyataan AM Hendropriyono ini semakin menunjukkan bahwa opini tentang khilafah sebagai solusi problem dunia semakin kuat. Hadirnya khilafah tidak hanya diyakini oleh para aktivis dakwah Islam saja, tetapi juga di kalangan intelijen. Sebelumnya, NIC juga telah memperediksikan berdirinya khilafah.
Salah satu hal yang perlu dikoreksi, khilafah bukan new nation state, tetapi negara untuk seluruh umat Islam di dunia.
sumber : http://syariahpublications.com
Abdullah Mahmud Hendropriyono, mantan Kepala BIN, menyatakan : “Semestinya, setelah tesis Liberal-Kapitalisme gagal mensejahterakan dunia, kekhalifahan seharusnya muncul sebagai penggantinya. Karenanya, Islam perlu menjawab tantangan globalisasi dengan membangun “Kekhalifahan Universal”. Hanya sistem ini yang bisa mengatur dan mensejahterakan dunia, karena tatanan Sekuler-Kapitalisme telah gagal”.
Lebih lanjut, ketika wartawan Sabili bertanya :”Apakah Anda sepakat dengan konsep khilafah?”, Hendropriyono menjawab :”Khilafah itu adalah tujuan, bukan strategi”. Hendropriyono juga menyatakan : “Yang jelas, di masa datang Kekhalifahan akan menjadi new nation state, menggantikan sistem lama yang gagal.
Pernyataan AM Hendropriyono ini semakin menunjukkan bahwa opini tentang khilafah sebagai solusi problem dunia semakin kuat. Hadirnya khilafah tidak hanya diyakini oleh para aktivis dakwah Islam saja, tetapi juga di kalangan intelijen. Sebelumnya, NIC juga telah memperediksikan berdirinya khilafah.
Salah satu hal yang perlu dikoreksi, khilafah bukan new nation state, tetapi negara untuk seluruh umat Islam di dunia.
sumber : http://syariahpublications.com
135
Hukum dan Dunia Politik / Re:HAM dan Islam
« pada: 28 April 2009, 20:33:18 » bang @haekal
syukron, akhi.
syukron, akhi.
Af1 Untuk selanjutnya kunjungi
http://myquran.org/forum/index.php?action=profile;u=49404;area=showposts;start=135
Tidak ada komentar:
Posting Komentar